HADIS HADIS TENTANG AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR
Diajukan Sebagai Tuga Mandiri
DalamMata Kuliah Hadis-Hadis Tematik Komunikasi
Oleh
Luthfi Solihin Sirait
DOSEN PEMBIMBING : DR. SULIDAR, M.Ag
PROGRAM DOKTOR KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN 2021
A. PENDAHULUAN
Salah satu ajaran pokok didalam agama Islam yaitu mewajibkan bagi setiap umat muslimin untuk melakukan perbuatan amar ma’ruf nahi mungkar yaitu mengerjakan segala sesuatu yang di perintahkan Allah serta menjauhi apa yang dilarang oleh Allah. Nabi Muhammad saw, diperintahkan berdakwah kepada kaum Arab di Makkah.
Gerakan dakwah ini membawa perubahan sosial yang terjadi dalam bidang agama, moral, dan hukum.Nabi Muhammad saw, di utus untuk menjalankan amar ma’ruf dan Nahi Munkar melawan ketidakadilan, dan kesewenang- wenangan yang dilakukan oleh komunitas Arab Jahiliyah di Makkah. Nabi Muhammad saw, datang untuk membebaskan manusia dari akhlak, moral, kesesatan, penindasan, perbudakan, kesenjangan sosial, dan membangun masyarakat berdasarkan keimanan kepada Allah. Akhir-akhir ini di Negara Inodnesia banyak diramaikan dengan ramainya aksi-aksi yang dilakukan Sebagian kelompok aliran dalam Islam yang dikategorikan sebagai perwujudan dari pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar tersebut.
Perwujudan dari aksi-aksi itu dapat kita lihat, misalnya dengan semakin maraknya aksi-aksi yang menjurus ke dalam kategori kekerasan, hal ini seperti yang masih lekat di dalam ingatan kita, yaitu peristiwa kekerasan sebagai aksi dari deklarasi gerakan AKKBB (Aliansi Kebangkitan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan), perusakan tempat-tempat maksiat dan lain sebagainya. Aksi-aksi tersebut pada satu sisi dianggap sebagai perwujudan dari konsep amar ma’ruf nahi munkar, namun pada satu sisi dianggap oleh kelompok agama yang sama, sebagai aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama dan tidak dapat dibenarkan. Melihat fenomena di atas, maka kajian ulang terhadap konsep amar ma’ruf nahi munkar seperti apa yang dikehendaki oleh Syari’ yakni melalu hadis Nabi Muhammad SAW.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Amar Ma’ruf Nahi Mungkar.
Menurut kamus al-Munawir Arab-Indonesia terlengkap bahwa arti amar adalah memerintahkan. Ma’ruf artinya adalah kebajikan. Nahi artinya melarang
atau mencegah. Munkar artinya adalah keji atau munkar. Selain itu ma‟ruf juga diartikan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam kitabnya atau melalui lisan rasulnya Muhammad SAW. Sedangkan yang munkar diartikan apa yang dilarang oleh Allah dalam kitabnya atau melalui lisannya Muhammad SAW.1
Secara etimologi kata ma’ruf adalah berasal dari bahasa Arab, isim maful dari kata ‘arafa, yu’rifu, ‘irfatan atau ma’rifatan yang berarti mengetahui, mengenal, mengakui. Sebagai isim maf’ul, kata ma’ruf diartikan sebagai sesuatu yang telah diketahui, yang telah dikenali atau yang telah diakui. Kadang-kadang kata ma’ruf juga diartikan sebagai sesuatu yang sepantasnya, sewajarnya atau sepatutnya atau sesuatu yang terpuji. Sedangkan kata munkar juga berasal dari bahasa Arab, yang kata dasarnya adalah nakira, yang diartikan dengan jahala (tidak mengenal, tidak mengetahui atau tidak mengakui). Sebagai isim maf”ul, kata munkar diartikan sebagai sesuatu yang tidak diketahui, yang tidak dikenali atau yang tidak diakui, yang pada gilirannya diingkarinya. 2
Arti amar ma’ruf nahi munkar secara terminologi ialah megajak kepada perbuatan yang baik dan mencegah kepada perbuatan yang munkar. Secara etimologi amar berarti adalah perintah, ajakan, anjuran, himbauan bahkan juga berarti permohonan. Ma’ruf artinya baik, layak, patut. Nahi munkar berarti melarang, mencegah dan munkar berarti durhaka. Amar ma’ruf nahi munkar juga diartikan memerintahkan kepada perbuatan kebajikan dan melarang pada pekerjaan yang munkar. Istilah ini di dalam syari’at Islam yakni perintah atau mengajak diri dan orang lain melakukan hal-hal yang dipandang baik oleh agama dan melarang atau mencegah diri dan orang lain untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh syariat.3 Sedangkan menurut Imam Ghazali, amar ma’ruf
1 Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, Terjemahan Ali Mashum, Jainal Abidin (Surabaya, Pustaka Progresif, 1997), cet, ke-1, h. 1462
2 Raghib al-Ashfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur‟an, Juz I, (Beirut: Dar al-Qalam, 1412 H), h. 560
3 .A. Hafidz Dasuki, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta : PT. Ikhtiar Baru, 1997), cet, ke- 2, h. 104
nahi munkar adalah dua perkara tersebut ushuluddin, dengan kedua perkara tersebut terwujudlah tujuan darikeputusan nabi-nabi.4
Sesungguhnya amar ma’ruf nahi munkar merupakan salah satu syi’ar Islam yang agung, ia merupakan salah satu tiang pengukuh mujtama’ (masyarakat).
