SKRIPSI
WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN
PERJANJIAN KONSINYASI MINUMAN
BERARKOHOL GOLONGAN C DI AJ SHOP SANUR
I KOMANG RIANDIKA FEBI PRANATHA
NIM. 1116051050
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
ii
SKRIPSI
WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN
PERJANJIAN KONSINYASI MINUMAN
BERARKOHOL GOLONGAN C DI AJ SHOP SANUR
I KOMANG RIANDIKA FEBI PRANATHA
NIM. 1116051050
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
iii
WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN
PERJANJIAN KONSINYASI MINUMAN
BERARKOHOL GOLONGAN C DI AJ SHOP SANUR
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
I KOMANG RIANDIKA FEBI PRANATHA
NIM. 1116051050
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
iv
Lembar Persetujuan Pembimbing
SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 6 APRIL 2016
PEMBIMBING I
IDA BAGUS PUTRA ATMADJA, SH., MH NIP. 19541231 198303 1 018
PEMBIMBING II
A.A. SAGUNG WIRATNI DARMADI, SH., MH
v
SKRIPSI TELAH DIUJI
PADA TANGGAL 27 APRIL 2016
Panitia Penguji Skripsi
Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana
Nomor : 0660/UN14.4E/IV/PP/2016 Tanggal 18 APRIL 2016
Ketua : Ida Bagus Putra Atmadja, SH.,MH ( )
19541231 198303 1 018
Sekretaris : A.A.Sagung Wiratni Darmadi, SH.,MH ( )
19540720 198303 2 001
Anggota : Dr. I Made Sarjana, SH.,MH ( )
19611231 198601 1 001
I Nyoman Darmadha. SH., MH ( )
19541231 198103 1 033
I Made Dedy Priyanto, SH., M.Kn ( )
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan
skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban terakhir sebagai mahasiswa
guna melengkapi persyaratan dalam menyelesaikan studi Program Sarjana (S1)
pada Fakultas Hukum Universias Udayana. Adapun judul skripsi ini adalah
“WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN
KONSINYASI MINUMAN BERARKOHOL GOLONGAN C DI AJ SHOP
SANUR”.
Penulis menyadari bahwa apa yang tersusun dalam skripsi ini jauh dari apa
yang diharapkan secara ilmiah. Hal ini disebabkan karena keterbatasan
kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Maka dari itu
kritik, saran, bimbingan serta petunjuk-petunjuk dari semua pihak sangat
diharapkan guna kelengkapan dan penyempurnaan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya bantuan
dan dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung.
Oleh karena itu pada kesempatan yang sangat berbahagia ini dengan segala
hormat penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
vii
1. Bapak Prof. Dr. I. Gusti Ngurah Wairocana, S.H.,M.H, Dekan Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
2. Bapak I Ketut Sudiartha, S.H.,M.H, Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, S.H.,M.H, Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
4. Bapak I Wayan Suardana, S.H.,M.H, Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
5. Bapak Anak Agung Gede Oka Parwata, S.H.,MSi, Ketua Program Non
Reguler Fakultas Hukum Universitas Udayana.
6. Bapak I Made Budi Arsika, SH,. LLM., Pembimbing Akademis yang
telah membimbing dari awal kuliah di Fakultas Hukum Universitas
Udayana
7. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H.,M.H. Ketua bagian Hukum
Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana,
8. Bapak Ida Bagus Putra Atmadja, SH., MH. Sebagai pembimbing I
yang dengan penuh perhatian dan berkenan meluangkan waktu serta
tenaganya dalam memberikan bimbingan hingga terselesainya skripsi
ini
9. Ibu Anak Agung Sagung Wiratni Darmadi, S.H.,M.H, Dosen
Pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan berkenan
meluangkan waktu serta tenaganya dalam memberikan bimbingan
viii
10.Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah
membimbing dan mendidik penulis selama mengikuti perkuliahan di
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
11.Bapak Ida Bagus Wedha Kusumajaya, S.H., dan Bapak I Gusti Ngurah
Darmayuda Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas
Udayana yang telah membantu selama masa perkuliahan.
12.Bapak dan Ibu Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas
Udayana yang telah cukup banyak membantu dalam pengurusan
proses administrasi.
13.Bapak dan Ibu Pegawai Perpustakaan Universitas Udayana dan
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah
membantu penulis dalam memperoleh literature yang diperlukan dalam
penyusunan skripsi ini.
14.Kepada seluruh keluarga besar Fakultas Hukum Universitas Udayana
Program Non Reguler.
15.Untuk orang tua penulis yang tiada hentinya memberikan dukungan,
doa dan kasih sayang kepada penulis sehingga dapat terselesaikannya
skripsi ini.
16.Untuk seluruh sekuruh keluarga yang telah memberikan semangat
dalam menjalankan perkuliahan dari awal sampai dengan terselesainya
tugas skripsi ini.
17.Untuk sahabat tercinta Wisnu Wisesa, Gusten Keniten, Agung Atut,
ix
Draco, Mathias Hotma, Koming Anantha, Niko Cahyadi, Bennydiktus,
Adis Sutha, Gung wah Anyo, Gung Darma, Surya Radika, seluruh
sahabat DKB, wawewawe dan Leak Barak yang selalu memberikan
dorongan dan semangat dalam membuat skripsi ini.
18.Untuk teman – teman Fakultas Hukum angkatan 2011 pada khususnya
dan seluruh civitas akademis yang telah banyak memberikan dorongan
mental dan semangat dalam membuat skripsi.
Akhir kata penulis harapkan skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi
semua pihak pada umumnya dan bagi perkembangan ilmu hukum pada
khususnya.
Denpasar, 29 Maret 2016
x
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER ... ii
HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... iii
HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ... iv
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI………… .. v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... x
HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... xiii
ABSTRAK ... xiv
ABSTRACT ... xv
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 6
1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 6
1.4 Orisinalitas Penelitian ... 7
1.5 Tujuan Penelitian ... 8
1.5.1 Tujuan Umum ... 8
1.5.2 TujuanKhusus ... 8
1.6 Manfaat Penelitian ... 9
1.6.1 Manfaat Teoritis ... 9
1.6.2 Manfaat Praktis ... 9
1.7 Landasan Teoritis ... 9
xi
1.8.1 Jenis Penelitian ... 15
1.8.2 Sifat Penelitian ... 15
1.8.3 Data dan Sumber Data ... 16
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data ... 17
1.8.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 17
BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI, DAN PERJANJIAN KONSINYASI 2.1 Wanprestasi ... 19
2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Wanprestasi ... 19
2.1.2 Bentuk – Bentuk Wanprestasi ... 23
2.1.3 Pengaturan Wanprestasi Dalam KUHPerdata ... 25
2.2 Perjanjian konsinyasi ... 27
2.2.1 Pengertian Perjanjian ... 27
2.2.2 Pengertian Perjanjian Konsinyasi ... 38
2.2.3 Konsinyasi Sebagai Perjanjian Campuran ... 41
2.2.4 Pihak – Pihak Dalam Perjanjian Konsinyasi ... 42
BAB III. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN KONSINYASI DI AJ SHOP SANUR 3.1 Pelaksanaan Perjanjian Konsinyasi Dalam Penjualan Minuman Beralkohol Golongan C di Aj Shop Sanur ... 43
xii
BAB IV. UPAYA PENYELESAIAN HUKUM PARA PIHAK
AKIBAT WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN
PERJANJIAN KONSINYASI DI AJ SHOP SANUR
4.1 Akibat Hukum dari Wanprestasi karena Kesalahan
Debitur ... 49
4.2 Penyelesaian Hukum Para Pihak Akibat Wanprestasi
dalam Pelaksanaan Perjanjian Konsinyasi di AJ Shop
Sanur ... 53
BAB V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan ... 54
5.2 Saran ... 55
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RESPONDEN
RINGKASAN SKRIPSI
xiii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/Penulisan
Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi
manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang
secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan
duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja
mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka
penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.
Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban
ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.
Denpasar, 29 Maret 2016
Yang menyatakan
( I Komang Riandika Febi Pranatha.)
xiv
Abstrak
Perjanjian adalah suatu tindakan di mana satu orang atau lebih
mengikatkan diri kepada satu orang atau lebih. Dengan demikian berarti
perjanjian juga akan melahirkan hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan
bagi mereka yang membuat perjanjian. Judul penelitian ini adalah Wanprestasi
Dalam Perjanjian Konsinyasi Minuman Beralkohol Golongan C di AJ Shop
Sanur. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor apa yang
menyebabkan AJ Sop Sanur melakukan wanprestasi sehingga menyebabkan PT.
Pancaniaga Bali Perkasa Merugi dan bagaimana upaya penyelesaian sengketa
yang terjadi atas wanprestasi dalam perjanjian konsinyasi antara PT. Pancaniaga
Bali Perkasa dengan AJ Shop Sanur. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode penelitian empiris dengan cara meneliti perjanjian konsinyasi yang
dilakukan oleh PT. Pancaniaga Bali Perkasa dengan AJ Shop Sanur. Sehingga
mendapat data yang menyatakan bahwa AJ shop Sanur melakukan wanprestasi
atas perjanjian konsinyasi yang telah disepakati.
xv Abstract
Agreement is an act in which one or more persons bind themselves to
one person or more . Thus meaning the agreement will also bring forth the rights
and obligations in the field of property law for those who make the appointment.
The title of this research is the Default In Consignment Agreement Alcoholic
Beverage AJ Shop Class C in Sanur . The purpose of this study was to determine
what caused AJ Sop Sanur in default , causing PT . Pancaniaga Bali Perkasa Loss
and how efforts to resolve the dispute over the breach in the consignment
agreement between PT . Pancaniaga Bali Perkasa with AJ Shop Sanur . The
method used is the method of empirical research by examining the consignment
agreement made by PT . Pancaniaga Bali Perkasa with AJ Shop Sanur . So it gets
the data to claim that AJ shop Sanur do defaults on consignment agreement that
has been agreed upon .
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Di eraglobalisasi saat ini, kebutuhan manusia dan pengusaha pada
umumnya semakin meningkat, hingga menyebabkan pertumbuhan ekonomi
semakin berkembang. Hal ini menyebabkan para pengusaha untuk mendorong
timbulnya inovasi dalam suatu kerjasama diantara para pengusaha guna
mendukung adanya suatu peningkatan perekonomian diantara para pengusaha
tersebut. Akibat dari gejala tersebut menyebabkan munculnya banyak perjanjian
kerjasama diantara para pengusaha yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan
dan perputaran roda perekonomian para pengusaha yang semakin membaik dan
juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Ada beberapa perjanjian yang di dalam praktek sehari-hari mempunyai
sebutan nama tertentu, tetapi tidak diatur di dalam Peraturan
Perundang-undangan, setidak-tidaknya di Indonesia belum diberikan pengaturan secara
khusus,1 beberapa contoh perjanjian tak bernama adalah perjanjian sewa beli,
Franchise, Leasing, dan Konsinyasi. Masih banyak lagi perjanjian-perjanjian tak
bernama yang dikenal dalam praktek perekonomian dan bisnis di Indonesia.
Salah satu perjanjian tak bernama yang popular di dunia kerjasama dan
bisnis adalah perjanjian konsinyasi atau yang biasa disebut perjanjian bagi hasil
atau bisa juga disebut titip-jual. Perjanjian kerjasama konsinyasi ini pada
1
2
perkembangannya banyak diterapkan oleh para pelaku usaha baik skala kecil,
menengah, dan perusahaan besar sekalipun. Kerjasama dengan sistem konsinyasi
adalah kerjasama yang pelaksanaannya dengan cara salah satu pihak memiliki
barang / produk yang di tempatkan di lokasi pihak lainnya, pihak yang ditempati
berkewajiban mempromosikan dan menjual barang tersebut dengan berbagai
macam cara, retail maupun grosir, dan pembayaran baru dilakukan jika barang
sudah terjual oleh pemilik tempat dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan
dengan dikurangi komisi dari hasil penjualan.2 Hubungan antara Supplier dan
pemilik tempat didasarkan pada kesepakatan para pihak yang dapat dituangkan
dalam perjanjian tertulis atau kesepakatan lisan, dengan kata lain didasarkan pada
dua unsur yang terkait, yaitu hukum dan kepercayaan.
Pada dasarnya hubungan tersebut adalah hubungan hukum, tetapi yang
tampak dalam praktek sehari-hari adalah hubungan kepercayaan. Berdasarkan
kepercayaan pemilik toko bahwa barang supplier akan laku di pasaran dan
memberi keuntungan bagi pemilik toko dan juga sebaliknya bagi supplier yang
memperoleh keuntungan.
Pada prinsispnya perjanjian kerjasama dengan sistem konsinyasi ini tidak
diatur secara khusus dan mengenai bentuk dan isi perjanjian diserahkan kepada
kesepakatan pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Ini sesuai dengan
ketentuan mengenai perikatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), khususnya dalam Buku III KUHPerdata yang mempunyai sistem
2
3
terbuka dan adanya asas kebebasan berkontrak. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata
ditentukan bahwa Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan dalam pasal ini
dikenal dengan istilah Pacta Sunt Servanda.
Kebebasan berkontrak mengandung pengertian bahwa para pihak bebas
memperjanjikan apa saja asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang,
Ketertiban umum dan kesusilaan. Mengenai sebab dari suatu perjanjian haruslah
halal, hal ini diatur dalam Pasal 1337 ditentukan bahwa Suatu sebab adalah
terlarang, apabila dilarang oleh Undang-undang atau berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum. Perjanjian konsinyasi ini mengikuti atau
diatur dalam Pasal 1319 menentukan semua perjanjian, baik yang mempunyai
nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk
pada peraturan-peraturan umum, yang termuat di dalam bab ini dan bab yang lalu.
