• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDEOLOGI GENDER DALAM KARYA SASTRA INDONESIA (PENELITIAN FUNDAMENTAL)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "IDEOLOGI GENDER DALAM KARYA SASTRA INDONESIA (PENELITIAN FUNDAMENTAL) "

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

IDEOLOGI GENDER DALAM KARYA SASTRA INDONESIA (PENELITIAN FUNDAMENTAL)

Oleh:

Yoce Aliah Darma, Ade Hikmat dan Nur Amalia Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Uhamka

Abstrack

Gender becomes a very interesting discussion in the world . Many of the differences that occur in everyday life about gender . In the text of literature which representation about gender ideology can be analyzed with critical discouse analysis (CDA) is used to reveal about the relationship of science and power,but it can be used to criticize. There is four short stories contained in the anthology of short stories which represetation gender ideology “Kompas,”version that is“Rambutnya Juminten”

by Ratna Indraswati Ibrahim in the short story anthology Lampor (Kompas, 1984); “Mbok Nah 60 Tahun by Lea Pamungkas in the short story anthology Laki-laki yang Kawin dengan Peri (Kompas, 1995); “Warung Pinggir Jalan” by Lea Pamungkas in the short story anthology Pistol Perdamaian (Kompas, 1996); and “Ruang Belakang” by Nenden Lilis Aisyah in the short story anthology Dua Tengkorak Kepala (Kompas, 2000). Of the four short story known that there are occurred with representation of gender ideology, look like patriarchy ideology, familialysm ideology, mothernism ideology, and plublisism ideology; and there are occurred too about gender inequality, look like subodination, mrginalisation, discrimination, and repression.

Keywords: Gender, CDA, Four Kompas Short Story, Gender Ideology, Gender inequality

PENDAHULUAN

ender dalam hal ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut nonbiologis. Gender merupakan konstruksi sosiokultural atau kategori sosial (feminitas dan maskulinitas) tercermin dalam perilaku, keyakinan, dan organisasi sosial.

Karena itu gender merupakan konsep sosial.

Lebih eksplisit lagi pernyataan Meneg UPW (1992: 3) yang menyatakan bahwa gender digunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.

Saptari dan Holzner (1997: 221-222) menyatakan bahwa karya sastra terbukti mempunyai pengaruh besar dalam membentuk, melembagakan, melestarikan, mengarahkan, memasyarakatkan, dan mengoperasikan ideologi gender. Oleh karena

itu representasi ideologi gender dalam sastra, termasuk wacana cerpen relatif menonjol dan kuat.

Newton dan Resenfolt (dalam Yulianeta, 2002:

54) memperlihatkan bahwa wacana cerpen Eropa Barat dan Amerika telah menjadi arena penciptaan mitos dan ideologi gender dengan konteks sosial tertentu. Dengan berkembangnya stereotip yang tidak adil terhadap perempuan, maka sering terjadi kekerasan dan beban kerja yang lebih berat terhadap perempuan (Fakih, 1999: 12-13).

Marginalisasi terhadap perempuan bisa dilihat sejak dari lingkungan rumah tangga dalam bentuk diskriminasi pada anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan, misalnya dengan memprioritaskan anggota keluarga laki-laki harus lebih didahulukan dalam menuntut pendidikan. Sedangkan subordinasi terhadap perempuan, misalnya terlihat dari

G

(2)

sikap menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.

Kajian perempuan atau analisis gender sangat bermanfaat untuk melihat jenis dan bentuk

“konstruksi” ideologi gender yang terepresentasi dan terlembaga dalam wacana sastra (cerpen). Sedangkan teori AWK bermanfaat untuk melihat “pengoperasian”

ideologi gender yang terepresentasi dan terlembaga dalam wacana cerpen.

Pemanfaatan AWK didasarkan atas asumsi bahwa cerpen dapat dipandang sebagai wacana AWK, yaitu mempelajari bagaimana dominasi suatu ideologi serta ketidakadilan dijalankan dan dioperasikan melalui teks atau wacana.

Fairclough (Lukmana, 2003: 329) menganalisis wacana dalam tiga dimensi, yang mencakup analisis (1) data linguistik, (2) praktik-praktik diskursif, dan (3) praktik- praktik sosial. Jadi, studi kritis terhadap bahasa menyoroti bagaimana konvensi dan praktik berbahasa terkait dengan hubungan kekuasaan dan proses ideologis yang sering tidak disadari oleh masyarakat.

Keterkaitan antara wacana dengan kekuasaan juga ditekankan oleh van Dijk, yang menempatkan AWK sebagai sarana untuk mengkaji peran wacana dalam reproduksi dan resistensi terhadap dominasi.

Dominasi didefinisikan sebagai penerapan kekuasaan sosial, para elit, institusi atau kelompok yang berujung pada ketidaksetaraan (inequality) sosial, seperti pada ranah praktik, kelas, dan jenis kelamin (van Dijk, 1993 dalam Lukmana, 2003: 330).

Cerpen

Sumarjo dan Saini K.M (1991: 37) menyatakan bahwa cerpen adalah cerita atau narasi yang fiktif (tidak benar-benar terjadi, tetapi dapat terjadi di mana saja dan kapan saja) serta relatif pendek. Mengenai ukuran pendek, Nurgiyantoro (1995: 10) menjelaskan bahwa ada cerpen yang pendek, mungkin pendek sekali, berkisar 500-an kata (short- short story), ada cepen yang panjangnya cukupan (middle short story), dan ada yang panjang (long short story), yang terdiri atas

puluhan atau bahkan beberapa puluh ribu kata.

Edgar Allan Poe (Nurgiyantoro, 1995: 10) mendefenisikan cerpen sebagai cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira setengah jam sampai dua jam.

Cerpen yang akan menjadi pembahasan dalam penelitian ini adalah cerpen yang merupakan narasi yang fiktif (tidak benar-benar terjadi, tetapi dapat terjadi di mana saja dan kapan saja) serta panjangnya cukupan atau termasuk cerpen yang disebut middle short story.

Ideologi Gender

Latar belakang perbedaan gender antara laki- laki dan perempuan dibentuk oleh beberapa teori dasar, yaitu (1) nature atau kodrat, (2) teori nurture atau budaya (3) teori psikoanalisis atau identifikasi, (4) teori konflik atau teori kelas, dan (5) teori fungsionalis structural atau teori saling mempengaruhi.

Dari pembahasan mengenai ideologi gender ini akan muncul ideologi patriarki, ideologi familialisme, ideologi ibuisme, dan ideologi umum.

Profil Gender dan Identitas Gender

Perempuan sebagai “empu” (yang dihormati) mempunyai kewajiban untuk berbuat sesuatu demi kesejahteraan kehidupan kaumnya.

