HUBUNGAN JUMLAH TROMBOSIT DENGAN KADAR Hs-C-REACTIVE PROTEIN (CRP) PADA PASIEN
DEMAM BERDARAH DENGUE DI RUMAH SAKIT ABDUL MANAP KOTA JAMBI
KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan untuk memenuhi persyaratan melakukan penelitian
Disusun Oleh : M. GALANG ARDANNI
NIM : PO71340220097
PRODI DIPLOMA TIGA TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS POLITEKNIK KESEHATAN JAMBI
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
TAHUN 2024
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
DBD adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Hal tersebut dapat menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan darah. Sehingga dapat mengakibatkan perdarahan yang cenderung mengakibatkan syok yang dapat menyebabkan kematian (Indasah, 2020).
Jumlah kasus demam berdarah yang dilaporkan ke WHO meningkat lebih dari 8 kali lipat selama dua dekade terakhir, dari 505.430 kasus pada tahun 2000, menjadi lebih dari 2,4 juta pada tahun 2010, dan 5,2 juta pada tahun 2019.
Kematian yang dilaporkan antara tahun 2000 dan 2015 meningkat dari 960 menjadi 4032, mempengaruhi sebagian besar kelompok usia yang lebih muda (World Health Organization, 2022).
Menurut Data Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO) Jumlah kasus DBD di dunia, dari tahun 2015 hingga tahun 2019 mengalami peningkatan. Kasus demam di wilayah Asia Tenggara meningkat sebesar 46% (dari 451.442 menjadi 658.301) (WHO, 2022). Angka rata – rata kesakitan DBD di Indonesia, dilaporkan terdapat sebanyak 95.893. Dengan jumlah kematian akibat DBD sebanyak 661 jiwa.
Distribusi usia penderita terbanyak ; <1 tahun sebanyak 3,13%, 1-4 tahun 14,88%, 5- 14 tahun 33,97%, 15-44 tahun 37,45%, >44 tahun 11,57% (KemenkesRI, 2020).
Data Dinas Kesehatan Provinsi Jambi pada tahun 2022 terdapat 1.381 kasus DBD dengan jumlah kematian sebanyak 9 kasus. Menurut Data Dinkes Kota Jambi jumlah penderita DBD di Kota Jambi mengalami peningkatan dari tahun 2022 sebanyak 298 kasus dan mengalami meningkatan pada tahun 2023 menjadi 312 kasus dengan
jumlah kematian 7 kasus. (Dinas Kesehatan Kota Jambi, 2023).
Pemeriksaan CRP juga dapat digunakan untuk menentukan peradangan yang ditimbulkan karena adanya infeksi virus seperti Demam Berdarah Dengue (DBD). Hal ini dapat membantu dalam menentukan perkembangan penyakit serta melihat efektivitas pengobatan maupun terapi yang telah diberikan oleh klinisi (Iskandar et al. 2021). Kadar CRP dapat dipengaruhi oleh tingkat keparahan penyakit, kadar CRP akan meningkat dalam waktu yang relatif singkat setelah terjadi reaksi peradangan akut atau kerusakan dan menurun dengan cepat ketika rangsangan sudah hilang, namun akan terus meningkat jika rangsangan terus berlanjut (Salsabila et al., 2023)
Trombosit merupakan sel darah yang berfungsi dalam hemostasis. Sel ini tidak memiliki nucleus dan dihasilkan oleh megakariosit dalam sumsum tulang. Pada pasien DBD terjadi trombositopenia akibat munculnya antibodi terhadap trombosit karena kompleks antigen - antibodi yang terbentuk, Berdasarkan hasil penelitian, secara keseluruhan jumlah trombosit di bawah normal (trombositopenia) sebanyak 100%.
Jumlah trombosit <100.000 sel/mmadalah sebesar 86,6%. Jumlah trombosit terendah saat masukrumah sakit adalah 10.000 sel/mm3 dan tertinggi sebesar 149.000 sel/mm3. Rata-rata jumlah trombosit saat masuk rumah sakitpada penelitian ini adalah 49.627 sel/mm (Rasyada et al., 2014).
Menentukan kadar protein c-reaktif dengan jumlah trombosit pada pasien demam berdarah dengue. Desain penelitian observasional dengan desain penelitian cross sectional. Penelitian ini dilakukan di RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi dengan populasi semua pasien demam berdarah dan sampel 30 orang. Pemeriksaan jumlah trombosit menggunakan analisis hematologi dengan metode impedansi listrik dan CRP menggunakan metode aglutinasi. Hasil penelitian kadar CRP rata-rata dalam serum 42,80 ± 36,03 SD mg/L, dan jumlah trombosit 62.100 ± 34.176 SD sel / uL, hasil
uji korelasi spearman diperoleh p = 0,042< 0,05. Ada hubungan yang signifikan antara kadar protein c-reaktif dan jumlah trombosit pada pasien dengan demam berdarah dengue (Renowati & Sefridana, 2020).
Berdasarkan latar belakang diatas yang telah teruraikan maka penulis pertarik melakukan penelitian mengenai “ Hubungan Kadar C- Reactive Protein (CRP) Dengan Trombosit Pada Pasien Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Rumah Sakit Abdul Manap Kota Jambi ”
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana Hubungan Kadar C- Reactive Protein (Crp) Dengan Trombosit Pada Pasien Demam Berdarah Dengue (Dbd) Di Rumah Sakit H. Abdul Manap Kota Jambi.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui Hubungan Kadar C- Reactive Protein (CRP) Dengan Trombosit Pada Pasien Demam Berdarah Dengue (Dbd) Di Rumah Sakit H. Abdul Manap Kota Jambi.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk Mengetahui Rata Rata kadar C-Reactive protein (CRP) pada pasien demam berdarah dengue (DBD) di RSUD H. Abdul Manap Kota Jambi.
2. Untuk mengetahui rata rata Trombosit pada pasien demam berdarah dengue (DBD) di RSUD H. Abdul Manap Kota Jambi.
3. Untuk mengetahui hubungan kadar C-Reactive protein (CRP) dan Trombosit pada penderita demam berdarah dengue di RSUD H. Abdul Manap Kota Jambi.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang hubungan kadar c-reactive protein (CRP) dan Trombosit pada penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) dan dapat menambah ilmu-ilmu di bidang mata kuliah yang terakait yang diperoleh selama menempuh pendidikan di Jurusan Teknologi Laboratorium Medis Jambi.
1.4.2 Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat mengenai penularan demam berdarah dengue (DBD) dan cara pencegahan demam berdarah dengue (DBD) agar masyarakat tidak terinfeksi Demam Berdarah Dengue (DBD).
1.4.3 Bagi Institusi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengem- bangan ilmu pengetahuan, sebagai salah satu bahan kepustakaan serta dapat dijadikan dasar penelitian lebih lanjut tentang gambaran pada penderita Demam Berdarah Dengue (DBD).
