• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH Perbandingan Antara Aliran

N/A
N/A
Trian Solihan

Academic year: 2023

Membagikan " MAKALAH Perbandingan Antara Aliran"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

Perbandingan Antara Aliran (Pelaku Dosa Besar, Iman dan Kufur, Perbuatan Tuhan, Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan)

Disusun Guna Memenuhi Tugas Ilmu Kalam Dosen Pengampu : Siti Marfuah, S.Kom.I, M.P.I

Disusun Oleh Kelompok 4 PBS A : 1. Tialika Nurul Faradella (221420010) 2. Sulthan Fawwaz Muhammad (221420015)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM UIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN

SEMESTER 1 2022/2023

(2)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah swt. Karena berkat rahmat dan karunia-Nya, Kami dapat menyelesaikan makalah ILMU KALAM yang berjudul

Perbandingan Antara Aliran (Pelaku Dosa Besar, Iman dan Kufur, Perbuatan Tuhan, Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan) ini pada waktunya.

Makalah ini dimaksudkan untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Perbandingan Antara Aliran (Pelaku Dosa Besar, Iman dan Kufur, Perbuatan Tuhan, Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan). Adapun penjelasan pada makalah ini kami ambil dari beberapa sumber.

Saya ucapkan terima kasih pada orang tua, keluarga, saudara, dan teman-teman yang telah membantu menyelesaikan makalah ini, akan tetapi Saya juga menyadari bahwa terdapat kekurangan di dalam makalah ini. Untuk itu dengan senang hati Kami senantiasa menerima kritik dan saran yang bersifat membangun para pembaca. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Serang, 25 November 2022

Kelompok 9

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 1

C. Tujuan... 1

BAB II PEMBAHASAN A. Perbandingan Antara Aliran Pelaku Dosa Besar ...2

B.

Perbandingan Antara Aliran Iman dan Kufur...5

C.

Perbandingan Antara Aliran Perbuatan Tuhan...9

D. Perbandingan Antara Aliran Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan... 11

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan...13

B.

Saran...13

DAFTAR PUSTAKA... 14

(4)
(5)

BAB I PENAHULUAN

A. Latar Belakang

Persoalan kalam lain yang menjadi perdebatan di antara aliran-aliran kalam adalah Perbandingan Antara Aliran (Pelaku Dosa Besar, Iman dan Kufur, Perbuatan Tuhan, Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan). Masalah ini muncul sebagai buntut dari perdebatan ulama kalam. Ketika sibuk menyoroti siapa yang masih dianggap beriman dan siapa yang kafir diantara pelaku tahkim, dan bagaimana nasib para pelaku dosa besar, para ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan manusia, apakah Allah sendiri ? atau manusia sendiri ? atau kerja sama antara keduanya.

Masalah ini kemudian memunculkan aliran-aliran yang berbeda pendapat tentang hal itu, dan berbagai persoalan-persoalan yang masing-masing mereka memberikan dalil-dalil yang kuat dan bertanggung jawab.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perbandingan antara aliran pelaku dosa besar?

2. Bagaimana perbandingan antara aliran iman dan kufur?

3. Bagaimana perbandingan antara aliran perbuatan tuhan?

4. Bagaimana perbandingan antara aliran kehendak mutlak tuhan dan keadilan?

C. Tujuan

1. Untuk melengkapi tugas mata kuliah Ilmu Kalam

2. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan antara aliran pelaku dosa besar 3. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan antara aliran iman dan kufur 4. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan antara aliran perbuatan tuhan

5. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan antara aliran kehendak mutlak tuhan dan keadilan

(6)

BAB II PEMBAHASAN A. Perbandingan Antara Aliran Pelaku Dosa Besar

1. Khawarij

Khawarij merupakan aliran dalam islam yang pertama kali muncul, mereka selalu menyatakan “La hukma illalah” (tiada hukum yang benar kecuali disisi Allah). Aliran yang muncul akibat tidak setuju dengan tahkim yang di adakan pada perang Siffin antara Saidina Ali Bin Abi Thalib dengan Saidina Muawiyah.