Banyak nash yang menunjukkan hal itu, dan banyak dibicarakan kehidupan nyata. Sebagimana telah dijelaskan Allah dalam al-Qur’an bahwa keistimewaan masyarakat muslim ialah menjadikan mulia umat Islam dengan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Karena sesungguhnya di antara amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah dengan cara saling menasihati dalam kebenaran serta mengajak kepada kebaikan. Makna amar ma’ruf nahi munkar yaitu hendaklah berusaha mengajak orang lain kepada kebaikan dan menghindarkan mereka dari keburukan. Islam sebagai agama individual dan sosial telah mewajibkan untuk memperbaiki diri sendiri dan mengajak orang lain kepada kebaikan. Selain sebagai kewajiban syari’ah, dakwah Islam merupakan kebutuhan masyarakat yang sangat primer. Masyarakat harus mengetahui pedoman hidup Islam yang merupakan kebutuhan masyarakat yang sangat primer. Sehingga dapat menegakkan perintah yang baik dan menjauhi yang dilarang.5
Dari beberapa definisi yang telah dikaji secara etimologis di atas, amar makruf nahi mungkar dapat diartikan ‚perintah melakukan segala sesuatu yang dinilai baik dan melarang atau mencegah melakukan segala sesuatu yang dihukumi buruk baik oleh akal manusia maupun syariat Islam.
2. Bentuk-Bentuk Amar Ma’ruf Dan Nahi Munkar.
a. Dengan senjata
Islam juga menyerukan untuk mengangkat senjata jika hal tersebut benar benar memungkinkan sebagaimana firman Allah dalam suratan-Nisa ayat 75 yang berbunyi :
4 Imam Ghazali, Ringkasan Ihya Ulumuddin, (Surabaya : Himmah Jaya, 2004), h. 279
5 Abu Ammar dan Abu Fatiah Al-Adnani, Mizanul Muslim 2 Barometer Menuju Muslim Kaffah, (Solo: Cordava Mediratama, 2016), h. 145.
نَمِ نَيْفِعَضْتَسْمُلْاوَ هِلّٰلْا لِيْبِسَ يْفِ نَوْلّٰتِاقَتِ لَا مْكُلْ امِوَ
نَمِ انَجْرِخْا آنَ(بَّرَ نَوْلْوْقَيَ نَيَذِ(لْا نَادَلْوْلْاوَ ءِ سْ/نَلْاوَ لِاجْ/رِلْا اۤ
1يْلْوَ كَنْدَ(لْ نَمِ انَ(لْ لِعَجْاوَ هَلّٰهْا مْلْا(ظَّلْا ةِيَرِقَلْا هِذِهْ اۚ اۚ
ا9رِيْصِنْ كَنْدَ(لْ نَمِ انَ(لْ لِعَجْاوَ
Artinya:“mengapa kamu tidak mau berperang dijalan Allah membela kaum yang lemah baik laki-laki maupun wanita dan anak-anak yang semuanya berdo‟a: “Ya robb kami, keluarkanlah kami dari negeri ini(makkah) yang zhalim penduduknnyadan berilah kami pelindung dari sisia engkau dan berikanlah kami penolong dari sisi Allah.”
Apabila masyarakat tidak mampu melawan tirani dan kezhaliman serta kediktatoran maka tidak ada alasan baginya untuk mengangkat senjata atau paling tidak hijrah dari kampung mereka dan tidak ada alasan bagi merekauntuk mereka kebinasaan. Kalau darah manusia sudah tidak berharga dan ummat Islam diperangi, maka tidak ada kedamaian dalam kehidupan. Oleh karena itu Islam mewajibkan umatnya untuk bangkit demi membela diri dan haram hukumnya bagi ummat Islam untuk berdiam diri menerima kehinaan dan penindasan. Islam ssangat mencintai kedamaian namun, kemerdekaan dan kehormatan umat Islam jauh lebih berharga dari perdamaian itu sendiri.6
b. Dengan politik.
Perjuangan dengan menggunakan kekuatan politik dalam suatu negara dikemas berbagai bentuk diantaranya adalah dalam bentuk wadah atau membentuk kelompok atau kekuatan politik yang disebut dengan partai. Yusuf Qordhawi mengatakan “bahwa partai suatu wadah bagi umat untuk mengatakan
6 Abdul Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam al-Qur‟an dan Sunnah, (Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada, 1994), cet, ke-.3, h. 203
“tidak” atau “kenapa”. Partai yang dimaksud oleh Yusuf Qordhawi harus memenuhi 2 syarat yaitu :7
1) Partai-partai tersebut harus mengakui Islam sebagai akidah dan Syari‟ah, tidak boleh melanggar ajaran-ajarannya dan tidak boleh pula menjadikan partai sebagai kedik, walaupun berbagai partai tersebut mempunyai ijtihad sendiri memahaminya berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang sudah ditetapkan.
2) Partai-partai tersebut tidak boleh bekerja demi kepintingan pihak- pihak yang memusuhi Islam dan umatnya, apapun nama dan bentuknya.
c. Dengan dakwah.
Secara bahasa, dakwah berarti memanggil, mengundang, minta tolong kepada, berdo‟a, memohon, mengajak kepada sesuatu, mengubah dengan perkataan dan perbuatan , dan amal. Dalam menegakkan amar ma‟ruf nahi mukar dalam rangka merealisasikan negara yang berwibawa dan bermartabat.