Karena itu profil perempuan harus bisa menumbuhkan transformasi sosial secara berbudaya dan manusiawi, apalagi profil perempuan itu dituntut untuk bisa mengkaji permasalahan yang sangat mendasar, berat, dan mengangkat kaum perempuan itu sendiri.

Peran Gender dan Relasi Gender

Peran gender seseorang, baik itu laki-laki maupun perempuan, bergantung pada nilai- nilai budaya yang berkembang di dalam masyarakatnya. Dalam masyarakat patriarki, sejak awal, peran gender anak laki-laki lebih dominan dibandingkan anak perempuan, sehingga terdapat perbandingan peran gender dan pada gilirannya laki-laki dianggap lebih superior dalam kehidupan daripada perempuan. Dalam masyarakat tersebut, perempuan mendapat posisi yang tidak

(3)

diuntungkan secara kultural, struktural dan ekologis, perempuan dipojokkan ke dalam urusan-urusan reprodukasi, menjaga rumah, dan mengasuh anak (Umar, 1999: 8485).

Pembagian peran gender lebih dikenal dengan pembagian kerja seksual, seperti apa yang dikemukakan Kementrian Negara Urusan Peranan Wanita (1992: 3) bahwa gender digunakan untuk menunjukan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ideologi Gender

Banyak faktor yang mempengaruhi ideologi gender, di antaranya budaya etnis.

Budaya etnis merupakan salah satu faktor pelestari ideologi gender. Hal ini dikemukakan secara mengesankan dan mendalam (Sudewa, 1992; Kusujiarti, 1997; Saptari dan Holzner, 1997; Hafidz, 1998 ; Fananie, 1994; Purnama, 2001; dalam Yulianeta, 2002: 49). Dalam masyarakat Jawa, yang budayanya terkenal dengan sistem patriarki yang melahirkan ungkapan-ungkapan yang dianggap menyiratkan inferiorisme perempuan, seperti kanca wingking, swarga nunut neraka katut (perempuan hanya mengurusi dapur, perempuan hanya bergantung pada suami) menegaskan bahwa perempuan tampak menduduki struktur bawah (inferior).Simak saja kedudukan perempuan Jawa dalam sejarah raja-raja Jawa yang memandang laki- laki sebagai tema sentral.

Analisis Wacana Krisis ( AWK )

Pemanfatan teori analisis wacana krisis selanjutnya disebut AWK didasarkan atas pandangan bahwa cerpen dapat dipandang sebagai wacana. AWK mempelajari tentang dominasi suatu ideologi serta ketidakadilan dijalankan dan dioperasikan melalui wacana.

Fairclough (1998) mengemukakan bahwa AWK melihat wacana sebagai bentuk dan praktik sosial.

Model Analisis Wacana Kritis ( AWK ) Ada beberapa model AWK yang dilakukan para ahli analisis wacana. Dalam

penelitian ini akan dibahas model Yoce Aliah Darma (2009), yaitu model yang diadopsi dan dimodifikasi dari model Sara Mills (1997) dan Norman Fairclough (. Kemudian dari kedua model ini dibuat satu model yang diperkirakan akan lebih representatif dalam mengupas masalah ideologi gender. Model ini diambil berdasarkan kenyataan bahwa wacana cerpen berideologi gender akan dapat dikupas dengan lebih mendalam. Kedua model di atas merupakan bahan inspirasi untuk membuat model AWK versi baru yang disebut AWK Ideologi Gender (AWKIG) versi Yoce Aliah Darma. Model ini diharapkan akan lebih bermakna dalam mengkaji wacana-wacana yang kritis.Cara menentukan teks atau wacana kritis yang akan dianalisis; (1) menentukan teks atau wacana kritis yang akan dianalisis;

(2) menentukan subjek penceritaan; (3) menentukan objek penceritaan; (4) menentukan deskripsi bahasa; (5) menentukan interpretasi jenis ideologi gender; (6) menentukan eksplanasi ketidakadilan gender.

Model ini bisa dijelaskan dengan bagan seperti di bawah ini:

Dari bagan di atas, bisa diuraikan keterangan atau penjelasan mengenai apa yang

H A S I

KRITERIA

MEDAN WACANA

WACANA-

SUBJEK PENCERI OBJEK

PENCERI

DEKSRIP

SI INTERP

RETASI

EKSPLA NASI A W K

(4)

diteliti dan dianalisis: (1) AWK merupakan media wacana yang akan dianalisis, (2) kriteria ideologi, tentukan kriterianya mengapa media wacana itu ditentukan sebagai ideologi tertentu, (3) wacana-wacana kritis, tentukan media wacana yang akan dianalisis, baik berupa artikel media massa, cerpen, atau novel, (4) medan wacana teks/wacana kritis, tentukan setiap wacana yang mengandung hal- hal yang kritis yang akan dianalisis, (5) subjek penceritaan, tentukan siapa yang menjadi subjek penceritaannya, (6) objek penceritaan, tentukan siapa yang menjadi objek penceritaan, (7) deskripsi bahasa, tentukan makna dari deskripsi bahasa, baik diksi, frase, klausa, kalimat, dan gaya bahasa, (8) interpretasi, makna dari deskripsi bahasa diinterpretasi, dan (9) eksplanasi, hasil interpretasi dieksplanasi, kemudian ditentukan hasilnya.

PEMBAHASAN

Penelitian ini mengkaji ideologi gender pada cerpen-cerpen karya penulis perempuan yang telah terpilih sebagai cerpen pilihan Kompas dan telah diterbitkan oleh Penerbit Kompas dalam bentuk antologi . Dipilihnya penulis perempuan, karena penulis perempuan akan lebih jelas dan transparan dalam menggambarkan persoalan ideologi gender dan ketidakadilan gender. Banyak cerpen yang mengupas tentang perempuan, tetapi kebanyakan tentang permasalahan kondisi sosial perempuan dan kemiskinan. Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan membahas mengenai cerpen-cerpen yang berideologi gender. Adapun cerpen-cerpen itu adalah:

Cerpen “Rambutnya Juminten” Judul : “Rambutnya Juminten

Pengarang : Ratna Indraswari Ibrahim Antalogi : “Lampor”

Penerbit : Kompas, 1994 Ikhtisar Cerpen

Juminten meminta dibelikan obat penyubur rambut, tetapi setiap kali Juminten memakai obat itu selalu merasa mual dan pusing. Jadi,

Juminten alergi terhadap obat itu, namun Juminten selalu memakainya karena ingin menyenangkan suami (Panuwun menyenangi aroma obat rambut itu). Marni, sahabat Juminten, menganggap tindakan Juminten itu bodoh, karena menyiksa diri sendiri demi menyenangkan suami.