1.5 Batasan Masalah
Penelitian ini akan berfokus pada suatu analisis hubungan antara nilai Trombosit dan kadar C-Reactive Protein (CRP) pada pasien Demam Berdarah Dengue Specimen yang akan di periksa adalah specimen dari pasien Demam Berdarah Dengue . Rawat inap di Rumah Sakit H. Abdul Manap Kota Jambi.
2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.1.1 Pengertian
Aedes aegypti merupakan nyamuk yang dapat berperan sebagai vektor berbagai macam penyakit diantaranya Demam Berdarah Dengue (DBD). Walaupun beberapa spesies dari Aedes sp. dapat pula berperan sebagai vektor tetapi Aedes aegypti tetap merupakan vektor utama dalam penyebaran penyakit demam berdarah dengue (Palgunadi, 2014).
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan demam mendadak 2 sampai 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati disertai tanda perdarahan dikulit berupa bintik perdarahan, lebam/ruam. Kadang-kadang mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran menurun atau shock (Depkes RI, 2014).
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atau permukaan air laut (Kristina, 2013).
5
2.1.2 Etologi
Penyakit ini tandai dengan munculnya demam secara tiba-tiba, disertai sakit kepala berat, sakit pada sendi dan otot (myalgias dan arthralgias) serta ruam. Ruam demam berdarah dengue mempunyai ciri-ciri merah terang, pertikal dan biasanya muncul dulu pada bagian bawah badan, menyebar hingga menyelimuti hampir seluruh tubuh.
Selain itu, radang perut juga bisa muncul dengan kombinasi sakit perut, rasa mual, muntah-muntah atau diare (Wikipedia, 2014).
2.1.3 Diagnosa
Diagnosa penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dapat dilihat berdasarkan kriteria diagnosa klinis dan laboratorium. Berikut ini tanda dan gejala penyakit DBD yang dapat dilihat dari penderita kasus DBD dengan diagnosa klinis dan laboratorium.
a. Diagnosa Klinis
1) Demam tinggi mendadak 2 sampai 7 hari (38 - 40 °C).
2) Manifestasi pendarahan dengan bentuk: uji Tourniquet positif, Petekie (bintik merah pada kulit), Purpura (pendarahan kecil di dalam kulit), Ekimosis, Pendarahan konjungtiva (pendarahan pada mata), Epistaksis (pendarahan hidung), Pendarahan gusi, Hematemesis (muntah darah), Melena (buang air besar darah) dan Hematuri (adanya darah dalam urin).
3) Pendarahan pada hidung dan gusi.
4) Rasa sakit pada otot dan persendian, timbul bintik-bintik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah.
5) Pembesaran hati (hepatomegali).
6) Renjatan (syok), tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang,
tekanan sistolik sampai 80 mmHg atau lebih rendah.
7) Gejala klinik lainnya yang sering menyertai yaitu anoreksia (hilangnya selera makan), lemah, mual, muntah, sakit perut, diare dan sakit kepala.
b. Diagnosa Laboratorium
1. Trombositopeni pada hari ke-3 sampai ke-7 ditemukan panorama trombosit hingga 100.000 /mmHg.
2. Hemokonsentrasi, meningkatnya hematrokit sebanyak 20% atau lebih.
(Kementerian Kesehatan RI, 2019.
2.1.4 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kejadian Demam Berdarah Dengue Berdasarkan model segi tiga epidemiologi (triangle epidemiology). Ada tiga faktor berperan dalam timbulnya suatu penyakit yaitu penjamu, agen penyakit dan lingkungan (host, agent, environment).
1. Agen (Penyebab)
Penyebab penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) ada 4 tipe (Tipe 1, 2, 3, dan 4), termasuk dalam group B Antropod Borne Virus (Arbovirus). Dengue tipe 3 merupakan serotipe virus yang dominan yang menyebabkan kasus yang berat. Penularan penyakit demam berdarah dengue umumnya ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti meskipun dapat juga ditularkan oleh Aedes Albopictus yang hidup dikebun. Selain itu, spesies Aedes polynesiensis dan beberapa spesies dari kompleks Aedes scutellaris juga dapat berperan sebagai vektor yang mentransmisikan virus dengue (Djunaedi, 2015).
2. Host (Penjamu)
a. Umur
Menurut Djunaedi (2014), selama tahun 1986-1973 sebesar kurang dari 95%
kasus DBD adalah anak dibawah umur 15 tahun. Selama tahun 1993-1998 meskipun sebagian besar kasus DBD adalah anak berumur 5-14 tahun, namun nampak adanya kecenderungan peningkatan kasus berumur lebih dari 15 tahun.
Dengan kata lain, DBD banyak dijumpai pada anak berumur 2-15 tahun. Demam Berdarah Dengue lebih banyak menyerang anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi penderita penyakit DBD pada orang dewasa.
b. Jenis Kelamin
Sejauh ini tidak ditemukan perbedaan kerentanan terhadap serangan DBD dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin (gender). Di Philiphines dilaporkan bahwa rasio antara jenis kelamin adalah 1:1. Demikin pula diThailand dilaporkan tidak ditemukan perbedaan kerentanan terhadap serangan DBD antara anak laki- laki dan perempuan (Djunaedi, 2014).
c. Faktor internal manusia (Perilaku manusia)
Perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktifitas yang timbul karena adaya stimulus dan respon serta dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung Notoatmodjo (2013). Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku manusia merupakan salah satu faktor yang banyak memegang peranan dalam menentukan derajat kesehatan suatu masyarakat (Noor, 2013).
3. Environment (lingkungan)
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host (pejamu) baik benda mati, benda hidup, nyata dan abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain. Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor penting yang berkaitan dengan terjadinya infeksi dengue. Lingkungan pemukiman sangat besar peranannya dalam penyebaran penyakit menular. Kondisi perumahan yang tidak memenuhi syarat rumah sehat apabila dilihat dari kondisi kesehatan lingkungan akan berdampak pada masyarakat itu sendiri. Dampaknya dilihat dari terjadinya suatu penyakit yang berbasis lingkungan yang dapat menular. Faktor lingkungan (enviroment)/habitat vektor yang sesuai, Habitat vektor mempelajari hubungan antara vektor dan lingkungannya atau mempelajari bagaimana pengaruh lingkungan terhadap vektor.
Derajat kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah lingkungan.