Hal tersebut berpedoman kepada tindakan yang dilakukan Abu Bakar sewaktu beliau diangkat jadi khalifah. Oleh karena itu, setiap umat Islam dalam suatu negara dituntut untuk selalu aktif dalam menegakkan amar ma‟ruf nahi munkar sekalipun terhadap seorang pemimpin karena hal tersebut sebagai salah satu bentuk yang harus dilakukan secara bijaksana dan bersifat konstruktif serta tidak dengan jalan inkonstitusional. Umat ini akan kehilangan keistimewaan dan kelebihannya jika mereka meniggalkan perjuangan amar ma‟ruf nahi munkar- nya, maka mereka akan ditimpa musibah dan dilaknat Allah SWT.
3. Hadis Tentang Amar Ma’ruf Dan Nahi Munkar a. Takhrij Hadis Terhadap Hadis
مْكُنْمِ ىأَرَ نْمِ
Adapun hadis yang menjadi objek dalam pembahasan ini adalah hadis berikut:
7 Yusuf Qardhawi, Fiqh Negara, ter. Syafril Halim, (Jakarta : Rabbani Press, 1997), cet, ke- h. 190
:لِاقَ ،هِنَعَ هِلّٰلْا يْضِرَ /يِّرَدَخُلْا Bدَيْعَسَ يْبَّأَ نَعَ
ىأَرَ نَمِ« :لِوْقَيَ هِلّٰلْا لِوْسَرَ تُعَمُسَ ﷺ عْطِتَسْيَ مْلْ نَإِفِ ،هِدَيْبَّ هِرِ/يْغَيْلّٰفِ 9ارِكُنَمِ مْكُنَمِ
كَلْذَوَ هِبِلّٰقَبِفِ عْطِتَسْيَ مْلْ نَإِفِ ،هِنْاسْلّٰبِفِ
Lمْلّٰسْمِ هِاوَرَ »نَامُيَلإِا فُعَضِأَ
Artinya : Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu ia berkata “aku mendengar Rasulullah shallahllahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“"Barangsiapa di antara kamu melihat kemunkaran hendaklah ia mencegah kemunkaran itu dengan tangannya, jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemahlemah iman.
(H.R. Muslim)8
Adapun metode yang digunakan dalam melakukan takhrij dalam pembahasan ini yaitu dengan metode ma’rifah kalimah au alfaz min matn al- hadis (takhrij dengan salah satu lafaz dari matan hadis) dan metode ma’rifah maudu‘ al-hadis (takhrij melalui tema pokok hadis). adapun lebih jelasnya sebagai berikut :
1) Takhrij bi ma’rifah kalimah au alfaz min matan al-hadis, yaitu melakukan takhrij melalui kata dari matan hadis yang diteliti. Kegiatan takhrij dengan metode ini, menggunakan kitab al-Mu’jam Mufahras li alfaz al-hadis.
2) Takhrij bi ma’rifah maudu‘ al-hadis, yaitu penulis melakukan takhrij melalui tema pokok dan pembahasan hadis yang menjadi objek kajian, dalam hal ini mengenai
مْكُنَمِ ىأَرَ نَمِ
Setelah dilakukan takhrij pada kutub al-tis’ah, maka dapat diketahui bahwa hadis ini diriwayatkan dari beberapa jalur sanad, sebagai berikut :
1) Jalur sanad Muslim : 1 riwayat, kitab iman, nomor hadis 140.
8 Abu Husayin Muslim Ibn Hajjáj alQusyayri Al-Naisaburi, Shahih Muslim, Juz I, Bairut;
Isa al-Baby al-Halaby waa al-Syurakah, 1395/1955:Juz I/69
2) Jalur sanad Ibn Majah : 2 riwayat, kitab iqamah, bab 155, nomor hadis 1315, dan kitab fitan, bab 20, nomor hadis 4100.
3) Jalur sanad Tirmizi : 1 riwayat, kitab fitan, bab 10, nomor hadis 2199.
4) Jalur sanad Abu Dawud : 2 riwayat, kitab al-jum‘ah, bab 251, nomor hadis 1141 ; kitab al-malahim, bab 17 nomor hadis 4336 :
5) Jalur sanad al-Nasa’i: 2 riwayat, kitab al-Iman wa al-syara’i‘ahu, bab 17, nomor hadis 11635 :
6) Jalur sanad Ahmad : 2 riwayat, musnad Abi Sa‘id al-Khudri, nomor hadis 10843 ; 10920.
Dari 10 riwayat di atas, diketahui bahwa hadis yang menjadi objek kajian yakni Muslim, selain diriwayatkan melalui beberapa jalur sanad, hadis tersebut tidak memiliki syahid karena pada level sahabat hadis ini hanya diriwayatkan oleh Abu Sa‘id al-Khudri tetapi hanya memilki mutabi’ yaitu hadis yang diriwayatkan melalui jalur Raja’ ibn Rabi’ah.
b. Kritik sanad Terhadap Hadis
مْكُنْمِ ىأَرَ نْمِ
Untuk mengetahui keotentikan sebuah hadis yang akan dikaji, maka terlebih dahulu harus dilakukan kritik hadis. kritik hadis mencakup dua aspek, yaitu sanad dan matan. jika diteliti sejarah kemunculannya, didapati bahwa kritik matan lebih dahulu dilakukan oleh ulama dibandingkan dengan kritik matan.
