///////
Disusun guna Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Hubungan Industrial Dosen Pengampu : Iranita Hervi Mahardayani, M. Psi
Disusun oleh Kelompok :
1. Yassirli Rizki (202060059) 2. Risa Amilia Rosyidah (202060099)
Kelas : 6B
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MURIA KUDUS
2023
Dalam Undang–Undang Dasar 1945 dan termaktup di dalam pada Pasal 28 D ayat (2) ditegaskan, bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hubungan kerja dimaksud, lebih dikenal dengan Hubungan kerja yang secara dogmatig dan normatif diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut Bambar (2022) dalam setiap hubungan kerja pun akan memasuki suatu tahap dimana hubungan kerja akan berakhir atau diakhiri oleh salah satu pihak. Berdasarkan hal tersebut di atas sering terjadi perselisihan antara pengusaha dengan pekerja, perselisihan tersebut merupakan suatu hal yang lumrah karena telah menjadi kodrat manusia (Bambar, 2022). Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Pasal 1 Angka 25 menjelaskan bahwa defenisi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara buruh dan pekerja. Perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena pekerja melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, akan tetapi sebelum melakukan PHK, perusahaan wajib memberikan surat peringatan sebanyak 3 kali berturut-turut. Perusahaan juga dapat menentukan sangsi yang layak tergantung jenis pelanggaran. Untuk pelanggaran tertentu, perusahaan bisa mengeluarkan SP 3 secara langsung atau langsung memecat pekerja yang bersangkutan.
Bagi pekerja yang di PHK, alasan PHK berperan besar dalam menentukan apakah pekerja tersebut berhak atau tidak berhak atas uang pesangon, uang penghargaan dan uang penggantian hak (Fathammubina & Apriani, 2018).
Menurut Bambar (2022) pemutusan Hubungan Kerja yang terjadi karena berakhirnya waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja tidak menimbulkan permasalahan karena pihak-pihak yang bersangkutan sama-sama telah menyadari saat berakhirnya hubungan kerja tersebut sehingga masing-masing telah berupaya mempersiapkan diri dalam menghadapi kenyataan ini, tetapi Pemutusan Hubungan Kerja yang terjadi karena kebijakan yang diambil oleh pengusaha ataupun karena adanya perselisahan akan membawa dampak terhadap kedua belah pihak terutama dari pekerja yang pasti menimbulkan reaksi yang tidak dapat menerima alasan-alasan dari pemutusan hubungan kerja tersebut, pemutusan Hubungan Kerja merupakan suatu hal yang tidak diinginkan oleh kedua belah pihak terutama pekerja yang berada pada posisi yang lemah dibandingkan pengusaha.
Bagi para buruh, PHK ini memiliki arti bahwa hal tersebut menjadi permulaan masa pengangguran yang disertai segala akibat yang ditimbulkan dan harus ditanggung sendiri oleh mereka, hal ini juga menimbulkan perselisihan antara buruh dan pengusaha karena seringkali keputusan PHK tersebut sewenang – wenang serta adanya tekanan dari pengusaha terhadap hak yang seharus mereka peroleh saat mengalami PHK sehingga benar – benar merugikan para buruh (Aponno & Arifiani, 2021).