• Tidak ada hasil yang ditemukan

implementasi perlindungan hukum terhadap pemegang hak

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "implementasi perlindungan hukum terhadap pemegang hak"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG HAK ATAS MEREK PAKAIAN DARI TINDAK PELANGGARAN MEREK

(Studi Kasus Pemalsuan Merek Pakaian Kick Denim)

Achmad Rayhan Akbar ([email protected])

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Albertus Sentot Sudarwanto

([email protected])

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract

This paper discusses how the implementation of legal protection against rights holders of brands under the Act No. 20 of 2016 on Brands and Geographical Indications. Legal Writing Method used is Empirical Legal Writing Method with research location in D.I.Yogyakarta Regional Police, Regional Office of Ministry of Law and Human Rights of West Java Province, and Office of Kick Denim clothes brand. The results of this study explain that the holder of the right to the brand has the certainty of Legal Protection by Law No.

20 of 2016 since the registration of the mark is received by the Directorate of Intellectual Property of the Ministry of Justice and Human Rights until a period of 10 (ten) years and can be extended for a period of time the same. Legal Protection granted by Law No. 20 of 2016 includes the regulation of forms of breach of the brand, criminal sanction for brand infringement, the granting of rights to the holder of the right to the mark whose rights are violated to take a civil suit through the Commercial Court, making complaints to the Police or selecting the Alternative Dispute Resolution pathway, as well as the Directorate General of Intellectual Property of the Ministry of Justice and Human Rights as the state authority in the field of assisting the holder of the rights to the brand to prove his right by providing all necessary administrative assistance for the proofing process of a brand.

Keywords: Legal Protection; Right Holder of Brand; Brand Infringement Abstrak

Tulisan ini membahas tentang bagaimana implementasi perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas merek berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Metode Penulisan Hukum yang digunakan adalah Metode Penulisan Hukum Empiris dengan lokasi penelitian di Kepolisian Daerah D.I.Yogyakarta, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Jawa Barat, dan Kantor merek pakaian Kick Denim. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa Pemegang hak atas merek mendapat kepastian Perlindungan Hukum oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 sejak pendaftaran merek tersebut di terima oleh Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM hingga jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama Perlindungan Hukum yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 mencakup pengaturan bentuk-bentuk pelanggaran terhadap merek, sanksi pidana atas pelanggaran terhadap merek, pemberian hak kepada pemegang hak atas merek yang hak nya dilanggar untuk melakukan gugatan perdata melalui Pengadilan Niaga, melakukan Tuntutan Pidana dengan membuat aduan kepada Kepolisian ataupun memilih jalur Alternatif Penyelesaian Sengketa, serta Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM sebagai otoritas Negara dibidang merek membantu pemegang hak atas merek membuktikan haknya dengan cara memberikan segala bantuan administrasi yang diperlukan untuk proses pembuktian sebuah merek .

Kata Kunci: Perlindungan Hukum; Pemegang Hak Atas Merek; Tindak Pelanggaran Merek

A. Pendahuluan

Guna menunjang kepastian rencana pembangunan di berbagai bidang sebagaimana yang tercantum dalam RPJMN 2015-2019, maka di dalam RPJMN 2015-2019 pemerintah juga menetapkan

Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap

(2)

arah pembangunan dalam bidang hukum. Dalam RPJMN 2015-2019 ditegaskan bahwa dalam rangka memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermatabat dan terpercaya disusunlah 6 sub agenda prioritas sebagai berikut: (1).

Meningkatkan Penegakan Hukum yang Berkeadilan; (2.) Mencegah dan Memberantas Korupsi; (3.) Memberantas Tindakan Penebangan Liar, Perikanan Liar, dan Penambangan Liar; (4.) Memberantas Narkoba dan Psikotropika; (5.) Menjamin Kepastian Hukum Hak Kepemilikan Tanah; dan (6.) Melindungi Anak, Perempuan, dan Kelompok Marjinal.

Sejalan dan Selaras dengan amanat arah pembangunan hukum nasional dalam bidang Hukum Perdata sebagaimana yang tercantum dalam RPJMN 2015-2019 maka pemerintah harus dapat menjamin perlindungan hak-hak privat warga negara khususnya dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual yang selanjutnya disebut HKI. Sanusi Bintang, dalam bukunya yang berjudul Hukum Hak Cipta (1998:4), memberikan pengertian bahwa yang dimaksud Hak Kekayaan Intelektual adalah hak manusal eksklusif yang terdiri dari dua macam hak: hak ekonomi (economical right) dan hak moral (moral right).

HKI pada hakikatnya dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu Hak Milik Perindustrian (Industrial Property Rights) dan Hak Cipta (Copy Rights). Hak Cipta (Copy Rights) dibagi menjadi Hak Cipta (Copy Rights) dan Hak yang berkaitan dengan Hak Cipta (Neighbouring Rights). Selanjutnya, Hak Milik Perindustrian (Industrial Property Rights) diklasifikasikan lagi menjadi Paten (Patent), Merek (Trade Marks), Rahasia Dagang (Trade Secrets), Desain Industri (Industrial Design) dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Integrated Circuit) (OK.Saidin, 2013:16).