Untuk mengetahui apakah hadis tentang amar makruf dan nahi mungkar bisa diterima maka dilakukan kritik sanad. Hadis yang dibahas pada pembahasan ini adalah hadis tentang
مْكُنَمِ ىأَرَ نَمِ
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab sahihnya, adapun periwayat-periwayatnya adalah sebagai berikut :1) Muslim bin Al-Hajjaj
Nama lengkapnya adalah Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi alNaisaburi, kunyah-nya Abu al-Husain. Beliau lahir di Naisabur pada tahun 204 H bertepatan 821 M dan wafat pada hari Ahad tanggal 25 Rajab 261 H atau 875 M., di Nasr, salah satu wilayah Na’isaburi, dalam usia 57 tahun.9
Dia belajar hadis sejak usia muda, yakni ketika berusia 12 tahun (218 H).
Untuk mencari hadis, dia banyak melakukan kunjungan ke berbagai wilayah Islam untuk menemui dan berguru kepada ulama-ulama hadis. Guru-gurunya antara lain, Yahya bin Yahya dan Ishaq bin Rahawaih di Khurasan, ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya di Mesir, Muhammad bin Marhan dan Abu Ansar di Ray, Ahmad bin Hanbal dan ‘Abdullah bin Maslamah di Irak, Sa’id bin Mansur dan Abu Mas’ab di Hijaz, serta ‘Abd al-Rahman dan al-Zuhali di
9 Syihab al-Din Abu al-Fadl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, juz 4 (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 67.
Naisabur. Sedangkan muridmuridnya antara lain: Abu Hatim al-Razi, Musa bin Harun, Ahmad bin Salamah, Abu Bakar bin Khuzaimah, Yahya bin Sa’id, Abu
‘Uwanah dan Abu ‘I alTirmizi.10
Penilaian kritikus rijal al-hadis: Al-Farra mengatakan bahwa Muslim adalah seorang ulama bagi manusia yang memiliki ilmu yang terbaik; Ibn Abi Hatim mengatakan bahwa aku menulis dari Muslim di antara para penghapal yang masyhur baginya dengan hadis; Ibn Hazm mengatakan bahwa Muslim adalah seorang ulama kritikus hadis; Ibn Qasim mengatakan bahwa Muaslim adalah seorang yang siqah dan dia seorang imam yang berkualitas tinggi; Ibn Hajar mangatakan bahwa imam Muslim adalah seorang yang ‘alim dalam ilmu fiqih, sebagai imam yang menyusun kitab hadis, dia juga seorang yang siqah hafiz; Al- Hakim mengatakan bahwa Muslim adalah seorang yang siqah; Ibn Hajar al-’Asqalani menilainya siqah hafiz.11
2) Muhammad bin al-Musanna
Muhammad ibn al-Musanna bernama lengkap Muhammad ibn al-Musanna ibn ‘Ubaid ibn Qais ibn Dinar al-‘Anazi Abu Musa al-Basri al-Hafiz yang dikenal alZaman. Dia lahir tahun 167 H. dan wafat pada bulan Zu al-Qa‘dah 252 H pada umur 85 tahun. kunyah-nya Abu Musa. Dia termasuk tabaqah ke-10,Di antara gurunya adalah Abu Mu‘awiyah, Rudah, Sa’ad al-Qattan, Muhammad ibn Ja‘far Gundar. Sedangkan muridnya antara lain Muslim, al-Nasai Zur‘ah, Abu Hatim, Ibn Majah, Abu Ya‘la. Ibn Ma‘in menilainya siqah. Abu Hatim menganggapnya salih al-hadis saduq. al-Nasai menilainya laba’s bih kana yugayyir fi kitabih. alKhatib menanggapnya siqah sabit ihtajja sair al-aimmah bi hadisih. Al-Zahabi hujjah.12
3) Muhammad bin Ja‘far
10 Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahzib al-Kamal fi Asma al-Rijal, juz 27 (Cet. II; Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983), h. 499-505. Selanjutnya disebut al-Mizzi.;
al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, 1994, h. 67.
11 al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, 1994, h. 67; al-Mizzi, Tahzib al-Kamal fi Asma al-Rijal, , juz 27, 1983, h. 505-506;
12 al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, Juz 11 (Cet. I; Dar al-Fikr: Beirut, 1404 H/1984 M), h.
377
Muhammad bernama lengkap Muh{ammad ibn Ja‘far al-Huzali Abu
‘Abdillah al-Basri yang dikenal dengan panggilan Gundar. Dia wafat pada bulan Zu al-Qa‘dah 193 H. atau 194 H. Di antara gurunya adalah Syu‘bah ibn Hajjaj bahkan dia belajar selama 20 tahun kepada Syu‘bah, Ma‘mar ibn Rasyid,
‘Abdullah ibn Sa‘id, Husain al-Mu‘allim, Sufyan ibn ‘Uyainah, Sufyan al-S|auri.
Sedangkan muridnya antara lain Yahya ibn Ma‘in, Abu Musa Muhammad ibn al-Musanna, Ahmad ibn Hanbal, Ya‘qub ibn Ibrahim. ‘Abd al-Rahman ibn Mahdi berkata: Gundar lebih sabit dari pada saya terkait dengan hadis Syu‘bah.