Mereka memfatwakan bahwa sekalian dosa adalah besar, tidak ada namanya dosa kecil atau dosa besar. Sekalian pendurhakaan kepada Tuhan adalah besar tidak ada yang kecil menurut aliran khawarij.[1]

Aliran khawarij menurut Al-Bagdadi terpecah menjadi 20 sekte. Diantaranya adalah Al-Muhakimah fatwanya adalah Orang yang melakukan dosa besar adalah kafir, telah keluar dari islam dan kekal di dalam neraka. Orang-orang yang menyetujui tahkim, berzina, membunuh tanpa sebab, dll. Adalah orang yang berbuat salah dan menjadi kafir keluar dari islam.[2]

Al-Najdat pendapatnya yaitu orang yang berdosa besar adalah kafir dan kekal di dalam neraka hanyalah orang islam yang tidak sefaham dengan golonganya, adapun pengikutnya jika melakukan dosa besar betul akan mendapat siksaan, tetapi bukan dalam neraka, dan kemudian masuk surga.

Al-Sufriah pemimpin golongan ini adalah Ziad Ibn Al-Asfar, mereka berpendapat bahwa orang yangn melakukan dosa besar adalah musyrik, ada diantara mereka yang membagi dosa besar dalam dua golongan. Yang pertama yaitu dosa yang ada sangsinya di dunia seperti membunuh dan berzina, dosa yang tidak ada sangsinya di dunia, seperti meninggalkan sholat dan puasa. Orang yang berbuat dosa besar golongan pertama tidak di pandang kafir, yang menjadi kafir hanyalah orang yang melakukan dosa besar golongan ke dua.

Al-Ibadah pemimpinnya adalah ‘Abdullah Ibn Ibad merupakan golongan paling moderat diantara golongan khawarij yang lain. Paham mereka tentang dosa besar adalah Orang yang melakukan dosa besar Muwahhid tetapi bukan mukmin dan kalaupun kafir hanya merupakan kafir al-ni mah bukan kafir al-millah.

(7)

Dengan kata lain mengerjakan dosa besar tidak membuat seseorang keluar dari agama islam.[3]

2. Murji’ah

Kaum murji’ah yang “gullah” (yang radikal) sampai ada yang beri’tikad, bahwa asal kita sudah mengakui dalam hati atas wujud-Nya Tuhan dan sudah percaya dalam hati kepada Rasul-rasul-Nya maka kita sudah mukmin walaupun melahirkan dengan lidah hal-hal yang mengkafirkan, seperti menghina Nabi, Al- Qur’an dll.

Persoalan dosa besar yang di timbulkan kaum khawarij mau tidak mau menjadi bahan perhatian pula bagi mereka, kalau khawarij menjatuhkan hukum kafir kepada orang yang melakukan dosa besar, jika murji’ah menjatuhkan hukum mukmin.[4]

Adapun dosa besar yang mereka lakukan itu di tunda penyelenggaraanya di hari perhitungan kelak. Karena mereka mengatakan bahwa orang mu’min yang mengakui dalam hati atas wujud-Nya Tuhan dan sudah percaya dalam hati kepada Rosul-rosul-Nya ia mu’min walaupun melakukan dosa besar, Dosa bagi kaum murji’ah tidak apa-apa asal sudah ada iman dalam hati.[5]

3. Mu’tazilah

Mu’tazilah (mengasingkan diri) mereka memfatwakan orang yang melakukan dosa besar tidak akan di ampuni dosanya sebelum ia bertaubat, dan akan terus menerus di dalam neraka tidak akan keluar lagi. Akan tetapi kalau orang mu’min yang berbuat dosa besar/dosa kecil ia akan di hukum dalam neraka di suatu tempat, lain dari tempat orang kafir. Nerakanya agak dingin mereka tinggal di antara dua tempat, yakni antara surga dan neraka.[6]

Prinsip ini sangat penting yang karenya Washil Bin ‘Atha pendiri mu’tazilah memisahkan diri dari gurunya Hasan Al-Basri, ia memutuskan bahwa orang yang berbuat dosa besar selain syirik tidak mu’min tidak pula kafir, tetapi fasik. Jadi kefasikan adalah suatu hal yang berdiri sendiri antara iman dan kafir, dan tingkatan orang fasik dibawah orang mu’min di atas orang kafir. Jalan tengah ini di ambilnya dari :

(8)

1. Fikiran-fikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa keutamaan adalah jalan tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan.