Ketika rambut Juminten sudah panjang banyak orang mengatakan Juminten cantik, termasuk Nardi (anak majikan orang tua Juminten dan Panuwun). Bahkan Nardi berani menggoda Juminten. Hal ini diketahui Panuwun, sehingga ia cemburu. Juminten dilarang keluar rumah kalau tidak ada suami dan boleh keluar jika dengan suami. Juminten termasuk salah satu anggota tim kasti di desanya dan harus mengikuti latihan, berarti Panuwun tidak bisa mengurung Juminten selamanya. Alasan Panuwun terjadinya kejadian ini diakibatkan oleh rambut panjang Juminten. Akhirnya Juminten luluh dan pergi ke salon Mbak Titik.

Tatkala ia melihat rambutnya pendek di depan kaca salon dia mencucurkan air mata.

Ideologi Patriarki

Dalam masyarakat kuno yang menganut paham patriarki, sang ayah mempunyai hak mutlak atas anggota keluarganya. Sebagai kepala keluarga ia memiliki bukan saja rumah, tanah, ternak, dan budak, tetapi juga istri, perempuan simpanan, dan anak-anak (the Beauvoir, 2003: 121-123).

Sementara itu semua perempuan di desa ini memotong rambutnya semodel Marni, Juminten yang tidak tahan terhadap aroma rambut itu ingin memotong rambutnya semodel Marni (hal. 79).

Tapi apa kata suaminya.

Saya tidak akan mengizinkan kamu memotong semodel Marni. Sebagai suami saya kan tahu model apa yang pantas untuk istriku. Ten kau dandan untukku!”(hal. 79).

Dalam hal ini Panuwun, suami Juminten, digambarkan sebagai seorang laki- laki yang berwatak otoriter dan egois.

(5)

Panuwun adalah laki-laki yang tidak mau peduli akan keinginan-keinginan istrinya, istri adalah milik suami!

Panuwun melarang istrinya keluar rumah.

Ten ada yang bilang setiap kamu mencuci di pancuran, Nardi pasti mengajakmu ngomong, iya kan? Jadi, mulai sekarang kamu tidak perlu mencuci di pancuran.Dan kalau tidak ada saya di rumah jangan keluyuran!”

Juminten sempat membantah suaminya,

“Kang, saya bosen kalau di rumah terus.Apalagi sebentar lagi saya akan latihan kasti.”

“Pokoknya saya tidak suka kamu keluar

(hal.81).

Tindakan Panuwun ini menunjukkan

bahwa Juminten itu adalah

kekuasaannya.Juminten menurut walaupun dirinya sangat tertekan.Terlihat di sini bagaimana kokohnya pendirian Panuwun dengan budaya patriarkinya. Kata-kata pokoknya sangat menentukan bagi Panuwun dalam hal melarang istrinya supaya menurut.Juminten merasa tersubordinasi dan terepresi.

Ideologi Familialisme (Kekeluargaan) Sebagai seorang perempuan dan sebagai istri, Juminten selalu berusaha untuk menyenangkan suami, karena itu dia selalu menurut apa kata suami, dan walaupun dia tidak setuju akan kehendak suami ia tetap mengalah demi menyenangkan suami.

Juminten tokoh utama dalam cerpen ini adalah perempuan yang mewakili sosok kehidupan masyarakat yang berlaku umum, yaitu berwatak penurut, mengalah, dan pasif.

Juminten adalah wakil dari stereotip perempuan dalam masyarakat yang dikehendaki masyarakat patriarkis. Dalam budaya Sunda ada pepatah “awewe mah dulang tinande” artinya “perempuan itu harus pasrah dan menerima’’, apa lagi jika hal itu sudah berkaitan dengan hal-hal yang

berhubungan dengan kepentingan laki-laki.

Sikap mengalah untuk menyenangkan suami yang dilakukan Juminten, tampak pada kerelaannya memakai obat penyubur rambut, walaupun dia selalu mual setiap kali memakai obat itu, bahkan dia alergi terhadap obat itu.

Karena Panuwun menyukai aroma obat itu bila sudah melekat pada rambut Juminten, maka Juminten selalu tidak lupa meminyaki rambutnya dengan obat itu, terutama menjelang kepulangan Panuwun dari tempat kerjanya.

Sore ini waktunya Panuwun pulang ke rumah.Sejak tadi, dia sudah memasak masakan kesukaan Panuwun.Dan meminyaki rambutnya.(hal. 79).

Meminyaki rambut dengan obat penyubur rambut bagi Juminten sama artinya dengan memasak makanan kesukaan suaminya. Apa pun yang disukai suaminya, pasti akan dipenuhi dan dilakukan. Bahkan... kalau saja dia tahan dengan bau obat rambut itu... mungkin seumur-umur hidupnya, dia akan memakai obat rambut itu. (hal 80).

Pandangan gender terlihat pula pada kepatuhan Juminten untuk tidak keluar rumah karena dilarang suaminya. Istri yang baik harus mendukung suami dalam segala hal.

Konsep normatif ini merupakan salah satu bentuk ideologi familialisme. Ideologi familialisme yang digambarkan dalam cerpen

”Rambutnya Juminten” mengonstruksi perempuan berperan di dalam rumah tangga, menurut, mengalah, dan selalu harus bisa menyenangkan suami.

Ideologi Ibuisme

Ideologi ibuisme adalah ideologi yang merupakan kombinasi nilai borjuis Belanda dan nilai priyayi di Indonesia yang menyetujui tindakan apa pun yang diambil seorang perempuan dalam keluarga, kelompok, kelas sosial, atau pemisahan tanpa mengharapkan kekuasaan atau prestise sebagai imbalan.

Onghokham (1991) mengemukakan bahwa nilai kecil borjuis Belanda ini merupakan adopsi dari moral Victorian yang diciptakan

(6)

untuk mengontrol kualitis bangsawan Inggris pada masa pemerintahan Ratu Victoria. Moral ini mementingkan pertahanan diri dari nafsu seksual dan larangan terhadap Ratu dengan seorang suami dan anak-anak dinilai sebagai model keluarga ideal. Nilai ini berkembang sampai ke seluruh Eropa abad ke-19 yang kemudian dibawa ke negara-negara jajahan di antaranya sampai ke Indonesia. Di Indonesia moral ini bertemu dengan moral priyayi yang dipertahankan untuk mengatur kehidupan perempuan. Selanjutny selama Orde Baru ideologi ibuisme dominan sekali di Indonesia.

Sebagai istri yang baik, perempuan harus mampu menjadi ibu rumah tangga yang baik pula.Istrilah “ibu rumah tangga” bahkan “ratu rumah tangga” yang melekat pada istri, yang lebih berkonotasi pengabdian dan pelayanan.