Ruang lingkup kajian hukum kontrak tak bernama atau innominaat adalah
berbagai kontrak yang muncul dan berkembang dalam masyarakat. Hukum
kontrak innominat bersifat khusus, sedangkan hukum kontrak atau hukum perdata
merupakan hukum yang bersifat umum, artinya bahwa kontrak-kontrak
innominaat berlaku terhadap peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
Apabila dalam Undang-undang khusus tidak diatur maka kita mengacu pada
peraturan yang bersifat umum, sebagaimana yang tercantum dalam buku III
KUHPerdata.3
3
4
PT. Pancaniaga Bali Perkasa adalah salah satu dari sekian banyak
perusahaan Distributor Minuman Berarkohol di Denpasar yang menggunakan
sistem perjanjian konsinyasi dengan para suppliernya berdasarkan prinsip
kepercayaan, dan perjanjian yang digunakan antara supplier dan PT. Pancaniaga
Bali Perkasa adalah kesepakatan lisan dan Nota serah terima barang atau check
list barang dari para pihak. Dalam prakteknya tidak jarang terjadi adanya suatu
permasalahan yang diakibatkan karena seiring perjalanan pelaksanaan perjanjian
kerjasama konsinyasi ada suatu keadaan atau situasi yang diluar dugaan para
pihak dalam perjanjian tersebut sehingga menyebabkan tidak terlaksananya atau
kurang terlaksana dengan penuh klausa-klausa dalam perjanjian kerjasama dengan
sistem konsinyasi tersebut, seperti karena kelalaian pihak supplier yang telat
mengirim barang atau dari distributor berkaitan dengan hilang atau rusaknya
barang. Hal ini sebenarnya tidak menjadi masalah jika para pihak dapat mengerti
dan menerima serta melakukan perubahan-perubahan dalam klausa perjanjian
kerjasama konsinyasinya, tetapi yang menjadi permasalahan adalah karena sistem
perjanjian yang digunakan tidak atau belum diatur secara khusus dalam suatu
peraturan perundang-undangan dan bentuk perjanjiannya adalah perjanjian lisan
sehingga para pihak kesulitan untuk mencari suatu solusi yang mempunyai
kekuatan dan kepastian hukum bagi parapihak kaitannya dengan Pelaksanaannya.
Salah satu outlet yang menerapkan sistem perjanjian konsinyasi kepada
suppliernya di denpasar adalah A.J Shop yang beralamat di Jalan Merta Sari no
106 sanur, Denpasar. Dapat diketahui disini bahwa perjanjian konsinyasi yang
5
pihak yang menyediakan tempat untuk mendistribusikan dan tempat untuk
menjual barang–barang yang diperjanjikan dengan sistem konsinyasi.
Hubungan antara supplier dan outlet ini didasarkan pada kesepakatan para
pihak yang dituangkan dalam perjanjian tertulis. Dimana supplier mempercayakan
produknya dititipkan di A.J Shop, dan pihak A.J Shop mempercayakan produk
dari supplier akan laku terjual di pasaran yang akan memberikan keuntungan bagi
para pihak. Namun dalam prakteknya sering terjadi pelaksanaan kewajiban yang
tidak tepat pada waktunya, dengan demikian maka para pihak berada dalam
keadaan wanprestasi.
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban
sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan
debitur.4 Wanprestasi yang terjadi atas perjanjian tersebut misalnya seperti;
keterlambatan supplier mengirimkan barang yang akan dititipkan di Aj Shop, dan
keterlambatan pihak Aj Shop melakukan pembayaran kepada supplier atas barang
yang telah laku terjual. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakan
antara perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari
undang-undang serta akibat hukum dari perikatan tersebut. Akibat hukum suatu perikatan
yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki berdasarkan perjanjian yang telah
disepakati para pihak sebelumnya sedangkan, akibat hukum dari suatu perjanjian
yang lahir dari undang-undang merupakan hubungan hukum para pihak yang
ditentukan oleh undang-undang.
4
6
Namun dalam pelaksanaannya sering terjadi pelanggaran atau lalai
melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang telah diperjanjikan. Menurut
Suharnoko, apabila atas perjanjian yang disepakati terjadi pelanggaran, maka
dapat diajukan gugatan wanprestasi, karena adanya hubungan kontraktual antara
pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang menderita kerugian. Apabila
tidak ada hubungan antara pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang
menderitakerugian, maka dapat diajukan gugatan perbuatan melawan hukum.
Berdasarkan uraian diatas, sangat menarik untuk di teliti lebih mendalam dalam
suatu karya ilmiah yaitu pada pembuatan skripsi yang berjudul
“WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN KONSINYASI
MINUMAN BERARKOHOL GOLONGAN C DI AJ SHOP SANUR”
1.2 Rumusan Masalah
1. Faktor apakah yang menyebabkan terjadinya wanprestasi dalam
pelaksanaan perjanjian konsinyasi di Aj Shop sanur?
2. Bagaimana Upaya Penyelesaian Hukum Para Pihak Akibat
Wanprestasi dalam Pelaksanaan Perjanjian Konsinyasi di AJ Shop
Sanur?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Untuk memperoleh pembahasan yang terarah sehingga tidak menyimpang
dari pokok permasalahan yang di bahas, maka akan di batasi ruanglingkup
permasalahannya sehingga pembahasan akan dapat di uraikan secara sistematis
sebagai suatu karya ilmiah. Adapun ruang lingkup dari pembahasan prmasalahan
7
1. Terhadap masalah pertama akan dibahas tentang faktor penyebab
terjadinya wanprestasi yang dalam hal ini dilakukan oleh pihak AJ
Shop Sanur.
2. Terhadap masalah ke dua akan dibahas tentang upaya penyelesaian
wanprestasi dalam perjanjian konsinyasi minuman beralkohol di AJ
shop Sanur.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan terhadap judul – judul penelitan
yang serupa atau mempunyai kemiripan dengan topic yang ada dalam proposal
skripsi ini adalah :
No Judul Penulis Rumusan Masalah
1 Pelaksanaan
perjanjian konsinyasi di mirota
batik kaliurang yogyakarta?
2. Bagaimana pengaturan hak dan
kewajiban para pihak tentang
8
Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi tujuan penulisan adalah:
1.5.1 Tujuan Umum
1. Untuk melakukan Tri Dharma perguruan tinggi, khususnya
pada Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar.
2. Untuk melatih diri dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah
secara tertulis.
3. Untuk perkembangan ilmu hukum
4. Untuk pembulat studi diri dalam bidang hukum
1.5.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui faktor apa yang menyebabkan Aj Shop
Sanur melakukan wanprestasi sehingga PT. Pancaniaga
Bali Perkasa merugi.
2. Untuk mengetahui upaya penyelesaian wanprestasi dalam
perjanjian konsinyasi minuman beralkohol di AJ Shop
9
1.6 Manfatat Penelitian
1.6.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan akan berguna bagi kepentingan
pengembangan ataupun penambahan wawasan kalangan akademisi
sekaligus melengkapi khasanah dunia ilmu pengetahuan,
shususnya ilmu pengetahuan hukum perikatan tentang konsinyasi
1.6.2 Manfaat Praktis
Dari hasil hasil penelitian ini akan bermanfaat sebagai sumbangan
informasi dan pemahaman kepada masyarakat tentang perjanjian
konsinyasi barang, selain itu penelitian ini dapat di jadikan sebagai
salah satu kelengkapan syarat untuk meraih gelar sarjana di bidang
hukum.