Lingkungan adalah himpunan dari semua kondisi luar yang berpengaruh pada kehidupan dan perkembangan pada suatu organisme, perilaku manusia, dan kelompok masyarakat. Lingkungan memegang peranan yang sangat penting dalam menyebabkan penyakit-penyakit menular. Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus demam berdarah dengue. Secara umum lingkungan dibedakan menjadi 3, yaitu: lingkungan fisik, lingkungan biologi, dan lingkungan sosial (Budioro,2014).
a. Lingkungan Biologi
Lingkungan biologi yaitu terdiri dari makhluk hidup yang bergerak, baik yang dapat dilihat maupun tidak (manusia, hewan, kehidupan akuatik, amuba, virus, plangton). Makhluk hidup tidak bergerak (tumbuhan, karang laut, bakteri, dll). Faktor lingkungan biologis yang berpengaruh terhadap kejadian DBD antara lain, (Keberadaan jentik, kontainer, tanaman hias atau tumbuhan, indeks jentik (host indeks, container indeks, breatu indeks). Lingkungan biologi dapat berpengaruh
terhadap kehidupan nyamuk yaitu banyaknya tanaman hias dan tanaman pekarangan dapat mempengaruhi kelembaban dan pencahayaan di dalam rumah dan halamannya.
Adanya kelembaban yang tinggi dan kurangnya pencahayaan di dalam rumah merupakan tempat yang disenangi nyamuk untuk beristirahat (Cahyati, 2013).
b. Lingkungan sosial/ekonomi
Lingkungan sosial yaitu bentuk lain selain fisik dan biologis. Faktor lingkungan sosial yang berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah kepadatan penduduk dan mobilitas. Kepadatan penduduk yang tinggi akan mempermudah terjadinya infeksi virus dengue, karena daerah yang berpenduduk padat akan meningkatkan jumlah insiden kasus DBD tersebut (Sutaryo, 2014). Pendapatan keluarga, aktivitas sosial, kepadatan hunian, bencana alam, kemiskinan dan kondisi rumah adalah faktor-faktor yang ikut berperan di dalam penularan DBD, Semakin baik tingkat pendapatan keluarga, semakin mampu keluarga itu untuk memenuhi kebutuhannya termasuk dalam hal pencegahan suatu penyakit. semakin sering seseorang beraktivitas secara masal di dalam ruangan (arisan,sekolah) pada waktu puncak aktivitas nyamuk Aedes aegypti menggigit, semakin besar resiko orang tersebut untuk tertular dan menderita penyakit DBD. Hunian yang padat akan memudahkan penularan DBD dari satu orang ke orang lainya. Bencana alam, akan menyebabkan hygiene dan sanitasi yang buruk dan memperbanyak tempat yang dapat menampung air yang dapat digunakan oleh nyamuk sebagai tempat bersarang. Kondisi rumah yang lembab, dengan pencahayaan yang kurang di tambah dengan saluran air yang tidak lancar mengalir, disenangi oleh nyamuk penular DBD, sehingga resiko menderita DBD pun semakin besar.
c. Lingkungan fisik
Lingkungan fisik yaitu keadan fisik sekitar manusia yang berpengaruh terhadap manusia baik secara langsung, maupun terhadap lingkungan biologis dan lingkungan sosial manusia (Noor, 2013). Di daerah pantai kelembaban udara mempengaruhi
umur nyamuk, sedangkan di dataran tinggi suhu udara mempengaruhi pertumbuhan virus di tubuh, hari hujan akan mempengaruhi kelembaban udara di daerah pantai dan suhu udara di daerah pegunungan. Kelembaban udara mempengaruhi umur nyamuk, Suhu udara mempengaruhi perkembangan virus dalam tubuh nyamuk.
2.1.5 Faktor Lingkungan Fisik Rumah Yang Mempengaruhi Dengan Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue
Lingkungan fisik yaitu keadan fisik sekitar manusia yang berpengaruh terhadap manusia baik secara langsung, maupun terhadap lingkungan biologis dan lingkungan sosial manusia (Noor, 2014). Faktor lingkungan fisik rumah yang berpengaruh terhadap kejadian DBD antara lain: Ventilasi rumah, kelembaban rumah, dan suhu rumah.
1. Ventilasi rumah
Ventilasi adalah pertukaran udara yang cukup menyebabkan hawa ruangan tetap segar (cukup mengandung oksigen), secara umum penilaian ventilasi rumah dengan cara membandingkan antara luas lantai rumah, dengan menggunakan Role meter. Menurut indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah
≤10% luas lantai rumah (Budiman,2015).
Pengertian ventilasi juga dapat di katakan proses penyediaan udara segar kedalam dan pengeluaran udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun mekanis. Dengan adanya ventilasi yang baik maka udara segar dan sinar matahari dapat dengan mudah masuk kedalam rumah. Ventilasi mempunyai 3 fungsi:
a) Untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen didalam rumah yang berarti kadar karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat.
b) Membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri pathogen yang
cendrung hidup dan berkembang dalam ruangan dengan tingkat kelembaban tinggi.
Dengan sirkulasi yang baik, bakteri akan terbawa oleh udara akan selalu mengalir.
Ventilasi digunakan untukbpergantian udara, udara perlu diganti agar mendapat kesegaran badan selain virus itu agar kuman- kuman hilang.
c) Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang optimum bagi pernafasan, membebaskan udara ruangan dari bau, asap atau debu dan zat
pencemar lainya dengan cara pengeceran udara, mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.
Pemakaian kawat kasa pada ventilasi rumah adalah salah satu upaya untuk mencegah penyakit DBD. Pemakaian kawat kasa pada setiap lubang ventilasi yang ada dalam rumah bertujuan agar nyamuk tidak masuk kedalam rumah dan menggigit manusia. Dalam penelitian ini ventilasi dan jendela rumah dikatakan memenuhi syarat kesehatan bila pada lubang ventilasi terpasang jaring-jaring atau kawat kasa. Kontrol lebih banyak yang yang memiliki ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan (risiko rendah) sebesar 38 orang (73,1%). Ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko kejadian DBD dengan nilai OR= 9,04 (95%CI 3,71-22,02).
Risiko responden di dalam rumah dengan ventilasi yang tidak berkasa untuk terkena DBD 9,04 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang memiliki ventilasi udara yang berkasa (Azwar, 2015).
2. Kelembaban
Di udara terdapat uap air yang berasal dari penguapan samudra (sumber yang utama). Sumber lainnya berasal dari danau, sungai, tumbuhan, dan sebagainya. Makin tinggi suhu udara, makin banyak uap air yang dapat dikandungnya. Hal ini berarti makin lembab udara tersebut. Alat untuk mengukur kelembaban udara dinamakan hygrometer atau psychrometer.
Cara pemakaian alat :
Dengan meletakkan di tempat yang akan di ukur kelembabannya ,kemudian
ditunggu dan bacalah skalanya . skala kelembaban biasanya di tandai dengan Rh dan suhu dengan derajat Celsius Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk, meskipun tidak berpengaruh pada parasit , tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada kelembaban tinggi nyamuk lebih aktif dan sering mengigit ,sehingga meningkatkan penularan
DBD .Kelembaban udara dapat mempengaruhi longevity (umur) Nyamuk , system pernafasan nyamukkk mengunakan pipa pipa udara yang di sebut trakea dengan lubang lubang dinding yang di sebut spiracle . pada waktu kelembaban rendah ,spiracle terbuka lebar tanpa ada mekanisme pengaturanya sehingga menyebabkan penguapan air dari dalam tubuh nyamuk (suraso,2008)
3. Suhu
Suhu udara adalah keadaan panas atau dinginnya udara. Alat untuk mengukur suhu udara atau derajat panas disebut thermometer. Biasanya pengukuran dinyatakan dalam skala Celcius (C), Reamur (R), Fahrenheit (f). Suhu udara tertinggi dimuka bumi adalah di daerah tropis (sekitar ekuator) dan makin ke kutub, makin dingin.