2. Plato yang mengatakan bahwa ada sesuatu tempat di antara baik dan buruk.

Golongan mu’tazilah memperdalam jalan tengah tersebut sehingga di jadikanya suatu prinsip “Rationalitas-ethis Philosopis”.[7]

4. Asy’ariyah

Bagi Al-Asy’ari orang yang berdosa besar adalah tetap mukmin, karena masih ada imannya, tetapi karena dosa besar yang telah di lakukannya ia menjadi fasiq, jadi ia bukan teman juga bukan musuh.[8]

Orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati sebelum bertaubat, maka orang itu tetap mu’min, dimandikan, dikuburkan, sebagai orang mu’min. Karena pada hakikatnya ia mu’min yang durhaka kepada Tuhan.

Orang semacam itu di akhirat nanti menurut keyakinan Asy’ariyah akan mendapat beberapa kemungkinan :

 Boleh jadi dosanya di ampuni oleh Tuhan.

 Boleh jadi ia mendapat syafaat dari nabi Muhammad SAW sehingga di bebaskan dan tidak mendapat hukuman dan langsung masuk surga.

 Ia di hukum di dalam neraka buat seketika, dan akhirnya di keluarkan dan di masukan kedalam surga.

Pendapat ini berdasarkan pada Q.S An-Nisa ayat 48 :

ْكِرُْشّي ْنَمَو ۚ ُءۤاَُشّي ْنَمِل َكِل ٰذ َنْوُد اَم ُرِفْغَيَو ٖهِب َكَرُْشّي ْنَا ُرِفْغَي َل َ ٰاا ّنِا اًمْيِظَع اًمْثِا ىٰٓرَتْفا ِدَقَف ِ ٰالاِب

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan- Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar.

Jadi orang mukmin yang melakukan dosa besar dan mati sebelum tobat, maka orang itu tetap mukmin. Bila orang itu tidak mendapat ampunan dari Allah dan tidak pula mendapat syafa’at Nabi Muhammad saw untuk mendapatkan ampunan

(9)

dari Allah swt maka orang itu dimasukkan ke neraka buat sementara, kemudian dikeluarkan dari neraka untuk dimasukkan ke surga.

5. Maturidiyah

Al-Maturidi menolak ajaran Mu’tazilah mengenai masalah soal dosa besar tetapi aliran ini sefaham dengan aliran Asy’ariyah yaitu : bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mu’min, dan soal dosa besarnya nnanti akan di tentukan Tuhan kelak di akhirat.[10]

B. Perbandingan Antar Aliran Iman dan Kufur

Akibat dari perbedan pandangan mengenai unsur-unsur iman, maka timbulah aliran-aliran teologi yang mengemukakan persoalan siapa yang beriman dan siapa yang kafir. Adapun aliran-aliran tersebut adalah Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan Ahlus Sunnah.

1. Khawarij

Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah, mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan.

Segala perbuatan yang berbau religius, termasuk di dalamnya masalah kekeuasaan adalah bagian dari keimanan (al-amal juz’un al-iman). Menurut Khawarij, orang yang tidak mengerjakan shalat, puasa, zakat dan lain-lain, maka orang itu kafir. Begitu juga dengan orang yang tidak sefaham dengan kaumnya ia kafir dan telah keluar dari agama islam.

2. Murji’ah

Mereka berpendapat bahwa iman hanya pengakuan dalam hati sehingga orang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa besar. Berdasarkan pandangan mereka tentang iman, Abu-Hasan Al-Asy’ary mengklasifikasikan aliran teologi Murji’ah menjadi 12 subsekte, yaitu Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Asy- Syimriya, As-Saubaniyah, Ash-Salihiyah, AL-Yunusiyah, Asy-Syimriyah, As- Saubaniyah, An-Najjariyah, Al-Kailaniyah bin Syabib dan pengikutnya, Abu Hanifah dan pengikutnya, At-Tumaniyah, Al-Marisiyah, dan Al-Karramiyah. Sementara itu, harun Nasution dan Abu Zahrah membedakan Murji’ah menjadi dua kelompok

