HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA
(Studi Korelasional pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia)
PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dalam Bidang Ilmu Bimbingan dan Konseling
Oleh:
Muhamad Fathur Nur Rahman NIM 1900379
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2023
LEMBAR PENGESAHAN
Muhamad Fathur Nur Rahman 1900379
HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA
(Studi Korelasi pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia)
Disetujui dan disahkan oleh:
Dosen Pembimbing
Akademik
Dr.
Anne Hafina Adiwinata, M.Pd.
NIP. 196007041986012001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Sarjana Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia
Dr. Ipah Saripah, M.Pd.
NIP. 197710142001122001
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ... i
A.Judul Penelitian ... 1
B.Latar Belakang Penelitian ... 1
C.Identifikasi Masalah ... 6
D.Rumusan Masalah ... 9
E.Tujuan Penelitian ... 9
F.Manfaat Penelitian ... 9
1. Manfaat Secara Teoretis...9
2. Manfaat Secara Praktis...9
G.Kajian Teoritis ... 10
1.Kesiapan Menikah ... 10
2.Religiusitas ... 16
H.Metodologi Penelitian ... 22
1.Desain Penelitian ... 22
2.Partisipan ... 23
3.Populasi dan Sampel ... 23
5. Definisi Operasional Variabel...24
6. Instrumen Penelitian...28
7. Prosedur Penelitian...31
8. Analisis Data...32
I.Agenda Kegiatan ... 33
DAFTAR PUSTAKA ... 34
i
1
A. Judul Penelitian
Penelitian ini berjudul “Hubungan antara Religiusitas dengan Kesiapan Menikah pada Mahasiswa: Studi Korelasional pada Mahasiswa Fakultasi Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia”.
B. Latar Belakang Penelitian
Perkembangan manusia dimulai dari masa janin hingga dewasa akhir. Masa usia dewasa awal dimulai pada usia 18 tahun hingga 40 tahun (King, 2014; Arnett, 2006). Mahasiswa termasuk ke dalam fase masa usia dewasa awal dengan rentang usia dari 18-25 tahun (Rembulan, 2020).
Mahasiswa memiliki tugas perkembangan untuk menjalin hubungan yang intim dalam ikatan pernikahan dengan orang lain (Papalia & Feldman, 2012). Sejalan dengan itu, mahasiswa berada pada tahap perkembangan yang mengalami dilema intimacy vs isolation, yang berarti jika individu tidak dapat berkomitmen secara intim dengan orang lain (intimacy), maka individu tersebut akan menjadi terlalu egois dan terisolasi (isolation). Pada tahap ini, mahasiswa diharapkan dapat menjalin hubungan yang kuat dan bertahan lama dengan pasangan melalui pernikahan (Papalia & Feldman, 2012).
Pernikahan adalah penggabungan dua orang secara sosial, hukum, dan agama yang sudah diakui oleh negara. Pernikahan memerlukan perencanaan yang matang untuk memastikan bahwa kesiapan menikah seseorang dapat dikatakan siap secara emosional dan fisik (Crandell, Crandell, & Zaden, 2012; Kefalas, dkk., 2011). Kesiapan menikah adalah kapasitas dan sumber daya yang unik untuk mengklasifikasikan dan mengatur elemen-elemen kehidupan secara objektif dalam mengambil kendali kehidupan pernikahan (Bob & Blood, 1978). Kehidupan pernikahan akan berjalan dengan baik jika individu memiliki kesiapan menikah yang baik. Individu yang memiliki kesiapan menikah yang baik akan lebih bahagia dan terhindar dari perceraian (Fatma & Sakdiyah, 2015; Tsania, Sunarti, & Krisnatuti, 2015).
Kesiapan menikah sangat penting untuk dimiliki oleh mahasiswa, dikarenakan kesiapan menikah merupakan dasar dari pengambilan keputusan dengan siapa individu tersebut pada saat menikah, kapan pernikahan tersebut dilangsungkan, apa alasan mereka menikah, dan bagaimana perilaku mereka nanti dalam relasi pernikahan (Larson &
Lamont, 2005). Kesiapan menikah ini menjadi hal yang sangat berpengaruh dan juga menjadi dasar pondasi untuk mahasiswa dalam menjalani kehidupan pernikahannya kelak. Kesiapan menikah pada mahasiswa juga menjadi salah satu prediktor yang penting dalam kepuasan pernikahannya kelak (Wilis, 2019).
Rapaport (dalam Duvall & Miller, 1985) mengemukakan bahwa kesiapan menikah yang baik dimiliki oleh individu jika memiliki karakteristik, seperti (1) memiliki kemampuan untuk mengontrol emosi;
(2) memiliki kemampuan sosial yang baik; (3) sanggup dan siap melakukan hubungan seksual; (4) siap sedia untuk membina keintiman bersama pasangan; (5) memiliki sifat yang lemah lembuh dan mengasihi orang lain;
(6) peka terhadap kebutuhan orang lain; (7) aktif dalam berkomunikasi; (8) siap menerima kekurangan pasangan; (9) bersedia berbagi rencana dengan orang lain; (10) bertanggung jawab; (11) realistik terhadap sifat orang lain;
dan (12) memiliki kemampuan untuk menghadapi permasalahan ekonomi.
Selain itu, individu yang siap menikah memiliki ciri-ciri, seperti (1) mampu menginternalisasikan norma-norma sosial dalam perilakunya; (2) menuntaskan pendidikan; (3) mempunyai pekerjaan yang tetap; dan (4) mandiri secara finansial (Carroll, dkk., 2009). Sebaliknya, individu yang tidak memiliki karakteristik dan ciri-ciri tersebut dapat dikatakan kurang dalam kesiapan menikahnya.
Munawaroh, Rofiah, Kodir, & Muzayyanah (2016) mengatakan bahwa kurangnya kesiapan menikah individu sebelum memasuki dunia pernikahan merupakan penyebab angka perceraian terus meningkat.
Terdapat angka perceraian yang terus meningkat di Indonesia dari 439.002 kasus perceraian pada tahun 2019 menjadi 447.743 kasus perceraian pada tahun 2021 (BPS, 2022). Jika dilihat berdasarkan wilayah/provinsi, kasus
perceraian terbanyak terjadi di Jawa Barat dengan 97.090 kasus peceraian pada tahun 2019 dan 98.088 kasus perceraian pada tahun 2021. Perceraian ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor penyebab terbesar perceraian di indonesia adalah perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus berlanjut dari kedua belah pihak. Kasus perceraian dengan faktor perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus berlanjut ini memiliki angka 279.205 kasus pada tahun 2021 (BPS, 2022).
Ketidakmampuan atau kegagalan individu dalam melakukan penyesuaian dalam pernikahan dapat mengganggu tugas perkembangan karena hal tersebut dapat berujung pada perceraian (Puspitasari, 1997).
Mayoritas kasus perceraian terjadi ketika individu memasuki masa usia dewasa awal yang berusia 20 tahun, atau antara usia 19 tahun sampai dengan 29 tahun (Arnett & Sugimura, 2014). Angka perceraian terus meningkat diakibatkan oleh kurangnya kesiapan menikah individu saat memasuki kehidupan pernikahan (Munawaroh, Rofiah, Kodir, &
Muzayyanah, 2016). Semakin tinggi tingkat perceraian dapat menunjukkan bahwa pasangan tersebut sebenarnya tidak siap dalam menghadapi tantangan dalam pernikahan (Fatharani, 2021). Oleh karena itu, kesiapan menikah merupakan unsur penting untuk menciptakan pernikahan yang berkualitas dan menghindari perceraian, khususnya pada mahasiswa yang memiliki tugas perkembangan untuk menikah.
Perceraian dapat terjadi akibat kurangnya nafkah mengenai kebutuhan jasmani dan rohani, perbedaan pendapat, rasa kasih sayang yang tidak kuat, kekerasan dalam rumah tangga, ketidaksiapan mental, dan perselingkuhan (Octaviani, 2020). Selain itu, Septiawan, Sari, Haryatiningsih (dalam Wulandari, 2020) menyebutkan penyebab terjadi perceraian dapat diakibatkan dari kerentanan dalam diri pasangan suami isteri dan juga kurangnya kesiapan menikah terkait pemahaman terhadap tugas serta relasi pernikahan. Untuk mengurangi angka perceraian, individu perlu memahami faktor-faktor yang memengaruhi kesiapan pernikahan (Fatma & Sakdiyah, 2015). Salah satu faktor yang memengaruhi kesiapan menikah adalah religiusitas.
Daradjat (dalam Harahap, Ghozaly, & Sutikno, 2016) mengatakan bahwa religiusitas mengacu pada gambaran dalam diri manusia yang mendorongnya untuk bertindak, bersikap, dan berperilaku sesuai dengan ajaran agamanya. Religiusitas merupakan penghayatan aspek religius manusia, sedangkan agama lebih berhubungan dengan aturan serta kewajiban (Istiqomah, 2004; Riskasari, Abidin, & Amelia, 2018). Glock (1962) yang kemudian dikembangkan Stark dan Glock (1968) memaparkan konsep religiusitas sebagai komitmen seseorang terhadap agama yang dipercayainya.