Cara pemakaian :
1. Kalibrasi alat dengan menekan tombol reset
2. Termometer di letakkan pada tempat yang ingin di ukur suhu selama kurang lebih 24jam.
3. Indeks tertinggi pada termometer max merupakan suhu tertinggi dan indeks tertinggi pada termometer min suhu terendah pada hari tersebut .
Suhu udara dibedakan menjadi 3 yaitu:
a) Suhu kering, yaitu suhu yang ditunjukan oleh termometer suhu ruangan setelah diadaptasikan selama kurang lebih 10 menit, umumnya suhu kering antara 320 C – 400 C.
b) Suhu sedang, yaitu suhu yang menunjukan bahwa udara telah jenuh oleh uap air, umumnya lebih rendah dari pada suhu kering, yaitu antara 180 C-300 C.
c) Suhu basah, yaitu suhu yang menunjukan bahwa udara telah jenuh oleh uap air suhunya, yaitu antara 100 C- 200 C. Secara umum, penilaian suhu rumah dengan menggunakan termometer ruangan. Berdasarkan indikator pengawasan perumahan, suhu rumah yang memenuhi syarat kesehatan adalah antara 18 0 C- 300 C, dan suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 180C atau >300C. Suhu dalam rumah akan membawa pengaruh bagi penghuninya.Nyamuk Aedes aegypti sangat rentan terhadap suhu udara, dalam waktu tiga hari telur nyamuk telah mengalami embriosasi lengkap dengan temperature 250 C-300 C namun telur akan mencoba menetas 7 hari pada air dengan suhu 16 o C telur nyamuk ini akan berkembang pada air dengan suhu udara 200C-300C, keberhasilan perkembangan nyamuk Aedes aegypti ditentukan oleh tempat perindukan yang dibatasi oleh temperatur tiap tahunnya dan perubahan musimnya, salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi
perkembangbiakan jentik nyamuk Aedes aegypti adalah suhu udara Nyamuk Aedes aegypti sangat rentan terhadap suhu udara.
2.2 C-Reactive Protein 2.2.1 Pengertian
CRP yang merupakan salah satu APP, termasuk golongan protein yang kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut sebagal respons imunitas nonspesifik. Sebagai opsonin, CRP mengikat berbagai mikroorganisme, protein pneumokok yang membentuk Kompleks dan mengaktitkan komplemen jalur klasik.
Pengukuran CRP digunakan untuk menilai aktivitas penyakit inflamasi. CRP dapat meningkat 100x atau lebih dan berperan pada imunitas nonspesifik yang dengan bantuan Ca++ dapat mengikat bebagai molekul antara lain fosforilkolin yang ditemukan pada permukaan bakteri/ jamur. Sintesis CRP yang meningkat meninggikan viskositas plasma dan laju endap darah. Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukkan infeksi yang persisten. (Baratawidjaja & Rengganis, 2018)
2.2.2 Fungsi Biologis
Fungsi dan peran CRP dalam tubuh belum sepenuhnya diketahui, banyak hal yang masih berupa hipotesis. Meskipun CRP bukan merupakan antibodi, ia memiliki beberapa fungsi biologis yang menunjukkan perannya dalam proses inflamasi dan mekanisme pertahanan tubuh melawan infeksi.
Pengukuran CRP berguna dalam diagnosis dan pengobatan penyakit rematik dan dalam pengukuran tingkat sedimentasi darah. Keuntungan mengukur CRP saja adalah bahwa ini adalah ukuran langsung keberadaan protein fase akut, yang mencerminkan luasnya peradangan dan perubahan fase akut dengan transisi yang relatif cepat dari CRP.
Determinasi CRP terutama dianjurkan dalam situasi sebagai berikut:
1) Penapisan proses redang/nekrotik 14
2) Diagnosis/monitoring proses radang seperti neonatal, septikemia, meningitisi, pneumonika, pyleneofritis, komplikasi pasca bedah, kondisi keganasan 3) Penilaian tanda tanda klinis dalam kondisi peradangan seperti penyakit
rematik atau infeksi akut ataupun intermiten.
4) Diagnosis diferensial kondisi peradangan seperti SLE, RA atau artritis lainnya, kolitis ulserativa, dan sistitis/pielomielitis akut.
5) Diagnosis inflamasi kronik seperti artitis rheumatoid dan keganasannya.(Kelin, 2023)
2.2.3 Prinsip dan metode pemeriksaan
CRP secara normal bersirkulasi pada konsentrasi sengat rendah, tetapi pada proses inflamasi, infeksi atau cedera pada jaringan dapat menyebabkan
peningkatan sintesis CRP di hati. Sehingga merupakan hal yang penting untuk melakukan pemeriksaan CRP.
Pada penentuan CRP, maka CRP dianggap sebagai antigen yang akan ditentukan dengan menggunakan suatu antibodi spesifik yang diketahui (antibodi anti-CRP). Dengan suatu antisera yang spesifik, CRP (merupakan antigen yang larut) dalam serum mudah dipresipitasikan.
Dalam pemeriksaan CRP, digunakan beberapa metode, diantaranya:
1. Aglutinasi Tes aglutinasi dilakukan dengan menambahkan partekel latex yang dilapisi antibodi anti CRP pada serum atau plasma penderita sehingga terjadi aglutinasi. Untuk menentukan titer CRP, serum atau plasma penderita diencerkan dengan buffer glisin dengan pengenceraan bertingkat (1/2.1/4,1/8,1/16 dan sterusnya) lalu direaksikan dengan lateks. Titer CRP adalah pengenceran tertinggi yang masih terjadi aglutinasi. Metode ini bersifat kualitatif dan semi kuantitatif. Batas deteksi metoda aglutinasi terhadap CReactive Protein yaitu 6mg/L.
2. Sandwich ELISA Tes Sandwich ELISA untuk pemeriksaan CRP dilakukan dengan mengukur intensitas warna menggunakan Nycocard Reader. Berturut- turut sampel (serum,plasma,whole blood) dan konjugat diteteskan pada membrane tes yang dilapisi antibody monoclonal spesifik CRP. CRP dalam sampel ditangkap oleh antibody yang terikat pada konjugat gold colloidal particle. Konjugat bebas dicuci dengan larutan pencuci (washing solution). Jika terdapat CRP dalam sampel pada level patologis, maka akan tebentuk warna merah-coklat pada area tes dengan intensitas warna yang proposional
terhadap kadar. Intensitas warna ukur diukur secara kuantitatif menggunakan NycoCard reader II.