(10)

utama, yaitu Murji’ah moderat (Murji’ah Sunnah) dan Murji’ah ekstrim (Murji’ah Bid’ah).[15]

Namun kedua belas kelompok tersebut masing-masing memiliki pendapat mengenai Iman dan kufur. Dan aliran Mur’jiah ini kemudian berbeda anggapan tentang batasan kufur yang terpecah dalam tujuh kelompok.

a. Kelompok pertama ini beranggapan: kufur itu merupakan sesuatu hal yang berkenaan dengan hati, dimana hati tidak mengenal (jahl) terhadap Allah swt. Adapun mereka yang beranggapan seperti ini ialah para pengikut kelompok Jahamiyyah.

b. Kelompok kedua ini beranggapan: kufur itu merupakan banyak hal yang berkenaan dengan hati ataupun selainnya, seperti tidak mengenal (Jahl) terhadap Allah swt, membenci dan sombong atas-Nya, mendustakan Allah dan rasul-Nya, menyepelekan Allah dan rasul-Nya, tidak mengakui Allah itu Esa dan menganggap-Nya lebih dari satu. Karena itu mereka pun menganggap bisa saja terjadi kekufuran tersebut, baik dengan hati ataupun lisan, tetapi bukan dengan perbuatan, dan begitupun iman.

Mereka pun beranggapan bahwa sesorang yang membunuh ataupun hanya menyakiti nabi dengan tidak karena mengingkarinya, tetapi hanya karena membunuh ataupun menyakiti itu semata, niscaya dia tidaklah disebut kufur. Begitupun seseorang yang meninggalkan kewajiban agama seperti halnya salah dengan tidak karena menghalalkannya, tetapi hanya karena meninggalkan salat itu semata, niscaya dia pun tidaklah disebut kufur.

Tetapi mereka beranggapan: kalau seseorang menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah, rasul-Nya dan juga orang-orang muslim, niscaya dia pun disebut kufur.

Begitupun kalau seseorang beritikad dengan itikad yang menurut kesepakatan segenap orang muslim merupakan suatu kekufuran, atau berbuat dengan perbuatan yang merupakan suatu kekufuran. Niscaya dia pun disebut sebagai orang kafir.

c. Kelompok ketiga itu beranggapan: Kufur terhadap Allah itu mendustakan-Nya, membangkang terhadap-Nya dan mengingkari-Nya secara lisan. Karena itu tidaklah kekufuran, kecuali dengan lisan dan bukan dengan selainnya. Adapun anggapan ini dikemukakan oleh Muhammad ibn karam dan para pengikutnya.

d. Kelompok keempat ini beranggapan: kufur itu membangkang melawan dan mengingkari Allah, baik sepenuh hati ataupun secara lisan.

e. Kelompok kelima ini ialah para pengikut Abu Syamr, dimana anggapan-anggapan mereka tentang kufur ini telah di kemukakan dalam uraian yang terdahulu, yang

(11)

f. Kelompok keenam ini ialah para pengikut Muhammad ibn Syabib di mana anggapan-anggapan mereka tentang kufur ini pun telah dikemukakan dalam uraian yang terdahulu, yang menyangkut anggapannya tentang iman.

Adapun kebanyakan pengikut aliran Murji’ah tidak mengkufurkan seseorang yang mentakwilkan al-Quran, bahkan tidak pula mengkufurkan siapa pun selain yang kekufurannya itu telah disepakati orang-orang muslim.

3. Mu’tazilah

Menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.[11]

Menurut kaum Mu’tazilah Iman bukanlah Tasdiq dan iman dalam arti mengetahuipun belumlah cukup. Menurut ‘Abd al-jabar, orang yang mengetahui Tuhan tetapi melawan-Nya bukanlah orang yang beriman (mukmin).