Seperti apa yang dikatakan Panuwun pada Juminten tentang perilaku dandan dan bersolek. Berkali-kali Penuwun mengucapkan,

Kamu bersolek untuk suami, iya kan?”

(hal. 78)

Ten, saya kira kau bersolek untuk suami!” (hal. 84)

Sikap Panuwun di atas merepresentasikan pandangan gender yang memposisikan laki- laki yang berkuasa atas istri. Akibat stereotipnya yang penurut, mengalah, pasrah, dan akibat dari perannya yang “ibu rumah tangga” dan “pelayan suami,” yang posisinya

“subordinat” dan tidak punya kekuatan, Juminten tidak berdaya di depan suaminya, yang dikuatkan posisinya oleh kehendak dan nilai-nilai masyarakat. Jadi, jelas cerpen

“Rambutnya Juminten,” merepresentasikan ideologi gender. Juminten tersubordinasi dan terdiskriminasi.

Ideologi Umum

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ideologi umum yang direpresentasikan dalam cerpen “Rambutnya Juminten” menunjukkan betapa berkuasanya Panuwun untuk melarang Juminten tidak boleh

keluar rumah tanpa seizin suami dan tanpa didampingi suami.

“... Dan kalau tidak ada saya di rumah jangan kluyuran!

Kang, saya bosen kalau di rumah terus.Apalagi sebentar lagi saya akan latihan kasti.”

Pokoknya saya tidak suka kamu keluar!”

(hal. 81)

Ideologi umum yang direpresentasikan dalam cerpen “Rambutnya Juminten” menekankan pengucilan perempuan dari bidang-bidang tertentu, yaitu dengan konsep pembagian kerja secara seksual, yaitu ruang publik merupakan dunia laki-laki, dan ruang domestik merupakan dunia perempuan.Juminten “terepresi” yang diakibatkan ketidakadilan gender.

AWKIG pada Cerpen “Mbok Nah 60 Tahun”

Judul : “Mboh Nah 60 Tahun”

Pengarang : Lea Pamungkas

Antologi : “Laki-laki yang Kawin dengan Peri”

Penerbit : Kompas, 1995 Ikhtisar

Cerpen ini bercerita tentang seorang perempuan bernama Mbok Nah yang berumur 60 tahun.Ia mempunyai suami bernama Marno yang berumur lebih muda 20 tahun. Pekerjaan sehari-hari Mbok Nah berjualan jamu.Mbok Nah mempunyai langganan yang banyak.

Salah seorang langganannya adalah Meri. Meri adalah seorang waria, nama sebenarnya Rukman. Meri tinggal di depan rumah Mbok Nah.

Akhir-akhir ini Mbok Nah menghadapi masalah dari kelakuan suaminya. Marno sering berangkat menarik becak lebih siang, padahal sudah berdandan sejak pagi. Setiap Mbok Nah selesai mengantar jamu pada langganannya

(7)

dan hendak mengantar jamu ke kamar Meri, Mbok Nah selalu melihat suaminya itu tersenyum malu-malu ketika Meri keluar dari kamarnya.

Pada suatu malam Mbok Nah dan suaminya kaget mendengar ketukan pintu, ternyata Meri.Ia muntah-muntah dan minta tolong Mbok Nah dan Marno untuk merawatnya.

Ternyata sakit Meri tidak seringan yang diduga Mbok Nah dan Marno, sehingga akhirnya Meri tinggal di rumah Mbok Nah.

Setelah sembuh Meri tetap tinggal di rumah Mbok Nah. Ia banyak membantu Mbok Nah, segala keperluan Mbok Nah dibereskan, termasuk jamu-jamu yang akan dijajakan.

Mbok Nah dengan tulus membiarkan Meri tinggal di rumahnya, ia merasa begitu saja menemukan anak yang tak pernah singgah di rahimnya. Mbok Nah tak bereaksi pada omongan-omongan tetangganya tentang Meri dan Marno, malahan ada yang terus terang bahwa Meri adalah gendakannya Marno.

Ideologi Patriarki

Mbok Nah adalah figur seorang perempuan yang diketahui berwatak tulus, lembut, sabar, telaten, tak pernah berprasangka buruk terhadap orang lain, dan tak suka menilai orang lain. Dilihat dari sudut gender, sifat-sifat seperti ini adalah sifat-sifat perempuan ideal, sesuai dengan yang dikehendaki oleh masyarakat patriarkis. Sifat-sifat tersebut merupakan representasi dan stereotip perempuan. Stereotip tersebut merupakan hasil ciptaan budaya masyarakat. Lebih jelasnya Marno berposisi superior dan Mbok Nah berposisi inferior, padahal sifat Marno itu tidak mempresentasikan ideologi gender, jadi dia berkuasa secara psikis atas Mbok Nah, bukan secara biologis. Dalam dua minggu ini Mbok Nah lagi bingung melihat gelagat Mas Marno suaminya.

Yang bikin bingung, ya ini, Mas Marno, Si Kuku Bimanya. Hati Mbok Nah kebat kebit. Mas Marno tersayang kini sering berangkat menarik becak lebih siang. Padahal pagi-pagi dia sudah dandan. Rambutnya sudah lengket

berkilat oleh pomade, celana pendek jins juga sudah dipakainya. Becak pun sudah di pinggir jalan. Tapi Marno Cuma duduk-duduk di amben depan rumah.

Wajahnya jernih kekanakan menatap ke depan.

Kebingungan Mbok Nah akibat sikap suaminya ini memunculkan konflik dalam cerpen ini. Mbok Nah tersubordinasi dan terepresi

Ideologi Familialisme

Mbok Nah berusaha berbuat taat dan setia pada suaminya. Kegiatan Mbok Nah sebenarnya berperan ganda, dalam arti dia berfungsi sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai pencari nafkah.

Pada suatu sore Mbok Nah melihat becak Marno sudah nangkring di bawah pohon jambu klutuk depan rumah... Dari kamar belakang dia mendengar suara Marno dan suara Meri.Suara-suara itu mengingatkan Mbok Nah pada malam- malam kebersamaannya dengan Marno.

Mbok Nah tercenung... Pandangannya jatuh pada tangannya yang keriput dan legam.Mbok Nah menarik nafas. (hal 100- 101).

Marno dalam pemerian di atas tergambar sebagai seorang suami yang punya kekuasaan untuk menyakiti istrinya Mbok Nah. Tega- teganya ia berselingkuh dengan waria yang terang-terangan dilakukan di rumah Mbok Nah atau di rumahnya sendiri. Mbok Nah merasa tersubordinasi dan terepresi

Ideologi Ibuisme

Ideologi ibuisme ialah ideologi yang menganut perempuan harus menjadi “ibu yang baik” atau menjadi “ibu rumah tangga yang baik”, akan lebih jelas kalau disebut “ratu rumah tangga.”

