• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PENANGANAN DAN PEMUSNAHAN BARANG BUKTI TINDAK PIDANA NARKOTIKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "IMPLEMENTASI PENANGANAN DAN PEMUSNAHAN BARANG BUKTI TINDAK PIDANA NARKOTIKA"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI PENANGANAN DAN

PEMUSNAHAN BARANG BUKTI TINDAK PIDANA NARKOTIKA

TESIS

Oleh :

ARIEF APRIANDO

NIM : 21302100135 Konsentrasi : Hukum Pidana

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG 2023

(2)

i

IMPLEMENTASI PENANGANAN DAN

PEMUSNAHAN BARANG BUKTI TINDAK PIDANA NARKOTIKA

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum

Oleh :

ARIEF APRIANDO

NIM : 21302100135 Konsentrasi : Hukum Pidana

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG 2023

(3)

ii

(4)

iii

(5)

iv

(6)

v

(7)

vi MOTTO

“Al-Quran Surat An-Nisa ayat 135”

Yā ayyuhal-lażīna āmanū kūnū qawwāmīna bil-qisṭi syuhadā'a lillāhi wa lau „alā anfusikum awil-wālidaini wal-aqrabīn(a), iy yakun ganiyyan au faqīran fallāhu aulā bihimā, falā tattabi„ul-hawā an ta„dilū, wa in talwū au tu„riḍū fa innallāha kāna bimā

ta„malūna khabīrā(n).

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih

tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala

apa yang kamu kerjakan

Referensi : https://tafsirweb.com/1667-surat-an-nisa-ayat-135.html

(8)

vii

PERSEMBAHAN

Karya ilmiah ini penulis persembahkan bagi :

1. Segenap keluarga yang senantiasa saya sayangi khususnya untuk ayah, ibu, istri dan anak-anak yang secara terus menerus mendukung, berjuang dan selalu mendoakan untuk kemudahan, kelancaran dalam menyelesaikan studi ini.

2. Civitas akademika di kampus khususnya Fakultas Hukum Program Studi Magister Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang,

Cirebon, Februari 2023

ARIEF APRIANDO, SH Nim. 21302100135

(9)

viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan nikmat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian ini tanpa suatu hambatan atau halangan apapun sehingga penulis bias menyelesaikan tapat waktu. Adapun tesis yang berjudul “IMPLEMENTASI PENANGANAN DAN PEMUSNAHAN BARANG BUKTI TINDAK PIDANA NARKOTIKA” adalah suatu karya ilmiah yang merupakan salah satu syarat untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat S-2 pada program Magister Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

Dalam menyelesaikan tesis ini, penulis memperoleh petunjuk serta dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penulisan Tesis ini, dan rasa hormat kepada :

1. Prof. Dr. H. Gunarto, S.H.., M.Hum., selaku Rektor Universitas Islam Sultan Agung Semarang;

2. Dr. Bambang Tri Bawono, S.H., M.H., selaku Dekan Universitas Islam Sultan Agung Semarang;

3. Dr. DENY SUWONDO, S.H., M.H., selaku Ketua Program Studi Magister Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang;

4. Dr. Andri Wijaya, S.H., M.H., selaku Sekertaris Program Studi Magister Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang;

5. Dr. DENY SUWONDO, S.H., M.H., selaku Dosen pembimbing yang telah dengan sabar memberikan bimbingan dan dukungan serta arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini;

6. Dr. Bambang Tri Bawono, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji Proposal Tesis yang memberikan perbaikan dan penyempurnaan pada karya ilmiah ini di Magister Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang;

7. Dr. Siti Rodhiyah Dwi Istinah, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji Proposal Tesis yang memberikan perbaikan dan penyempurnaan pada karya ilmiah ini di Magister Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang;

8. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Magister Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang yang telah tulus menularkan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan Studi di Magister Hukum Universitas Islam Sultan Agung;

9. Para Informan/Responden dan Pihak yang telah membantu penulis memberikan masukan, guna melengkapi data yang diperlukan dalam karya ilmiah ini;

(10)

ix

10. Seluruh Staf karyawan tata usaha Program Studi Magister Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang yang telah membantu penulis selama penulis me nyelesaikan pendidikan di Magister Hukum Universitas Islam Sultan Agung;

11. Staf Perpustakaan Studi Magister Hukum Universitas Islam Sultan Agung:

Penulis menyadari bahwa kemampuan, pengetahuan serta keilmuan penulis dalam menyelesaikan tesis ini penuh dengan kekurangan dan jauh dari kesempurnaan dengan segala kerendahan hati serta tangan terbuka penulis menerima saran dan kritik untuk kesempurnaan tesis ini.

Cirebon, Februari 2023

ARIEF APRIANDO, SH Nim. 21302100135

(11)

x DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... Error! Bookmark not defined.

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... Error!

Bookmark not defined.

MOTTO... v

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

Abstrak ... 1

BAB I PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined. A. Latar Belakang Masalah... Error! Bookmark not defined. B. Rumusan Masalah ... Error! Bookmark not defined. C. Tujuan Penelitian ... Error! Bookmark not defined. D. Manfaat Penelitian ... Error! Bookmark not defined. E. Kerangka Konseptual ... Error! Bookmark not defined. F. Kerangka Teori ... Error! Bookmark not defined. G. Metode Penelitian ... Error! Bookmark not defined. H. Sistematika Penelitian ... Error! Bookmark not defined. BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 29

A. Tindak Pidana dalam Hukum Pidana Indonesia ... 29

B. Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 39

C. Tinjauan Umum Korban ... 65

D. Tinjauan Umum Restitusi ... 69

BAB IV PEMBAHASAN ... 89

A. Peranan Penegak Hukum dalam Upaya Pemenuhan Hak Restitusi bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) ... Error! Bookmark not defined. B. Analisis Permohonan Pengajuan Hak Restitusi bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) ... Error! Bookmark not defined. BAB V PENUTUP ... 107

(12)

xi

A. Kesimpulan... 107 B. Saran ... 108 Daftar Pustaka ... 110

(13)

1 ABSTRAK

penetapan status benda sitaan Narkotika oleh Kepala Kejaksaan Negeri yang menyatakan benda sitaan tersebut harus dimusnahkan, maka sebagaimana yang diatur dalam Pasal 91 Ayat (2) “barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang berada dalam penyimpanan dan pengamanan penyidik yang telah ditetapkan untuk dimusnahkan, wajib dimusnahkan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak menerima penetapan pemusnahan dari Kepala Kejaksaan Negeri setempat”. Namun faktanya, benda sitaan narkotika yang telah diterima penetapan statusnya dan telah diputuskan oleh pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap masih sangat banyak yang tidak langsung dimusnahkan namun disimpan terlebih dahulu, baik karena jumlah yang sedikit ataupun kendala lainnya. Karena tidak langsung dimusnahkan, benda-benda sitaan narkotika tersebut disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 44 ayat (1) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana.

Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengkaji dan menganalisis Penanganan dan Pemusnahan Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika dan Untuk mengkaji dan menganalisis Kendala Penanganan dan Pemusnahan Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Yuridis Sosiologis, spesifikasi dalam penelitian ini bersifat deskriftif analistis, data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, menggunakan pengumpulan data dengan wawancara dan studi kepustakaan, analisis data secara kualitatif, permasalahan dianalisis dengan teori, penegakan hukum dan kepastian hukum.

Hasil penelitian ini menunjukkan Mekanisme tata cara penyimpanan Benda Sitaan Narkotika dilakukan dengan menyerahkan benda sitaan atau barang bukti dari pihak kepolisian kepada kejaksaan yang kemudian disimpan di Kejaksaan Negeri Kabupaten Cirebon dalam Ruang Penyimpanan Benda Sitaan dibawah pengawasan Kasi Pengelola Barang Bukti dan Barang Sitaan Petugas didampingi Kasi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Kabupaten Cirebon tidaklah sesuai dengan aturan Perundang – Undangan. Seharusnya segala jenis barang sitaan disimpan di dalam Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) sebagaimana ketentuan pasal 44 KUHAP dan Mekanisme Pemusnahan Benda Sitaan Narkotika yang dilakukan Kejaksaan Negeri Kabupaten Cirebon melalui proses pengumpulan Barang Bukti Narkotika dalam jumlah banyak terlebih dahulu baru kemudian dimusnahkan sekaligus dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. Hal tersebut berbeda ketentuannya sebagaimana diatur dalam Undang – Undang nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika bahwa jangka waktu Pemusnahan Barang Bukti Narkotika yang telah memiliki kekuatan hukum tetap harus segera dimusnahkan paling lama 7 (tujuh) hari.

Kata Kunci: Barang Bukti, Pemusnahan Narkotika, Penyitaan Narkot

(14)

2 ABSTRACT

determination of the status of confiscated Narcotics objects by the Head of the State Prosecutor's Office stating that the confiscated objects must be destroyed, then as stipulated in Article 91 Paragraph (2) "confiscated Narcotics and Narcotics Precursors which are in the storage and security of investigators who have been assigned to be destroyed, must be destroyed within a maximum period of 7 (seven) days from receiving the determination of destruction from the Head of the local District Attorney". However, in fact, there are still very many confiscated narcotics objects that have received their status determination and have been decided by a court that has permanent legal force.

Because they were not immediately destroyed, the confiscated narcotics were stored in the state storage house for confiscated objects as stated in the provisions of Article 44 paragraph (1) of the Criminal Procedure Code.

The purpose of this research is to study and analyze the Handling and Destruction of Evidence of Narcotics Crime and to study and analyze Obstacles in the Handling and Destruction of Evidence of Narcotics Crime

The method used in this study is the Sociological Juridical method, the specifications in this study are analytical descriptive in nature, the data used are primary data and secondary data, using data collection by interviews and literature studies, qualitative data analysis, problems are analyzed by theory, law enforcement and legal certainty.

The results of this study indicate that the mechanism for how to store Narcotics Confiscated Objects is carried out by submitting confiscated objects or evidence from the police to the prosecutor's office which is then stored at the Cirebon District Public Prosecutor's Office in the Confiscated Objects Storage Room under the supervision of the Head of Evidence and Confiscated Goods Management Section Officer accompanied by the Criminal Section Head The Public Prosecutor's Office of Cirebon Regency is not in accordance with the provisions of the Law - Invitation. All types of confiscated goods should be stored in the State Storage for Confiscated Objects (Rupbasan) as stipulated in Article 44 of the Criminal Procedure Code and the Mechanism for the Destruction of Narcotics Confiscated Objects carried out by the Cirebon District Attorney through the process of collecting evidence of Narcotics in large quantities first and then destroying them all at once within a period of time. maximum period of 6 (six) months. This differs from the provisions as stipulated in Law number 35 of 2009 concerning Narcotics that the period for Destroying Narcotics Evidence which has permanent legal force must be immediately destroyed for a maximum of 7 (seven) days.

Keywords: Evidence, Narcotics Destruction, Narcotics Confiscation

(15)

3 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang tergolong darurat narkoba. Setiap tahunnya permasalahan narkoba kiat meningkat tanpa adanya solusi selain dengan apa yang sudah dijalankan oleh penegak hukum saat ini. Meski dengan dibentuknya Badan Narkotika Nasional (BNN) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002, namun hingga saat ini permasalahan narkotika masih saja menjadi hal yang rumit untuk diselesaikan oleh pemerintah dengan segala upayanya.

Narkotika merupakan hal yang sangat menakutkan bagi semua lapisan masyarakat, yang kini dilakukan dengan modus operasi yang tinggi yang didukung dengan teknologi yang kian pesat berkembang serta berkembangnya organisasi-organisasi dan jaringan yang luas yang telah menimbulkan banyak korban bagi masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.

Secara Etimologi narkotika berasal dari kata “narkoties” yang sama artinya dengan “narcosis” yang berarti mebius.1 Sifat dari zat tersebut berpengaruh terhadap otak sehingga menimbulkan perubahan pada perilaku, perasaan, persepsi, kesadaran, dan halusinasi selain digunakan dalam pembiusan.

1 Moh. Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003, hlm.

21

(16)

4 Menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menegaskan bahwa Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana disebutkan dalam lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan disisi lain juga menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang benar sehingga dapat menimbulkan efek negatif terhadap pengguna serta orang lain.