Dengan demikian iman bukan Tasdiq, bukan pula ma’rifah tetapi ‘amal yang timbul sebagai akibat mengetahui Tuhan, tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksana perintah-perintah Tuhan.[12]

Menurut Abu Huzail yang di maksud dengan perintah Tuhan adalah bukan hanya yang wajib saja, tetapi juga yang sunnat. Sedang menurut Al-Jubba’i yang di maksud dengan itu hanyalah perintah-perintah yang bersifat wajib.

4. Asy-Ariyah

Kaum Asy’ariyah – yang muncul sebagai reaksi terhadap kekerasan Mu’tazilah memaksakan paham khalq al-Quran banyak membicarakan persoalan iman dan kufur. Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, iman bagi mereka adalah tashdiq. Pendapat ini berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tazilah.

Tasdiq menurut Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang mengandung ma’rifah terhadap Allah (qaulun bi al-nafs ya tadhammanu a’rifatullah).

(12)

Mengenai penuturan dengan lidah (iqrar bi al-lisan) merupakan syarat iman, tetapi tidak termasuk hakikat iman yaitu tashdiq . argumentasi mereka berdasarkan pada surat al-nahl, ayat 106.

ناميلاب نئمطم هبلق و هركأ نملا هناميأ دعب نم لاب رفك نم

Seseorang yang menuturkan kekafirannya dengan lidah dalam keadaan terpaksa, sedangkan hatinya tetap membenarkan Tuhan dan rasul-Nya, ia tetap dipandang mukmin. Karena pernyataan lidah itu bukan iman tapi amal yang berada di luar juzu’iman.

Kaum Asy’ariah dengan keyakinan bahwa akal manusia tidak sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak bisa merupakan ma’rifah atau ‘amal, manusia dapat mengetahui hal itu hanya dengan wahyu. Wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus menerima kebenaran berita ini.

Oleh karena itu iman bagi kaum Asy’ariah adalah Tasdiq, dan batasan iman seperti yang di berikan oleh Asy’ari adalah Tasdiq bi Allah yaitu menerima sebagai kebenaran adanya Tuhan. Al-bagdadi menyebut batasan yang lebih panjang. Iman adalah Tasdiq tentang adanya Tuhan, Rasul-rasul, dan kabar berita yang mereka bawa. Tasdiq tidak sempurna jika tidak di sertai dengan pengetahuan.

Bagaimanapun iman hanyalah Tasdiq dan pengetahuan tidak akan timbul kecuali setelah datangnya kabar yang di bawa oleh wahyu yang bersangkutan.[14]

5. Maturidiyah

Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Pengertian ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai bantahan terhadap al-Karamiyah, salah satu subsekte Murji’ah. Keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah.

Al-Maturidi tidak berhenti sampai di situ. Menurutnya, tashdiq, seperti yang dipahami di atas, harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah ayat 260. Pada surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada

(13)

Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati.

Permintaan Ibrahim tersebut, lanjut Al-maturidi, tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, Ibrahim mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Jadi, menurut Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman.

Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq bi al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud demgan tashdiq al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal. Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah, yaitu sama-sama menempatkan tashdiqsebagai unsur esensial dari keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.

Kaum Maturidiyah dari golongan Bukhara berpendapat sama dalam hal ini dengan Asy’ariah yaitu bahwa akal manusia tidak sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak bisa merupakan ma’rifah atau ‘amal, batasan yang di berikan oleh Al-Bazdawi tentang iman adalah menerima dalam hati dengan lidah bahwa tidak Tuhan selain Allah dan bahwa tidak ada yang serupa dengan-Nya.[13]

6. Ahlu Sunnah

Menurut aliran ini Iman ialah mengikrarkan dengan lisan dan membenarkan dengan hati. Iman yang sempurna ialah mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan mengerjakan dengan anggota.

Orang mukmin bisa menjadi kafir (murtad), karena mengingkari rukun iman yang enam, misalnya: ragu-ragu atas adanya Tuhan, menyembah kepada makhluk, menuduh kafir kepada orang Islam.