1.7 Landasan Teoritis
Lahirnya tanggung jawab hukum perdata berdasarkan wanprestasi diawali
dengan adanya perjanjian yang melahirkan hak dan kewajiban. Perjanjian diawali
dengan adanya janji. Apabila dalam hubungan hukum berdasarkan perjanjian
tersebut, pihak yang melanggar kewajiban tidak melaksanakan atau melanggar
kewajiban yang di bebankan kepadanya maka ia dapat dinyatakan lalai
(wanprestasi) dan atas dasar itu ia dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum
berdasarkan wanprestasi.
Tanggung jawab hukum dengan dasar wanprestasi didasari adanya
hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual timbul karena perjanjian atau karena
10
KUHPerdata buku ke tiga tentang perikatan. Van Dunne mengatakan perjanjian
adalah “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”5
H.salim H.S et all, mengartikan
kontrak atau perjanjian adalah “Hubungan hukum antara subyek hukum yang satu
dengan subyek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subyek
hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subyek hukum yang lain
berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah
disepakatinya.”6
Berdasarkan pemahaman diatas maka hukum perjanjian dapat diartikan
sebagai hukum terhadap janji-janji (The law of promises). Parapihak melakukan
janji-janji adalah bebas dan apayang mereka lakukan tidak ada pihak lain yang
memaksa sebagaimana dijamin dalam asas kebebasan berkontrak (freedom of
contract). Janji-janji yang di buat itu kemudian mengikat mereka dan
menimbulkan hak dan kewajiban diantara mereka.
Pengertian perjanjian sebagaimana tercantum dalam pasal 1313
KUHPerdata adalah “Sesuatu perbuatan dengan nama satu atau dua orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Menurut KUHPerdata
perjanjian mempunyai kekuatan hokum mengikat apabila telah memenuhi empat
syarat untuk sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam pasal 1330 KUHPerdata,
yaitu:
1. Sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
5
Salim HS, H.Abdullah, dan Wiwiek Wahyuningsih, 2007, Perancangan Kontrak dan
Memorandum Of understanding, PT. Sinar Grafika, Jakarta, h. 8.
11
3. Sesuatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Pada saat perjanjian itu sah maka perikatan itu mengikat parapihak yang
membuatnya. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata : perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi parapihak yang membuatnya. Pasal 1338
ayat (2) KUHPerdata : Suatu perjanjian tidak dapat di tarik kembali kecuali
berdasarkan kesepakatan para pihak atau karena alasan yang dinyatakan oleh
undang-undang.
Apabila ada salah satu pihak yang tidak menghormati janji (kewajiban)
berarti ada pihak yang kepentingannya dilanggar maka hukum memberikan
perlindungan atas kepentingan para pihak yang dilanggar janjinya tersebut.
Kepentingan yang di lindungi dalam hukum perjanjian adalah kepentingan
ekonomi. Tanggung jawab ini lahir dari adanya pelanggaran terhadap sebuah
perjanjian. Janji-janji dalam konsep hukum perikatan adalah prestasi. Rumusan
prestasi dalam hukum perikatan Indonesia dapat dilihat dalam ketentuan pasal
1234 KUHPerdata, yaitu berupa:
a. Memberikan sesuatu
b. Berbuat sesuatu
c. Tidak berbuat sesuatu
Ada banyak cara untuk meningkatkan volume penjualan dan pemasaran
antara lain: dengan penjualan cicilan, konsinyasi, agen maupun cabang.
Konsinyasi biasanya digunakan oleh perusahaan yang bergerak dibidang pakaian
12
rangka memperkenalkan produk baru. Barang yang dititipkan disebut barang
konsinyasi (consignment out) oleh consignor dan disebut barang
komisi(consignment-in) oleh consignee.Perjanjian Konsinyasi ini merupakan jenis
kontrak innominaat, Hukum Kontrak Innominat adalah keseluruhan kaidah
hukum yang mengkaji berbagai kontrak yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam
masyarakat dan kontrak ini belum dikenal pada saat KUH Perdata diundangkan.7
Konsinyasi sendiri mengandung pengertian suatu perjanjian dimana salah
satu pihak yang memiliki barang menyerahkan sejumlah barang kepada pihak
tertentu untuk dijualkan dengan harga dan syarat yang diaturdalam perjanjian.
Pihak yang menyerahkan barang (pemilik) disebut Konsinyor / consignor/
pengamanat. Pihak yang menerima barang Konsinyasi disebut Konsinyi /
Consigner / Komisioner. Bagi konsinyor barang yang dititipkan kepada konsinyi
untuk dijualkan disebut barang konsinyasi (konsinyasi keluar /consigment out)
Terdapat 4 hal yang merupakan ciri dari transaksi Konsinyasi yaitu :
1) Barang Konsinyasi harus dilaporkansebagai persediaan oleh Konsinyor,
karena hak untuk barang masih berada pada Konsinyor.
2) Pengiriman barang Konsinyasi tidak menimbulkan pendapatan bagi
Konsinyor dan sebaliknya.
3) Pihak Konsinyor bertanggungjawab terhadap semua biaya yang
berhubungan dengan barang Konsinyasi kecuali ditentukan lain.
4) Komisioner dalam batas kemampuannya berkewajiban untuk menjaga
keamanan dan keselamatan barang- barang komisi yang diterimanya.
13
Sedangkan alasan Komisioner menerima perjanjian Konsinyasi, antara lain:
1) Komisioner terhindar dari resiko kegagalan memasarkan barang tersebut.
2) Komisioner terhindar dari resiko rusaknya barang atau adanya fluktuasi
harga.
3) Kebutuhan akan modal kerja dapat dikurangi.
Dan alasan-alasan Konsinyor untuk mengadakan perjanjian Konsinyasi :
1) Konsinyasi merupakan cara untuk lebih memperluas pemasaran.
2) Resiko-resiko tertentu dapat dihindar kan misalnya komisioner bangkrut
maka barang konsinyasi tidak ikut disita.
3) Harga eceran barang tersebut lebih dapat dikontrol.8
Menurut Sulaiman S Manggala karakteristik dari penjualan konsinyasi sebagai
berikut :
1) Konsinyasi merupakan satu-satunya produsen atau distributor memperoleh
daerah pemasaran yang lebih luas.
2) Konsinyor dapat memperoleh spesialis penjualan.
3) Harga jual eceran barang konsinyasi dapat dikendalikan oleh pihak
konsinyor yang masih menjadi pemilik barang ini. 9
Pihak konsinyor menetapkan perjanjian mengenai penyerahan hak atas
barang dan juga hasil penjualan barang-barang konsinyasi. Konsinyi bertanggung
jawab terhadap barang-barang yang diserahkan kepadanya sampai barang-barang
8
www.google.com, doc/34305325/cessie-konsinyasi subrogasi. 27 September 2010.
9
14
tersebut terjual kepada pihak ketiga. Hak Konsinyi berhak memperoleh
penggantian biaya dan imbalan penjualan dan berhak menawarkan garansi atas
barang tersebut. Kewajiban Konsinyi harus melindungi barang konsinyasi, harus
menjual barang konsinyasi, harus memisahkan secara fisik barang konsinyasi
dengan barang dagangan lainnya, dan Mengirimkan laporan berkala mengenai
kemajuan penjualan barang konsinyasi.