Tindak pidana narkotika diatur dalam bab XV pasal 111 sampai dengan pasal 148 Undang-Undang narkotika yang merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak dikatakan secara tegas bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya adalah kejahatan, akan tetapi tidak dapat disangsikan lagi bahwa semua tindak pidana yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah tindak kejahatan. Alasannya, jika narkotika hanya untuk pengobatan dan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan- kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat

(17)

5 yang ditimbulkan dari pemakai narkotika secara tidak sah yang sangat membahayakan bagi jiwa manusia.2

Seiring meningkatnya kejahatan yang beragam terjadi di indonesia, meningkat pula ragam kasus yang ditangani oleh aparat penegak hukum terkait kejahatan di bidang narkotika dengan berbagai macam model operasi yang dijalankan sehingga berkembang pula jenis-jenis barang bukti yang disita oleh para aparatur penegak hukum dari para pelaku kejahatan atau tersangka yang selanjutnya diproses lebih lanjut secara hukum , yaitu dimusnahkan oleh penyidik baik kepolisian maupun kejaksaan.

Mengenai penyimpanan barang bukti Pasal 44 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, mengatakan bahwa : “pelaksanaan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga”. Dilanjutkan pada Pasal 45 ayat (4) yang menyatakan “Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan”

Pemusnahan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk memusnahkan barang sitaan, yang pelaksanaannya dilakukan setelah adanya

2 Supramono, Hukum Narkotika Indonesia, Jakarta : Djambatan, 2001, hlm. 5

(18)

6 penetapan dari kepala Kejaksaan Negeri setempat untuk dimusnahkan dan disaksikan oleh pejabat yang mewakili, unsur kejaksaan, kementerian kesehatan dan badan pengawas obat dan makanan. Dalam hal unsur pejabat tersebut tidak bisa hadir, maka pemusnahan disaksikan oleh pihak lain, yaitu pejabat atau anggota masyarakat setempat.3

Pemusnahan barang bukti narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan Peraturan Kepala BNN Nomor 7 Tahun 2010 Tentang Pedoman Teknis Penanganan Barang Sitaan Narkotika secara aman. Berdasarkan ketentuan dalam undang-undang, pemusnahan benda sitaan narkotika seharusnya dilaksanakan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap yang dilaksanakan pemusnahan benda sitaan tersebut oleh pejabat kejaksaan dan disaksikan oleh pejabat yang mewakili kepolisian serta perwakilan dapartemen kesehatan dengan dibuat Berita Acara Pemusnahan.4

Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam ayat (4) menegaskan bahwa benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, dirampas untuk dipergunakan untuk kepentingan atau dimusnahkan. Termasuk didalamnya katagori barang sitaan yang dilarang untuk diedarkan adalah minuman keras, narkotika, psikotropika, senjata dan bahan peledak serta buku-buku atau gambar yang termasuk dalam kelompok pornografi.

3 Ricardo, Paul (2010). Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba Oleh Kepolisian (Studi Kasus Satuan Narkoba Polres Metro Bekasi). Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No.III.

4 Hendarta, PENANGANAN BARANG BUKTI NARKOTIKA DI PENGADILAN NEGERI BARRU, Vol 2 No 3, Hermeneutika, 2021, hlm 3

(19)

7 Dalam penyelenggaraannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa kejaksaan melaksanakan penetapan hakim dan putusan peradilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pengertian Kejaksaan dijelaskan dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa “Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang- undang.”

Tata cara penanganannya dijelaskan dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor : SE-018/A/JA?08/2015 yang menyebutkan :

1. Kepala kejaksaan negeri setempat menerima pemberitahuan penyitaan dan permintaan status barang bukti Narkotika dan Prekursor dari Penyidik Kepolisian atau Penyidik BNN yang melakukan penyitaan terhadap barang bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika, maka surat pemberitahuan yang dimaksud harus diterima paling lama 3 x 24 jam sejak dilakukan penyitaan. Apabila surat pemberitahuan dan permintaan status dimaksud telah melewati batas waktu sebagaimana ditentukan maka surat pemberitahuan penyitaan dan permintaan status tersebut dapat ditolak.

(20)

8 2. Dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari Kepala Kejaksaan

Negeri wajib menetapkan status barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika karena apabila telah melewati batas waktu selama 7 hari, maka diancam pidana sebagaimana Pasal 141 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

3. Kecuali terdapat permintaan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kepentingan pendidikan dan pelatihan, maka penetapan status barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika oleh Kepala Kejaksaan Negeri sebisa mungkin berupa pemusnahan.

Setelah penetapan status benda sitaan Narkotika oleh Kepala Kejaksaan Negeri yang menyatakan benda sitaan tersebut harus dimusnahkan, maka sebagaimana yang diatur dalam Pasal 91 Ayat (2)

“barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang berada dalam penyimpanan dan pengamanan penyidik yang telah ditetapkan untuk dimusnahkan, wajib dimusnahkan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak menerima penetapan pemusnahan dari Kepala Kejaksaan Negeri setempat”.5 Namun faktanya, benda sitaan narkotika yang telah diterima penetapan statusnya dan telah diputuskan oleh pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap masih sangat banyak yang tidak langsung dimusnahkan namun disimpan terlebih dahulu, baik karena jumlah yang

5 Sidiq, “Peran Polri Dalam Pengamanan Barang Bukti “Menurut Kuhap, Lex Crimen Vol. VI/No. 9/Nov/2017, hal 26

(21)

9 sedikit ataupun kendala lainnya. Karena tidak langsung dimusnahkan, benda-benda sitaan narkotika tersebut disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 44 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Tentu hal tersebut beresiko terjadinya penyimpangan-penyimpangan dimana barang-barang sitaan terlarang tersebut dapat beredar kembali dalam masyarakat. Pemusnahan Benda Sitaan Narkotika yang seharusnya langsung dimusnahkan oleh pihak kejaksaan yang merupakan salah satu unsur yang berwenang dalam proses eksekutorial terhadap putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap ini masih tidak sesuai dengan aturan yang mengaturnya sebagaimana diuraikan diatas.6

Perihal ketentuan sangsi terhadap instansi dan pejabat pemerintah yang tidak melaksanakan aturan perundang-undangan yang ada diatur ketentuannya dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang kemudian dijelaskan ketentuan pasal tersebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Sangsi Administrasi kepada pejabat pemerintah.