Allport & Ross (dalam Lee, Pearce, & Schorpp, 2018) menyatakan bahwa religiusitas mulai terbentuk secara optimal saat individu memasuki masa usia dewasa awal karena individu mulai menghayati nilai-nilai dan keyakinan yang dianutnya. Religiusitas dapat membantu individu untuk menyelesaikan problematika kehidupan, tak terkecuali pada masa usia dewasa awal. Religiusitas sangat penting pada masa usia dewasa awal karena dapat membuat individu untuk berpikir positif saat munculnya permasalahan rumah tangga kelak terhadap komitmen (janji) pernikahan yang disaksikan oleh Tuhan (Riskasari, Abidin, & Amelia, 2018).
Religiusitas berkaitan dengan unsur komitmen yang dianggap menjadi faktor penguat untuk bersikap, bertindak, bertingkah laku sesuai dengan ajaran dalam agamanya. Religiusitas memiliki korelasi dengan komitmen seseorang pada pernikahan (Feoh, 2016). Komitmen membantu individu dalam mempersiapkan dan menjalani kehidupan pernikahan. Ini bersesuaian dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zakiah (2013) yang membuktikan bahwa komitmen merupakan salah satu unsur dari cinta yang memiliki korelasi positif dengan kesiapan menikah pada masa usia dewasa awal. Mosko dan Pistole (2010) pun mengatakan bahwa religiusitas memiliki kontribusi dalam kesiapan menikah seseorang.
Pentingnya kesiapan menikah dan keterkaitannya dengan religiusitas terungkap juga dalam wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada tiga orang mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia pada tanggal 15 Desember 2022. Mereka berpendapat
bahwa kesiapan menikah perlu dimiliki oleh mahasiswa karena pernikahan merupakan kehidupan yang belum pernah dijalani sebelumnya, sehingga perlu adanya persiapan agar terhindar dari perceraian. Selain itu, mereka pun mengatakan bahwa pernikahan bukan hanya dilakukan karena alasan duniawi, melainkan terdapat alasan spiritual yang melandasinya. Mereka pun menunda pernikahan dikarenakan merasa bahwa dirinya belum siap menikah untuk saat ini. Banyak hal yang perlu dibenahi dan diselesaikan terlebih dahulu sebelum masuk ke jenjang pernikahan. Menurut mereka, pernikahan adalah hal yang sakral karena kelak akan dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan.
Penelitian yang dilakukan Zajuli (2020) pada mahasiswa semester enam Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar tahun ajaran 2014/2015 di Universitas Majalengka, menerangkan bahwa profil kesiapan menikah dan hidup berkeluarga mahasiswa berada pada kategori sedang.
Ini menandakan bahwa kesiapan menikah mahasiswa belum optimal pada setiap aspek, yaitu aspek kesiapan diri dalam memilih pasangan hidup, belajar hidup bersama dalam membina rumah tangga dan berkeluarga, serta merawat dan mendidik anak. Ini bersesuaian dengan penelitian yang dilakukan oleh Sugandhi (2010) pada mahasiswa semester enam Universitas Pendidikan Indonesia pada tahun 2010, hasil menunjukkan bahwa 50,12% mahasiswa menyatakan sudah memiliki kesiapan diri untuk menikah dan hidup berkeluarga dan sisanya 49,88% berada pada kategori belum memiliki kesiapan diri untuk menikah dan hidup berkeluarga.
Mahasiswa yang memiliki permasalahan terkait kesiapan menikahnya membutuhkan bantuan untuk mempersiapkan diri, merencanakan, dan mempersiapkan pernikahan sesuai dengan harapannya.
Layanan bimbingan dan konseling di perguruan tinggi hadir untuk membantu mahasiswa terkait permasalahan kesiapan menikahnya.
Perguruan tinggi dapat membantu mahasiswa dengan membuat program BK yang sesuai dengan Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik (SKKPD). Salah satu SKKPD yang perlu dituntaskan oleh mahasiswa adalah berkenaan dengan aspek perkembangan kesiapan diri untuk menikah
dan berkeluarga. ABKIN menguraikan SKKPD untuk dijadikan acuan dalam merumuskan kompetensi yang hendak dicapai oleh mahasiswa sebagai bagian dari program bimbingan dan konseling di perguruan tinggi (Rusmana, 2019). Program bimbingan dan konseling di perguruan tinggi ini memuat berbagai macam layanan guna membantu permasalahan yang dimiliki oleh mahasiswa.
Layanan bimbingan dan konseling dapat dikembangkan berdasarkan urgensi kesiapan menikah dan hidup berkeluarga sesuai dengan tugas-tugas perkembangan, SKKPD, nilai-nilai religius, serta kajian yang komprehensif tentang kebutuhan faktual mahasiswa terhadap pelayanan tersebut. Layanan bimbingan dan konseling diharapkan dapat memfasilitasi kebutuhan mahasiswa, khususnya kesiapan menikah dan hidup berumah tangga agar mereka dapat menjalani kehidupan pernikahan dengan memuaskan (Zajuli, 2020).
C. Identifikasi Masalah
Terdapat beberapa penelitian yang menjelaskan bahwa kesiapan menikah dipengaruhi oleh beberapa faktor selain religiusitas. Penelitian yang dilakukan oleh Rembulan (2020) mengungkapkan bahwa kesiapan menikah dipengaruhi dan berhubungan positif dengan konsep diri. Konsep diri yang positif, akan meningkatkan kesiapan menikah, sedangkan konsep diri yang negatif, akan menurunkan tingkat kesiapan menikah mahasiswa.
Selain itu, menurut Ajeng Rizki Aulia (2020) menjelaskan bahwa kesiapan menikah pun dipengaruhi oleh dukungan sosial orang tua. Kesiapan menikah memiliki hubungan positif dengan dukungan sosial orang tua yang artinya peningkatan kesiapan menikah akan bersamaan dengan peningkatan dukungan sosial orang tua. Juga, kesiapan menikah seseorang dapat dipengaruhi oleh kematangan emosinya. Hal ini dijabarkan dalam penelitian Jessika Rissa Davita (2021) yang menyatakan bahwa kesiapan menikah memiliki korelasi atau memiliki hubungan yang signifikan dengan derajat hubungan sangat kuat dan bentuk hubungan positif.
Semakin tinggi kematangan emosi semakin tinggi pula kesiapan menikah seseorang.
Selain religiusitas memengaruhi kesiapan menikah individu, religiusitas pun memiliki pengaruh terhadap bidang lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh Khamsia Jas (2020) menyatakan bahwa religiusitas memengaruhi dan berhubungan positif dengan konsep diri mahasiswa tingkat akhir. Semakin tinggi tingkat religiusitas seseorang, maka semakin tinggi pula konsep diri pada mahasiswa tingkat akhir. Selain itu, religiusitas pun memengaruhi dan memiliki hubungan yang positif dengan kesadaran diri mahasiswa (Akbar, Amalia, & Fitriah, 2018). Hal ini disebabkan dimensi keberagamaan meningkatkan kesadaran diri, lebih peka sebagaimana agama adalah untuk menata kehidupan manusia agar lebih baik, bahagia dan selamat dunia akhirat. Juga, menurut penelitian Yulianti (2021) menyatakan bahwa religiusitas berpengaruh pada kecemasan mahasiswa dalam menghadapi pandemi Covid-19. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara religiusitas dengan kecemasan dalam menghadapi pandemi Covid-19 pada mahasiswa.
Di Indonesia, Kusumotomi, (2015), Iswari, (2015), Fiqi, (2016), dan Putri (2019) sudah melakukan penelitian tentang hubungan antara religiusitas dengan kesiapan menikah di usia dewasa awal. Ada sejumlah batasan penelitian tentang hubungan antara religiusitas dengan kesiapan menikah di Indonesia. Kelemahan pertama adalah penelitian sering berfokus pada religiusitas di agama Islam saja. Hal ini terlihat dari sampel penelitian yang keseluruhannya menganut agama Islam. Hasil penelitian pun belum menunjukkan kecenderungan terhadap salah satu kesimpulan dominan tertentu mengenai hubungan antara religiusitas dengan kesiapan menikah. Ini pun merupakan kelemahan lain dari hasil penelitian yang sudah ada di Indonesia terkait hubungan antara religiusitas dengan kesiapan menikah. Dari penelitian yang sudah dilakukan, dua penelitian yakni Kusumotami (2015) dan Iswari (2015) menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara religiusitas dengan kesiapan menikah, sedangkan dua penelitian lainnya yakni Fiqi (2016) dan Putri (2019) menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan antara religiusitas dengan kesiapan menikah.
Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Mosko & Pistole (2010) di Illinois, USA. Penelitian ini berusaha mengungkap hubungan antara religiusitas dengan kesiapan menikah mahasiswa. Penelitian tersebut dilakukan kepada 249 mahasiswa yang berusia 17 tahun hingga 52 tahun di Midwestern University. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan di Indonesia adalah religiusitas yang diukur pada penelitian ini bersifat universal, yakni tidak berasal dari satu agama tertentu.
Faktor yang mempengaruhi kesiapan menikah pada individu, yaitu fisiologis, sosial ekonomi, religiusitas, psikologis, dan pasangan (Walgito, 2000). Studi yang dilakukan oleh Juliana (2019) menyatakan bahwa religiusitas menjadi faktor yang mempengaruhi kesiapan menikah. Tingkat religiusitas yang tinggi cenderung membuat orang dapat berfikir positif pada segala hal. Penelitian yang dilakukan Dewi (2006) pun mendukung hal tersebut bahwa religiusitas berpengaruh pada kesiapan menikah.
Kesamaan agama dapat meminimalisir munculnya pertikaian akibat perbedaan keyakinan yang dianut. Faktor religiusitas pada diri individu, khususnya mahasiswa menjadi sangat penting karena dapat memengaruhi perilaku, sikap, dan perkataan, serta seluruh pilihan hidupnya yang berdasarkan aturan agama, tak terkecuali dalam pernikahan (Fatharani, 2021).
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang membahas mengenai hubungan antara religiusitas dengan kesiapan menikah pada mahasiswa dari berbagai agama di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, dengan berusaha menjembatani keterbatasan penelitian yang ada sebelumnya. Keterbatasan yang pertama adalah karena penelitian di Indonesia cenderung berfokus pada religiusitas Islam, padahal menurut Wiludjeng (2020), setiap agama akan memaknai arti pernikahan sesuai dengan keyakinannya sehingga untuk mengetahui hubungan antara religiusitas dengan kesiapan menikah perlu juga sudut pandang religiusitas yang bukan hanya berfokus pada religiusitas Islam, terlebih di Indonesia memiliki beragam agama yang dianut oleh penduduknya.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dideskripsikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran religiusitas pada mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia?
2. Bagaimana gambaran kesiapan menikah pada mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia?
3. Apakah terdapat hubungan antara religiusitas dengan kesiapan menikah pada mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk memperoleh:
1. Gambaran religiusitas mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.
2. Gambaran kesiapan menikah mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.
3. Data terkait hubungan antara religiusitas dengan kesiapan menikah mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu manfaat praktis dan manfaat teoritis yang dijelaskan secara lebih rinci sebagai berikut.
1. Manfaat Teoretis
Peneliti ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk perkembangan ilmu dibidang Bimbingan dan Konseling terkait religiusitas dan kesiapan menikah mahasiswa.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Individu Dewasa Awal
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan referensi kepada individu dewasa awal, khususnya mahasiswa, agar saat akan
memutuskan untuk menikah dapat mempersiapkan diri dengan baik dan memperhatikan faktor-faktor kesiapan menikah, khususnya religiusitas.
b. Bagi Peneliti Lain
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi literatur untuk melakukan penelitian selanjutnya terkait dengan religiusitas dan kesiapan menikah mahasiswa.
c. Bagi Konselor di Perguruan Tinggi
Konselor di Perguruan Tinggi diharapkan mendapatkan manfaat dari penelitian ini berupa informasi dan tambahan ilmu pengetahuan terkait gambaran Religiusitas dan kesiapan menikah mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia dan data mengenai hubungan antara religiusitas dengan kesiapan menikah mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Konselor di Perguruan Tinggi dapat menindaklanjuti dan membantu mengatasi masalah yang berkaitan dengan religiusitas dan kesiapan menikah pada mahasiswa.
G. Kajian Teoritis
1. Kesiapan Menikah
a. Pengertian Kesiapan Menikah
Bob & Blood (1978) mengungkapkan bahwa kesiapan menikah adalah kapasitas dan sumber daya yang unik untuk mengklasifikasikan dan mengatur elemen-elemen kehidupan secara objektif dalam mengambil kendali kehidupan pernikahan. Duvall dan Miller (1985) mengemukakan kesiapan menikah mengacu pada kesiapan atau kemauan untuk berhubungan dengan pasangan, memikul tanggung jawab sebagai suami atau istri, melakukan aktivitas seksual, mengatur keluarga, dan membesarkan anak.
Selain itu, Badger (2005) mendefinisikan kesiapan menikah sebagai kemampuan individu untuk membentuk tugas, peran, dan tanggung jawab pernikahan agar sesuai dengan tuntutan pasangan suami istri.
Larson (1988) mendefinisikan kesiapan menikah sebagai persepsi individu terhadap kesiapan dirinya sendiri untuk memikul tugas dan ujian dalam pernikahan. Penilaian kapasitas seseorang untuk menggambarkan dirinya dalam peran pernikahan dikenal juga sebagai kesiapan menikah (Holman & Li, 1997). Individu dikatakan “siap menikah” jika memiliki gambaran tentang pernikahan yang ingin dimilikinya dan informasi serta kemampuan yang akan dibutuhkan di kemudian hari dalam pernikahannya (Wulandari, 2020).
Dari penjelasan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa kesiapan menikah merupakan penilaian individu terhadap persiapan dirinya untuk memulai hidup berumah tangga dengan segala tugas dan tanggung jawab yang diterima ketika menikah.
b. Dimensi Kesiapan Menikah
Bob & Blood (1978) mengemukakan terdapat dua dimensi kesiapan menikah, yaitu:
1) Kesiapan pribadi (personal readiness)
Kesiapan pribadi didefinisikan sebagai sejauh mana seseorang mengabdi dan berkomitmen terhadap pernikahannya dengan berbagai resiko yang ada pada pernikahan tersebut.
Pernikahan mengharuskan seseorang untuk mudah beradaptasi dan peka terhadap kebutuhan dari pasangan. Kesiapan individu dapat diukur dari kematangan emosi, kesiapan fisik, kematangan sosial, emosi yang sehat, dan kesiapan model peran.
a) Kematangan emosi (emotional maturity)
Kapasitas untuk mengenali emosi diri sendiri dan menyadari diri sendiri disebut sebagai kematangan emosi.
Perubahan dan masalah yang dialami oleh individu menghasilkan kematangan emosional yang menandakan individu tersebut telah dewasa. Individu mendapatkan kesadaran akan emosinya sebagai hasil dari pengalaman dan belajar terkait
bereaksi terhadap suatu peristiwa dari berbagai sudut pandang (Bob & Blood, 1978).
b) Kesiapan usia (old enough to get married)
Pasangan yang berusia lebih muda saat menikah memiliki tingkat perceraian yang lebih tinggi. Meskipun demikian, tidak selalu individu yang menikah pada usia yang lebih muda itu gagal, tetapi mereka memang harus menghadapi tantangan yang lebih menantang (Bob & Blood, 1978).
c) Kematangan sosial (social maturity)
Kematangan sosial meliputi pengalaman berkencan dan pengalaman hidup sendiri. Pengalaman berkencan berkaitan dengan keseriusan individu dalam berkomitmen terhadap seseorang spesial dan menghiraukan lawan jenis yang tidak dikenal terlalu dekat. Sedangkan, pengalaman hidup sendiri berkaitan dengan cukupnya waktu hidup melajang sebelum memutuskan menikah.
d) Emosi yang sehat (emotional health)
Individu membutuhkan bantuan saat dirinya gagal berkembang secara emosi. Ini akan berdampak pada kesiapan menikahnya. Kepribadian individu yang kompleks dapat menyebabkan permasalahan terkait emosi, seperti curiga, kemurungan, dan kecemasan.
e) Kesiapan model peran (role preparation).
Terdapat banyak sekali orang yang belajar menjadi suami atau istri yang terbaik dengan melihat contoh dari orang tuanya. Kehidupan pernikahan membutuhkan penyesuaian terkait peran dan tugas sebagai suami atau istri. Individu yang memiliki figur orang tua yang baik akan memiliki kemungkinan kesiapan menikah yang lebih baik karena model peran memengaruhi kesiapan menikah.
2) Kesiapan situasi (circumstantial readiness) a) Kesiapan finansial (financial resources)
Pernikahan individu yang masih didanai dan dibantu oleh orang tuanya dapat memengaruhi keharmonisan rumah tangganya. Individu yang memiliki pendapatan yang tinggi cenderung memiliki tingkat kemungkingan untuk menikah yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang berpendapatan rendah.
b) Kesiapan waktu (resources of time).
Persiapan menikah dapat berjalan dengan baik dan lancar jika diberi waktu yang cukup untuk mempersiapkannya.
Persiapan yang terburu-buru untuk menikah akan berdampak buruk pada kelangsungan hidup berumah tangga.
c. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kesiapan Menikah
Holman & Li (1997) menyatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kesiapan menikah pada individu, yaitu:
1) Keluarga asal
Jika individu berinteraksi dengan baik dengan orang lain di keluarga asalnya, kemungkinan besar individu tersebut juga akan lebih rukun dengan pasangannya dan lebih siap untuk menikah.