Pada bab II buku III KUH Perdata berjudul Perikatan yang lahir dari
kontrak atau perjanjian. Penggunaan kata “atau” menunjukkan bahwa pengertian
antara perjanjian dan kontrak menurut buku III KUH Perdata adalah sama. Dalam
kehidupan sehari-hari kita menafsirkan pengertian Hukum Kontrak adalah
keseluruhan dari kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak
atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.10
Kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik, sesuai dengan asas
kepatutan, tidak melanggar prinsip kepentingan umum, dan juga harus sesuai
dengan kebiasaan.11Dalam hukum kontrak ada prinsip yang sangat mendasar yaitu
prinsip perlindungan kepada pihak yang dirugikan akibat adanya wanprestasi dari
pihak lainnya dalam kontrak yang bersangkutan dan juga ada prinsip
keseimbangan berupa perlindungan pihak yang melakukan wanprestasi.12
Dalam perikatan perjanjian konsinyasi antara supplier dan distributor
seringkali menimbulkan berbagai macam permasalahan di dalam pelaksanaannya,
seperti misalnya berkaitan dengan resiko. Resiko adalah kewajiban untuk
10
Salim H.S. 2003, Perkembangan Hukum Innominat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta., ( Selanjutnya di tulis Salim HS 3 ), h.4.
11
Munir Fuady, 1999, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, PT. Citra AdityaBakti,Bandung. h. 80.
15
memikul kerugian jika ada suatu kejadiandiluar kesalahan salah satu pihak yang
menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian.13 Kelalaian para pihak juga
sering muncul seiring berjalannya kerjasama para pihak dalam perjanjian
konsinyasi. Yang dimaksud lalai adalah apabila seseorang tidak memenuhi
kewajibannya atau terlambat memenuhinya atau memenuhinya tetapi tidak seperti
yang telah diperjanjikan.14
Sistem Penjualan konsinyasi adalah pengiriman atau penitipan barang dari
pemilik kepada pihak lain yang bertindak sebagai agen penjualan. Hak milik dari
pada barang, tetap masih berada pada pemilik barang sampai barang tersebut
terjual. Sistem penjualan konsinyasi ini dapat dipakai untuk penjualan semua jenis
produk.15
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Mengacu pada rumusan masalah, maka penelitian yang dilakukan adalah
metode penelitian hukum empiris, yaitu penelitian yang berfokus pada
perilaku masyarakat hukum (law in action), dan penelitian ini memerlukan
data primer sebagai data utama di samping data sekunder ( bahan hukum ).
1.8.2 Sifat Penelitian
Penelitian hukum empiris yang di pergunakan dalam penyusunan skripsi
tentang Penyelesaian Wanprestasi Dalam Perjanjian Konsinyasi di AJ
13
Subekti, 200, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT Intermasa,Jakarta. h. 144. 14
Ibid. h. 147.
15
16
SHOP Sanur” ini bersifat deskriptif. Penelitian hukum empiris yang
bersifat deskriptif ini menggambarkan gambaran secara sistematis, faktual
dan akurat, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serat hubungan antarfenomena
yang diselidiki. Ini bersifat yuridis yaitu pemecahan masalah dengan
menganalisa peraturan-peraturan dan teori teori yang ada, kemudian
dikaitkan dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi di masyarakat.
1.8.3 Data dan Sumber Data
Sumber data yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah diatas
adalah:
1. Data Kepustakaan dan Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan
yaitu data yang di peroleh secara tidak langsung dari sumber
pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah
terokumen dalam bentuk bahan-bahan hukum, terdiri dari :
a. Bahan HukumPrimer
Bahan hukum primer, yaitu suatu cara untuk memperoleh data
sekunder yang di dapat dengan menelaah bahan bacaan yang akan
di bahas.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum skunder yaitu bahan-bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum yang terdiri dari buku ketiga
KUHPerdata dan buku lainnya yang terkait yang membahas
17
2. Data Lapangan atau Data Primer
a. Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan
yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di
lapangan yaitu baik dari responden maupun informan.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian Penyelesain Wanprestasi dalam Perjanjian Konsinyasi di
Aj Shop Sanur menggunakan teknik pengumpulan data, yaitu:
1) Teknik Studi Dokumen
Teknik studi dokumen merupakan teknik atau cara pengumpulan
data yang dilakukan atas bahan-bahan hokum baik primer maupun
sekunder
2) Teknik Wawancara (interview)
Teknik wawancara adalah proses percakapan dengan maksud
mengkontraksi mengenai orang, kejadian, organisasi, motivasi,
perasaan, dan sebagainya yang dilakukan dua pihak yaitu
pewawancara yang mengajukan pertanyaan dengan orang yang
diwawancarai.
1.8.5 Teknik Pengolahan dan Analisa Data
Dalam penelitian ini data di olah dan dianalisa secara kualitatif yaitu suatu
pengumpulan data tanpa menggunakan angka-angka,grafik dan table. Dalam
penelitian dengan teknik deskriptif kualitatif maka keseluruhan data yang
18
dianalisis dengan cara menyusun data secara sistematis,digolongkan dalam
pola dan tema, dikatagorisasikan dan di klasifikasikan, dihubungkan antara
satu data dengan data lainnya, dilakukan interprestasi untuk memahami makna
data dalam situasi social, dan dilakukan penafsiran dari perspektif penelitian
setelah memahami keseluruhan kualitas data,16 proses analisis tersebut
dilakukan secara terus menerus sejak pencarian data di lapangan dan berlanjut
terus hingga pada tahap analisis. Setelah dilakukan analisis secara kualitatif
kemudian data akan disajikan secara deskritif kualitatif dan sistematis.
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DAN
PERJANJIAN KONSINYASI
2.1 Wanprestasi
2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Wanprestasi
Perkataan wanprestasi berasal dari Bahasa Belanda yang artinya prestasi buruk.
Wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi atau lalai melaksanakan
kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan
debitur.1
Pengertian mengenai wanprestasi belum mendapat keseragaman, masih terdapat
bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga tidak terdapat kata sepakat
untuk menentukan istilah mana yang hendak dipergunakan. Istilah mengenai wanprestasi ini
terdapat di berbagai istilah yaitu ingkar janji, cidera janji, melanggar janji, dan lain sebagainya.
Dengan adanya bermacam-macaam istilah mengenai wanprestsi ini, telah menimbulkan
kesimpang siuran dengan maksud aslinya yaitu “wanprestasi”. Ada beberapa sarjana yang tetap
menggunakan istilah “wanprestasi” dan memberi pendapat tentang pengertian mengenai
wanprestasi tersebut.
Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi
didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu
1
perjanjian. Barangkali dalam Bahasa Indonesia dapat dipakai istilah “pelaksanaan janji untuk
prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya janji untuk wanprestasi.”2
R. Subekti mengemukakan bahwa “wanprestasi” itu adalah kelalaian atau kealpaan yang
dapat berupa 4 macam yaitu:3
1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana
yangdiperjanjikan.
3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat.
4. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan.
Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa apabila debitur “karena kesalahannya”
tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka debitur itu wanprestasi atau cidera janji. Kata
karena salahnya sangat penting, oleh karena debitur tidak melaksanakan prestasi yang
diperjanjikan sama sekali bukan karena salahnya.4
Menurut J Satrio, wanprestasi adalah suatu keadaan di mana debitur tidak memenuhi
janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan
kepadanya.5
Yahya Harahap mendefinisikan wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak
tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurutselayaknya. Sehingga menimbulkan keharusan
bagi pihak debitur untuk memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau
2
Wirjono Prodjodikoro, 1999, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, h.17. 3
R.Subekti, 1970, Hukum Perjanjian, Cetakan Kedua,Pembimbing Masa, Jakarta, ( selanjutnya di tulis R. Subekti 1 ), h. 50.
4
R. Subekti, 1979, Hukum Perjanjian, Cetakan Keempat, Pembimbing Masa, Jakarta, ( selanjutnya di tulis R. Subekti 2 ), h. 59.
5
dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan
perjanjian.6
Hal ini mengakibatkan apabila salah satu pihak tidak memenuhi atau tidak melaksanakan
isi perjanjian yang telah mereka sepakati atau yang telah mereka buat maka yang telah
melanggar isi perjanjian tersebut telah melakukan perbuatan wanprestasi. Dari uraian tersebut di
atas dapat mengetahui maksud dari wanprestasi itu, yaitu pengertian yang mengatakan bahwa
seorang dikatakan melakukan wanprestasi bilamana “tidak memberikan prestasi sama sekali,
terlambat memberikan prestasi, melakukan prestasi tidak menurut ketentuan yang telah
ditetapkan dalam pejanjian”. Faktor waktu dalam suatu perjanjian adalah sangat penting, karena
dapat dikatakan bahwa pada umumnya dalam suatu perjanjian kedua belah pihak menginginkan
agar ketentuan perjanjian itu dapat terlaksana secepat mungkin, karena penentuan waktu
pelaksanaan perjanjian itu sangat penting untuk mengetahui tibanya waktu yang berkewajiban
untuk menepati janjinya atau melaksanakan suatu perjanjian yang telah disepakati.
Dengan demikian bahwa dalam setiap perjanjian prestasi merupakan suatu yang wajib
dipenuhi oleh debitur dalam setiap perjanjian. Prestasi merupakan isi dari suatu perjanjian,
apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian
maka dikatakan wanprestasi.
Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang melakukannya dan
membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang
melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar
tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.
Dasar hukum wanprestasi yaitu:
Pasal 1238 KUHPerdata: “Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta
sejenis itu,atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini
mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Pasal 1243 KUHPerdata: “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu
perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk
memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat
diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.
2.1.2 Bentuk – Bentuk Wanprestasi
Adapun bentuk – bentuk dari wanprestasi yaitu :7
a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur
tidak memenuhi prestasi sama sekali.
b. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap
memenuhi prestasi tetap tidak tepat waktunya.
c. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang memenuhi prestasi Tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak
dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:8
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.
7
J. Satrio,1999, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, ( Selanjutnya di tulis J. Satrio 2 ), h.84.
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya.
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang
- kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak
diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan.
Menurut Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu
telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang
harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila
sudah ada somasi (ingebrekestelling). Adapun bentuk – bentuk somasi menurut Pasal 1238
KUHPerdata adalah:
1. Surat perintah.
Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan
surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat
–lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploitjuru Sita”.
2. Akta.
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta Notaris.
3. Tersimpul dalam perikatan itu sendiri.
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya
Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan
kewajibannya dapat dilakukan Secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian
dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut kepengadilan maka sebaiknya diberikan
peringatan secara tertulis.
Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur
melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fataltermijn),
prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.
2.1.3 Pengaturan Wanprestasi Dalam KUHPerdata
Pasal 1235 KUHPerdata:
“dalam tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termasuk kewajiban si berhutang
untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak
keluarga yang baik, sampai pada saat penyerahan.”
Penyerahan menurut Pasal 1235 KUHPerdata dapat berupa penyerahan nyata maupun
penyerahan yuridis.
Dalam hal ini debitur tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya dan ada unsur
kelalaian dan salah, maka ada akibat hukum yang atas tuntutan dari kreditur bisa menimpa
debitur, sebagaimana diatur dalam Pasal 1236 KUHPerdata dan Pasal 1243 KUHPerdata, juga
diatur pada Pasal1237 KUHPerdata.
Pasal 1236 KUHPerdata:
“si berhutang adalah wajib untuk memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berhutang,
apabila ia telah membawa didinya dalam keadaan tidak mampu menyerahkan bendanya, atau
telah tidak merawat sepatutnya guna menyelamatkannya”.
“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai
diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap
melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau
dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.
Pasal 1236 KUHPerdata dan Pasal 1243 KUHPerdata berupa ganti rugi dalam arti:
1. Sebagai pengganti dari kewajiban prestasi perikatannya.
2. Sebagian dari kewajiban perikatan pokoknya atau disertai ganti rugi atas dasar cacat
tersembunyi.
3. Sebagai pengganti atas kerugian yang diderita kreditur.
4. Tuntutan keduanya sekaligus baik kewajiban prestasi pokok maupun ganti rugi
keterlambatannya.
Pasal 1237 KUHPerdata:
“dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu
semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang. maka sejak debitur lalai,
maka resiko atas obyek perikatan menjadi tanggungan debitur.”
Pada umumnya ganti rugi diperhitungkan dalam sejumlah uang tertentu. Dalam hal
menentukan total, maka kreditur dapat meminta agar pemeriksaan perhitungan ganti rugi
dilakukan dengan suatu prosedur tersendiri yang diusulkan.Kalau debitur tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana mestinya, maka debitur dapat dipersalahkan, maka kreditur berhak untuk
menuntut ganti rugi.
2.2Perjanjian Konsinyasi
Dalam ilmu hukum yang kita pelajari menjelaskan bahwa suatu perjanjian dan perikatan
itu merujuk pada dua hal yang berbeda, perikatan ialah suatu hal yang lebih bersifat abstrak,
yang mana lebih menunjuk dalam hubungan hukum pada suatu harta kekayaan antara dua orang
ataupun dua pihak atau lebih. Perikatan lebih luas dari perjanjian, yang mana tiap-tiap perjanjian
adalah perikatan, tetapi perikatan belum tentu seuatu perjanjian. Dengan demikian berarti suatu
perjanjian ini juga akan melahirkan suatu hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta
kekayaan bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut.9
Pada umumnya didalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat, suatu perikatan itu
lahir dari suatu bentuk perjanjian yang di buat antara mereka yang saling mengikatkan diri dalam
perjanjian tersebut, dan tak dapat dipungkiri pula bahwa suatu perjanjian memiliki peran penting
dalam berkegiatan didalammasyarakat baik dibidang ekonomi, sosial maupun politik sekalipun.