Dalam Pasal 44 Peraturan Pemerintah tersebut sangsi administrasi yang diberikan kepada instansi pemerintah dan pejabat pemerintah yang tidak

6 Asrudi, Asrudi (2017). Peranan Penyidik Dalam Penyimpanan Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika Di Polres Wajo. Jurnal Hukum: Al Hikam Vol. 4, No. 2.

(22)

10 menjalankan ketentuan perundang-undangan berupa sangsi administrasi ringan, sangsi administrasi sedang, sangsi administrasi berat.7

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, masih sangat perlu untuk diperjelas mengenai bagaimana prosedur penyimpanan dan pemusnahan benda sitaan narkotika serta bagaimana bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan penyimpanan dan pemusnahan benda sitaan narkotika tersebut.

Pelaksanaan penyimpanan dan pemusnahan benda sitaan narkotika masih berpotensi terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya maupun dalam pengawasannya, sehingga dikhawatirkan barang sitaan narkotika tersebut masih berkemungkinan beredar di masyarakat. Hal tersebut dapat saja terjadi dikarenakan seharusnya benda sitaan narkotika yang telah diputuskan oleh hakim dan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap harus langsung dimusnahkan, namun dalam pelaksanaannya tidak demikian dikarenakan benda sitaan narkotika tersebut disimpan terlebih dahulu.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji tentang Penanganan Barang Bukti tindak pidana Narkotika, untuk itu penulis akan mengambil judul tesis yaitu

“IMPLEMENTASI PENANGANAN DAN PEMUSNAHAN BARANG BUKTI TINDAK PIDANA NARKOTIKA”

7 Fransiska Nobita Eleanora, Bahaya Penyalahgunaan Narkoba Serta Usaha Pencegahan Dan Penanggulangannya, Jurnal Hukum, Vol XXV, No. 1, April, 2011

(23)

11 B. Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan dalam latar belakang masalah di atas, maka permasalahan pokok yang akan diteliti adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Implementasi Penanganan dan Pemusnahan Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika?

2. Bagaimana Kendala dan Solusi Penanganan dan Pemusnahan Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan diatas maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengkaji dan menganalisis Penanganan dan Pemusnahan Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika

2. Untuk mengkaji dan menganalisis Kendala dan Solusi Penanganan dan Pemusnahan Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis diharapkan dapat memberikan manfaat pengembangan pengetahuan ilmu hukum, khusunya bagi Kepolisian Resor Kota Cirebon agar memberikan informasi yang bermanfaat, baik berupa masukan dan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang berkepentingan berkenaan

(24)

12 dengan Penanganan dan Pemusnahan Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi refrensi pembuatan kebijakan dan memberikan suatu pandangan baik secara langsung maupun tidak langsung bagi seluruh masyarakat yang membutuhkan suatu informasi hukum dan atau pihak – pihak terkait.

E. Kerangka Konseptual

Penelitian ilmiah harus berlandaskan dari suatu konsep sebagai dasar dan menelaah permbahasan yang dikaji. Konsep sendiri merupakan suatu ringkasan cerita dari suatu kerangka berfikir, yaitu disebut dengan definisi operasional. 8 dalam kerangka konseptual diungkapkan beberapa kerangka berfikir guna dasar sebagai suatu penelitian.9 Adapun konsep – konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Barang Bukti

Menurut KUHAP, terdapat tahap dalam proses peradilan pidana, di antara penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, serta sidang peradilan pidana yang diikuti dengan pelaksanaan putusan. Melalui salah tahap dalam proses tersebut, yakni tahap penyidikan, diperoleh instrumen-

8 Sumadi Suryabrata, 1998, Metodologi Penelitian, Jakarta, Raja Gofindo, h. 307.

9 Soejono Soekamto dan Sri Mamudi, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, h.7.

(25)

13 instrumen yang diperlukan guna membuat terang suatu perkara. Satu diantara instrumen-instrumen ialah benda-benda yang tersangkut dalam sutau tindak pidana. Benda-benda dimaksud lazim dikenal dengan istilah barang bukti.10

Istilah barang bukti yang apabila kita teliti dalam perundang- undangan formil kita, ternyata tidak ditemukan pengertian atau perumusannya. Akan tetapi dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBBI) bukti merupakan suatu kata benda yang diartikan sebagai sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu kejadian atau peristiwa, tanda, dan lebih lanjutnya diartikan sebagai hal yang menjadi suatu petunjuk dalam hal perbuatan jahat.11

Pengertian barang bukti juga terdapat pada Pasal 1 angka 5 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepoisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi :

“barang bukti adalah benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang telah dilakukan penyitaan oleh penyidik untuk keperluan pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan”

10 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 278.

11 Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Edisi Keempat, Cetakan Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm 217

(26)

14 Jadi berdasarkan definisi diatas, penulis dapat simpulkan bahwa pengertian barang bukti ialah benda bergerak atau tidak bergerak yang digunakan untuk melakukan suatu tindak pidana serta barang tersebut sebagai bukti di persidangan guna memperkuat pembuktian dan keyakinan hakim dalam memutus.