Apa pun sebutannya adalah sama saja perempuan harus menjadi orang baik di dunia domestik dan masyarakatnya.

Cerpen Mbok Nah 60 Tahun”

menceritakan tentang tokoh Mbok Nah yang

(8)

sudah berumur 60 tahun, penjaja jamu.Kalau dia menjajakan jamu, kalimat-kalimat yang dilontarkannya masih manjur, buktinya setiap pagi jamunya pasti ditunggu orang.

Mbok Nah yang masih montok pandai merayu tukang becak dan kuli bangunan: “Ayo Mas biar badannya kuat dan bojone di rumah puas, pokoke coba dulu, sampean pasti bangga,”

atau “Iya lho Jeng, suami Mbok kan dua puluh tahun lebih muda, gara-gara sari rapet ini dia tambah hari tambah rapet. Jamu yang ini bikin badan singset ndak bau, laki kan ndak suka. Kalau sudah begitu kan bisa repot.”(hal. 93).

Pemerian dan monolog di atas menggambarkan bahwa betapa pentingnya jamu untuk

membuat laki-laki kuat sehingga istrinya merasa puas. Kalau istri merasa puas tentu saja suami menjadi bangga karena dia bisa menunjukkan kejantanannya.Sudah sejak awal memang laki-laki dikondisikan secara kultural untuk mempunyai stereotip yang jantan, kuat, rasional, dan gagah.

Ideologi Umum

Marno dalam pemerian di atas tergambar sebagai seorang suami yang punya kekuasaan untuk menyakiti istrinya Mbok Nah. Tega- teganya ia berselingkuh dengan waria yang terang-terangan dilakukan di rumah Mbok Nah atau di rumahnya sendiri. Kalimat “Suara- suara itu mengingatkan Mbok Nah pada malam-malam kebersamaannya dengan Marno,” membuat Mbok Nah tercenung, dia merasa tersubordinas, terdiskriminasi, dan terepresi. Dia menoleh kepada dirinya yang sudah berumur 60 tahun, tangannya telah keriput dan legam, apalagi wajahnya. Kalimat Mbok Nah menarik nafas, menunjukkan bahwa dia menyadari sudah tua, sudah tidak menarik lagi bagi Marno.Kesadaran ini membuat dirinya tidak sakit hati. Apa artinya sakit hati karena dalam dirinya sejak awal sudah dicekoki konco wingking, bahwa perempuan Jawa tidak boleh menyatakan perasaannya kepada suami, dalam arti harus

nrimo, pasrah, dan tidak boleh berpretensi apa- apa. Suami adalah panutan.

Cerpen “Warung Pinggir Jalan”

Judul : “Warung Pinggir Jalan”

Pengarang : Lea Pamungkas Antologi : “Pistol Perdamaian”

Penerbit : Kompas, 1996 Ikhtisar

Cerpen ini bercerita tentang kehidupan di sebuah daerah yang terkena proyek pembangunan waduk, yang diperkirakan di daerah Jawa Barat. Asalnya daerah ini daerah pertanian, tentu saja mata pencaharian warganya adalah bertani. Namun ketika daerah itu dijadikan proyek pembuatan waduk, warganya jadi kehilangan mata pencaharian.

Akibatnya warga merobah profesi jadi pedagang dan berdirilah warung-warung di sepanjang jalan di daerah itu, yang oleh pengarang cerpen ini disebut warung pinggir jalan. Pada perkembangannya warung pinggir jalan ini ternyata menjadi tempat prostitusi. Di antara warung pinggir jalan tersebut, ada sebuah warung yang sejak sebelum ada proyek pun sudah berdiri.Warung tersebut adalah warung milik tokoh Emak, yang menjual satai dan gulai. Emak tinggal dengan anaknya Idah yang masih berusia belasan tahun.

Akhir-akhir ini perhatian Idah tertumpu pada seorang perempuan di seberang jalan yang bernama Mira. Idah melihat Mira lain dari perempuan-perempuan lainnya di desa itu.

Mira selalu cantik, gembira, dan gaya.

Rumahnya pun lebih bagus. Sore menjelang malam Mira selalu dijemput oleh seorang lelaki dengan menggunakan sebuah mobil truk mini dan pulang waktu subuh. Idah ingin sekali meniru apa yang dipakai dan apa yang dilakukan oleh Mira. Ia selalu mengintip Mira dari mulai kepergian sampai kepulangannya.

Idah ingin menjadi seperti Mira.

Berhari-hari sumur Emak Idah yang juga digunakan penduduk lainnya kering, begitu pula sumur-sumur lainnya di sekitar itu.

(9)

Kegiatan warung Emak Idah terhambat, sehingga Emak Idah merasa sedih. Idah mengusulkan agar sumur itu digali lagi, tetapi Emak Idah tidak punya uang. Akhirnya Idah mengusulkan agar Emak menyuruh Emet menggalinya dan Idah berjanji akan mengatakannya kepada Emet. Emak sebetulnya tidak begitu setuju, tetapi karena keadaan, akhirnya menyetujuinya.Emet ternyata bersedia karena ia punya maksud lain terhadap Idah. Kenyatannya benar, di lokasi pembangunan waduk itu, keperawanan Idah direnggut Emet. Lewat firasatnya Emak mengetahui kejadian ini, tetapi Emak tidak bicara apa-apa, ia hanya bisa menangis.

Sayangnya Idah tidak peduli, malah ia merasa terbebaskan dari rasa ingin tahu yang selama ini mempengaruhi perasaannya. Pengalaman ini membuat Idah merasa bebas dan berhak melakukan apa saja yang ia inginkan.

Sementara itu terjadi perubahan lain di desa itu, pembangunan waduk itu terhenti.

Warung-warung pinggir jalan banyak yang gulung tikar.Warga kampung banyak yang demo menuntut ganti rugi tanah yang digunakan proyek itu.Dengan kondisi situasi seperti itu, pengarang menceritakan bahwa Idah akhirnya menjadi pelacur yang berakibat pada Emak menjadi bisu.

Ideologi Patriarki

Ideologi patriarki yang ditemukan dalam cerpen “Warung Pinggir Jalan”adalah dalam perwatakan dan aktivitas (pekerjaan tokoh).Watak Idah (sebagai objek penceritaan) adalah polos dan sikapnya pasif (diam, menunggu), mudah terpengaruh, dan selalu ingin tahu. Pekerjaan Idah adalah membantu Emak dalam kegiatan di warung dan bersekolah. Di tengah-tengah aktivitas rutin sehari-hari ini pengarang menggambarkan peristiwa berupa hal-hal yang dipikirkan Idah.