Merek yang notabene merupakan bagian dari HKI, merupakan suatu hak yang lahir dari kemampuan intelektual manusia. Dalam perniagaan, merek merupakan suatu bentuk identitas yang mengambarkan ke khasan atau jati diri dari suatu produk barang dan/atau jasa. Sebagai salah satu bentuk HKI, merek telah digunakan ratusan tahun yang lalu sejak zaman kuno, misalnya pada periode Minoan, orang sudah memberikan tanda untuk barang-barang miliknya, hewan bahkan manuasia (Rahmi Janed 2015:1). Penggunaan merek ini mempunyai peranan penting karena digunakan untuk membedakan asal usul suatu produk barang dan/atau jasa.

Merek terkenal (well-known marks) memiliki kekuatan pancaran yang memukau dan menarik karena reputasinya yang tinggi, sehingga jenis barang apapun yang berada di bawah naungan merek terkenal langsung menimbulkan sentuhan keakraban dan ikatan mitos kepada konsumen (Budi Agus Riswandi dan M.Syamsudin 2004:87). Merek terkenal (well-known marks) sering dimanfaatkan oleh pihak yang beritikad tidak baik untuk melakukan pemalsuan merek terkenal. Pemalsuan merek dilakukan untuk barang sejenis maupun barang tidak sejenis, pemalsuan untuk barang sejenis mudah untuk mengidentifikasinya dengan cara melihat kualitas dan bentuk dari barang itu sendiri, namun bagi barang tidak sejenis sangatlah sulit untuk mengidentifikasinya.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Fatahiyah Mohd Anuara, Rossitza Setchia, dan Yu-Kun Laib (2013) dalam International Conference on Knowledge Based and Intelligent Information and Engineering Systems yang berjudul “Model Konseptual Pengambilan Merek Dagang Berdasarkan Kesamaan Konseptual”. Hasil penelitian menunjukkan penyalahgunaan merek dagang dan perlindungan merek dagang. Merek dagang adalah kata-kata dan gambar eksklusif dengan nilai reputasi tinggi; mereka adalah aset penting, sering digunakan sebagai alat pemasaran, yang membutuhkan perlindungan pelanggaran. Salah satu masalah yang dipertimbangkan selama litigasi pelanggaran adalah kesamaan visual, konseptual dan fonetik dari merek dagang yang berbeda.

Secara khusus, kesamaan konsep merek dagang adalah area yang sebelumnya tidak pernah dipelajari dalam pengambilan informasi.

Terjadinya pemalsuan merek, tentunya membuat perdagangan tidak berkembang dengan baik dan memperburuk citra Indonesia sebagai pelanggar HKI. Oleh karena itu, permasalahan tentang perlindungan hukum atas merek menjadi menarik untuk dibahas, mengingat dunia akan terus berkembang, dan didalamnya merek mempunyai peran yang cukup diperhitungkan khususnya dalam proses perdagangan barang dan jasa di perdagangan bebas saat ini. Alasan khusus yang melatarbelakangi banyaknya terjadi peniruan merek terkenal di Indonesia adalah Indonesia sebagai negara berkembang tidak dapat memungkiri bahwa masyarakatnya lebih menghargai barang barang dari luar negeri karena dipandang lebih meyakinkan dan lebih terjamin mutunya (Sudargo Gautama 1985:59-60), pandangan masyarakat yang demikian ditambah lagi dengan sifat konsumtif masyarakat, maka Indonesia menjadi lahan subur bagi pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk memperkaya dirinya sendiri secara tidak wajar dengan cara meniru merek terkenal.

Jurnal Privat Law Vol. VII No 1 Januari - Juni 2019 Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap ... 93

(3)

Belakangan ini masih sering dijumpai adanya pelanggaran terhadap pemegang hak atas merek di Indonesia. Pelanggaran tersebut menggunakan teknologi yang maju dan dilakukan oleh orang- orang yang tidak bertanggungjawab. Salah satu merek dagang yang membutuhkan perlindungan hukum dari tindak pelanggaran merek adalah produk pakaian merek Kick Denim. Produk pakaian merek Kick Denim ini menjadi korban atas tindak pelanggaran merek, tepatnya pelanggaran merek yang berupa pemalsuan atau penggunaan merek yang secara substansial tidak memiliki daya pembeda yang dilakukan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab dengan tanpa seizin dari pemegang hak atas merek Kick Denim. Kasus Pelanggaran merek yang menimpa Kick Denim ini terjadi di Yogyakarta. Pada 20 April 2015 Sub Direktorat II Industri Produk dan Perdagangan (Inprodag) Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Kepolisian Daerah D.I.Yogyakarta menggerebek tiga toko pakaian di wilayah hukum Kepolisian Daerah D.I.Yogyakarta yang kedapatan menjual produk pakaian palsu (imitasi) dari merek Kick Denim. Dengan berdasarkan latarbelakang permasalahan diatas maka penulis membahas lebih lanjut dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Atas Merek Pakaian Dari Tindak Pelanggaran Merek dengan Studi Kasus Pada Pemalsuan Merek Pakaian Kick Denim.