2. Tindak Pidana

Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan

strafbaarfeit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit” tersebut. Perkataan “feit

itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid” sedang “strafbaar

berarti “dapat dihukum” sehingga secara harafiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum” yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun Tindakan.12

3. Narkotika

12 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Sinar Grafika, Jakarta: 2014) hlm 181-182

(27)

15 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menegaskan bahwa Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan- golongan sebagaimana disebutkan dalam lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Tindak Pidana Narkotika diatur dalam bab XV pasal 111 sampai dengan pasal 148 Undang-Undang Narkotika yang merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak dikatakan secara tegas bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya adalah kejahatan, akan tetapi tidak dapat disangsikan lagi bahwa semua tindak pidana yang diatur dalam undang- undang tersebut adalah tindak kejahatan. Alasannya, jika Narkotika hanya untuk pengobatan dan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakai Narkotika secara tidak sah yang sangat membahayakan bagi jiwa manusia.13

F. Kerangka Teori

a. Teori Kepastian Hukum

13 Supramono. Hukum Narkotika Indonesia (Jakarta : Djambatan, 2001) hlm 5.

(28)

16 Menurut Neil Maccomick, tidak semua aturan hukum dan tidak semua produk legislasi dirumuskan dalam bentuk verbal yang tepat, yang diharapkan memberikan jawaban yang jelas terhadap persoalan hukum praktis, hampir setiap hukum menunjukan hubungan yang membingungkan dan tidak jelas dalam berbagai sengketa, aturan hukum yang dirumuskan dalam bahasa sering kali merupakan rumusan yang terbuka ataupun rumusan yang kabur,14 dan untuk mencapai tujuan penulisan yang sesuai maka penelitian dapat menggunakan teori kepastian hukum sebagaimana Menurut Soedjono Dirdjosisworo, kepastian hukum adalah syarat mutak, bila dikehendaki supaya hukum dapat menjalankan tugasnya dengan sebaik- baiknya; keadilan dijalankan pedoman bagi kebenaran isi hukum,15 karena itu sedapatlah untuk mencari dengan jalan yang luwes untuk dapat diterima oleh banyak pihak yang berkepentingan sehingga kepastian hukum tidak mati melainkan didalamnya terkandung rasa keadilan merata.

Menurut E. Adamson Hobel dan Karl Llewellyn menyatakan bahwa kepastian hukum mempunyai fungsi yang penting demi keutuhan masyarakat. Fungsi-fungsi tersebut adalah :16

14 Andika Wijaya, 2017, Penanganan Perkara Kepailitan Dan Perkara Penundaan Pembayaran Secara Perxis, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 4

15 Soedjono Dirdjosisworo, 2001, Pengantar Ilmu Hukum,,Radja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 15

16 Soerjono Soekanto , 2003, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum , Radja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 74

(29)

17 a) Menetapkan hubuungn antara para warga masyarat dengan menetapkan perikelkuan mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang.

b) Membuat alokasi wewenamg (autheority) dan menetukan dengan seksama pihak-pihak yang secara sah dapat dilakukan paksaan dengan sekaligus memilih sanksi-sanksi yang tepat dan efektif.

c) Disposisi masalah-masalah sengketa.

d) Menyessuaikan pola-pola hubungan dengan perubahan-perubahan kondisi kehidupan.

Dalam teori kepastaian hukum memiliki tujuan yang berorentasi pada tiga (3) hal yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepatian hukum oleh karena untuk penulisan tesis ini bermaksud untuk mencapai tiga (3) tujuan hukum di atas dengan penerapan kedalam Implementasi alih fungsi lahan pertanian ke lahan Kecamatan.

b. Teori Keadilan

Beberapa konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf Amerika di akhir abad ke-20, John Rawls, seperi A Theory of justice, Politcal Liberalism, dan The Law of Peoples, yangmemberikan pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus nilai-nilai keadilan.17John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya

17Ibid Hal. 139

(30)

18 institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperolehrasa keadilan. Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.18

Secara spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal dengan “posisi asali”

(original position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance).19

Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu “posisi asasli” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society).

Sementara konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan oleh John Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya

18Ibid Hal. 140

19Ibid

(31)

19 seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Dengan konsep itu Rawls menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip persamaan yang adil dengan teorinya disebut sebagai “Justice as fairness”.20 Dalam pandangan John Rawls terhadap konsep “posisi asasli” terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip persamaan, yakni setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan kompitabel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri masing-masing individu.

Prinsip pertama yang dinyatakan sebagai prinsip kebebasan yang sama (equal libertyprinciple), seperti kebebasan beragama (freedom of religion), kemerdekaan berpolitik(political of liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekpresi (freedom of speechand expression), sedangkan prinsip kedua dinyatakan sebagai prinsip perbedaan (difference principle), yang menghipotesakan pada prinsip persamaan kesempatan (equal oppotunity principle).

Lebih lanjut John Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan bahwa program penegakan keadilan yang

20John Rawls, 2006. “A Theory of Justice, London: Oxford University press”, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, , Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hal. 90

(32)

20 berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.21

Dengan demikian, prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus meposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkankebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.

Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan

21Hans Kelsen, 2011. “General Theory of Law and State”, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Bandung, Nusa Media. Hal. 7

(33)

21 kebahagian didalamnya.22 Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat positifisme, nilai-nilai keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang mengakomodir nilai- nialai umum,namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian diperuntukan tiap individu.

Lebih lanjut Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian sebesar- besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-

kebutuhan yang patut dipenuhi,

sepertikebutuhansandang,pangandanpapan.Tetapi kebutuhan- kebutuhan manusia yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini dapat dijawab dengan menggunakan pengetahuan rasional, yang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktor- faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif.23

Sebagai aliran posiitivisme Hans Kelsen mengakui juga bahwa keadilan mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat manusia, dari penalaran manusia atau

22Ibid Hal. 9

23Ibid hal 12

(34)

22 kehendak Tuhan. Pemikiran tersebut diesensikan sebagai doktrin yang disebut hukum alam. Doktrin hukum alam beranggapan bahwa ada suatu keteraturan hubungan-hubungan manusia yang berbeda dari hukum positif, yang lebih tinggi dan sepenuhnya sahih dan adil, karena berasal dari alam, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan.24

Pemikiran tentang konsep keadilan, Hans Kelsen yang menganut aliran positifisme, mengakui juga kebenaran dari hukum alam. Sehingga pemikirannya terhadap konsep keadilan menimbulkan dualisme antara hukum positif dan hukum alam.

Menurut Hans Kelsen:25

“Dualisme antara hukum positif dan hukum alam menjadikan karakteristik dari hukum alam mirip dengan dualisme metafisika tentang dunia realitas dan dunia ide model Plato. Inti dari fislafat Plato ini adalah doktrinnya tentang dunia ide. Yang mengandung karakteristik mendalam. Dunia dibagi menjadi dua bidang yang berbeda : yang pertama adalah dunia kasat mata yang dapa itangkap melalui indera yang disebut realitas; yang kedua dunia ide yang tidak tampak.”

