Disusun guna Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Hubungan Industrial Dosen Pengampu : Iranita Hervi Mahardayani, M. Psi
Disusun oleh Kelompok :
1. Yassirli Rizki (202060059) 2. Risa Amilia Rosyidah (202060099)
Kelas : 6B
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MURIA KUDUS
2023
Perjanjian kerja merupakan salah satu dasar hubungan ketenagakerjaan yang menimbulkan perikatan atau hubungan hukum bagi para pihak, melahirkan hak dan kewajiban. Dengan adanya perjanjian kerja diharapkan dapat mewujudkan terlaksananya hak dan kewajiban para pihak dengan adil (Sinaga, 2017). Hal tersebut juga tertuang dalam Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dan dalam Pasal 28D ayat (2) yang menyatakan “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Namun dalam prakteknya belum sepenuhnya terwujud posisi pemberi kerja dengan pekerja / buruh sering dalam keadaan tidak seimbang, pemberi kerja selalu berada dalam posisi yang kuat, sedangkan pekerja/buruh sebagai yang membutuhkan pekerjaan selalu berada dalam posisi yang lemah sehingga cenderung menuruti syarat yang diajukan oleh pemberi kerja (Sinaga, 2017).
Kesejahteraan tidak akan terwujud jika terdapat pihak yang posisinya lemah yang mana, pihak yang kuat dapat memaksakan keinginannya untuk bisa mendapatkan keuntungan. Suatu hal yang sangat penting dalam perjanjian kerja yakni keseimbangan, jika tidak adanya keseimbangan maka akan munculnya suatu potensi terjadinya tindak pelanggaran yang akhirnya dapat menghilangkan nilai keadilan dan kelayakan dalam perjanjian tersebut (Yusup & Sutrisno, 2022).
Menurut Saadah (2020) perjanjian kerja sangat dibutuhkan dalam mengakomodir berbagai pihak yang hendak melakukan hubungan industrial sebagai penjabaran dari peraturan perundangundangan yang berlaku. Perusahaan harus membuat tata tertib maupun aturan-aturan secara hukum untuk mengantisipasi terjadinya kesenjangan. Aturan hukum yang telah dibuat oleh perusahaan tidak menjamin hubungan industrial dapat berjalan dengan baik. Permasalahan yang sering terjadi dalam hubungan industrial baik yang melibatkan pekerja,serikat pekerja, dan perusahaan adalah perbedaan persepsi tentang ketenagakerjaan dan upah.
Perselisihan mengenai perjanjian kerja, juga dialami oleh Ahmad Taufiq. Ia merupakan mantan pekerja harian lepas di PT. Duta Sentosa Yasa atau biasa dikenal dengan MR DIY Indonesia. Ia bergabung dengan MR DIY sejak Juni 2021 sebagai pekerja harian dengan upah sebesar Rp 125 ribu per hari. Akan tetapi ketika akan melakukan pekerjaan, tidak terdapat kontrak. Melainkan hanya ucapan atau perjanjian secara lisan
(cnnindonesia.com). Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang (UU) No. 6 Pasal (57) Tahun 2023 bahwa perjanjian kerja waktu tertentu dibuat secara tertulis dan harus menggunakan bahasa Indonesia. Apabila tidak terdapat perjanjian tertulis dan berbahasa Indonesia, maka status pekerja dapat berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu atau PKWTT (Yusup & Sutrisno, 2022)
Dalam pasal 12 Keputusan Menteri (Kepmen) No 100/2004 pun mengatur tentang perjanjian kerja harian lepas dimana berbunyi: (1) Pengusaha diwajibkan membuat perjanjian kerja harian lepas secara tertulis dengan pekerja/buruh yang menerima pekerjaan tersebut. (2) Pengusaha harus menyampaikan daftar pekerja/buruh kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak memperkerjakan pekerja/buruh (Suryaningrat et al., 2021)
Dikutip dari CNN Indonesia, Taufiq mengaku bahwa disana terdapat pekerja harian yang berjumlah 70 hingga 100 orang. Dalam proses pekerja harian tersebut terjadi kekurangan upah. Setelah Ahmad Taufik melihat Undang-Undang (UU), ia menyadari bahwa seharusnya upah yang diterima kisaran Rp 191 ribu per hari (cnnindonesia.com).