2) Dukungan sosial
Dukungan sosial dari teman dan keluarga akan memberikan dampak positif terhadap kesiapan menikah individu.
3) Kualitas komunikasi dan tingkatan komitmen pasangan
Ketika pasangan memiliki kualitas komunikasi yang baik, maka itu akan meningkatkan kesiapan seseorang untuk menikah.
4) Karakteristik sosiodemografi
Menurut sosiodemografi, pasangan terhubung lebih baik dan umumnya lebih siap untuk menikah dengan calon pasangan yang lebih tua, lebih kaya, dan lebih berpendidikan.
5) Sikap dalam kebebasan pribadi
Kebebasan pribadi dan kesiapan menikah adalah hal yang berlawanan. Semakin banyak sikap terhadap kebebasan pribadi, maka semakin kurang siap seseorang untuk menikah.
6) Daya tarik yang dimiliki.
Berbeda dengan wanita yang tidak menganggap penampilan sebagai faktor penentu siap atau tidaknya menikah, pria cenderung tetap melajang jika menurutnya dirinya itu menarik dan tampan.
Di Indonesia, Sunarti dan Sari (2013) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa faktor-faktor yang dapat memengaruhi kesiapan menikah pada dewasa awal adalah:
1) Kesiapan emosi (kemampuan empati dan mengontrol emosi) 2) Sosial (kognisi sosial, keterampilan sosial, dan toleransi) 3) Kemampuan finansial
4) Komunikasi 5) Usia
6) Peran.
Walgito (2000) mengemukakan terdapat lima faktor yang memengaruhi kesiapan menikah, yaitu:
1) Fisiologis 2) Sosial ekonomi
3) Agama dan religiusitas 4) Psikologis
5) Pasangan
Pratiwi (2018) menjelaskan juga dalam penelitiannya bahwa terdapat empat faktor yang memengaruhi kesiapan menikah, yaitu:
1) Faktor fisiologis
Faktor fisiologis terdiri dari kesehatan dan keturunan.
Kesehatan merupakan hal yang penting dalam pernikahan.
Selain itu, individu yang sudah menikah pun perlu memerhatikan terkait keturunan dan hubungan seksual yang wajar atau tidak. Maka
dari itu, faktor keturunan dan hubungan seksual pun menjadi hal yang penting dalam kesiapan menikah (Dewi, 2006).
2) Significant other and sociodemographic (tingkat pendidikan, usia, dan pendapatan)
Significant other and sociodemographic (tingkat pendidikan, usia, dan pendapatan) memiliki pengaruh yang penting dalam kesiapan menikah seseorang. Pada umumnya, seseorang yang tingkat pendidikannya cukup tinggi, usia yang matang, dan pendapatan yang cukup akan memiliki kesiapan menikah yang baik.
3) Religiusitas
Religiusitas merupakan faktor yang penting terhadap kesiapan menikah individu (Gunnels, 2013). Kesamaan agama dapat memperkecil kemungkinan terjadinya pertikaian akibat perbedaan keyakinan (Dewi, 2006).
4) Faktor psikologis
Faktor psikologis meliputi kematangan emosi, toleransi, sikap saling memahami kebutuhan masing-masing individu, dapat saling memberi dan menerima kasih sayang, serta sikap saling percaya (Holman & Li, 1997). Selain itu, tingkat stres individu pun menjadi faktor psikologis yang memengaruhi kesiapan menikah seseorang (Rahayu, Hardjono, & Agustin, 2012).
d. Pengukuran Kesiapan Menikah
Criteria of marriage readiness yang dikembangkan Badger (2005) menggunakan skala likert 1-4 dengan alternatif pilihan sangat tidak penting, tidak penting, penting, dan sangat penting.
Instrumen ini terdiri dari kuesioner untuk usia 18, 21, dan 25 tahun untuk menentukan kesiapan seseorang dalam menghadapi pernikahan dan kehidupan keluarga.
Instrumen ini dikembangkan berdasarkan teori Bob &
Blood (1976) yang meliputi dua dimensi, yaitu kesiapan pribadi untuk menikah (personal readiness for marriage) dan kesiapan situasi
(circumstantial readiness). Kesiapan pribadi untuk menikah (personal readiness for marriage) meliputi kematangan emosi, kesiapan usia, kematangan sosial, kesehatan emosi, dan kesiapan model peran. Juga, kesiapan situasi meliputi kesiapan waktu dan kesiapan finansial.
2. Religiusitas
a. Pengertian Religiusitas
Madjid (dalam Lestari & Purwati, 2002) menyatakan bahwa religiusitas mempunyai arti yang lebih dalam daripada agama formal, publik, dan resmi karena dibentuk oleh keyakinan pada realitas supra-empiris secara fundamental. Religiusitas mengacu pada aspek yang dihayati dan diinternalisasikan oleh seseorang, sedangkan agama lebih mengacu pada aspek formal dari hukum dan kewajiban (Istiqomah, 2004). Dari segi psikologis, memahami agama saja tidak cukup. Psikologi lebih tertarik untuk melihat bagaimana pemeluk agama tertentu dipengaruhi oleh perasaan, pikiran, dan tindakannya (Istiqomah, 2004).
Religiusitas merupakan sistem kepercayaan, sikap, dan ritual yang kompleks yang mengikat manusia pada suatu keberadaan tertentu atau pada sesuatu yang bersifat religius (Daradjat, 2007). Religiusitas merupakan aspek yang telah dihayati oleh individu di dalam hati, getaran hati nurani pribadi, dan sikap personal (Mangunwijaya, 1986). Religiusitas adalah internalisasi prinsip- prinsip keagamaan oleh seseorang Internalisasi dalam konteks ini mengacu pada keyakinan terhadap ajaran agama yang diungkapkan baik secara lisan maupun batin. Keyakinan tersebut kemudian diwujudkan dalam perilaku dan aktivitas sehari-hari (Aviyah & Farid, 2014).
Pengertian religiusitas menurut Glock (1962) yang kemudian dikembangkan oleh Stark dan Glock (1968) digambarkan sebagai pengabdian/komitmen seseorang terhadap agama yang dianutnya. Religiusitas didefinisikan tingkat pengetahuan, derajat
keyakinan, ketaatan pada ritual dan norma, serta penghayatan terhadap agama yang dianutnya. Religiusitas berkaitan dengan unsur komitmen yang dianggap menjadi faktor penguat untuk bersikap, bertindak, bertingkah laku sesuai dengan ajaran dalam agamanya.
Dari penjelasan yang dipaparkan, religiusitas merupakan penghayatan seseorang terhadap prinsip-prinsip keagamaannya yang memengaruhi cara berbicara, berpikir, dan bertindaknya dalam kehidupan sehari-hari. Religiusitas dimiliki seseorang karena adanya komitmen terhadap ajaran agamanya.
b. Dimensi Religiusitas
Stark & Glock (1968) menyatakan bahwa religiusitas pada individu secara multidimensional melalui lima dimensi, yaitu:
1) Dimensi intelektual (intellectual)
Dimensi intelektual mengacu pada pemahaman pribadi seseorang terkait ajaran agamanya. Menurut Glock (1962), dimensi intelektual berkaitan dengan harapan sosial bahwa umat beragama akan memiliki pengetahuan tentang prinsip- prinsip inti dari agama yang dianutnya. Pengetahuan ini dapat diambil dari tulisan kitab suci yang mempengaruhi kepercayaan mereka. Oleh karena itu, ditekankan dalam dimensi ini agar umat beragama sadar akan ajaran agama yang dianutnya.
Frekuensi seseorang mempertimbangkan dan memikirkan topik-topik keagamaan merupakan indikator umum dari dimensi intelektual.
2) Praktik publik (public practice)
Dimensi praktik publik merujuk pada ritual keagamaan individual yang dilakukan dan diketahui oleh individu lain.
Dimensi praktik publik dijelaskan oleh Stark & Glock (1968) sebagai dedikasi untuk melakukan ritual. Karena sumbangan yang dilakukan oleh individu diketahui oleh orang lain selain dari penyumbang itu sendiri, maka praktik keagamaan dalam dimensi ini dikenal sebagai praktik keagamaan publik. Orang- orang yang berpartisipasi dalam upacara keagamaan mendorong
diri mereka sendiri untuk menganut sistem kepercayaan yang terhubung. Komitmen ritual yang dibuat sehubungan dengan agama yang dianut secara terbuka, seperti doa, ibadah, partisipasi organisasi, afiliasi dengan agama tertentu, dan kegiatan keagamaan lainnya.
3) Praktik pribadi (private practice)
Kesalehan individu untuk melakukan ritual keagamaannya secara diam-diam disebut sebagai dimensi praktik pribadi.