3. High Sensitivity C-Reactive Protein (Hs-CRP) Pemeriksaan High Sensitive CRP (Hs-CRP) yaitu pemeriksaan secara kuantitatif untuk mengukur kadar CRP yang lebih sensitive dan akurat dengan menggunakan metode LTIA (Latex Turbidimetry Immunoassay), dengan range pengukuran : 0,3 – 300 mg/L. Berdasarkan penelitian, pemeriksaan hs-CRP dapat mendeteksi adanya inflamasi lebih cepat. Pemeriksaan hs-CRP telah distandarisasikan pada berbagai laboraturium .
4. Imunoturbidimetri Merupakan cara penentuan yang kualitatif. CRP dalam serum akan mengikat antibodi spesifik terhadap CRP membentuk suatu kompleks immun. Kekeruhan (turbidity) yang terjadi sebagai akibat ikatan tersebut diukur secara fotometris. Konsentrasi dari CRP ditentukan secara kuantitatif dengan pengukuran turbidimetrik.(Megawati simanulang, 2018) 2.2.4 Hal-hal Yang Mempengaruhi Hasil Pemeriksaan
CRP meningkat pada penyakit Demam rematik akut, Rheumatoid arthritis, Infark Miokard Akut, Infeksi pasca operasi, Infeksi bakteri, Infeksi virus, Penyakit Chron's, Sindrom Reiter's, Sindrom vaskulitis, Lupus Eritematosus, Nekrosis jaringan atau trauma. 1,5 Obat-obatan yang dapat menurunkan kadar CRP seperti colchicines dan statin (Silalahi, 2013).
2.2.5 Hubungan Kadar C-Reaktive Protein (CRP) dengan Demam berdarah dengue (DBD)
Hubungan antara kadar CRP dan DBD dapat dilihat dari fakta bahwa selama infeksi dengue, tubuh mengalami respon inflamasi yang signifikat. Peneliti
menujukan bahwa kadar CRP cenderung meningkat pada pasien dengan DBD, terutama pada fase awal infeksi. Ini karena tubuh merespon infeksi virus dengan meningkatkan produksi protein protein inflamasi termasuk CRP.
Peningkatan Kadar CRP pada pasien DBD juga dapat menjadi indikator keparahan penyakit. Pada kasus yang lebih parah, seperti dengue dengan tanda tanda peringatan atau dengue berat ( sebelumnya dikenal sebagai demam berdarah atau sindrom syok dengue), Kadar CRP cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan infeksi dengue tanpa komplikasi.
Namun, Penting untuk dicatat bahwa oeningkatan CRP bukan spesifik untuk DBD saja dan dapat terjadi pada berbagai kondisi infeksi atau inflamasi lainnya. Oleh karena itu, diagnosis DBD biasanya memerlukan konfirmasi laboratorium tambahan seperti tes serologi atau PCR untuk medeteksi virus dengue secara langsung.
2.3 Trombosit
2.3.1 Defenisi Trombosit
Trombosit adalah sel tak berinti yang diproduksi oleh sumsum tulang, yang berbentuk cakram dengan diameter 2-5 um Trombosit dalam darah tersusun atas substansi fosfolipid yang berfungsi sebagai faktor pembeku darah dan hemostasis (menghentikan perdarahan). Jumlahnya dalam darah dalam keadaan normal sekitar 150.000 sampai dengan 400.000/mm³ darah dan mempunyai masa hidup sekitar 1 sampai 2 minggu atau kira-kira 8 hari (Kee, 2008).
2.3.2 Fungsi Trombosit
Trombosit mempunyai peranan penting dalam pembentukan bekuan darah.
Trombosit dalam keadaan normal bersirkulasi ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Terjadi kerusakan di suatu pembuluh, trombosit akan menuju ke daerah
tersebut sebagai respon terhadap kolagen yang terpajan di lapisan sub endotel pembuluh. Trombosit melekat pada permukaan yang rusak dan mengeluarkan zat yang menyebabkan terjadinya vasokonstriksi pembuluh. Fungsi lain dari trombosit adalah mengubah bentuk dan kualitas setelah berikatan dengan pembuluh darah yang cedera. Trombosit akan menjadi lengket dan menggumpal bersama membentuk sumbat trombosit yang secara efektif menambal daerah yang luka (Handayani dan Haribowo, 2008).
2.3.3 Kelainan Jumlah Trombosit 1. Trombositosis
Trombositosis adalah meningkatnya jumlah trombosit di atas normal pada peredaran darah yaitu lebih dari 400.000/mm³ darah. Trombositosis dapat bersifat primer atau sekunder.
2. Trombositopenia.
Dalam keadaan normal jumlah trombosit berkisar antara 150,000 - 400.000/mm³ darah. Apabila jumlah trombosit kurang dari normal maka keadaan ini disebut trombositopenia. Trombositopenia dibagi menjadi 4 derajat yaitu derajat 1 bila jumlah trombosit 75.000 150.000/mm³ darah, derajat 2 bila jumlah trombosit 50.000 75.000/mm³ darah, derajat 3 bila jumlah trombosit 25.000 -> 50.000/mm³ darah dan derajat 4 bila jumlah trombosit kurang dari 25.000 mm² darah (Alvina, 2011).
Trombositopeni (<100.000 mm²) b. Hemokonsentrai (kenaikan Hr 20% di bandingkan fase) Bila patokan hemokonsentrasi dan trombositopeni menurut kriteria WHO 1999 di pakai secara murni, maka banyak penderita DBD tidak terjaring dan luput dari pengawasan. Kelompok kerja DBD sepakat jumlah trombosit<150,000 mm² sebagai batas trompositopeni. Dua kriteria klinis pertama di tambah trombositopeni dan hemokonsentrasi cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DBD. Secara klinia dibagi menjadi empat :
Derajat I: Demam disertai gejala-gejala umum yang tidak khas dan manifestasi perdarahan spontan satu-satunya adalah uji tourniquet positif.
Derajat II: Perdarahan spontan atau manifestasi perdarahan yang lebih berat, disertai gejala-gejala derajat I
Derajat III: Dijumpai kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menyempit (≤29mmHg)
Derajat IV: Syok berat (profound shock), nadi tak teraba dan tekanan tak terukur.
2.3.4 Pemeriksaan Hitung Jumlah Trombosit
Cara manual dapat dilakukan dengan metode langsung menggunakan bilik hitung dan tidak langsung pada sediaan apus darah tepi (Kee, 2008). Prinsip reaksi pada alat hemotologi otomatis bervariasi diantaranya adalah impedansi dan flowcytometri.
1. Metode Impedansi
Prinsip pengukuran impedansi didasarkan pada perubahan humbatan listrik pada celah yang telah diketahui ukurannya (aperture) ketika sebuah partikel dalam cairan konduktif melewati celah ini. Sel-sel darah disuspensikan ke dalam sejumlah cairan konduktif secara elektrik. Hitunglekosit dilakukan sebagai sisa sel yang melewati celah.