Kalau kita telaah cerpen Warung Pinggir Jalan” ini bertema bahwa: Pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan aspek-aspek kemanusiaan dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan menjadikan masyarakat menjadi korban.

Yang menjadi korban terparah adalah

perempuan, karena selain mereka menerima dampak pembangunan tersebut, mereka pun berada dalam situasi masyarakat yang merendahkan posisi mereka.

“Dan nanti elusan Emet pada pantatnya, akan terasa sampai Idah duduk di bangku sekolah siang nanti.Emak pura-pura tidak melihat, mata dan tangannya segera sibuk mengerjakan sesuatu” (hal. 137).

Dalam pemerian ini kelihatan perlakuan Emet ini sangat tidak menghargai perempuan apalagi perempuan itu adalah gadis belasan tahun yang polos, yang belum tahu apa- apa.Sikap Emak tersinggung, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa, karena perbuatan Emet dianggap wajar menurut lingkungannya. Laki- laki senang berbuat apa saja, walaupun tidak senonoh. Seperti pada penggalan teks berikut.

Perempuan-perempuan warung yang berjualan selama sehari penuh itu menyebut Emet “Si Jalu.”Sama seperti mereka menyebut ayam-ayam jantan aduan yang paling sering menang (hal.

137).

Penonjolan budaya patriarki terlihat dari tingkah laku para sopir, yang seenaknya dan menganggap perempuan sebagai dagangan “Si Idah sudah jadi perawan montok ya Ceu, saya pesan duluan ya” (hal. 137).Tapi gurauan para sopir itu tidak menjadikan Idah kesal dan Emak pun pura-pura tak memberikan reaksi.Kecenderungan laki-laki menggoda perempuan ini merupakan gambaran dari kesenjangan kedudukan dan kekuasaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya di antara dua kelompok manusia yang dibedakan oleh jenis kelamin, yaitu kesenjangan berupa subordinasi laki-laki atas perempuan. Akibat kepincangan ini, timbul pandangan bahwa perilaku laki-laki menggoda perempuan itu merupakan sesuatu yang “sehat dan normal.” Malahan kalau laki- laki yang tak pernah melakukan godaan terhadap perempuan akan diejek dan diragukan kenormalannya.

Ideologi Familialisme

(10)

Dalam cerpen ini diungkap bahwa yang menjadi korban terparah dari pembangunan adalah perempuan. Akibat pembangunan yang dilakukan pada masa Orde Baru banyak dirasakan oleh kaum perempuan adalah

“pemarginalan” kaum perempuan. Misalnya dalam cerpen ini diceritakan bahwa pembuatan waduk itu membuat warga desa kehilangan pekerjaan dari bertani ke pekerjaan-pekerjaan di proyek.Tetapi perempuan yang tadinya juga bertani tidak bisa bekerja di proyek, akhirnya beralih mendirikan warung-warung pinggir jalan dan menjalankan praktik prostitusi.

Peristiwa yang merupakan kelanjutan dari akibat pembangunan waduk, yaitu Idah yang muda belia, yang normalnya menyukai teman laki-laki yang sebaya, lebih menyukai Emet yang lebih pantas jadi bapaknya. Hal ini terjadi karena lingkungan yang membentuknya demikian. Hanya figur para sopirlah yang menarik Idah, karena dengan merekalah Idah banyak berhubungan.

Warung satai-gulei milik Emak harus buka pukul enam pagi. Sebentar lagi sopir-sopir truk bermata merah burung hantu itu akan berdatangan. “Si Idah sudah jadi perawan montok ya, Ceu.Saya pesan duluan ya,” gurauan para sopir itu tidak selamanya mengesalkan Idah.

Apalagi kalau Emet yang mengatakannya.

Rosidah akan tersipu-sipu, tak sabar menunggu kopi selesai diseduh dan mengantarkannya. Dan nanti elusan Emet pada pantatnya akan terasa sampai Idah duduk di bangku sekolah siang nanti (hal.

138).

Ideologi Ibuisme

Ideologi ibuisme menuntut perempuan menjadi “ibu yang baik”, dalam arti perempuan harus menjadi orang baik di dunianya, yaitu dunia domestik dan di masyarakat. Pemarginalisasian dan diskriminasi terjadi secara perlahan-lahan terlihat dari pembangunan di pedesaan yang mengintrodusir mekanisme pembangunan waduk. Perempuan yang tadinya bekerja bertani, jadi tak punya pekerjaan, sedangkan

kaum laki-laki banyak yang terserap menjadi pekerja proyek pembangunan.Akhirnya para perempuan desa membuka warung-warung di pinggir jalan, yang secara terselubung membuka praktik prostitusi. Merebaknya prostitusi sebagai akibat berubahnya cara pandang masyarakat warga desa yang terpengaruh konsep pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi (materi), yang cenderung mengukur segala sesuatu dari materi. Warga tidak lagi mengindahkan norma-norma kehidupan dan nilai-nilai spiritual.

Idah mengidolakan Mira, karena Mira berbeda dengan perempuan-perempuan di desanya.Mira banyak bajunya, banyak sepatunya, selalu gembira, dan warna lipstiknya bermacam-macam, badannya selalu harum, dan menarik.

Subuh itu Mira bersepatu putih dan serba putih, kecuali rambut hitam sangat lurus dan masai ...Lelaki-lelaki yang mengantarkannya pun tak bakal lama. Tetapi yang hanya sebentar itu yang ditunggu Idah : dalam ketergesaan mereka saling berciuman merapatkan diri. Sayangnya tidak setiap subuh Idah punya waktu menikmati kegugupan dan kejutan-kejutan dirinya (hal. 135).

Kejadian-kejadian di lingkungan kehidupannya ini sangat mempengaruhi Idah yang masih polos dan belia, yang akhirnya terjerumus oleh rayuan Emet, sang sopir yang pantas jadi bapaknya.Pemarginalisasian dan diskriminasi terjadi secara perlahan-lahan terlihat dari pembangunan di pedesaan yang mengintrodusir mekanisme pembangunan waduk.

Ideologi Umum

Idah dalam peristiwa ini selain merupakan representasi lain dari perempuan yang menjadi korban pembangunan yang tidak berkeadilan gender juga merupakan korban dari ideologi gender. Idah tidak melihat pelacuran sebagai bentuk kekerasan (represi) yang dilakukan masyarakat terhadap perempuan, karena perempuan tereksploitasi sebagai objek untuk kepentingan tertentu.Mereka tak menyadari

(11)

hal itu karena telah termakan “hegemoni gender.

Sudah empat hari sumur Emak kering.Idah menyarankan Emak agar minta tolong Emet untuk menggalinya. Keesokan harinya Emet datang dengan senyum di bibir dan matanya nakal. Emak Idah tak ada di rumah, Idah menyampaikan pembicaraan dengan Emak malam kemarin.Emet menyambut gembira permintaan Idah.