Dimensi praktik pribadi didefinisikan oleh Stark & Glock (1968) sebagai jenis ritual keagamaan yang lebih khusus yang juga disebut devosional. Devosional dalam bahasa Indonesia berarti kesalehan. Dimensi ini bertolak belakang dengan dimensi lain yang lebih formal (Stark & Glock, 1968). Dimensi ini dapat dijadikan tolak ukur mendasar untuk menentukan seberapa dalam komitmen seseorang terhadap agamanya.
Memikirkan agama, belajar, dan beribadah adalah beberapa contoh perilaku yang termasuk dalam dimensi ini. Membaca buku dan berdoa adalah contoh aktivitas individu yang mewakili dimensi ini.
4) Ideologi (ideology)
Keyakinan tertentu pada gagasan agama yang dianut oleh seseorang disebut sebagai dimensi ideologis. Menurut Huber &
Huber (2012), dimensi ini berkaitan dengan harapan sosial bahwa umat beragama memiliki pandangan tentang keberadaan dan sifat realitas transenden serta hubungan antara yang transenden dan manusia. Komponen ideologis digambarkan sebagai keyakinan yang tak tergoyahkan yang dianggap rasional oleh orang-orang terhadap agama pilihan mereka.
Dalam dimensi ini, Glock (1962) menjelaskan bahwa meskipun setiap agama memiliki isi dan ritual ibadah yang berbeda, namun orang yang mengidentifikasi dirinya sebagai seorang yang religius pasti akan memiliki dan menganut keyakinan tertentu.
5) Pengalaman religius (religious experience).
Pengalaman religius merujuk pada pengetahuan atau perasaan emosional yang langsung didapatkan oleh individu terkait agama yang dianutnya. Menurut Glock (1962), dimensi pengalaman religius adalah pengalaman individu dalam memperoleh pengetahuan langsung tentang realitas tertinggi atau melalui emosi keagamaan. Setiap orang memiliki harapan unik terhadap agama yang dianutnya. Harapan ini dapat berbentuk pengetahuan langsung atau pengalaman emosional seseorang dengan agama. Dimensi ini dijelaskan oleh Glock (dalam Huber & Huber, 2012), yang mengklaim bahwa orang yang berbeda agama akan memiliki emosi yang berbeda dengan orang lain. Menurut Glock (1962), setiap agama menekankan pentingnya pengalaman religius subjektif yang mencirikan religiusitas pribadi dalam kaitannya dengan pengalaman religius yang unik.
c. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Religiusitas
Faktor-faktor yang memengaruhi religiusitas seseorang antara lain sebagai berikut.
1) Usia
Seiring bertambahnya usia, seseorang tumbuh semakin religius (Hunsberger, 1985). Orang yang lebih tua terbukti lebih religius daripada orang yang lebih muda (Clarke, 2005). Orang yang lebih tua telah mencapai nilai-nilai religius yang lebih tinggi untuk keyakinan dan perilaku religius mereka (Clarke, 2005).
Menurut Seifert (dalam Clarke, 2005), religiusitas seseorang pada usia muda dapat memprediksi religiusitas di kemudian hari.
2) Jenis kelamin
Wanita biasanya dipandang lebih religius daripada pria karena mereka lebih sering berdoa, lebih terlibat dalam topik religius, dan menempatkan nilai yang lebih tinggi pada agama (Hood, Hill, & Spilka, 2009). Hal ini dikatakan terkait dengan sosialisasi
peran gender perempuan yang menyebabkan mereka menjadi lebih tunduk dan menerima segala sesuatu, dimana sebuah pola pikir yang sangat terkait dengan religiusitas (Hood, Hill, &
Spilka, 2009).
3) Budaya dan Tempat tinggal
Sikap dan tindakan terkait agama dalam satu budaya mungkin tidak terlihat sama di budaya lain. Ada kemungkinan sikap dan tindakan yang berkaitan dengan agama dalam satu budaya dipandang negatif oleh budaya lain (Clarke, 2005). Hal ini menunjukkan bagaimana agama seseorang dipengaruhi oleh keragaman budaya dan tempat tinggal.
4) Pendidikan
Perguruan tinggi menyebabkan preferensi agama berubah, terutama tahun pertama. Perkembangan spiritualitas seseorang yang kadang-kadang dapat direpresentasikan melalui agama, diperkirakan dimulai di bangku kuliah (Hood, Hill, & Spilka, 2009).
5) Status Sosial Ekonomi
Tingkat status sosial ekonomi dan religiusitas berkorelasi negatif (Schieman, 2010). Hal ini berimplikasi bahwa tingkat religiusitas seseorang menurun seiring dengan meningkatnya status sosialnya.
Menurut Stausberg (2013), religiuistas pada diri seseorang berbeda-beda karena berhubungan dengan kepribadian seseorang, lingkungan ia bersosialisasi, cara ia belajar, tahap perkembangan, situasi hidup, kognitif, dan proses emosional seseorang yang bersangkutan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi religiusitas menurut Lee, Pearce, & Schorpp (2018) yakni gender, suku, status sosial dan ekonomi, serta pendidikan.
d. Pengukuran Religiusitas
Menurut Robinson & Shaver (dalam Istiqomah, 2004), pengukuran dari Glock & Stark adalah pengukuran yang paling
efektif untuk mengukur religiusitas secara “total approach”. Selain mengkaji literatur empiris tentang religiusitas, Glock & Stark (1968) membuat kemajuan signifikan dalam bidang penelitian agama. Sebenarnya, Glock menggunakan strategi sosiologis dalam strateginya (Huber & Huber, 2012). Pada awalnya Glock mendefinisikan lima inti dasar agama yang dijadikan sebagai kerangka acuan untuk mengukur religiusitas secara umum, yaitu intelektual, ideologis, ritualistik, pengalaman, dan konsekuensial.
Dimensi konsekuensial dihilangkan oleh Glock & Stark pada tahun 1986 dan dimensi ritualistik dipecah menjadi dimensi praktik publik dan praktik pribadi.
Huber & Huber (2012) berpendapat bahwa lima dimensi religiusitas mencakup juga sudut pandang psikologis karena menampilkan mode psikologis yang dapat dibedakan dari representasi konten keagamaan. Dimensi pengalaman merujuk pada pengalaman, persepsi, dan emosi, sementara dimensi ideologis dan intelektual merujuk pada pemikiran, serta dimensi praktik publik dan pribadi merujuk pada tindakan (Huber & Huber, 2012).
The Centrality of Religiousity Scale (CRS) yang diciptakan oleh Huber & Huber (2012) merupakan salah satu alat untuk mengukur religiusitas. Huber & Huber (2012) mengukur religiusitas menggunakan metode multidimensi yang pertama kali dikemukakan oleh Stark & Glock (1968). Untuk menggabungkan ukuran lima dimensi menjadi satu unit, Huber & Huber (2012) memasukkan perspektif psikologis (Allport & Ross, 1967) saat membuat instrumen pengukuran ini. Alat ukur ini dikatakan mampu menilai religiusitas sekaligus dari dua perspektif, yaitu sosiologis yang mencerminkan harapan sosial, dan psikologis yang bersumber dari muatan keagamaan dalam diri individu.
H. Metodologi Penelitian 1. Desain Penelitian
a. Paradigma dan Pendekatan Penelitian
Paradigma yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Paradigma Positivisme. Paradigma positivis merupakan ide fundamental yang menjadi inti dari ontologi realisme, yang menyatakan bahwa semua objek di alam tidak memiliki ruh. Dalam metode ini, penelitian bertujuan untuk menemukan kebenaran melalui perhitungan dan pertimbangan, serta bagaimana cara berpikir itu bekerja (Salim, 2001). Berbeda dengan aliran filsafat, pandangan dunia berdasarkan pengalaman adalah rasional dalam memandang pengetahuan pada puncaknya (Bungin, 2008).
Paradigma Positivisme ini menerapkan penelitian kuantitatif.
Pendekatan kuantitatif adalah suatu strategi untuk menguji gagasan dalam mempelajari hubungan antar variabel yang dievaluasi dengan alat penelitian sehingga data yang berupa angka-angka dapat diolah sesuai dengan tahapan analisis tertentu (Creswell, 2014). Menurut Sugiyono (2017) penelitian kuantitatif didefinisikan sebagai penelitian yang didasarkan pada filosofi positivis dan digunakan untuk menyelidiki populasi atau sampel tertentu, proses pengelompokan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data yang bersifat kuantitatif atau statistik, dan maksud untuk mengusulkan hipotensi yang telah ditentukan.
b. Metode dan Desain Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasional. Korelasional adalah uji statistik untuk menentukan kecenderungan atau pola dua (atau lebih) variabel atau dua set data yang bervariasi secara konsisten (Creswell, 2014). Selain itu, desain penelitian pada penelitian ini adalah explanatory research design. Explanatory research design adalah desain penelitian korelasi yang menjelaskan atau mengklarifikasi tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih pada satu titik waktu (Creswell, 2014).
2. Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia jenjang S1 dengan kriteria tertentu, yaitu berusia 18-25 tahun dan belum menikah.
Penentuan kriteria partisipan ini didasarkan pada modifikasi alat ukur kesiapan menikah yang dapat digunakan oleh individu lajang atau tanpa membutuhkan kesepakatan dengan pasangan. Selain itu, penentuan kriteria partisipan ini pun didasarkan pada tinjauan psikologis yang menyatakan masa dewasa awal dimulai pada usia 18 tahun.
3. Populasi dan Sampel a. Populasi
Populasi adalah kumpulan individu yang memiliki satu ciri yang membedakannya dengan kelompok lainnya (Creswell, 2014).
Populasi dari penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia jenjang S1 yang terbagi ke dalam 9 program studi sebagai berikut.
1) Administrasi Pendidikan 2) Bimbingan dan Konseling 3) Pendidikan Masyarakat 4) Pendidikan Khusus 5) Teknologi Pendidikan
6) Pendidikan Guru Sekolah Dasar
7) Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini 8) Perpustakaan dan Informasi
9) Psikologi b. Sampel
Populasi target adalah daftar unit pengambilan sampel yang sebenarnya dari mana sampel itu dipilih. Sampel adalah kelompok partisipan dalam sebuah penelitian yang dipilih dari populasi target yang peneliti generalisasikan ke populasi target (Creswell, 2014).
Sampel dari penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia jenjang S1 yang
memenuhi kriteria penelitian agar dapat mewakili atau representatif bagi populasi tersebut.
c. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Non-Probability Sampling. Non Probability Sampling adalah teknik pengambilan sampel yang tidak memberikan peluang atau kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2017). Teknik pengambilan sampel yang digunakan, yaitu Purposive Sampling.
Purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiono, 2017). Karakteristik atau kriteria subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1) Berstatus sebagai mahasiswa/i aktif Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia jenjang S1
2) Berusia 18-25 tahun 3) Belum menikah
4. Definisi Operasional Variabel a. Kesiapan Menikah
Kesiapan menikah merupakan persepsi individu terhadap kesiapan dirinya untuk memasuki kehidupan pernikahan dengan segala peran dan tanggung jawab yang ia terima ketika berumah tangga. Bob & Blood (1978) mengemukakan terdapat dua dimensi kesiapan menikah, yaitu:
1) Kesiapan pribadi (personal readiness)
Kesiapan pribadi meliputi sejauh mana individu memiliki komitmen terhadap pernikahan dengan segala konsekuensi yang menyertainya. Pernikahan menuntut individu untuk dapat beradaptasi dan peka terhadap kebutuhan dari pasangan.
Kesiapan individu dapat diukur dari kematangan individu, pengalaman hubungan interpersonal, dan usia individu ketika hendak melakukan pernikahan.
a) Kematangan emosi (emotional maturity) b) Kesiapan fisik (old enough to get married) c) Kematangan sosial (social maturity) d) emosi yang sehat (emotional health) e) Kesiapan model peran (role preparation).
2) Kesiapan situasi (circumstantial readiness)
a) Kesiapan finansial (financial resources) b) Kesiapan waktu (resources of time).
Variabel Definisi Konseptual (Grand Theory)
Definisi Operasional
Dimensi Indikator Skala
Pengukuran Bob & Blood (1978) Individu memiliki Skala Likert
kesiapan menikah kemampuan untuk
adalah kapasitas dan mengenali emosi diri sendiri sumber daya yang unik dan menyadari dirinya
untuk sendiri (Kematangan emosi).
mengklasifikasikan dan Individu memiliki
mengatur elemen- pengalaman berkencan dan
elemen kehidupan Kesiapan pengalaman hidup sendiri secara objektif dalam Pribadi (Kematangan sosial).
Kesiapan mengambil kendali Individu memiliki emosi
Menikah kehidupan pernikahan yang sehat (Kesehatan
emosional).
Individu memiliki kesiapan memerankan dan bertugar menjadi figur suami atau istri (Kesiapan model peran).
Individu memiliki
Kesiapan pendapatan yang cukup
Situasi untuk berumah tangga
(Kesiapan finansial).
Variabel Definisi Konseptual (Grand Theory)
Definisi Operasional
Dimensi Indikator Skala
Pengukuran Individu memiliki persiapan
dan waktu yang tepat untuk menikah (Kesiapan waktu).
b. Religiusitas
Religiusitas merupakan penghayatan individu terhadap ajaran agamanya, yang kemudian berpengaruh pada cara individu bersikap, berkata, dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Stark & Glock (1968) mencoba menjelaskan religiusitas pada diri seseorang secara multidimensional melalui lima dimensi, yaitu:
1) Dimensi intelektual (intellectual)
Dimensi intelektual merujuk kepada pengetahuan individu terkait ajaran agamanya.
2) Praktik publik (public practice)
Dimensi praktik publik mengacu pada ritual keagamaan individu yang dilakukan dan diketahui oleh oranglain selain individu tersebut.
3) Praktik pribadi (private practice)
Dimensi praktik pribadi mengacu pada kesalehannya individu untuk menjalankan ritual keagamaannya tanpa diketahui oleh orang lain.
4) Ideologi (ideology)
Dimensi ideologi mengacu pada keyakinan tertentu pada gagasan agama yang diyakininya.
5) Pengalaman religius (religious experience).
Pengalaman religius mengacu pada perasaan emosi ataupun pengetahuan langsung yang individu dapatkan.
Variabel Definisi Konseptual (Grand Theory)
Definisi Operasional
Dimensi Indikator Skala
Pengukuran
Religiusitas
Religiusitas menurut Glock (1962) yang kemudian
dikembangkan oleh Stark dan Glock (1968) digambarkan sebagai pengabdian/komitmen seseorang terhadap agama yang dianutnya.
Intellect
Individu memiliki pengetahuan dan seri memikirkan topik-topik keagamaan
Skala Likert
Ideology
Individu memiliki keyakinan tertentu pada gagasan agama yang diyakininya.
Public practice
Individu melaksanakan ritual keagamaannya dan berpartisipasi dalam upacara keagamaannya bersama orang lain Private
practice
Individu melaksanakan ritual keagamaannya secara individual
Experience
Individu memiliki pengalaman religius yang mengacu pada perasaan
emosi ataupun
pengetahuan langsung terkait agama yang dianutnya
5. Instrumen Penelitian
Terdapat dua alat ukur dalam bentuk kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini. Pertama, yaitu Criteria for Marriage Readiness (Badger, 2005) yang dimodifikasi oleh Rembulan (2020) untuk mengukur kesiapan menikah dan yang kedua adalah The Centrality of Religiosity Scale (CRS) yakni alat ukur milik Huber & Huber (2012) yang sudah diadaptasi untuk mengukur religiusitas.
a. Kisi-kisi instrumen 1) Kesiapan Menikah
Criteria of marriage readiness yang dikembangkan Badger (2005) dan dimodifikasi oleh Rembulan (2020) ini menggunakan skala likert 1-4 dengan alternatif pilihan sangat tidak sesuai, tidak sesuai, sesuai, dan sangat sesuai. Jawaban berurutan dari paling kiri (sangat tidak sesuai) akan mendapat skor 1,00 dan jawaban paling kanan (sangat sesuai) akan mendapat skor 4,00. Instrumen ini dikembangkan berdasarkan teori Bob & Blood (1976) yang meliputi dua dimensi, yaitu kesiapan pribadi untuk menikah (personal readiness for marriage) dan kesiapan situasi (circumstantial readiness).
Skoring ini berlaku reverse. Berikut ini disajikan kisi-kisi instrumen kesiapan menikah.
No. Dimensi Indikator No. Item Jumlah
F UF Item
1
Kesiapan Pribadi
Individu memiliki kemampuan untuk mengenali emosi diri sendiri dan menyadari dirinya sendiri
(Kematangan emosi).
1, 2, 3, 4, 5 5
2
Individu memiliki pengalaman berkencan dan pengalaman hidup sendiri (Kematangan sosial).
6 & 7 2
3 Individu memiliki emosi yang
sehat (Kesehatan emosional).
8, 9, 10, 11 4
No. Dimensi Indikator No. Item Jumlah Item
F UF
4
Individu memiliki kesiapan memerankan dan bertugar menjadi figur suami atau istri (Kesiapan model peran).
12, 13, 14 15 4
5
Kesiapan Situasi
Individu memiliki pendapatan yang cukup untuk berumah tangga (Kesiapan finansial).
16, 17, 18 3
6
Individu memiliki persiapan dan waktu yang tepat untuk menikah (Kesiapan waktu).
19 1
Total 18 1 19
2) Religiusitas
The Centrality of Religiousity Scale (CRS) yang dikembangkan oleh Huber & Huber (2012) dengan mempertimbangkan dimensi religiusitas milik Stark & Glock (1968) digunakan untuk mengukur religiusitas pada penelitian ini. Alat ukur ini mengukur dimensi dari religiusitas milik Stark
& Glock (1986), yakni pengalaman religius, praktik keagamaan publik, praktik keagamaan pribadi, ideologi, dan intelektual dengan memperoleh skor total dari lima dimensi tersebut.