Impedansi listrik digunakan terutama di laboratorium hematologi untuk menghitung sel- sel darah seperti lekosit, eritrosit dan trombosit. Kelemahan metode impedansi adalah kemungkinan dua sel melewati celah secara bersamaan Selain itu sel yang telah diukur akan kembali ke area pengukuran yang mengakibatkan sel akan dihitung dua kali oleh detektor (McPherson & Pincus, 2017).
2. Metode Flowcytometri
Adalah metode pengukuran jumlah dan sifat komponen sel dalam medium cairan bergerak. Setiap sel melewati celah satu persatu yang kemudian melalui sinar laser menimbulkan sinyal elektronik yang dicatat oleh instrumen sebagai karakteristik sel yang bersangkutan. Prinsip kerja flowcytometri adalah sejumlah sel disuspensikan ke dalam suatu cairan konduktif. Sel-sel tersebut diberi tekanan hydrodinamik sehingga dapat melewati suatu lorong satu demi satu. Ketika sel sampai di suatu titik lorong, sel akan ditembak dengan sinar laser, Kemudian hasil tembakan sinar laser akan dibaca oleh detektor (McPherson & Pincus, 2017). Salah satu kelebihan alat hematologi otomatis adalah efisiensi waktu. Pemeriksaan menggunakan alat otomatis dapat
dilakukan dengan cepat. Selain itu volume sampel yang dibutuhkan lebih sedikit.
Kelebihan lainnya adalah ketepatan hasil yang dikeluarkan yang sudah melalui pemantapan mutu internal laboratorium.
2.3.5 Faktor-Faktor Mempengaruhi Hasil Hitung Jumlah Trombosit 1. Pra Analitik
Faktor yang mempengaruhi hasil hitung jumlah trombosit pada tahap pra analitik dapat terjadi seperti pada pemilihan sampel darah. Penggunaan darah kapiler akan diperoleh hasil sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan darah vena. Darah yang tidak segera diperiksa atau penundaan pemeriksaan yang terlalu lama juga dapat menyebabkan perubahan jumlah trombosit (Sujud dkk, 2015).
2. Analitik
Tahap analitik adalah proses pengerjaan sampel sampai diperolehnya hasil pemeriksaan. Kesalahan analitik dalam bidang hematologi dapat terjadi berupa kesalahan sistematik atau acak. Kesalahan sistematik dapat diakibatkan oleh kesalahan dalam sistem pengujian dan metode, umumnya disebabkan oleh prosedur kalibrasi yang tidak tepat, kurang optimalnya komponen alat, kerusakan reagensia, Kesalahan acak biasanya diakibatkan tidak stabilnya instrument. perubahan suhu dan variasi operator (Sukorni dkk, 2010).
3. Pasca Analitik
Kesalahan pada tahap pasca analitik dapat terjadi bila keliru dalam memasukkan data sampel, salah mencatat dan melaporkan hasil pemeriksaan Kelainan Jumlah Trombosit
2.1 Hasil Penelitian Terdahulu
Gambaran nilai trombosit pada penelitian Mayasari dkk menunjukkan adanya penurunan kadar trombosit terjadi pada pasien pada hari ke-2 rawat inap sedangkan pada hari ke-3 rawat inap, trombosit pada pasien sudah mulai meningkat. Terlihat dari pola penurunan trombosit yang mulai menurun. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Mayasari dkk yang menyatakan bahwa penurunan trombosit terjadi hingga hari ke-4 dan mulai menunjukkan pola yang menurun pada hari ke-5.6 Hasil yang berbeda juga ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Lelyana dkk yang menunjukkan hasil penelitian berupa kadar trombosit yang menurun pada pasien DBD sudah terjadi pada hari ke-3 hingga hari ke-8.8 Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kemas Ya’kub dkk juga menunjukkan hasil yang berbeda yaitu rata-rata penurunan trombosit mencapai titik terendah pada hari kelima rawat inap dengan kebanyakan penderita datang ke rumah sakit pada hari ke-3 perjalanan penyakit dengan demam hari ketiga sampai hari keenam.10 Trombositopenia terjadi diakibatkan kerusakan trombosit karena peningkatan apoptosis, lisis oleh sistem komplemen dan adanya keterlibatan antibodi platelet.
Selama fase awal infeksi virus dengue, sumsum tulang menunjukkan hiposelularitas dan penurunan maturasi megakariosit karena virus dengue dapat bereplikasi di sumsung tulang dan menghambat proliferasi sel progenitor hematopoietik sehingga derajat supresi sumsum tulang ini berkorelasi dengan manifestasi klinis penderita.8 Kelemahan dari penelitian ini yaitu tidak mengetahui dan meneliti pola demam dan sakit pada pasien dbd sebelum pasien mendapatkan perawatan di rumah sakit.
Menurut penelitian Noor Halimah Amini Dkk (2019), Penurunan drastis dari jumlah trombosit terjadi diantara hari ke-3 dan ke-10 dari awal demam, dan titik
puncaknya terjadi pada hari ke-5 demam. Penurunan trombosit yang sangat drastis berhubungan dengan keparahan dari infeksi virus dengan karena dengan penurunan jumlah trombosit dapat meningkatkan risiko terjadinya komplikasi.
2.2Hubungan C-Reactive Protein (CRP) dengan Trombosit
Berdasarkan hasil pemeriksaan kadar CRP normal yang memiliki nilai 10 mg/L sebanyak 12 orang. C Reaktif Protein (CRP) berada dalam darah 6 sampai 10 jam setelah terjadi proses peradangan akut atau kerusakan jaringan atau keduanya, dan mencapai puncaknya antara 48 sampai 78 jam. Pada keadaan tubuh mengalami infeksi, jumlah leukosit meningkat sehubungan dengan fungsinya untuk melindungi tubuh terhadap invasi masuknya benda asing, termasuk bakteri dan virus. Sementara,
peningkatan kadar C-Reaktif Protein dapat terjadi karena infeksi bakteri maupun virus.