“Neng, jangankan masuk sumur, masuk lubang kubur Mang mau, kalau Neng yang minta,” Emet tertawa lebar dan tangannya mencubit pipi Idah. Telapak tangan Idah tiba- tiba berkeringat

Kesempatan ini membuat Emet lebih agresif dan percaya diri untuk melaksanakan kenginannya, dia melihat kepasrahan Idah yang masih polos dan belia.

“Duduk sini, Neng,” Emet menepuk- nepuk tempat di sampingnya. Idah ragu- ragu sejenak, tetapi kemudian ia tersenyum dan mendekati Emet. “Supaya cepat, antar Mang Emet ambil peralatan di waduk. Neng Idah mau kan?” Mata Emet berbinar, tiba-tiba saja Idah sudah ada di pangkuannya.Pipi Idah diciumnya sekilas.Idah terperangah, tanpa disadarinya kepalanya langsung mengangguk (hal. 139).

Kejadian pelecehan Emet terhadap Idah berlangsung lancar, tak ada penolakan dari Idah.Justru ini yang dikhayalkan Idah, sebagai korban lingkungan, terutama fikirannya yang mengidolakan Mira, seorang pelacur.Idah

terepresi” oleh Emet dan oleh kondisi lingkungan masyarakatnya. Saat Idah diperawani oleh Emet dia tidak merasa menyesal, malah dia gembira.

Ia merasa memperoleh puncak dari sesuatu yang selama ini ingin diketahuinya, sekaligus terbebaskan dari ketidaktahuan (hal. 145).

Idah yakin sekarang dia bisa melakukan apa saja, termasuk pergi sore pulang pagi seperti

yang dilakukan oleh Mira. Idah jadi pelacur, sesuai dengan dambaannya ingin seperti Mira.Sebetulnya bukan Idah saja yang hidupnya terepresi karena pembangunan, tetapi berakibat juga terhadap Emak.Emak

terepresi” sampai menjadi bisu.

Cerpen “Ruang Belakang

Judul : Ruang Belakang Pengarang : Nenden Lilis Aisyah Analogi : “Tengkorak Dua Kepala”

Kompas : 2000 Ikhtisar

Cerpen Ruang Belakang bercerita tentang kehidupan dua keluarga yang mengontrak di ruang belakang paviliun yang dikontrak tokoh aku (pengarang). Pengarang dalam cerita ini menempatkan diri sebagai pengamat, tetapi pegarang juga melibatkan diri dalam penceritaan.Kedua-duanya ibu, yang satu adalah Umi, seorang janda dengan satu anak laki-laki yang duduk di SMP dan sangat bandel, tidak pernah menurut pada ibunya dan selalu menyepelekan ibunya.

Perempuan yang kedua Teh Nining yang kehidupannya sangat ruwet.Kadangkadang terdengar suara jeritan Teh Nining karena bertengkar dengan tetangganya Umi, atau karena digampar suaminya.

Tokoh aku (pengarang) sudah tiga bulan mengontrak paviliun di perbatasan kota, dan mereka sekeluarga ngontrak di daerah itu karena biayanya relatif murah. Tokoh aku bercerita bahwa dia mempunyai bayi yang baru berumur empat bulan.Teh Nining sering dipukul suaminya. Apalagi setelah suaminya dikeluarkan dari hotel tempatnya semula bekerja.

Ideologi Patriarki

Teh Nining sebagai tokoh utama mempunyai peran ganda dalam rumah tangganya.Selain dia beperan di ruang domestik, dia juga

(12)

bekerja di ruang publik sebagai penjual gorengan.Teh Nining berperan sebagai pencari nafkah, karena suaminya sedang menganggur, dikeluarkan dari pekerjaannya di hotel.Tokoh aku (pengarang) sering merasa takut dan jijik pada suami Teh Nining karena wataknya.

Apabila suaminya bangun agak pagi, dan menemukan istrinya sudah pergi tanpa menyediakan kopi, dia akan menyumpah- nyumpah sendiri, lalu pergi dalam keadaan semrawut setelah menitipkan kunci pada tokoh aku. Tokoh aku (pengarang) sering merasa takut dan jijik pada suami Teh Nining yang digambarkannya sebagai berikut:

Tubuhnya seperti orang tidak sehat dan sekotor tikus-tikus yang berloncatan dari atap gudang.Wajahnya menyerupai kamar sempit penuh sarang laba-laba.Ia menatap dengan mata orang sakit mata, dan kalau berbicara, kecoa-kecoa busuk dari got seakan memenuhi perutnya untuk menyebarkan bau melalui mulutnya. Ia luntang-lantung seharian, ikut menyabung ayam atau main gapleh dengan pemuda- pemuda pengangguran. Pulang-pulang untuk makan, dan kalau tak ada makanan, istrinya harus siap-siap menerima dampratan (hal.108).

Tingkah laku Dadang (suami Teh Nining) menjijikan dan galak, Dalam penceritaan cerpen ini tokoh Dadang sebagai “subjek”

penceritaan digambarkan penonjolan ideologi patriarkinya.

Ideologi Familialisme

Sebagai seorang istri Teh Nining adalah seorang perempuan yang sangat bertanggung Jawab terhadap kelangsungan kehidupan keluarga.Karena suaminya tidak bekerja, dia yang mengambil alih mencari nafkah dengan berjualan gorengan.Jadi, dalam cerpen ini digambarkan bahwa Teh Nining berperan ganda.Sayangnya peran ganda Teh Nining tidak ditunjang oleh suaminya.Pola kehidupan keluarga muda Teh Nining dan Dadang ini menunjukkan representasi ideologi gender.

Pada suatu pagi terdengar suara Teh Nining mengomel karena suaminya selalu tidur kayak kebo, anaknya menangis tidak mau mandi.

Selanjutnya terdengar suara jeritan Teh Nining yang digampar suaminya.Kekasaran Dadang terhadap istrinya menunjukkan

"pemarginalan, penyubordinasian, pendeskriminasian, dan perepresian” suami terhadap istri.

Ideologi Ibuisme

Munculnya simbol ibu, kemudian diikuti dengan paham “ibuisme”.Paham ini membawa arti sempit terhadap perempuan, karena perannya dibatasi pada sektor domestik.Ideologi ibuisme menuntut perempuan berperan sebagai ibu yang baik, pendamping suami yang baik, mengurus anak, dan ikut mencari nafkah tambahan.