Eksistensi sebuah perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat ditemukan landasannya
pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat dengan KUH
Perdata) yang menjelaskan bahwa: “ Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena
undang-undang”. Selain ketentuan diatas, juga terdapat Pasal lain yang menjelaskan terkait hal
diatas seperti pada Pasal 1313 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa: “Suatu persetujuan adalah
suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau
lebih”. Kemudian terdapat pula pengertian perjanjian menurut para sarjana, menurut Subekti,
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.10 Selain dari pengertian dari Subekti tadi,
terdapat pengertian dari seorang R.Setiawan yang menyatakan bahwa Persetujuan adalah suatu
9
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004, Perikatan yang lahir Dari Perjanjian, Ed. I, Cet.II, PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta, h.2.
10
perbuatan, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya
menyebutkan persetujuan sepihak saja, dan sangat luas karena dengan dipergunakan perkataan
perbuatan tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum.11
Melalui beberapa pengertian terkait perjanjian tadi maka jelaslah bahwa memang suatu
perikatan lahir dari sebuah perjanjian atau persetujuan. Namun daripengertian perjanjian dalam
Pasal 1313 KUH Perdata diatas masih terdapat ketidakjelasan didalamnya, hal ini disebabkan
dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum
pun disebut dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu maka harus dicari dalam
doktrin. Menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah perbuatan hukum
berdasarkan kata sepakat untu menimbulkan akibat hukum. Definisi ini, telah tampak adanya
asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban).
Menurut Teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan
perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat
untuk menimbulkan akibat hukum. Dalam teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian
semata-mata, tetapi juga harus melihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. 12 Ada
tiga tahap dalam membuat perjanjian, menurut teori baru, yaitu :
a. Tahap Pra-Contractual, yaitu tahap terjadinya penawaran dan penerimaan.
b. Tahap Contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak,
c. Tahap Post-Contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.
11
R.Setiawan, 1977, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, h.49. 12
Kemudian muncul kembali pendapat dari para sarjana terkait pengertian perjanjian yaitu menurut
Charless L.Knapp dan Nathan M. Crystal mengatakan yaitu,
“contract is an agreement between two or more persons- not merely a shared belief, but common understanding as to something that is to be done in the future by one or both of them” (Charless L. Knapp dan Nathan M. Crystal, 1993: 2).
Artinya, kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, tidak hanya memberikan
kepercayaan tetapi secara bersama-sama saling pengertian untuk melakukan sesuatu pada masa
mendatang oleh seseorang atau keduanya dari mereka.13
Sesungguhnya banyak sekali pendapat dan sumber yang memberi pengertian tentang
perjanjian itu sendiri, seperti dalam Black’s Law Dictionary, yang diartikan dengan “contract is
an agreement between two or more person which creates an obligation to do or not to do
particular thing.” Artinya kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, yang
mana kontrak itu menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu secara sebagian (Black’s Law Dictionary, 1979: 291).
Melalui beberapa penjelasan diatas menjelaskan beberapa pengertian tentang perjanjian
serta terkait perjanjian yang merupakan salah satu sumber dari perikatan menegaskan kembali
bahwa perjanjian melahirkan sebuah perikatan, sehingga menciptakan kewajiban pada salah satu
atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut. Kewajiban yang dibebankan pada debitor dalam
perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditor dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan
prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut.14
Jika ditelaah secara baik-baik pada Pasal 1313 KUH Perdata menjelaskan bahwa suatu
perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya pada orang lain, hal ini berarti dari
13
Ibid.
14
sebuah perjanjian dapat menimbulkan suatu kewajiban atas suatu prestasi dari satu atau lebih
pihak kepada salah satu atau lebih pihak lainnya yang memiliki hak atas prestasi tersebut.
Dengan demikian dimungkinkan suatu perjanjian melahirkan lebih dari satu perikatan,
dengan kewajiban berprestasi yang saling bertimbal balik. Debitor disatu sisi menjadi kreditor
pada sisi yang lain juga pada saat yang bersamaan, dan ini merupakan suatu karakteristik khusus
dari perikatan yang lahir dari suatu perjanjian.
Dalam membuat ataupun melaksanakan suatu perjanjian tidak dapat dilakukan dengan
sembarangan, namun dalam membuat dan melaksanakan suatu perjanjian patutnya kita
mengetahui asas-asas yang terdapat dalam suatu perjanjian, adapun asas-asas umum hukum
dalam perjanjian tersebut antara lain:
a. Asas Kebebasan Berkontrak, asas ini memiliki landasan hukumnya pada Pasal 1338 ayat
1 KUH Perdata yang menyatakan “semua persetujuan yang dibuat secara sah, berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” yang juga menjelaskan bahwa
setiap orang bebas membuat perjanjian yang isisnya apa saja yang ia kehendaki.
b. Asas Konsensualitas, asas ini memiliki landasan hukumnya pada Pasal 1320 angka 1
yang dalam bunyi Pasalnya menyatakan salah satu sahnya suatu perjanjian jika adanya
kesepakatan antara mereka yang mengikatkan diri, hal ini dapat di artikan bahwa kata
sepakat berarti telah terjadi konsensus secara tulus tidak ada kekilapan, paksaan atau
penipuan (Pasal 1321 KUH Perdata).
c. Asas Kepercayaan, ketika seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain,
menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak itu bahwa satu sama lain akan
memenuhi prestasinya dikemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan, maka perjanjian
mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat
sebagai undang-undang.15
d. Asas Kedudukan yang Sama atau Seimbang, asas ini dapat dikatakan memiliki dasar
hukumnya pada Pasal 1320 ayat 2 KUH Perdata yaitu “Kecakapan untuk membuat
perjanjian”. Hal ini dijabarkan kembali dalam Pasal 1330 KUH Perdata yaitu tentang
cakap dalam membuatsuatu perjanjian oleh orang yang sudah dewasa menurut Pasal
1330 KUH Perdata dan tidak berada dibawah pengampuan seperti pada Pasal 1433 KUH
Perdata. Karena apabila seseorang yang normal membuat perjanjian dengan orang yang
tidak normal dalam hal fisik maupun psikologis, berarti terjadi akan ketidakseimbangan
dimana kondisi orang yang secara fisik dan psikologis kuat berhadapan dengan orang
yang secara fisik dan psikologis lemah, jadi suatu perjanjian dapat dibuat apabila terdapat
suatu kedudukan yang seimbang diantara mereka yang akan mengikatkan diri dalam
perjnjian tersebut.
e. Asas Itikad Baik, asas ini dapat dilihat dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang
berbunyi : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itikad baik ini
menyatakan bahwa sesungguhnya para pihak antara pihak kreditur dan pihak debitur
haruslah melaksanakan suatu perjanjian dengan dilandasi itikad baik didalamnya.
f. Asas Kepastian Hukum, bahwa pada Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan dalam suatu
perjanjian sebagai produk hukum haruslah memiliki suatu kepastian hukum, yang mana
kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya bahwa suatu perjanjian yaitu memiliki
kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
15
g. Asas perjanjian mengikat para pihak, asas ini memiliki landasan hukum pada Pasal 1338
KUH Perdata yang menjelaskan bahwa perjanjian berlaku (mengikat) sebagai
undang-undang, dan pada Pasal 1339 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa perjanjian mengikat
juga untuk segala sesuatu karena sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan dan
kebiasaan. Secara umumnya suatu perjanjian akan bersifat mengikat para pihak yang ikut
dalam perjanjian tersebut untuk saling melaksanakan kewajibannya masing-masing
sesuai yang disepakati dalam perjanjian tersebut.16
Pada dasarnya asas-asas umum dalam hukum perjanjian tersebut udah sepatutnya digunakan
dalam membuat dan melaksanakan suatu perjanjian.