Perubahan kadar C-Reaktif Protein pada pasien demam berdarah dengue terjadi karena produksi protein fase akut tergantung dari patofisiologi dan perbedaan sitokin yang spesifik. Sedangkan rata-rata jumlah trombosit pada penderita demam berdarah dengue pada tabel 4.3 adalah 80.333 ± 25.800 dengan jumlah trombosit terendah 50.000 sel/uL, dan jumlah trombosit tertinggi 140.000 sel/uL. Didapatkan rata-rata jumlah trombosit adalah 49.779 ± 35.058 sel/uL. Kondisi trombositopenia merupakan kondisi yang paling sering ditemukan pada pasien DBD yang menjadi kriteria dalam menegakkan diagnosis DBD disertai dengan peningkatan persentase hematokrit dan kebocoran plasma lainnya. Trombositopenia merupakan suatu kondisi ketika terjadi penurunan jumlah trombosit <150.000/μL. Trombositopenia sering ditemui dalam keadaan insidental (sewaktu-waktu, tidak secara rutin) atau pasien dengan perdarahan yang fatal.(Wiguna et al., 2024)
1.1 Kerangka Konsep
Variabel bebas Variabel Terikat
1.2 Defenisi Operasional Variabel
Variabel Defenisi Cara
ukur Alat ukur Hasil ukur
Skala ukur Kadar C-
Reactive Protein (CRP)
Hasil pemeriksaan Kadar C-Reactive (CRP) dari pasien demam berdarah dengue
Aglutinasi latex
Latex Mg/L Rasio
Trombosit Fragmen sel kecil yang beredar melalui aliran darah yang berfungsi untuk menghentikan pendarahan
Otomatik Hematology analyzer
u/l Rasio
1.3 Hipotesis
Adanya hubungan C-Reactive Protein (CRP) dan Trombosit pada penderita demam berdarah dengue (DBD).
1.4 Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional.
19
Trombosit Kadar C-Reactive
Protein (CRP)
1.5 Populasi dan sampel penelitian 1.5.1 Populasi
Populasi kasus adalah semua pasien penderita demam berdarah dengue (DBD) di RSUD H. Abdul Manap yang memenuhi kriteria inkulasi dan ekslusi.
1.5.2 Sampel Penelitian
Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 30 sampel pasien demam berdarah dengue yang di rawat di RSUD H. Abdul Manap Kota Jambi.
1.6 Teknik Pengambilan Sampling Teknik Penelitian adalah accident 1.7 Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan adalah data primer yang di ambil di RSUD H. Abdul Manap Kota Jambi.
1.8 Waktu dan Tempat Penelitian 1.8.1 Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari – April 2024.
1.8.2 Tempat Penelitian
Pengambilan sampel akan dilakukan di RSUD H. Abdul Manap.
Pemeriksaan C-Reactive Protein (CRP) dilakukan di RS Dr.Bratanata Jambi dan Trombosit di lakukan di RSUD H. Abdul Manap
1.9 Intrumen Penelitian 3.9.1. Persiapan Alat A. C-Reactive Protein
1. Spuit 2. Tourniquet
3. Tabung vakum 3 ml 4. Sentrifuge
5. Mikro pipet 6. Slide 7. Rotator
8. Batang pengaduk 9. Rak tabung 10. Handscoon 11. Alkohol swab 12. Architect Hscrp
B. Trombosit
1. Lembar wawancara 2. Handscoon
3. Torniquet 4. Spuit
5. Alkohol swab
6. Tabung vakum EDTA 7. Cool box
8. Plester 9. Tisu 10. Alat tulis
11. Hematology analyzer.
3.9.2. Reagensia
A. C-Reactive Protein
1. Reagen CRP (CRPHS reagen kit) 2. Darah
3. Serum
B. Trombosit
1. Diluent CELLPAK
2. Detergen (pembersih) : CELLCLEAN
1.10 Prosedur Pemeriksaan 1.10.1 C-Reactive Protein metode A. Pengambilan sampel
1) Tourniquet dipasang pada lengan atas, kemudian diraba pembuluh darah vena yang akan ditusuk.
2) Desinfeksi vena dengan swab alkohol dan dibiarkan kering. Kemudian ditusuk menggunakan spuit.
3) Setelah darah masuk ke spuit, lalu ditarik secara perlahan sampai dirasa telah cukup.
4) Tourniquet kemudian dilepas dan jarum ditarik perlahan dari vena,setelah itu kapas kering diletakkan dengan cara tekan perlahan.
5) Setelah itu diberi plester pada bagian bekas tusukan.
6) Lalu darah dimasukkan pada tabung melalui dinding tabung.
7) Darah didiamkan selama 5 menit membeku, kemudian disentrifuge selama 10 menit dengan kecepatan 3600 rpm.
8) Kemudian diperhatikan sampelnya apakah terjadi hemolisis atau tidak.
Apabila terjadi hemolisis maka dilakukan pengulangan 3 kali.
9) Serum dipisahkan dengan sel darah. Dilanjutkan pemeriksaan CRP.
B. Pemeriksaan sampel
Persiapan Reagen dan Sampel
1) Pastikan semua reagen sudah berada pada suhu ruangan sebelum di gunakan
2) Persiapan sampel darah pasien yang sudah di proses untuk mendapatkan serum/plasma
Pengaturan alat
1) Nyalakan alat architect dan lakukan prosedur pemanasan awal sesuai petunjuk pabrik
2) Pastikan alat architect dan lakukan prosedur pemanasan awal sesuai petunjuk pabrik
3) Pastikan alat sudah dikalibrasi dengan benar menggunakan kalibrator yang di rekomendasikan oleh pabrik
Pengaturan Program
1) Pilih program untuk tes Hs-CRP pada alat Architect. Biasanya, ini
melibatkan memilih metode turbidimetri dan memasukkan parameter tes yang spesifik
Loading Sampel
1) Masukkan Sampel serum atau plasma ke dalam posisi yang ditentukan di alat. Pastikan label sampel sesuai dan ditempatkan dengan benar
Penambahan Reagen
1) Alat akan otomatis menambahkan reagen ke dalam sampel berdasarkan program yang telah dipilih
2) Reagen biasanya mengandung antibody spesifik yang akan bereaksi dengan Hs-CRP dalam sampel, membentuk kompleks antigen-antibodi diukur
Analisis Data
1) Alat akan menghitung konsentrasi Hs-CRP berdasarkan intensitas kekeruhan yang terdeteksi
2) Hasil akan ditampilkan pada layar alat atau dicetak
Verifikasi Hasil
1) Periksa hasil tes untuk memastikan tidak ada kesalahan
2) Bandingkan Hasil dengan control kualitas yang telah dijalankan sebelumnya
Pelaporan
1) Hasil akhir dari konsentrasi hs-CRP dilaporkan ke system informasi laboratorium
Interpretasi Hasil Hs-CRP
1) <1 mg/L : Risisko rendah penyakit kardiovaskular 2) 1-3 mg/L : Risiko rata-rata penyakit kardiovaskular 3) 3-10 mg/L : Risiko tinggi penyakit kardiovaskular,
inflamasi/infeksi yang lebih signifikan, yang bisa disebabkan oleh TB aktif, komplikasi DM2 atau keduanya, bakteri, virus, kondisi kehamilan
4) 10-100 mg/L : infeksi virus/inflamasi seperti rheumatoid arthritis, penyakit chron, dan lupus.
Sumber : Manual Book Laboratory Procedure, 2018 1.10.2 Trombosit
A. Pengambilan spesimen darah vena
1) Persiapkan alat-alat yang diperlukan jarum, kapas alkohol 70%, tali pembendung (torniquet), plester, tabung vakum.
2) Pasang jarum pada holder, pastikan terpasang erat.