Alat ukur ini berbentuk skala likert dan terdiri atas lima alternatif jawaban yang disesuaikan dengan kondisi partisipan, yakni sangat tidak sesuai, tidak sesuai, sesuai, dan sangat sesuai.
Jawaban berurutan dari paling kiri (sangat tidak sesuai) akan mendapat skor 1,00 dan jawaban paling kanan (sangat sesuai) akan mendapat skor 4,00. Maka skor pada alat ukur CSR akan diperoleh dengan skor total dibagi dengan jumlah item, yaitu 15 item. Skoring ini berlaku reverse. Berikut ini disajikan kisi-kisi instrumen religiusitas.
No. Dimensi Indikator No. Item Jumlah Item
F UF
1 Intellect Individu memiliki pengetahuan dan seri memikirkan topik-topik keagamaan
1 & 2 3 3
2 Ideology Individu memiliki keyakinan tertentu pada gagasan agama yang diyakininya.
4 & 5 6 3
3 Public practice Individu melaksanakan ritual
keagamaannya dan
berpartisipasi dalam upacara keagamaannya
bersama orang lain
7 & 8 9 3
4 Private practice
Individu melaksanakan ritual keagamaannya secara individual
10 & 11 12 3
5 Experience Individu memiliki pengalaman religius yang mengacu pada perasaan emosi ataupun pengetahuan langsung terkait agama yang dianutnya
13 & 14 15 3
Total 10 5 15
b. Uji Validitas
Uji Validitas merupakan uji yang digunakan untuk mengukur tingkat keefektifan suatu alat ukur atau media ukur untuk memperoleh data. Biasanya digunakan untuk mengukur seberapa efektif suatu kuesioner untuk memperoleh data, lebih tepatnya untuk pertanyaan-pertanyaan yang tercantum di kuesioner. Uji validitas item dilakukan dengan menggunakan bantuan software SPSS Statistic 22. Uji validitas bertujuan untuk menunjukkan tingkat keakuratan suatu tes dalam menjalankan fungsi pengukurannya guna mengungkap data yang diperlukan (Rakhmat & Solehuddin, 2006). Pengukuran yang memiliki validitas tinggi akan
menghasilkan data yang akurat dalam memberikan gambaran mengenai variabel yang diukur (Azwar, 2012). Pengujian validitas pada penelitian ini menggunakan teknik bivariate correlations spearman dengan two tailed. Pengujian validitas pada instrumen kesiapan menikah dan religiusitas dalam penelitian ini akan valid jika nilai sig. (2-tailed) < 0,05 dan bernilai positif.
c. Uji Reliabilitas
Reliabilitas memiliki arti sebuah instrumen dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen sudah baik (Arikunto, 2006). Reliabilitas menunjukkan tingkat ketepatan atau kemantapan (Rakhmat & Solehuddin, 2006).
Instrumen dikatakan reliabel apabila digunakan beberapa kali untuk mengukur objek yang sama, dapat menghasilkan data yang sama (Sugiyono, 2011). Pengujian reliabilitas instrumen bertujuan untuk menganalisis tingkat instrumen dalam menghasilkan skor- skor secara konsisten (Rakhmat & Solehudin, 2006). Uji reliabilitas item dilakukan dengan menggunakan bantuan software SPSS Statistic 22. Pengujian reliabilitas pada penelitian ini menggunakan teknik analisis Cronbach’s Alpha. Pengujian reliabilitas pada instrumen kesiapan menikah dan religiusitas dalam penelitian ini akan reliabel atau konsisten jika nilai Cronbach’s Alpha > 0,60 (Sujerweni, 2014).
6. Prosedur Penelitian
Prosedur dalam penelitian ini melalui beberapa tahapan sebagai berikut.
a. Tahapan Persiapan
1) Menyusun proposal penelitian.
2) Mempresentasikan proposal penelitian di depan dosen dalam kegiatan seminar proposal.
3) Melakukan permohonan dan mengajukan judul pada dosen pembimbing satu serta dosen pembimbing dua.
4) Menentukan pendekatan serta menentukkan variabel serta sumber data.
5) Menentukkan instrumen yang akan digunakan dalam proses pengambilan data.
6) Membuat surat permohonan izin penelitian di Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia.
b. Tahapan Pelaksanaan
1) Mengajukan surat perizinan penelitian di Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia.
2) Melaksanakan pengambilan data di Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia.
3) Mengumpulkan dan menganalisis data.
4) Menjelaskan perolehan proses mengelola data dan menarik kesimpulan
c. Tahapan Pelaporan
1) Menyusun laporan akhir.
2) Mempresentasikan dan mempertanggungjawabkan laporan akhir di sidang akhir penelitian
3) Melakukan revisi atau perbaikan setelah sidang akhir penelitian jika diperlukan.
7. Analisis Data
Analisis data bertujuan untuk mengetahui hubungan religiusitas dengan kesiapan menikah pada mahasiswa. Peneliti menggunakan Microsoft Excel dan Spearman Correlation pada SPSS Versi 22.
Spearman rho Correlation digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yang berskala ordinal (statistik non-parametrik).
Spearman rho Correlation digunakan untuk melihat tingkat kekuatan (keerata) hubungan antara religiusitas dengan kesiapan menikah pada mahasiswa, melihat arah (jenis) hubungan antara religiusitas dengan kesiapan menikah pada mahasiswa, dan melihat apakah hubungan tersebut dapat dikatakan signifikan atau tidak.
I. Agenda Kegiatan
No Jenis Kegiatan Tahun 2022
1 2 3 4 5 6
A PERSIAPAN 1 Penulisan Proposal 2 Seminar dan Bimbingan
Proposal
B PELAKSANAAN 1 Studi Literatur 2 Pengumpulan data 3 Pengolahan data 4 Analisis data 5 Implementasi dan
bimbingan hasil
6 Penyusunan draf laporan C PENGENDALIAN 1 Monitoring dan Evaluasi 2 Penulisan Revisi
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Amalia, & Fitriah. (2018). Hubungan Relijiusitasdengan Self Awareness Mahasiswa Program Studi Bimbingan Penyuluhan Islam (Konseling) UAI.
Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Humaniora, 4(4).
Allport, G. W., & Ross, J. M. (1967). Personal religious orientation and prejudice.
Journal of Personality and Social Psychology, 5(4), 432-443.
doi:http://dx.doi.org/10.1037/h0021212
Arikunto, S. (2006). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Bumi Aksara.
Arnett, J. J. (2006). Emerging adulthood in Europe: A response to Bynner.
Journal of youth studies, 9(1), 111-123.
Arnett, J. J., Žukauskienė, R., & Sugimura, K. (2014). The new life stage of emerging adulthood at ages 18–29 years: Implications for mental health.
The Lancet Psychiatry, 1(7), 569-576.
Aulia, Ajeng Rizki. (2020). Hubungan Antara Dukungan Sosial Orang Tua Dengan Kesiapan Menikah. [Skripsi]. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.
Aviyah, Evi & Farid, Muhammad. (2014). Religiusitas, Kontrol Diri dan Kenakalan Remaja. Persona Jurnal Psikologi Indonesia, 02, 127.
Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan Validitas.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Badan Pusat Statistik. (2022). Statistik Indonesia 2022. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Badger, S. (2005). Ready or Not? Perceptions of Marriage Readiness Among Emerging Adults. [Disertasi]. Provo: Brigham Young University.
Blood, R. O. (1969). Marriage. 2nd ed. New York.
Bob, M & Blood, B. (1978). Marriage (3rd ed). New York: Free Press.
Bungin, Burhan. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Clarke, S. (2005). Religiosity and Spirituality in Younger and Older Adults.
Disertasi. University of North Texas.
Crandell, T., Crandell, C., Zanden, J. (2012). Human Development, 10th Edition.
New York: Mc Graw-Hill.
34
35
Creswell, J. W. (2014). Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quanitative and Evaluating Quaitative. Boston Columbia:
University of Nebraska–Lincoln.
Daradjat, Zakiah. (2007). Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Davita, Jessika Rissa. (2021). Hubungan antara Kematangan Emosi dengan Kesiapan Menikah pada Dewasa Awal. Jurnal Penelitian Psikologi, 8(7).
Dewi, I. (2006). Kesiapan Menikah pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja.
USU Repository.
Duvall dan Miller. (1985). Marriage and Family Development. Newyork: Harper
& Row.
Fatharani, A. N. (2021). Hubungan antara Religiusitas dengan Kesiapan Menikah pada Dewasa Awal di Indonesia. [Skripsi]. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Fatma, S. & Sakdiyah, E. (2015). Perbedaan Kebahagiaan Pasangan Pernikahan dengan Persiapan dan Tanpa Persiapan pada Komunitas Young Mommy Tuban. Jurnal Psikologi Tabularasa, 10 (1), 103-114.