Dua hal lagi konsep keadilan yang dikemukakan oleh Hans Kelsen: pertama tentang keadilan dan perdamaian. Keadilan yang bersumber dari cita-cita irasional. Keadilan dirasionalkan melalui pengetahuan yang dapat berwujud suatu kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya menimbulkan suatu konflik kepentingan.

24Ibid hal 14

25Ibid

(35)

23 Penyelesaian atas konflik kepentingan tersebut dapat dicapai melalui suatu tatatanan yang memuaskan salah satu kepentingan dengan mengorbankan kepentingan yang lain atau dengan berusaha mencapai suatu kompromi menuju suatu perdamaian bagi semua kepentingan.26Kedua, konsep keadilan dan legalitas. Untuk menegakkan diatas dasar suatu yang kokoh dari suatu tananan sosial tertentu, menurut Hans Kelsen pengertian “Keadilan”

bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah “adil” jika ia bena-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah

“tidak adil” jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa.27 Konsep keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum nasional bangsa Indonesia, yang memaknai bahwa peraturan hukum nasional dapat dijadikan sebagai payung hukum (law unbrella) bagi peraturan peraturan hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu memiliki daya ikat terhadap materi-materi yang dimuat (materi muatan) dalam peraturan hukum tersebut.28 G. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

26Kahar Masyhur, 1985. “Membina Moral dan Akhlak”, Kalam Mulia, Jakarta. Hal. 68

27Ibid hal 71

28Suhrawardi K. Lunis, 2000. “Etika Profesi Hukum”, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta. Hal. 50.

(36)

24 Metode adalah proses dasar mengenai tatacara mencari jalan keluar suatu permasalahan, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara seksama terhadap suatu tanda-tanda guna memperoleh suatu pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai dasar tatacara untuk mencari jalan keluar masalah yang ada dalam menjalankan penelitian.29 Pendekatan Yuridis dan Sosiologis atau disebut dengan penelitian lapangan yaitu mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam kenyataannya dalam masyarakat.

2. Spesifikasi Penelitian

Penulis melakukan penelitian secara deskriptif analitis yang bertujuan mengurai fakta untuk memperoleh gambaran umum, tentang permasalahan yang ada, menelaah dan mengkaji fakta hukum untuk mengetahui bagaimana Penanganan dan Pemusnahan Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika

3. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini penulis mengunakan jenis data primer dan sekunder, yaitu sebagai berikut :

a. Data Primer, merupakan data yang di dapat dari lapangan, data di peroleh dari responden. Responden yaitu seseorang atau masyarakat yang memberikan jawaban atas pertanyaan dari

29 Soejono Soekamto, 1986,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, hlm.6

(37)

25 peneliti. Responden adalah orang yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang akan dikaji.

b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari atau berasal dari bahan kepustakaan, data sekunder yang dikumpulkan pada penelitian ini antara lain bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

1. Bahan Hukum Primer, adalah bahan hukum yang berbentuk norma hukum yang mempunyai sifat mengikat. Dalam penelitian ini yang di pakai antara lain :

a) Undang – Undang Dasar 1945.

b) Kitab Undang-undang Hukum Perdata c) Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata

d) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 2. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang bukan

berbentuk norma hukum, namun berupa pendapat para ahli, bahan ini di dapat dari literature atau buku – buku hukum, majalah, koran, internet, karyatulis sarjana – sarjana baik berupa skripsi, tesis maupun desertasi.

3. Bahan Hukum Tersier adalah suatu petunjuk yang bisa mengambarkan suatu solusi tarhadap bahan hukum primer dan sekunder, dalam penelitian ini adalah kamus besar bahasa indonesia, kamus hukum.

4. Teknik Pengumpulan Data

(38)

26 Cara pengumpulan data akan dilakukan melalui :

a) Studi Kepustakaan

Dengan mengumpulkan bahan tentang suatu masalah dari berbagai sumber, baik dari buku, majalah, internet, paraturan perundang-undangan maupun peraturan pemerintah, dengan memahami isi kandungan serta mempelajarinya dan mengutip, serta dituangkan dalam analisis suatu permasalahan tersebut.

b) Studi lapangan

Cara pengumpulan data akan dilakukan melalui : a) Studi Kepustakaan

Dengan mengumpulkan bahan pustaka yang didapat dari literatur atau buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan dan peraturan perundang-undangan dengan membaca, memahami, mempelajari dan mengutip bahan – bahan yang berkaitan dengan permasalahan.

b) Studi Lapangan 1. Observasi

Pengumpulan data dengan observasi atau pengamatan langsung, kemudian mengambil data yang diperlukan dari hasil observasi tersebut.

2. Wawancara

Wawancara dengan melakukan tanya jawab dengan responden yang dijadikan sebagai narasumber dengan cara

(39)

27 bebas terpimpin, yaitu pertanyaan hanya memuat garis besar yang mengarah pada permasalahan.

Narasumber yang akan dipilih adalah yang memiliki kapasitas, kompetensi dan korelasi dalam penelitian ini, yaitu meliputi :

1. Kepolisian Resor Kota Cirebon 2. Kejaksaan Negeri Kabupaten Cirebon 5. Tekhnik Analisa Data

Data yang diperoleh dari studi dokumen dan studi lapangan setelah lengkap dan telah di cek keabsahannya akan dianalisis secara kualitatif, kemudian disusun secara sistematis agar diperoleh kejelasan dari permasalahan kemudian di tarik kesimpulan secara deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum menjadi hal yang bersifat khusus.

H. Sistematika Penelitian

Bab I. PENDAHULUAN terdiri dari Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Konseptual, Kerangka Teori, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

Bab II. TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum, Tinjauan Tentang Tindak Pidana, Tinjauan Umum Tentang Narkotika,

Tinjauan Umum Tentang Barang Bukti, Tinjauan Umum Barang Bukti Dalam Konsep Islam

(40)

28 Bab III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan di paparkan analisis dan hasil penelitian yang diperoleh penulis dengan menjawab setiap pokok permasalahan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, bab ini terdiri dari dua pembahasan. Penanganan dan Pemusnahan Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika dan Kendala Penanganan dan Pemusnahan Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika

Bab IV. PENUTUP Pada bab terakhir tulisan ini akan diakhiri dengan kesimpulan dan saran yang akan menjawab setiap pokok permasalahan yang telah dikemukakan pada Bab I, sehingga dapat diambil manfaatnya guna pembahasan atas permasalahan yang sama secara mendalam.