3) Lakukan pendekatan pasien dengan tenang dan ramah; usahakan pasien senyaman mungkin.
4) Identifikasi pasien dengan benar sesuai dengan data di lembar permintaan.
5) Verifikasi keadaan pasien, misalnya puasa atau konsumsi obat. Catat bila pasien minum obat tertentu, tidak puasa dsb.
6) Minta pasien meluruskan lengannya, pilih bagian yang akan dilakukan tusukan vena.
7) Desinfeksi area vena dengan kapas alkohol dengan gerakan memutar daritengah ke tepi, biarkan 30 detik untuk pengeringan alkohol.
8) Pasang tourniquet di atas bagian vena disertai pengepalan tangan pasien membantu penampakan vena.
9) Tusuk jarum ke dalam vena, posisi lubang jarum menghadap ke atas dengan sudut 15"-30".
10) Lepas tourniquet setelah darah mengalir (jangan biarkan tourniquet terpasang lebih satu menit). Setelah itu kapas kering diletakkan dengan cara tekan perlahan.
11) Isi tabung sampai kevakumannya habis, lalu lepaskan tabung dariholder.
12) Diletakkan kapas kering di tempat tusukan lalu segera lepaskan jarum perlahan-lahan.
13) Tekan kapas beberapa saat lalu plester bagian vena.
14) Dilakukan homogenisasi pada tabung dengan membolak-balikkan ke kanan dan ke kiri dengan pelan sebanyak 5-10 kali
15) Beri label pada tabung (nama, no.lab, jarum & tgl.pengambilan).
B. Pemeriksaan Trombosit 1. Menyalakan alat
a. Tekan sakelar siaga dibagian belakang alat 2. Pemeriksaan sampel
a. Lakukan pemeriksaan latar belakang
b. Tekan New Sample untuk memulai pemeriksaan latar belakang secara otomatis.
c. Hasil seharusnya sebagai berikut: WBC < 0,1
RBC < 0,01 HGB < 0,2
PLT < 10
d. Setelah selesai, hasil perhitungan latar belakang ditampilkan. Jika hasilnya dapat diterima tekan (Accept).
3. Pemeriksaan sampel pasien
a. Dari layar utama (New Sample) untuk membuka menu New Sample.
b. Tekan tombol numerik untuk memasukkan ID sampel atau memindai kodebatang ID dari botol sampel.
c. Gunakan tombol gulir untuk memilih mode atau profil yang diinginkan.
d. Lepaskan tutup dari tabung dan tempatkan sampel dengan baik di rotor sampel.
e. Tekan Start untuk memulai aspirasi sampel.
f. Hasilnya akan tampil dalam waktu 60 detik.
g. Ketika lampu indikator kembali menjadi hijau, operator dapat memulai analisis sampel berikutnya.
4. Mematikan alat
a. Pilih keluar dari menu utama lalu pilih matikan atau bersihkan,
instruksi akan diberikan untuk mendapatkan larutan cleaner kedalam rotor sampel.
b. Lepas tutup Vial Hypochlorite Cleaner, tempatkan di rotor sampeldan kemudian tekan (OK).
c. Bersihkan bagian luar unit dengan kain lembut dan air jika diperlukan.
5. Penggantian reagen
a. Pilih (Reagen) dari menu utama.
b. Pilih (masukkan reagen baru).
c. Tekan kotak teks dibawah reagen yang akan anda pindai (ini akan disorot dengan warna kuning saat diaktifkan) dan kemudian pindai kode batang reagen telah diterima.
d. Pilih (Kembali) untuk kembali ke menu utama.
e. Lepas tutup dan segel wadah reagen baru.
f. Pindahkan tabung reagen dari wadah bekas ke wadah baru.
g. Alat analisis sekarang siap untuk melanjutkan operasi atau menganalisis sampel.
1.11 Interpertasi hasil Nilai Normal C-Reaktive Protein
Pengenceran Sampel Kadar C-Reaktive Protein
1/2 12
1/4 24
1/8 48
1/16 96
1/32 192
1.12 Analisis Data
Data pada penelitian ini di analisis secara univariat dan bivariat. Analisis univariat akan disajikan dalam bentuk tabel atau grafik. Sedangkan analisis bivariat untuk mengetahui hubungan CRP dan Trombosit pada pasien demam berdarah dengue (DBD) yang di lakukan dengan uji statistik dengan uji kolerasi.
http://stradapress.org/index.php/ebook/catalog/view/12/10/36-1 WHO. (2022). Dengue and Severe Dengue.
https://www.who.int/southeastasia/health-topics/dengue-and-severe-dengue KemenkesRI. (2020). Data Kasus Terbaru DBD di Indonesia.
https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20201203/2335899/datakasus-terbaru-dbd- indonesia/
Dinas Kesehatan Kota Jambi. (2023). Data Demam Berdarah Dengue 2023.
Rasyada, A., Nasrul, E., & Edward, Z. (2014). Hubungan Nilai Hematokrit Terhadap Jumlah
Trombosit pada Penderita Demam Berdarah Dengue. Jurnal Kesehatan Andalas, 3(3), 343–347.
https://doi.org/10.25077/jka.v3i3.115
Renowati, R., & Sefridana, R. (2020). Korelasi C-Reactive Protein Dengan Trombosit Pada Penderita Demam Berdarah Dengue. Prosiding Seminar Kesehatan Perintis, 3(1), 8–11.
Salsabila, Y. T., Ariami, P., Wiadnya, I. B. R., & Manu, T. T. (2023). Correlation Of Positive IgM or IgG RDT (Rapid Diagnostic Test) Results with CRP (C-Reactive Protein) Levels in Dengue Hemorrhagic Fever Patients. Jurnal Analis Medika Biosains (JAMBS), 10(2), 93.
https://doi.org/10.32807/jambs.v10i2.319
Wiguna, C., Saktiningsih, H., Tinggi, S., & Kesehatan Nasional, I. (2024). Hubungan Kadar C-Reaktif Protein (Crp) Dengan Jumlah Trombosit Pada Pasien Demam Dengue Di Rsud Banten. Jurnal Kajian Riset Multisiplin, 8(7), 2663–4961.
Kristina, (2013) Demam Berdarah Dengue: Kajian Masalah Kesehatan.
Palgunadi BU, Rahayu A (2014). Aedes aegypti sebagai vector penyakit demam berdarah dengue: e Journal Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, 2(1): 34.
Depkes RI,2014. Diagnosa Penderita Demam Berdarah Dengue, Jakarta:Depatermen Kesahatan Djunaedi dkk, 2015. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) Dan Jenis Serotipe Virus Dengue Di Kabupaten Semarang
Noor, 2013. Tinjauan Umum Tentang Faktor Risikk Kejadian Dengue. Epidemiologi: Jakarta Azwar, S. 2015, Sikap manusia: teori dan pengukurannya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Handayani, W dan Haribowo, A.S. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada klien dengan
Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba Medika