C. Perbandingan Antara Aliran Perbuatan Tuhan

1. Mu’tazilah

Orang Mu’tazilah berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada perbuatan yang dikatakan baik. Namun, tidak berarti Tuhan tidak dapat berbuat perbuatan yang buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena Ia sendiri

(14)

mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu sendiri. Ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh kelompok Mu’tazilah untuk mendukung pendapatnya adalah

§ Q.S. Al-Anbiya(21):23

َن ْوُلَٔـْسُي ْمُهَو ُلَعْفَي اّمَع ُلَٔـْسُي َل

(Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai)

§ Q.S. Ar-Rum(30):8

ٍلَجَاَو ّقَحْلاِب ّلِا اَمُهَنْيَب اَمَو َض ْرَ ْلاَو ِت ٰو ٰمّسلا ُ ٰاا َقَلَخ اَم ۗ ْمِهِسُفْنَا ْٓيِف اْوُرّكَفَتَي ْمَلَوَا

َن ْوُرِف ٰكَل ْمِهّبَر ِئۤاَقِلِب ِساّنلا َنّم اًرْيِثَك ّنِاَو ۗىًامَسّم

(Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar mengingkari pertemuan dengan Tuhannya.)

Paham bahwa Tuhan berbuat baik membuat kelompok Mu’tazilah memunculkan paham kewajiban Allah SWT berikut ini:

v Kewajiban tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia, v Kewajiban mengirimkan Rasul, dan

v Kewajiban menepati janji dan ancaman.

2. Asy-Asriyah

Kelompok Asy’ariyah tidak dapat menerima pendapat yang dipahami oleh kelompok Mu’tazilah karena bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Kelompok Asy’ariyah tidak menerima paham Tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat berbuat sesuka hati-Nya terhadap makhluk. Karena alasan inilah, aliran ini menerima paham pemberian beban di luar kemampuan manusia.

Al-Asya’ari sendiri, dengan jelas mengatakan dalam Al-Luma, bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tak dapat dipikul manusia.

Walaupun pengiriman Rasul mempunyai arti penting dalam teologi, aliran Asy’ariyah menolaknya sebagai kewajiban Tuhan. Tanpa wahyu yang Rasul

(15)

sampaikan, sekiranya manusia akan mengalami kekacauan. Ia tidak dapat membedakan perbuatan baik dan perbuatan buruk. Namun, sesuai dengan paham Asy’ariyah tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, hal ini tidak menjadi permasalahan bagi teologi mereka. Tuhan dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya.

Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman yang disebut Al-Qur’an dan Hadits. Di sini timbul persoalan bagi Asy’ariyah karena dalam Al-Qur’an dikatakan dengan tegas bahwa siapa yang berbuat jahat akan masuk ke neraka. Untuk mengatasi ini, kata-kata bahasa Arab yang berarti siapa, diberi interpretasi “bukan semua orang, tapi sebagian”. Dengan interpretasi inilah, Al-Asy’ari mengatasi persoalan wajibnya Tuhan menepati dan menjalankan ancaman.

3. Maturidiyah

Terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Demikian juga pengiriman Rasul dipandang oleh Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.

Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai paham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, Badzawi menjelaskan bahwa Tuhan pasti menepati janji-Nya. Nasib orang berdosa ditentukan oleh kehendak mutlak Tuhan. Jika Tuhan berkehendak memberikan ampunan kepadanya, Tuhan akan memasukkannya ke surga. Begitupun sebaliknya.

Mengenai pengiriman Rasul, sesuai dengan paham mereka, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin. Aliran Samarkand memberi batasan pada kekuasaan mutlak Tuhan sehingga mereka menerima paham adanya kewajiban bagi Tuhan.

Pendapat aliran ini dapat diketahui dari keterangan Al-Bayadi, yang menjelaskan bahwa keumuman Maturidiyah Samarkand sepaham dengan dengan Mu’tazilah mengenai wajibnya pengiriman Rasul.

Mengenai memberikan beban kepada manusia di luar batas kemampuannya, aliran Maturidiyah Bukhara menerimanya. Al Badzawi mengatakan tidaklah mustahil jika Tuhan meletakkan kewajiban yang tidak sanggup dipikul oleh manusia. Sebaliknya, Maturidiyah Samarkand mengambil posisi dekat dengan

(16)

Mu’tazilah. Al-Maturidi tidak setuju dengan Asy’ariyah karena dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Tuhan tidak membebani manusia dengan kewajiban yang tidak terpikul.