Selain dalam membuat dan melaksanakan suatu perjanjian dengan melihat beberapa
asas-asas umum dalam hukum perjanjian, juga suatu hal yang wajib di penuhi dalam melaksanakan
suatu perjanjian yaitu memperhatikan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian.
Dalam ilmu hukum kontrak (Law Of Contract) di Amerika ditentukan adanya empat
syarat sahnya perjanjian, yaitu : (a).Adanya penawaran (offer) serta penerimaan (acceptance),
(b). Adanya penyesuaian kehendak (meeting of minds), (c). Adanya prestasi (konsiderasi), dan
(d). Adanya kewenangan hukum para pihak (competent legal parties) dan pokok persoalan yang
sah (legal subjectmatter). 17Sedangkan dalam hukum eropa kontinental seperti kita, syarat
sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menjelaskan terkait empat
syarat sahnya suatu perjanjian antara lain :
16
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum
Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, h.49.
17
a. Adanya kesepakatan antara mereka yang mengikatkan dirinya, maksud dari kesepakatan
itu adalah terjadinya suatu persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih
dengan pihak lainnya.
b. Adanya kecakapan untuk membuat perikatan, maksud dari kecakapan disini adalah
kecakapan dalam bertindak yaitu kecakapan atau kemampuan untuk melakukan suatu
perbuatan hukum, perbuatan hukum itu sendiri adalah suatu perbuatan yang akan
menimbulkan akibat hukum. Jadi orang yang akan mengadakan suatu perjanjian adalah
harus orang yang sudah cakap dan wenang untuk melakukan perbuatan hukum
sebagaimana ditegaskan dan ditentukan pada KUH Perdata, disana dijelaskan bahwa
orang cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Untuk
ukuran kedewasaan seseorang itu sendiri juga dijelaskan yaitu berusia 21 tahun dan atau
sudah kawin (dijelaskan dalam Pasal 1330 KUH Perdata). Sedangkan orang yang tidak
berwenang melakukan perbuatan hukum yaitu : (1). Anak dibawah umur, (2). Orang yang
masih dibawah pengampuan, (3). Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang
ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang - undang
dilarang untuk membuat persetujuan tertentu (dijelaskan dalam Pasal 1330ca KUH
Perdata).
c. Adanya suatu persoalan atau obyek tertentu, maksudnya adalah dalam membuat dan
melaksanakan suatu perjanjian haruslah ditentukan suatu obyek atau persoalan yang jelas
yang akan diperjanjiakan di dalam perjanjian itu nantinya, obyek ataupun persoalan
tersebut biasanya berupa prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur
dan apa yang menjadi hak kreditur.18
18
d. Adanya suatu sebab yang tidak terlarang atau sebab yang halal, memang tidaklah terdapat
penjelasan terkait suatu sebab yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Namun Hoge
Raad pada tahun 1927 memberi pengertian suatu sebab yang halal (orzaak) sebagai suatu
yang menjadi tujuan para pihak. Kemudian pengertian lebih lanjut terkait suatu sebab
yang halal dijelaskan pada Pasal 1335 hingga 1337 KUH Perdata, yang mana Pasal 1335
menjelaskan bahwa : “Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu
sebab yang palsu atau terlarang tidaklah mempunyai kekuatan hukum.”19
Untuk sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi keempat syarat tersebut. Jika salah satu
syarat atau beberapa syarat bahkan semua syarat tidak dipenuhi, maka perjanjian itu tidak sah.
Jadi, syarat sahnya suatu perjanjian berlaku secara komulatif, dan bukan limitatif.20 Sedangkan
dalam Pasal 1337 KUH Perdata pun disebutkan hal yang dilarang, Maksudnya suatu sebab yang
terlarang apabila bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Suatu perjanjian didalamnya terdiri atas subyek dan obyek perjanjian. Dalam hal ini akan
lebih membahas terkait subyek dari perjanjian itu sendiri, pada dasarnya subyek dari perjanjian
itu ialah seseorang atau pihak yang melaksanakan perjanjian tersebut. Yang mana didalam suatu
perjanjian pasti terjadi suatu hubungan hukum diantara para pihak dalam perjanjian tersebut
yaitu ada yang sebagai kreditur dan ada yang sebagai debitur. Seorang kreditur ialah seseorang
atau pihak yang berhak atas sesuatu (prestasi), sedangkan debitur ialah seseorang atau pihak
yang berkewajiban untuk memenuhi sesuatu (prestasi) yang diperjanjikan dalam perjanjian
tersebut. Suatu perjanjian tidak dapat dilakukandengan hanya satu subyek, melainkan perjanjian
19
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, h.161
20
dapat dilakukan dengan adanya dua subyek atau lebih, karena jika hanya suatu pernyataan
sepihak saja tidak akan bisa menimbulkan suatu perjanjian.
Sesuai dengan yang telah dibahas sebelumnya bahwa dalam perjanjian terdapat subyek
dan obyek perjanjian, kini akan dibahas lebih dalam terkait obyek perjanjian itu sendiri, bahwa
sesungguhnya jika subyek dalam perjanjian itu ialah orang atau pihak yang melaksnakan
perjanjian, maka obyek dari perjanjian itu sendiri ialah hal yang diperjanjikan didalam suatu
perjanjian atau yang biasa dikenal dengan istilah prestasi. Yang mana dalam hal ini seorang
debiturberkewajiban memenuhi suatu prestasi dan seorang kreditur berhak atas prestasi tersebut.
Suatu prestasi dalam suatu perjanjian adalah dapat berupa barang dan jasa, maksud dari
jasa sebagai obyek perjanjian adalah dengan orang dapat menjual jasa mereka sebagai sesuatu
yang di perdagangkan, bukan hanya itu namun suatu sikap atau tindakan juga dapat dijadikan
sebagai obyek perjanjian. Namun dalam KUH Perdata hanya menyebutkan bahwa sikap pasif
dapat menjadi obyek perjanjian, yang prestasinya dapat berbentuk untuk tidak berbuat sesuatu,
begitu juga kebalikan dari sikap pasif yaitu aktif sama halnya dapat menjadi obyek perjanjian.21
Menurut salah seorang sarjana, Patrik Purwahid, untuk suatu sahnya perjanjian
diperlukannya syarat-syarat tertentu terkait obyek perjanjian itu antara lain:
a. Obyeknya haruslah tertentu atau ditentukan, adalah dalam Pasal 1320 sub 3 dijelaskan
bahwa obyeknya tertentu sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian.
b. Obyeknya haruslah memungkinkan untuk dilaksanakan atau dipenuhi, suatu obyek yang
diperjanjikan haruslah suatu hal yang memungkinkan untuk dilaksanakan atau dipenuhi,
karena jika suatu obyek perjanjian itu ialah suatu hal yang tidak mungkin atau mustahil
21