Memosisikan perempuan seperti ini menunjukkan adanya diskriminasi terhadap kehidupan perempuan.Soalnya tak ada tuntutan sebanyak itu bagi laki-laki.Laki-laki hanya dikondisikan sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah (bekerja di ruang publik), tidak ada tuntutan untuk membantu pekerjaan perempuan di ruang domestik.Semua posisi ini dikondisikan oleh sistem nilai masyarakat turun-temurun. Saat Dadang diomeli Teh Nining karena tidur saja kayak kebo, Dadang marah dan menggamparnya. Tetapi saat Teh Nining tidak menyediakan kopi untuk suaminya kalau bangun agak pagi, Teh Nining bisa-bisa digampar lagi.Jadi perempuan tidak bisa menampilkan dirinya, diskriminasi ini berlangsung selama ada dominasi laki-laki terhadap perempuan, perempuan selalu didefinisikan tidak bisa mendefinisikan.

Ideologi Umum

Ideologi umum menunjukkan adanya represi bagi perempuan yang dilakukan oleh laki- laki.Hal ini juga terjadi karena adanya hegemoni gender.Dalam cerpen Ruang Belakang ini pengarang bercerita tentang keterlibatannya dalam penceritaan.

“Pagi itu dia dan suaminya terbangun karena jeritan bayinya, yang kaget

(13)

karena suara gerombyang gelas dan piring yang dilempar. Jam di dinding baru menunjukkan jam enam lewat sedikit. Terdengar suara laki-laki yang kasar dan suara benda yang dibenturkan.Tampaknya Dadang menjambak rambut Teh Nining dan membenturkan kepalanya.Terdengar pula jeritan Teh Nining dan tangisan anaknya, serta bantingan pintu, kayaknya Dadang pergi.Suamiku pergi ke belakang ingin melihat apa yang terjadi, tapi dia kembali lagi karena pintu kamar Teh Nining dikunci (hal 112).”

Siang hari si tokoh aku mengetuk pintu Teh Nining, karena khawatir terjadi apa-apa pada Teh Nining, tetapi tidak dibuka.Kamar Umi juga sepi, entah ke mana dia pergi.“Menjelang tengah hari terdengar ketukan di pintu dapur.Ketika pintu dibuka, tersembul muka bengap dan mata bengkak.” Terjadi dialog antara tokoh aku dan Teh Nining.

Eh Teh Nining, masuk Teh!”

“Maaf mengganggu nih, Bu...” ucapnya lirih.

“Nggak apa-apa.Justru saya gembira Teh Nining keluar. Tadi pintunya beberapa kali saya ketuk...”

“Saya ada di dalam. Cuman tadi saya betul-betul nggak bisa bangun.

Pusing. Nggak enak badan.”

“Dahi Teteh memar, kenapa?”

“Ah cuman terbentur, nggak apa-apa kok.”

“Benar nggak apa-apa?”(hal. 112).

Dia menggeleng pelan, lalu cepat-cepat mengatakan maksudnya akan meminjam uang untuk ongkos ke Cililin ke rumah kakaknya bersama anaknya. Dia berjanji akan mengembalikan uangnya kalau kembali dari Cililin.

Dari dialog di atas bisa diketahui bahwa tokoh Teh Nining tidak mau kejelekan rumah tangganya diketahui orang lain, dia berusaha menutupi apa yang terjadi sebenarnya. Hal ini juga menunjukkan adanya ideologi gender, yang menyangkut posisi perempuan yang tabu untuk mengemukakan perasaannya secara terbuka.Perempuan harus bisa menyimpan perasaan, dan harus bisa tetap menutupi kejelekan-kejelekan suaminya, karena suami adalah kepala rumah tangga dan panutannya.

Teh Nining, yang sudah jelas-jelas mukanya bengap dan matanya sembab tak mau terbuka menceritakan kepada tokoh aku atas “represi”

yang dilakukan suaminya.

PENUTUP

Berdasarkan analisis yang dilakukan pada 4 cerpen yang terdapat dalam 4 antologi cerpen yaitu “Rambutnya Juminten” karya Ratna Indraswati Ibrahim dalam antologi cerpen Lampor

(Kompas, 1984); cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” karya Lea Pamungkas dalam antologi cerpen

Laki-laki yang Kawin dengan Peri (Kompas, 1995); cerpen “Warung Pinggir Jalan”

karyaLea Pamungkas dalam antologi cerpen Pistol Perdamaian (Kompas, 1996); cerpen

“RuangBelakang” karya Nenden Lilis Aisyah, dan dalam antologi cerpen Dua Tengkorak Kepala (Kompas, 2000) diketahui bahwa keempat cerpen ini adalah cerpen yang merepresentasikan ideologi gender dan ketidaladilan gender.

Model AWK yang diterapkan untuk menganalisis cerpen berideologi gender ini adalah AWKIG versi Yoce Aliah Darma dan hasilnya sangat efektif dalam mengungkap adanya ideologi gender, yaitu ideologi patriarki, familialisme, ibuisme, dan umum.

Selain itu mengungkap pula adanya ketidakadilan gender, yaitu subordinasi, marginalisasi, diskriminasi, dan represi.

(14)

Aisyah, Nenden Lilis. 2000. Ruang Belakang dalam Dua Tengkorak Kepala Antologi Cerpen Kompas. Jakarta: Kompas.

Darma, Yoce Aliah. 2009.Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya.

Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study Of Language. New York. Longman.

Fakih, M. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Ibrahim, Ratna Indraswari. 1994. Rambutnya Juminten dalam Lampor Antologi Cerpen Kompas. Jakarta: Kompas.

Lukmana, Iwa. 2003. “Critical Discourse Analysis (CDA): Rekonstruksi Kritis terhadap Makna” dalam Jurna Bahasa dan Sastra.Bandung: FPBS UPI.

Meneg UPW. 1992. Pengantar Teknik Analisis Gender. Jakarta: Kantor Meneg UPW.

Mills, S.1997. Discourse. London: Routledge.

Nurgiyantoro, B. 1995.Teori Pengkajian Fiksi.

Yogyakarta, Gadjahmada University Press.

Pamungkas, Lea. 1995. Mbok Nah 60 Tahun dalam Laki-laki Kawin dengan Peri Antologi Cerpen Kompas. Jakarta:

Kompas.

Pamungkas, Lea. 1996. Warung Pinggir Jalan dalam Pistol Perdamaian Antologi Cerpen Kompas 1995 hal. 135-146.

Jakarta: Kompas.

Saptari and Holzner.1997. Perempuan, Kerja, dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta:

Pustaka Utama Grafiti.

Sumardjo, Jacob. & Saini, K.M. 1991.

Apresiasi Kesusasteraan. Jakarta:

Gramedia.

Umar, Nazaruddin. 1999. Argumen Kesetaraan Gender, Perspektif Al-Quran.

Jakarta: Paramadina.

DAFTAR PUSTAKA

Referensi

Dokumen terkait