D. Perbandingan Antara Aliran Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan

1. Mu’tazilah

Mu’tazilah yang berprinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba- Nya, kemudian mengharuskan hamba-Nya itu untuk menanggung akibat perbuatannya. Secara lebih jelas, aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak mutlak lagi. Ketidakmutlakan kekuasaan Tuhan itu disebabkan oleh kebebasan yang diberikan Tuhan terhadap manusia serta adanya hukum alam (sunnatullah) yang menurut Al-Qur’an tidak pernah berubah.

2. Asy’Ariyah

Kaum Asy’ariyah, karena percaya kepada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Mereka mengartikan keadilan dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya sendiri. Dengan demikian, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya. Justru tidaklah adil jika Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya karena Ia adalah penguasa mutlak. Tuhan haruslah berlaku semutlak-mutlaknya. Al-Asy’ari sendiri menjelaskan bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun dan tidak satu zat lain diatas Tuhan yang dapat membuat hukum serta menentukan apa yang boleh dibuat dan tidak boleh dibuat oleh Tuhan.

3. Maturidiyah

Aliran ini terbagi menjadi dua yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Pemisah ini disebabkan perbedaan keduanya dalam menentukan porsi penggunaan akal dan pemberian batas kepada kekuasaan mutlak Tuhan. Kehendak

(17)

mutlak Tuhan, menurut Maturidiyah Samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan.

Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk. Adapun Maturidiyah Bukhara bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendakinya dan menentukan segala-galanya.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam perkembangannya, Ilmu kalam berkembang dengan berbagai permasalahannya yang menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari permasalahan pelaku dosa besar, penentuan iman dan kufurnya manusia, dan juga tentang perbuatan Tuhan dan manusia yang aliran-aliran dalam Ilmu Kalam mempunyai pendapat yang berlainan.

Aliran-aliran dalam Ilmu Kalam masing-masing mempunyai pendapat yang berlandaskan kepada dalil-dalil Naqli dan Aqli, oleh sebab itu masing- masing mereka tidak dapat disalahkan atau bahkan mencap salah satu mereka adalah aliran sesat.

Siapa yang benar dan salah, hanyalah Allah yang tahu semuanya, dan kita akan mengetahui semuanya itu kelak di negeri akhirat.

B. Saran

Sebagai umat Islam yang mempunyai Ukhuah Islamiyah yang tinggi sebaiknya kita mengetahui semua tentang pendapat-pendapat antar aliran, agar kita dapat memilah dan memilih mana yang sebaiknya kita ikuti tetapi jangan menganggap rendah aliran yang menurut kita tidak sejalan dengan keyakinan kita.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

https://media.neliti.com/media/publications/40271-ID-tinjauan-tentang-hubungan- tentang-kehendak-tuhan-dengan-keadilan-tuhan.pdf

http://arsyadiyah.blogspot.com/2015/07/perbandingan-pemikiran-teologi- tentang_1.html

https://www.tokopedia.com/s/quran/ar-rum/ayat-8?

utm_source=google&utm_medium=organic#:~:text=8.&text=Dan%20mengapa

%20mereka%20tidak%20memikirkan,benar%20mengingkari%20pertemuan

%20dengan%20Tuhannya.

https://www.academia.edu/34761658/Perbandingan_Antara_Aliran_aliran_Pelaku_Dos a_Besar

Referensi

Dokumen terkait

Data Primer adalah data yang bersumber dari buku-buku yang berkenaan dengan masalah terutama yang membicarakan konsep Tuhan dalam aliran kebatinan Pangestu dan

Berpijak dari defenisi yang mereka kemukakan di atas dapat kita simpulkan bahwa adil tidaknya perbuatan Tuhan terhadap manusia bukan diukur dengan pandangan manusia,

Ibnu Katsir mengatakan, bahwa syirik digolongkan dosa besar, sebab perbuatan syirik menyamakan kedudukan Tuhan yang hanya dari dialah semua nikmat dengan

Meskipun asumsi Maturidiyah Bukhoro tentang Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, sama dengan Asy‟ariyah namun kedua aliran ini mempunyai perbedaan yang