Feoh, N. C. (2016) Hubungan antara religiusitas intrinsik dan komitmen aktif.
[Skripsi]. Jogja: Universitas Sanata Dharma .
Fiqi, A. N. (2016). Hubungan antara religiusitas Islam dan kesiapan menikah pada dewasa muda. [Skripsi]. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Glock, C. Y. (1962). On the study of religious commitment.
Gunnels, M. (2013). The Impact of Self Esteem and Religiuosity on the Marital Readiness Criteria of College Students. [Thesis]. Amerika Serikat:
University of Southern Mississippi.
Harahap L., Al ghozaly, M. S., & Sutikno, E. (2016). Hubungan Religiusitas Dengan Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja Mahasiswa Tingkat Akhir Jurusan Bimbingan Dan Konseling Islam Fakultas Ushuluddin Dan
Dakwah IAIN Surakarta. Perpustakaan Fakultas Ushuluddin & Dakwah. https://fud.iain-
surakarta.ac.id/akasia/index.php?p=show_detail&id=374&keywords=
Holman, T. B., & Li, B. D. (1997). Premarital factors influencing perceived readiness for marriage. Journal of Family Issues, 18, 124-144.
Hood, Jr., R.W., Hill, P. C., & Spilka, B. (2009). The Psychology of Religion: An Empirical Approach (4th ed.). New York, NY: Guilford Press.
Huber, S., & Huber, O. W. (2012). The centrality of religiosity scale (CRS).
Religions, 3(3), 710-724.
Hunsberger, B. (1985). Religion, Age, Life Satisfaction, and Perceived Sources of Religiousness: A Study of Older Persons. Journal of Gerontology, 40(5), 615-620.
Istiqomah, N. (2004). Hubungan antara religiusitas dan kesiapan untuk memaafkan pada mahasiswa yang beragama Islam. [Skripsi]. Depok:
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Istiqomah, N. (2004). Hubungan antara religiusitas dan kesiapan untuk memaafkan pada mahasiswa yang beragama Islam. [Skripsi]. Depok:
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Iswari, F.P. (2014). Hubungan antara Persepsi Parental Attachment dan Religiusitas dengan Kesiapan Menikah pada Mahasiswa Muslim Psikologi UPI. [Skripsi]. Bandung: Univesitas Pendidikan Indonesia.
Jas, Khamsia. (2020). Hubungan Religiusitas dengan Konsep Diri pada Mahasiswa Tingkat Akhir Fakultas Agama Islam Universitas Islam Riau.
[Skripsi]. Pekan Baru: Fakultas Psikologi Universitas Islam Riau.
Juliana, A. (2019). Pengaruh Religiusitas Dan Self Compassion Terhadap Kesiapan Menikah Pada Dewasa Awal. [Skripsi]. Jakarta: Universitas Negri Syarif Hidayatullah.
Kefalas, dkk. (2011). Marriage is More Than Being Together: The Meaning of Marriage for Young Adults. Journal of Family Issues, 32(7), 845-875.
King, L. A. (2014). Psikologi Umum. Jakarta: Salemba Humanika.
Kusumotami, A. F. (2015). Hubungan antara religiusitas dan kesiapan menikah emerging adult suku betawi yang beragama Islam. [Skripsi]. Jakarta:
Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara.
Larson, J. H. (1988). Factors influencing college studentsí perceived readiness for marriage. Family Perspective, 22, 145-156.
Larson, J. H., & LaMont, C. (2005). The relationship of childhood sexual abuse to the marital attitudes and readiness for marriage of single young adult women. Journal of family issues, 26(4), 415-430.
Lee, B. H., Pearce, L. D., & Schorpp, K. M. (2018). Religious pathways from adolescence to adulthood. PubMed Central (PMC).
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5912683/
Lestari & Purwati. (2002), Hubungan antara Religiusitas dengan Tingkah Laku Koping,
http://journals.ums.ac.id/index.php/indigenous/article/view/4617/3006.
Mangunwijaya, Y. B. (1986). Menumbuhkan Sikap Religius Anak. Jakarta:
Gramedia.
Mosko, J. E. & Pistole, M. C. (2010). Attachment and religiousness:
Contributions to young adult marital attitudes and readiness. The Family Journal, 18(2), 127-135.
Munawaroh, A.Q., Rofiah, N., Kodir, F.A., & Muzayyanah, I. (2016). Modul bimbingan perkawinan untuk calon pengantin. Jakarta: Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
Octaviani, F. (2020). Dampak Pernikahan Usia Dini Terhadap Perceraian Di Indonesia. Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, 2(2), 33-52.
Papalia, D.E., & Feldman, R.D. (2012). Experience human development (12th ed.).
NY: McGraw-Hill.
Pratiwi, D. (2018). Pengaruh Harapan dan Kebersyukuran terhadap Kesiapan Menikah Dewasa Awal di Kota Bandung. [Skripsi]. Bandung: UPI.
Putri, H., S. (2019). Hubungan antara religiusitas Islam dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang sedang melakukan ta’aruf. [Skripsi]. Jakarta:
Universitas Negeri Jakarta.
Puspitasari, A. (1997). Adaptasi alat ukur kesiapan perkawinan California marriage readiness evaluation (Adaptasi, uji reliabilitas & validitas pada kelompok sampel dewasa muda). [Skripsi]. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Rahayu, V.B., Hardjono, & Agustin, R.W. (2012). Tingkat Stress ditinjau dari Kesiapan Menikah dan Kecerdasan Emosi pada Mahasiswa Tingkat Akhir Prodi Psikologi Univeristas Sebelas Maret. Jurnal Psikologi, 7(3), 1-28.
Rakhmat, C., & Solehuddin. (2006). Pengukuran dan Penilaian Hasil Belajar.
Bandung: Andira.
Rembulan. (2020). Hubungan Konsep Diri dengan Kesiapan Menikah. [Skripsi].
Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.
Riskasari W., Abidin, M. Z., & Amelia R. (2018). Hubungan antara self disclosure dan religiusitas dengan komitmen pernikaha pada istri pelaut.
DOI: http://dx.doi.org/10.32493/rjih.v1i2.2225
Risnawarty, W. (2003). Penyusunan inventori kesiapan menikah. [Tesis]. Depok:
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Rusmana, Nandang. (2019). Bimbingan dan Konseling Kelompok di Sekolah:
Metode, Teknik, dan Aplikasi. Bandung: UPI Press.
Salim, Agus. (2001). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana Yogya.
Sari, F., & Sunarti, E. (2013). Marriage Readiness among Young Adults and Its Influence on the Marriage Age 6(3), 143–153.
Schieman, S. (2010). Socioeconomic Status and Beliefs about God's Influence in Everyday Life. Sociology of Religion,71, 25-51.
Stark, R. & Glock, C. (1968). American Piety: the nature religious commitment (vol. 1). Univ of California Press.
Stausberg, M. (2013). Textbooks in review: Introductions to the psychology of religion. Religion, 43(2), 135-150.
Sugandhi, N.M. (2010). Model Bimbigan dan Konseling untuk Meningkatkan Kesiapan Diri Mahasiswa dalam Menghadapi Pernikahan dan Hidup Berkeluarga. [Disertasi]. Bandung: Program Studi Bimbingan dan Konseling Sekolah Pascasarjana UPI.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kualitatif: Untuk penelitian yang bersifat:
eksploratif, enterpretif, interaktif, dan konstruktif. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian. Bandung: Alfa Beta.
Sujerweni, Wiratna. (2014). SPSS untuk Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Tsania, N., Sunarti, E., & Krisnatuti, D. (2015). Karakteristik Keluarga, Kesiapan Menikah Istri, dan Perkembangan Anak Usia 3-5 Tahun. Jurnal Ilmiah Keluarga dan Konseling. 8(1), 28-37. ISSN: 1907-6037.
Walgito, B. (2000). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi.
Wilis, M. R. (2019). Hubungan kelekatan dengan kesiapan menikah pada individu dewasa muda. [Skripsi]. Malang: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.
Wiludjeng H. (2020). Hukum Perkawinan dalam Agama-Agama. Jakarta:
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
Wulandari, Martha. (2020). Kesiapan Menikah pada Dewasa Awal. [Skripsi].
Malang: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.
Yulianti, Sri Yuni. (2021). Hubungan Antara Religiusitas Dengan Kecemasan Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19 Pada Mahasiswa Jurusan Psikologi Islam Uin Antasari Banjarmasin. [Skripsi]. Banjarmasin:
Fakultas Ushuluddin Dan Humaniora Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin.
Zajuli, C.M. (2020). Kesiapan Menikah Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Majalengka. Prophetic: Professional, Empathy and Islamic Counseling Journal, 3(1).
Zakiah, A. (2013). Hubungan antara komponen komitmen dari cinta dengan kesiapan menikah pada dewasa muda. [Skripsi]. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.