Abu Hatim menilai Gundar saduq dan siqah jika terkait dengan hadis Syu‘bah.
al-‘Ijli berkata Gundar siqah dan asbat alnas tentang hadis Syu‘bah. kunyah Abu
‘Abdillah, Abu Bakr. Termasuk tabaqah ke-9, wafat pada tahun 193 H.13 4) Syu‘bah
Nama lengkapnya adalah Syu‘bah ibn al-Hajjaj ibn al-Warad al-‘Atki al- Azdi Abu Bastam al-Wasiti. Dia pernah bermukin di Basrah dan Wasit. Dia lahir pada 83 H. dan wafat pada tahun 160 H. dalam usia 77 tahun. Kunyah-nya Abu Bastam termasuk tabaqah ke-7. Di antara gurunya adalah Anas ibn Sirin, Yahya ibn Abi Kasir, Qatadah, Qais bin Muslim, Mansur ibn al-Mu‘tamar, Hisyam ibn
‘Urwah. Sedangkan muridnya antara lain Bisyir ibn al-Mufaddal, Khalid ibn al- Haris, Sufyan al-Sauri, Sulaiman al-A‘masy, Muhammad ibn Ja‘far Gundar,
‘Abdurrahman ibn Mahdi. Sufyan menilai Syu‘bah sebagai amir al-mu’minin fi al-hadis. Muhammad ibn Sa‘ad mengatakan Syu‘bah siqah ma’mun sabit sahib hadis hujjah. al-Hakim mengatakan Syu‘bah adalah imam al-aimmah fi ma‘rifah al-hadis bi al-Basrah. Yahya al-Qattan mengatakan: saya tidak pernah melihat seseorang yang lebih baik hadisnya dari pada Syu‘bah. al-‘Ijli menilainya siqah sabit fi al-hadis akan tetapi kadang salah pada nama-nama perawi.14
5) Qais bin Muslim
Nama lengkapnya adalah Qais bin Muslim al-Jadali al-‘Udwani Abu Amru al-Kufi. Kunyahnya Abu Amru. Dia termasuk tabaqah ke-6. Guru-gurunya
13 al-Mizzi, Tahzib al-Kamal, Juz. 25, 1980, h. 5-9; al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, Juz.
1,1984, h. 472.
14 al-Mizzi, Tahzib al-Kamal, Juz 12, 1980, h. 479. al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, Juz 4, 1984, h. 297-302.
antara lain : Ibrahim ibn Jarir ibn ‘Abdillah al-Bajali, Hasan ibn Muhammad ibn alHanafiyah, Tariq bin Syihab, Sa‘id ibn Jubair, ‘Abd al-Rahman ibn Abi Laila.
Murid-muridnya antara lain : Ibrahim ibn Muhammad al-Muntasyar, Idris ibn Yazid al-Awdi, Sufyan al-S|auri, Syu‘bah ibn al-Hajjaj al-‘Atki, Sulaiman ibn Mihran alA’masy, Malik ibn Migwal al-Bajali, Abu Khalid al-Dalani, Abu Hanifah al-Nu‘man ibn Sabit. Dia wafat pada tahun 120 H.15
Para kritikus hadis menilai Qais bin Muslim bersifat siqah, kecuali Syu‘bah yang menilainya sebagai layyin. Lafal layyin adalah istilah untuk menyebut sifat periwayat yang tergolong al-jarh (terdapat celaan) yang peringkatnya berada paling dekat dengan peringkat al-ta’dil yang terendah. Syu‘bah tidak menjelaskan sebabsebab yang yang melatarbelakangi ke-layyin-an Qais bin Muslim. Pada sisi lain, Syu‘bah sendiri telah dinyatakan oleh al-‘Ajali dan al- Daraqutni sebagai ulama yang mengalami kesalahan dalam masalah ilmu rijal hadis. karenanya kritikan Syu‘bah tidak mengurangi ke-siqah-an Qais bin Muslim.
6) Tariq bin Syihab
Nama lengkapnya adalah Tariq bin Syihab bin ‘Abd al-Syams bin Salamah bin Hilal bin ’Auf, kunyahnya Abu ‘Abdullah. Dia termasuk tabaqah ke-1 generasi sahabat. Guru-gurunya antara lain: Rasulullah saw, Khulafa al- Rasyidin, Abi Sa‘id al-Khudri, Bilal bin Abi Rabbah, Khalid bin al-Walid, Huzaifah al-Yaman, Sa’ad bin Abi Waqqas. Murid-muridnya antara lain:
Ibrahim bin Muhajir, Isma‘il bin Abi Khalid, Simak bin Harb, Qais bin Muslim, dan Yahya bin al-Husain.177 Tariq bin Syihab wafat di Kufah tahun 82 H, pendapat lainnya menyebutkan tahun 83 H dan 84 H. Komentar ulama tentang kredibilitasnya: Yahya bin Ma’in menilainya siqah; al-‘Ijli menyebutnya sebagai rawi siqah: Abu Hatim juga mensiqahkan Tariq bin Syihab.16
15 al-Mizzi, Tahzib al-Kamal fi Asma al-Rijal, juz 15 (t.d), h. 336-337.; al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, juz 5 (t.t: Dar al-Ma‘rifah, 1996), h. 44.
16 al-Mizzi, Tahzib al-Kamal fi Asma al-Rijal, Juz 13, 1983, h. 342; al-Z|ahabi, Tazhib alTahzib, Juz 2, (Cet. I; al-Faruq al-Hadisiyyah, 2004), h. 232; Abu Hatim al-Razi, Kitab al-Jarh wa aTa’dil, Juz 4 (Beirut: Ihya al-Turas al-‘Arabi, t.th.), h. 485.
Setelah pengkajian tentang periwayat periwayat yang terdapat dalam sanad hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa semua periwayat yang terdapat dalam jalur sanad yang diriwayatkan oleh Imam Muslim memiliki kualitas siqah, dengan semua sanad yang bersambung, perawi bersifat ‘adil, perawi bersifat d{abit, terhindar dari syaz (pertentangan),dan terhindar dari ‘illat (kekeliruan).