(41)

29 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan

strafbaarfeit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit” tersebut. Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid” sedang “strafbaar” berarti “dapat dihukum” sehingga secara harafiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum” yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.

Menurut Pompe, perkataan “strafbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorangpelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu, demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”30.

Simons telah merumuskan “strafbaar feit” itu sebagai suatu “tindakan

30 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Sinar Grafika, Jakarta: 2014) hlm 181-182

(42)

30 melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannnya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum31”.

Alasan dari Simons apa sebabnya “strafbaar feit” itu harus dirumuskan

seperti di atas adalah karena :

a. Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa disitu harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, di mana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu teah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum

b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam undang-undang dan

c. Setiap strafbaar feit, sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu

onrechtmatige handeling”.

Maka dari itu dapat dikatakan bahwa tindak pidana (strafbaar feit) adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Pelaku dapat

31 Ismu Gunadi dan Joenaidi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Sinar Grafika, jakarta :2014, hlm.37

(43)

31 dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana32.

Kapankah suatu perbuatan itu dianggap sebagai perbuatan yang bersifat melawan hukum? Sifat melawan hukum suatu perbuatan terbagi menjadi dua pendapat, yaitu33:

1) Sifat melawan hukum formal (formele wederrechtelijk)

Menurut pendapat ini, yang dimaksud dengan perbuatan bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang memenuhi rumusan undang undang, kecuali jika diadakan pengecualian- pengecualian yang telah ditentukan dalam undang-undang sebab hukum adalah undang-undang.

2) Sifat melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijk)

Menurut pendapat ini, belum tentu perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang itu bersifat melawan hukum.

Bagi pendapat ini yang dinamakan hukum itu bukan hanya undang-undang (hukum yang tertulis), tetapi juga meliputi hukum yang tidak tertulis, yaitu kaidah - kaidah atau kenyataan kenyataan yang berlaku di masyarakat.

Seseorang yang melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum, atau perbuatan yang masuk dalam rumusan undang-undang hukum pidana sebagai

32 Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung : 2003, hlm. 59

33 Sofian Sastrawidjadja, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Alasan Peniadaan Pidana), Armico, Bandung : 1995, hlm. 150

(44)

32 perbuatan pidana, belumlah berarti dia langsung dipidana, tergantung pada apakah perbuatannya mengandung unsur kesalahan. Sebab terdapat asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana “tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan” (geen straf zonder schuld; auctus non facit reum nisi mens sist rea)

Kesalahan dalam hukum pidana diartikan secara luas, meliputi : sengaja, kelalaian, dan dapat dipertanggung jawabkan. Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali jika ada alasan-alasan penghapus pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal liability dapat dilakukan sepanjang pembuat tidak mampu defence ketika melakukan suatu tindak pidana. Dalam lingkup acara pidana, hal ini berarti seorang terdakwa dipandang bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika tidak dapat dibuktikan dirinya mempunyai “defence” ketika melakukan tindak pidana tersebut.34

Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli sebagaimana yang telah diuraiakan diatas, dapat ditarik suatu persamaan pengertian dari strafbaar feit atau tindak pidana atau perbuatan pidana adalah suatu perbuatan manusia yang bersifat melawan hukum (wederrechtelijk) yang mengandung ancaman pidana dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab dengan kesalahannya (schuld). Sifat melawan hukum (wederrechtelijk) dan kesalahan (schuld) merupakan anasir peristiwa pidana yang memiliki hubungan erat. Apabila suatu perbuatan tidak melawan hukum, maka menurut hukum positif, perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuat. Tidak juga dimungkinkan

34 Chairul Huda, Dari “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” Menuju Kepada “Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”, Kencana, Jakarta: 2006, hlm. 64

(45)

33 adanya kesalahan tanpa sifat melawan hukum.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka harus terlebih dahulu dirumuskan dalam perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Rumusan-rumusan tersebut menentukan unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatan saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar. Sederhana

Secara sederhana Simons menuliskan adanya dua unsur yaitu Unsur Objektif dan Unsur Subjektif dari tindak pidana (Strafbaar Feit).

a. Unsur Objektif : Perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu, mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal 281 KUHP sifat openbaar atau

“dimuka umum”

b. Unsur Subjektif : orang yang mampu bertangggung jawab, adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan, kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan.35

Didalam KUHP itu pada umumnya terdapat dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Yang dimaksud dengan unsur-

35 Ismu Gunadi dan Joenaidi Efendi, Op. Cit, hlm.39-40

(46)

34 unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur -unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 338 KUHP;

5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif itu adalah unsur- unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan- keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :

1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “Keadaan sebagai

(47)

35 seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;

3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat36.

Penjelasan suatu perbuatan pidana dari para pakar sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa sifat -sifat yang ada dalam setiap tindak pidana adalah sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid). Tiada suatu tindak pidana tanpa adanya sifat melawan hukum.

3. Bentuk-bentuk Sanksi Pidana dalam Hukum Pidana Indonesia

Berdasarkan Pasal 10 KUHP membagi hukuman menjadi dua bentuk, yakni; hukuman pokok dan hukuman tambahan. Ada pun hukuman pokok itu terbagi lagi dalam beberapa jenis, yakni pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan pidana denda, pidana tutupan. Adapun pidana tambahan itu yakni pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan Hakim.

a. Pidana Pokok, terdiri dari 5 jenis pidana:37

1) Pidana mati adalah pidana salah satu jenis pidana berartian sebuah hukuman pidana atas tindak pidana yang berat yang mengharuskan seorang terpidana mengalami hukuman mati

36 Lamintang, op.cit, hlm. 193-194

37 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana., (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 195

(48)

36 yang berbentuk hukuman gantung, tembak, dan lain sebaginya, yang dalam tatanan KUHP Indonesia kiranya telah tertulis dan telah di undangkan sebagai salah satu hukuman pidana.