Minimal upah yang seharusnya diterima oleh pekerja harian lepas perhari adalah seperdualima dari upah minimum perbulan (Lilik, 2019).
Pekerja Harian Lepas merupakan pekerja yang dibayar berdasarkan jumlah hari kerjanya. Pada umumnya upah pekerja harian lepas tidak dapat dipisahkan antara gaji/upah pokok dna tunjangan lainya (bps.go.id). Setiap pekerja harian lepas, juga memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh perusahaan diantaranya: 1) Hak untuk mendapatkan upah yang terdapat dua jenis, yaitu upah berdasarkan waktu atau upah berdasrkan hasil. Sebagaimana telah dalam pasal 12 Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No 78 Tahun 2015 tentnag Pengupahan. 2) Hak untuk mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) seperti dalam Peraturan Menteri (Permen) Ketenagakerjaan No 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan. 3) Hak untuk mendaparkan Tunjangan Sosial atau BPJS Ketenagakerjaan seperti yang telah tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri (Kepmen) Tenaga Kerja no KEP- 150/MEN/1999 tentnang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi Tenaga Kerja Harian Lepas, Borongan dan PKWT (Suryaningrat et al., 2021)
Dilansir dari CNN Indonesia taufik juga mengacu pada aturan tenaga kerja yang menyatakan bahwa pekerja harian lepas tidak boleh bekerja lebih dari 21 hari dalam sebulan.
Selain itu, perusahan yang memperkerjakan selama 3 bulan berturut-turut, maka harus mengangkat pekerja tersebut sebagai pekerja tetap. Akan tetapi, pada kenyataannya perusahaan menolak mengangkat Taufiq sebagai pekerja tetap atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) meskipun Taufiq telah dipekerjakan selama 3 bulan berturut-turut atau lebih tepatnya selama 83 hari. Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat (Disnakertrans Jabar) juga menanggapi perselisihan ini. Berdasarkan hasil pengawasannya, MR DIY sulit untuk kooperatif dalam menyelesaikan konflik perusahaan dengan buruh lepasnya. Pekerja yang telah bekerja selama 3 bulan berturut-turut seharusnya diangkat menjadi pekerja tetap atau PKWTT (cnnindonesia.com). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 3 dan 4 Pasal (10) Tahun 2021 Pelaksanaan perjanjian kerja harian lepas dilakukan apabila pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 hari (kerja) dalam satu bulan.
Namun apabila pekerja/buruh bekerja terus-menerus melebihi 21 hari kerja selama tiga bulan berturut-turut atau lebih maka status perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT, perjanjian kerja harian lepas adalah pengecualian (lex specialis) dari ketentuan (khususnya mengenai) jangka waktu sebagaimana tersebut.
Lilik Puja Rahayu, A. W. (2019). Perlindungan Hukum Pekerja Lepas Di Kabupaten Bondowoso. Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum, 7(5), 1.
Saadah, K. A. W. (2020). Problematika Hukum Perjanjian Kerja Antara Perusahaan dan Pekerja. Jurnal: Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, Volume 5(Nomor 1), hlm: 131-138. http://journal2.um.ac.id/index.php/jppk/article/view/7820/3749
Sinaga, N. A. (2017). Peranan Perjanjian Kerja Dalam Mewujudkan Terlaksananya Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Hubungan Ketenagakerjaan. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, 7(2), 30–45. https://doi.org/10.35968/jh.v7i2.132
Suryaningrat, R. C., Ghufron Az, M., & Supriyadi, S. (2021). Tinjauan yuridis terhadap pengaturan terkait pekerja harian lepas. Jurnal Cakrawala Hukum, 12(2), 213–222.
https://doi.org/10.26905/idjch.v12i2.5813
Yusup, D. P., & Sutrisno, E. (2022). Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja di Indonesia dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Jurnal Indonesia Sosial Sains, 3(5), 902–915.
https://doi.org/10.36418/jiss.v3i5.626