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa dari segi sanad hadis di atas telah memenuhi standar kesahihan dan bisa dijadikan landasan dalam hadis amar makruf dan nahi mungkar.
c. Kritik matan hadis Terhadap Hadis
مْكُنْمِ ىأَرَ نْمِ
Secara keseluruhan, keragaman matan hadis tersebut tidak menunjukkan adanya perbedaan makna yang bertolak belakang satu dengan yang lainnya, meskipun keragaman matan tersebut menunjukkan adanya ziyadah tetapi hal tersebut termasuk kategori yang diterima. Ziyadah tersebut mengindikasikan sebagai penjelastabyin. Di samping itu, lafal hadis tersebut bukan bersifat ta‘abudiyyah, sehingga hukum periwayatannya masih diperkenankan/
diperbolehkan merujuk kepada pendapat para ulama.
Secara umum, redaksi dan kandungan hadis tersebut tidak mengalami syuzuz dan juga selamat dari ‘illah/penyakit. Hal itu dapat dilihat bahwa hadis yang menjadi objek pembahasan tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an secara makna, bahkan dinilai sebagai suatu bentuk kedurhakaan, melampaui batas yang dikecam oleh Allah swt. apabila hal tersebut ditinggalkan. Seperti dalam QS. al-Ma’idah (5) :78-7917
نَاسْلْ ىلّٰعَ لِيَءِ رِسَا Qيْنَبَّ مِ اوَرِفِكَ نَيَذِ(لْا نَعَلْ اۤ نْۢ
اوْنْاكَ(وَ اوْصِعَ امُبَّ كَلْذَ مْيَرِمِ نَبَّا ىسْيْعَوَ دَTوَادَ ۗ
17 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya , (Saudi: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba‘at al-Mush-haf Asy Syarif, 1998), h. 174.
– نَوَدَتَعَيَ
وْلّٰعَفِ BرِكُنَXمِ نَعَ نَوْهْانَتَيَ لَا اوْنْاكَ ٧٨
ۗ
- نَوْلّٰعَفِيَ اوْنْاكَ امِ سَئْبِلْ
٧٩
Artinya : ‚Telah dila`nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan `Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. 79.Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.
Berdasarkan pengkajian tentang matan hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa dari segi matan, hadis
مْكُنَمِ ىأَرَ نَمِ
telah memenuhi syarat kesahihan karena telah memenuhi syarat-syarat kesahihan matan hadis sebagai berikut :1) Tidak bertentangan dengan al-Qur’an.
Hadis
مْكُنَمِ ىأَرَ نَمِ
sama sekali tidak bertentang dengan al- Qur’an, baik dari segi lafal maupun dari segi makna, bahkan sangat berkaitan dan sejalan dengan ayat al-Qur’an. Hal tersebut karena di dalam al-Qur’an juga terdapat banyak sekali ayat yang memerintahkan manusia untuk selalu beramar makruf dan nahi mungkar. Terdapat beberapa ayat dalam al-Qur’an yang membahas mengenai amar makruf dan nahi mungkar di antaranya yang terdapat pada surah Ali Imran ayat 104 dan 114, surah al-A’raf ayat 157, surah al-Taubah ayat 67,71, 112, surah al-Hajj ayat 41, surah Lukman ayat 17. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadisمْكُنَمِ ىأَرَ نَمِ
dari segi matan tidak bertentangan dengan al-Qur’an bahkan sejalan dengan apa yang diperintahkan oleh al-Qur’an.2) Tidak bertentang dengan hadis lain yang lebih kuat atau sama derajatnya.
Jika ditelusuri dalam kitab-kitab hadis, ditemukan bahwa hadis
نَمِ
مْكُنَمِ ىأَرَ
tidak hanya terdapat pada sahih muslim kitab al-In Bab Bayan Kaun alNahyi anil Munkari min al-In, tetapi juga terdapat padaSunan Abi Daud Kitab al-Salt bab al-Khutbatu Yaumul ‘Id, Sunan al- Tirmizi Kitab al Fitan ‘An Rasulillah Bab Ma Ja’a fi Tagyir al- Munkar bil Yad , Sunan al-Nasa’i Kitab al-In wa Syara’iuhu Bab Tafadulu Ahlil In, Sunan ibn Majah Kitab Iqamatissalah wa Sunnah Fiha Bab Ma Ja’a fi Salat ‘Iid. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa hadis
مْكُنَمِ ىأَرَ نَمِ
tidak bertentangan dengan hadis yang lain.3) Tidak bertentangan dengan akal sehat.
Hadis
مْكُنَمِ ىأَرَ نَمِ
jika ditinjau dari makna yang dikandungnya, dapat dilihat bahwa maknanya tidak bertentangan dengan akal sehat. Hal tersebut karena konsep amar makruf dan nahi mungkar sejalan dengan akal sehat manusia. Setiap manusia mendambakan kehidupan yang baik, dan salah satu faktor yang bisa menghadirkan kehidupan yang baik dalam masyarakat adalah terlaksananya amar makruf dan nahi mungkar dalam masyarakat. Jadi secara akal sehat, amar makruf dan nahi mungkar tidak bertentangan dengan akal sehat.4) Tidak bertentangan dengan fakta sejarah.
Hadis
مْكُنَمِ ىأَرَ نَمِ
juga tidak bertentangan dengan fakta sejarah.Hal tersebut karena konsep amar makruf dan nahi mungkar telah ada dan dipraktekkan oleh kaum muslim bahkan telah dipraktekkan oleh masyarakat sebelum adanya Islam.
5) Tidak bertentangan dengan bahasa Arab dan tata bahasa rasulullah saw.
