Hakikat Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam
Islam adalah agama yang sangat menghormati ilmu pengetahuan. Dalam islam, ilmu menempati posisi dan peran yang sangat strategis. Sangat banyak ayat Al-Qur’an maupun Hadis yang menegaskan keharusan umat islam untuk menguasai ilmu. Fungsi Adam sebagai seorang khalifah ditandai dengan pengajaran ilmu (asmâa kullaha) dari Allah, yang kemudian membuat Adam pantas untuk disujudi oleh para malaikat. Allah juga telah menjanjikan orang yang beriman dan memiliki ilmu pada posisi yang lebih tinggi derajatnya.
Perkembangan keilmuan dalam islam didorong oleh pernyataan-pernyataan dalam Al-Qur’an untuk berpikir tentang alam semesta, misalnya terkait dengan penciptaan alam semesta, fenomena turunnya hujan, penciptaan manusia, dan lain-lain. Berdasarkan penjelasan tersebut tampak jelas cara islam menempatkan wahyu sebagai sumber, sekaligus sarana yang sangat penting dalam ilmu pengetahuan.
Syed M. Naquib al-Attas menyebutkan bahwa kemunduran islam yang terjadi secara beruntun sejak beberapa abad belakangan ini, disebabkan oleh kerancuan ilmu (corruption of knowledge) dan lemahnya penguasaan umat terhadap ilmu. Faktor-faktor inilah jelas al-Attas, yang menjadikan umat islam menghadapi berbagai masalah di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Karakter keilmuan dalam islam memang khas, berbeda dengan karakter keilmuan barat yang hanya mendasarkan pada rasio dan empiris. Intuisi dan wahyu, dalam islam, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam ilmu. Karakter keilmuan ini memberikan warna bagi perkembangan keilmuan yang ada. Keilmuan barat bersifat pragmatis, materialistis, dan kering dari refleksi atas nilai yang bersifat spiritual, sedangkan keilmuan islam sangat sarat dengan spiritualitas, bahkan ilmu dijadikan jalan untuk memahami dan mendekat kepada Tuhan.
Perkembangan keilmuan dalam islam memiliki karakter yang berbeda. Kalau di barat perkembangan ilmu diawali dengan situasi zaman yang tidak memungkinkan ilmu berkembang leluasa yaitu pada zaman Abad Pertengahan (atau dikenal sebagai zaman kegelapan ilmu), perkembangan keilmuan islam tidak mengalami situasi itu. Sejak awal, islam mentabukan umatnya untuk berpikir yang bertentangan dengan agama.
Perkembangan pesat ilmu pengetahuan dalam islam ini berada pada saat filsafat barat berada di titik nadir, yaitu pada masa otoritas gereja memiliki pengaruh yang sangat kuat. Hal ini terutama terlihat pada abad ke-8 dan 9, ketika para pemimpin islam yang berpusat di Baghdad mulai mengambil perhatian khusus terhadap ilmu Yunani dengan memerintahkan para sarjana islam untuk melakukan penerjemahan besar-besaran terhadap sumber-sumber dari Yunani (Ravertz, 2004: 20). Masuknya pemikiran Yunani yang semakin besar tersebut mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan di dunia islam, baik dalam bidang filsafat, matematika, astronomi, dan juga kedokteran, dengan tidak menghilangkan dasar-dasar fundamentalnya yaitu wahyu.
Ada beberapa definisi ilmu yang disodorkan para ulama sebagaimana dikemukakan Syarief ‘Ali bin Muhammad al-Jarjani, yaitu: “keyakinan yang pasti sesuai dengan kenyataan”, “sampainya gambaran sesuatu terhadap akal”, “hilangnya keraguan setelah diketahui”, “hilangnya kebodohan”, “merasa cukup setelah tahu”.
Dikatakan pula “sebagai sifat yang mendalam yang dapat mengetahui perkara yang universal dan parsial” atau “sampainya jiwa kepada sesuatu makna yang diketahui”. Adapula yang memberikan definisi dengan “ilmu adalah istilah untuk menyebutkan terjadinya kesinambungan yang khusus antara subjek yang berpikir dan objek yang dipikirkan”. Juga (pengertian yang lebih ringkas) “mengetahui sifat persifat”.
Kata ilmu dengan berbagai bentuk terulang 854 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. Dalam pandangan Al-Qur’an, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan (Q.S. al-Baqarah [2]: 31-32). Manusia menurut Al-Qur’an memiliki potensi untuk meraih dan mengembangkan ilmu dengan seizin Allah. Ada banyak ayat yang memerintahkan manusia menempuh berbagai cara untuk mewujudkan hal tersebut. Al- Qur’an juga menunjukkan betapa tinggi kedudukan orang-orang yang berpengetahuan.
Lahirnya ilmu dalam islam didahului oleh adanya tradisi intelektual yang tidak lepas dari kandungan Al-Qur’an dan penjelasannya dari Nabi. Jadi, jika kelahiran ilmu dalam islam dibagi secara periodik, menurut Hamid Fahmi Zarkasy urutannya sebagai berikut: (1) Turunnya wahyu
dan lahirnya pandangan hidup islam, (2) Adanya struktur ilmu pengetahuan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, (3) Lahirnya tradisi keilmuan Islam, dan (4) Lahirnya disiplin ilmu-ilmu islam.
Pemikir muslim kontemporer yang cukup konsern dengan masalah keilmuan adalah Syed M.
Naquib al-Attas. Dalam mendefenisikan ilmu, ia berangkat dari sebuah premis bahwa ilmu itu datang dari Allah swt dan diperoleh dari jiwa yang kreatif. Sebagai sesuatu yang berasal dari Allah swt, ilmu didefinisikan sebagai tibanya makna sesuatu atau objek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu; sedangkan sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu adalah tibanya jiwa pada makna sesuatu atau objek ilmu. Pada definisi yang pertama, titik tekan ada pada Allah swt sebagai sumber segala ilmu; sedangkan pada definisi yang kedua, lebih berorientasi pada manusia yang merupakan si pencari ilmu.
Definisi yang dikemukakan oleh al-Attas di atas dapat mewakili kecenderungan beberapa pandangan yang berbeda dari banyak pemikir muslim. Untuk definisi pertama, yang memandang ilmu sebagai datangnya objek kepada jiwa pencari ilmu, merupakan keyakinan kaum sufi yang sering menyebutnya sebagai ilmu laduni dan aliran filsafat illuminasi yang dipopulerkan oleh Suhrawardi al-Maqtul. Adapun definisi kedua merupakan pandangan populer para ahli pemikir rasionalis seperti halnya aliran filsafat peripatetik dan kebanyakan pemikir muslim yang lain.