2) Pidana penjara adalah jenis pidana yang dikenal juga dengan istilah pidana pencabutan kemerdekaaan atau pidana kehilangan kemerdekaan. Pidana penjara dalam KUHP bervariasi dari pidana penjara sementara minimal 1 hari sampai penjara seumur hidup. Pidana penjara seumur hidup hanya tercantum dimana ada ancaman pidana mati (pidana mati atau seumur hidup atau pidana dua puluh tahun).

3) Pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan.

Pertama, sebagai custodia hunesta untuk delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan, yaitu delik- delik culpa dan beberapa delik dolus, seperti Pasal 182 KUHP tentang perkelahian satu lawan satu dan Pasal 396 KUHP tentang pailit sederhana. Kedua Pasal tersebut diancam dengan penjara.

Kedua, sebagai custodia simplex, yaitu suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran. Pidana kurungan tidak dijatuhkan terhadap delik dolus, kecuali dalam pasal 483 dan pasal 484 KUHP tentang unsur sengaja dan culpa. Sebaliknya terdapat pidana penjara pada delik culpa, alternatif dari pidana kurungan yang dalam satu pasal juga terdapat unsur sengaja

(49)

37 dan culpa, seperti dalam Pasal 293 KUHP.

Terdapat dua perbedaan antara pidana kurungan dengan pidana penjara:

(1) Dalam hal pelaksanaan pidana. Terpidana yang dijatuhi pidana kurungan tidak dapat dipindahkan ke tempat lain diluar tempat ia berdiam pada waktu menjalankan pidana, kecuali kalau Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atas permintaan terpidana membolehkan menjalani pidananya di daerah lain. Dalam pidana penjara terpidana dapat dipindahkan ke tempat (LP) lain di luar tempat tinggal atau kediammannya.

(2) Pekerjaan yang dibebankan kepada terpidana yang dijatuhi pidana kurungan lebih ringan daripada pidana yang dijatuhi pidana penjara.

4) Pidana denda adalah jenis pidana yang dikenal secara luas di dunia, dan bahkan di Indonesia. Pasal 31 KUHP menyatakan:

(1) Terpidana dapat segera menjalani pidana kurungan pengganti tanpa menunggu batas waktu pembayaran denda.

(2) Ia setiap waktu berhak membebaskan dirinya dari pidana kurungan pengganti dengan membayar dendanya.

(3) Pembayaran sebagian dari pidana denda, sebelum atau sesudah mulai menjalani pidana kurungan pengganti,

(50)

38 membebaskan terpidana dari sebagian pidana kurungan yang seimbang dengan bagian yang dibayarnya.

5) Pidana tutupan. Pidana tutupan merupakan jenis pidana yang tercantum dalam KUHP sebagai pidana pokok berdasarkan UU No 20 Tahun 1946. Dalam Pasal 2, UU No. 20 Tahun 1946 menyatakan:

(1) Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan.

(2) Peraturan dalam ayat 1 tidak berlaku jika perbuatan yang merupakan kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah demikian sehingga hakim berpendapat, bahwa hukuman penjara lebih pada tempatnya b. Pidana tambahan, terdiri dari tiga jenis:

1) Pencabutan hak-hak tertentu. Pidana tambahan berupa pencabutan hak- hak tertentu tidak berarti hak-hak terpidana dapat dicabut. Pencabutan tersebut tidak meliputi pencabutan hak-hak kehidupan dan juga hak-hak sipil dan hak ketatanegaraan. Pencabutan hak-hak tertentu itu adalah suatu pidana di bidang kehormatan dengan melalui dua cara, yaitu:

(1) Tidak bersifat otomatis, tetapi harus dengan putusan hakim

(51)

39 (2) Tidak berlaku selama hidup, tetapi menurut jangka waktu

menurut undang-undang dengan suatu putusan hakim.

2) Perampasan barang-barang tertentu. Pidana ini merupakan pidana kekayaan, seperti juga halnya dengan pidana denda.

Ada dua macam barang yang dapat dirampas, yaitu barang- barang yang didapat karena kejahatan, dan barang-barang yang dengan sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan. Dalam hal ini berlaku ketentuan umum, yaitu haruslah kepunyaan terpidana, kecuali terhadap kejahatan mata uang dimana pidana perampasan menjadi imperatif.

B. Tindak Pidana Narkotika 1. Pengertian Narkotika

Secara harafiah narkotika sebagaimana di ungkapkan oleh Wilson Nadaek alam bukunya “Korban Ganja dan Masalah Narkotika”, merumuskan sebagai berikut : Narkotika berasal dari bahasa Yunani, dari kata Narke, yang berarti beku, lumpuh, dan dungu.38 Menurut Farmakologi medis, yaitu “ Narkotika adalah obat yang dapat menghilangkan (terutama) rasa nyeri yang berasal dari daerah Visceral dan dapat

38 Wison Nadack,1983. Korban Ganja dan Masalah Narkotika, Bandung: Indonesia Publishing House, , hal. 122.

Referensi

Dokumen terkait

Isi dari surat perintah penyitaan tersebut tentunya perintah untuk menyita benda atau barang yang diduga ada kaitannya dengan tindak pidana narkotika,

Penyidik dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan wajib bertanggungjawab terhadap barang sitaan untuk dirawat, disimpan dan dijaga dengan baik karena barang tersebut sebagai bukti

ANALISIS KEWENANGAN PEMUSNAHAN BARANG SITAAN NARKOTIKA YANG MASIH DIGUNAKAN SEBAGAI BARANG BUKTI DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG

Kepala kejaksaan negeri setempat setelah menerima pemberitahuan tentang penyitaan barang Narkotika dan Prekursor Narkotika dari penyidik Kepolisian Negara Republik

Berdasarkan hasil wawancara BNN yang dalam melaksanakan tugasnya mengelola benda sitaan narkotika menemui beberapa kendala diantaranya Faktor Hukum / Aturan yaitu

89 Pasal 17 Pasal 1 Ayat (6) Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Pengelolaan Benda Sitaan Negara Dan

Ketentuan dalam Pasal 44 ayat (2) KUHAP telah secara tegas melarang untuk melakukan pinjam pakai terhadap benda sitaan (barang bukti), namun dalam praktek

Tindak Pidana Narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 yang merupakan ketentuan khusus, walaupun