Hadis
مْكُنَمِ ىأَرَ نَمِ
juga tidak bertentangan dengan kaedah bahasa Arab. Hadis tersebut, jika dibandingkan dengan hadis rasulullah saw.yang lain, juga memiliki rasa bahasa yang sama. Ciri khas perkataan rasulullah saw. yang singkat dan memiliki makna yang luas jami’ mani’
juga terdapat dalam hadis ini. Berdasar pada keterangan-keterangan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa secara matan hadis
نَمِ
ىأَرَ
مْكُنَمِ telah memenuhi syarat-syarat kesahihan matan hadis,
sehingga bisa dijadikan landasan dalam permasalahan amar makruf dan nahi mungkar.
Setelah melakukan kritik pada sanad dan matan hadis, maka dapat disimpulkan bahwa hadis ini berstatus sahih dengan alasan bahwa Hadis tersebut telah memenuhi unsur-unsur/ kriteria kesahihan hadis, baik dari segi sanad maupun matan yakni sanad bersambung, perawi bersifat ‘adil, perawi bersifat dabit, terhindar dari syaz (pertentangan),dan terhindar dari ‘illat (kekeliruan).
d. Asbabul Wurud Terhadap Hadis
مْكُنْمِ ىأَرَ نْمِ
Setelah dilakukan penelusuran terhadap sanad maupun matan hadits yang menjelaskan tentang amar ma’ruf nahi munkar, kemudian sampai kepada kesimpulan bahwa hadits tersebut adalah hadits shahih baik secara sanad maupun matan nya. Maka pada pembahasan ini perlu dikaji lebih mendalam terkait dengan maksud dari matan hadits tersebut di atas dengan memperhatikan aspek historisitasnya (Asbab wurud al- Hadits) maupun syarah dari beberapa kitab yang ada, serta kitab-kitab yang terkait dengan pembahasan amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini dilakukan guna mendapatkan pemahaman yang utuh terhadap maksud yang dikehendaki dari hadits tersebut. Sebab sebuah hadits seringkali terkait erat dengan keadaan yang melatar belakanginya. Baik bersifat sosiologis, demografis maupun antropologis.
Dalam kitab al-Bayan wa al-Ta’rif Fi Asbab Wurud al-Hadits disebutkan, bahwa latar belakang kemunculan hadits tersebut (seperti riwayat Muslim) diawali dengan sebuah peristiwa yang terjadi di kalangan para sahabat pada waktu pelaksanaan shalat Id. Saat itu sahabat yang pertama kali melaksanakan khutbah sebelum pelaksanaan shalat Id adalah Marwan, apa yang dilakukannya mendapatkan reaksi dari sahabat lainnya seraya mengatakan bahwa yang benar adalah pelaksanaan shalat terlebih dahulu. Kemudian dia menilai bahwa apa yang dilakukan Marwan tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Melihat kejadian tersebut, Abu Sa’id kemudian mengatakan: ”Apa yang dilakukan oleh sahabat ini (mengingatkan Marwan) seperti yang telah diputuskan oleh Nabi
SAW, dan saya mendengar beliau bersabda...(kemudian Abu Sa’id al-Khudzri menyebutkan hadits di atas) (Ibrahim bin Muhammad al-Husaini al-Dimasyqi:
II, 1401:217).
Asbab wurud al-Hadits di atas menunjukkan bahwa sabda Nabi yang menjelaskan tentang perintah amar ma’ruf nahi munkar, meskipun menjelaskan tentang tata cara taghyir al-Munkar (merubah kemungkaran) mulai dari merubah kemungkaran tersebut dengan menggunakan ”tangan” , lisan dan hati. Namun dalam pelaksanaannya tidak selalu mendahulukan cara yang pertama. Hal ini semakin jelas jika dilihat dari asbab wurud al-Hadits di atas, dimana sahabat yang tidak setuju dengan sahabat lain tentang tata cara pelaksanaan khutbah shalat Id, tidak langsung mengingatkannya dengan melakukan tindakan pertama, yaitu dengan ”tangan”, akan tetapi justru mengingatkannya dengan lisan.
Meskipun cara yang pertama merupakan indikator kekuatan iman seseorang.
Dengan demikian, maka urutan tata cara yang harus digunakan oleh seseorang dalam usaha taghyir al-Munkar tidak selamanya harus dengan menggunakan peringkat pertama (bi al-Yad), akan tatapi urutan-urutan tersebut merupakan
”pilihan”, manakah di antara ketiganya yang sesuai dengan kondisi ketika terjadi kemungkaran.
Dari hadis tersebut terdapat tiga tahapan metode yaitu ;18 a. Metode dengan tangan.
Dalam metode ini dipahami secara tesktual, hal ini terkait dengan bentuk kemunkaran yang dihadapi oleh manusia ada yang mengubah kemunkaran dengan cara mempraktikkan dengan tangannya sebagai kekuatan tubuh dan diri. Secara kontekstual dipahami merubah suatu kemunkaran dengan kekuasaan atau power.
b. metode dengan lisan.
Metode kedua adalah metode dakwah dengan lisan, kata-kata yang lemah lembut (latif),bukan dengan katakata yang keras, kasar, dan menyakitkan hati,misalnya memberikan ucapan yang baik, berdiskusi secara ilmiah,
18 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqey, Al-Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), h.348.
bentuk tulisan, dan lain-lainnya. Langkah menghentikan kemunkaran dengan lisan dilakukan apabila langkah kekuasaan/power tidak dapat dilaksanakan, sedangkan yang disebut terakhir adalah metode iman, ada di antara manusia yang sangat lemah dan tidak mampu mencegah kemunkaran melainkan dengan hatinya, Merubah dengan hati artinya membenci kemunkaran dengan hati. Bahkan Allah swt dan Rasul-Nya mengancam dengan sangat keras bagi siapa yang tidak melaksanakannya, sementara ia mempunyai kemampuan dan kewenangan.
c. metode dengan iman.
Metode dengan iman diistilahkan dengan metode bil uswatun hasanah, yaitu dengan memberi contoh prilaku yang baik dalam segala hal.
Keberhasilan dakwah Nabi Muhammad saw ditentukan oleh akhlaq karimah di mana satunya perkataan dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari.
Hadis di atas merupakan titik utama dalam merubah nahi munkar menuju amal ma’ruf.oleh karena itu, para ulama konsensus memasukkannya sebagai pokok-pokok ajaran agama, bahkan dikatakan kandungan hadis ini sebagian dari syari’ah, sebab syari’at ini terdiri dari dua perkara, yaitu perkara yang ma’ruf, maka wajib dilaksanakan atau perkara yang munkar,maka wajib dicegah. Hadis ini pula menjelaskan tentang tingkatan dalam melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, yaitu mengingkari kemunkaran dengan tingkatan pertama tangan dan tingkatan kedua lisan dan hal ini wajib dilaksanakan sesuai dengan kemampuan dan kekuatan dengan syarat tidak mendatangkan kemunkaran yang lebih besar.
Tingkatan ketiga adalah mengingkari dengan hati, maka hal ini menuntut bagi seorang hamba untuk meninggalkan tempat yang menjadi basis kemunkaran tersebut. Hadis ini juga secara zahir menunjukkan kepada individu atau seseorang yang mampu mencegah kemunkaran dengan tangan atau kekuasaan, namun membiarkannya, maka yang demikian tercelah.
C. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa hadits yang menjelaskan tentang keharusan untuk merubah kemungkaran dengan tangan, lisan dan hati berkualitas shahih baik secara sanad maupun matan. Di samping itu, untuk mengatakan suatu tindakan dinilai sebagai tindakan yang ma’ruf (baik) dan munkar (jelek) dasarnya adalah al-Qur`an, Sunnah serta pemahaman ulama salaf, bukan atas dasar pemahaman pribadi.
Pengetahuan terhadap perkara yang baik dan buruk, mutlak diperlukan bagi orang yang hendak be-ramar ma’ruf nahi munkar. Yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa seseorang yang hendak ber-amar ma’ruf nahi munkar harus mempertimbangkan aspek maslahat maupun mafsadat dari yang dilakukannya.
Oleh karena itu, amar ma’ruf nahi munkar disyaratkan tidak menyebabkan mafsadat yang lebih besar dari pada maslahatnya, atau seimbang. Bahkan jika nahi munkar dapat menyebabkan kemungkaran lain yang lebih besar, maka nahi munkar tidak lagi menjadi wajib dan tidak sah dilakukan (gugur kewajibannya).
DAFTAR PUSTKA
A. Hafidz Dasuki, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta : PT. Ikhtiar Baru, 1997.
Abdul Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam al-Qur‟an dan Sunnah, Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada, 1994.
Abdul Qadir Jailani, Fathu Rabbani wa Faidurrahmani, Qizah: Dar al- Rayyan,t.th.
Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahih} Muslim, Juz 3 t.t: Dar al-Kutub ‘Ilmiyyah, 1992.
Abu Ammar dan Abu Fatiah Al-Adnani, Mizanul Muslim 2 Barometer Menuju Muslim Kaffah, Solo: Cordava Mediratama, 2016.
Abu Husayin Muslim Ibn Hajjáj alQusyayri Al-Naisaburi, Shahih Muslim, Juz I, Bairut; Isa al-Baby al-Halaby waa al-Syurakah, 1395/1955:Juz I/69 Abu Husayin Muslim Ibn Hajjáj alQusyayri Al-Naisaburi, Shahih Muslim, Juz I,
Bairut; Isa al-Baby al-Halaby waa al-Syurakah, 1395/1955:Juz I/69
Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, Terjemahan Ali Mashum, Jainal Abidin. Surabaya, Pustaka Progresif, 1997.
Ibrahim bin Muhammad bin Kamal al-Din, al-Bayan wa al-Ta’rif fi al-Asbab al- wurud alHadis al-Syarif, juz II. Beirut: Dar al-‘Ilmiyah, t.th
Imam Ghazali, Ringkasan Ihya Ulumuddin, Surabaya : Himmah Jaya, 2004.
Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahzib al-Kamal fi Asma al-Rijal, juz 27 Cet. II; Beirut: Muassasah al-Risalah, 1983.
Muhammad ibn Isma‘il ibn Ibrahim ibn al-Mugirah al-Bukhari, Sahiri,, Juz 1.
t.t : Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi, t.th
Raghib al-Ashfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur‟an, Juz I, Beirut: Dar al- Qalam, 1412 H.
Syihab al-Din Abu al-Fadl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Tahzib al- Tahzib, juz 4 Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqey, Al-Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001.
Yusuf Qardhawi, Fiqh Negara, ter. Syafril Halim, Jakarta : Rabbani Press, 1997.
al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, 1994, h. 67; al-Mizzi, Tahzib al-Kamal fi Asma al-Rijal, , juz 27, 1983.
al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, Juz 11 Cet. I; Dar al-Fikr: Beirut, 1404 H/1984 M.
al-Mizzi, Tahzib al-Kamal, Juz. 25, 1980, h. 5-9; al-‘Asqalani, Tahzib al-Tahzib, Juz. 1,1984.