B. Metode Penelitian

Metode Penulisan Hukum hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum empiris. Dalam hal ini sifat empirisme ditunjukan dengan perolehan data terkait dengan Data primer ini diperoleh secara langsung dari Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Jawa Barat, Kepolisian Daerah D.I.Yogyakarta dan Kantor Merek pakaian “Kick Denim”. Pada penelitian hukum sosiologis atau empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau terhadap masyarakat (Soerjono Soekanto, 2014 : 10).

Sifat dari penelitian yang ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala lainnya (Soerjono Soekanto, 2010:10). Pendekatan penelitian yang dilakukan yaitu dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan menggunakan data yang dinyatakan secara verbal.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Kick Denim merupakan merek pakaian yang dimiliki oleh Hartiman, Merek pakaian ini berasal dari Kota Bandung, beralamatkan di Jalan Sultan Agung No.3C, Citarum, Bandung Wetan, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat. Merek pakaian Kick Denim merupakan merek pakaian yang fokus pada segmentasi pasar Street Wear yang menyasar kalangan anak muda.

Pada April 2015, Hartiman selaku pemegang Hak Atas Merek Kick Denim, melalui kuasa hukum nya M.Taufik membuat laporan ke Direktorat Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Kepolisian Daerah D.I.Yogyakarta atas dugaan adanya tiga toko di wilayah hukum Kepolisian Daerah D.I.Yogyakarta yang diduga melakukan tindak pelanggaran merek berupa pemalsuan terhadap merek pakaian Kick Denim. Dari laporan yang dibuat M.Taufik tersebut kemudian polisi melakukan tindak lanjut dengan melakukan penggerebekan di tiga titik, yaitu di jalan tegal panggung, di jalan tajem, serta di jalan Wonosari. Dari penggerebekan tersebut petugas mengamankan barang bukti berupa ratusan potong pakaian dan mengamankan pemilik toko guna dilakukan pemeriksaan lebih lanjut (Santo Ari, 2015, Polda Usut Kasus Pemalsuan Merek Kick Denim, http://jogja.tribunnews.com/2015/04/20/

polda-usut-kasus-pemalsuan-merek-kick-denim , diakses tanggal 14 Desember 2017, Pukul 20.30).

Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis dengan Brigadir Kepala (Bripka) Suryo Irawan selaku Penyidik Pembantu di Unit I, Sub Direktorat I, Direktorat Kriminal Khusus, Kepolisian Daerah D.I.Yogyakarta bahwa kasus ini dihentikan pada saat proses penyidikan. Pelapor M.Taufik mengajukan Surat Permohonan Pencabutan Perkara disertai dengan kesepakatan perdamaian antara para pihak. Maka atas Permohonan tersebut, Penyidik Direktorat Kriminal Khusus, Kepolisian Daerah D.I.Yogyakarta menindaklanjuti nya dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Menurut Brigadir Kepala (Bripka) Suryo Irawan bahwa kesepakatan antara para pihak tersebut terjadi diluar proses hukum yang berjalan di kepolisian dan tanpa sepengetahuan Direktorat Kriminal Khusus, Kepolisian Daerah D.I.Yogyakarta.

(4)

Sebagai perpanjangan tangan Direktorat Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum dan HAM selanjutnya disebut Ditjen KI Kemenkumham di daerah, Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM Provinsi Jawa Barat merupakan garda terdepan dalam upaya perlindungan hukum kepada pemegang hak atas merek dan melaksanakan sosialisasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 kepada masyarakat khususnya para pihak yang berkepentingan dalam bidang merek di daerah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis bahwasanya hak atas Merek mendapatkan perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. Perlindungan hukum yang diberikan tersebut guna membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa (Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016) dan pemberian hak kepada pemegang merek yang dilanggar haknya untuk menggugat si pelanggar dengan cara mengajukan gugatan kepada Pengadilan Niaga (Pasal 83 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016). Dalam hal terjadi pelanggaran merek, maka sebagaimana yang diatur dalam Pasal 100 sampai dengan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Pemegang hak atas merek dan/atau penerima lisensi merek dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan nya untuk barang dan/

atau jasa yang sejenis berupa ganti rugi dan/atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut. Gugatan tersebut diajukan pemegang hak atas merek kepada Pengadilan Niaga. Selain mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga, pemegang hak atas merek juga dapat melakukan tuntutan pidana dengan membuat laporan kepada pihak kepolisian, atau memilih Alternatif Penyelesaian Sengketa. Upaya Hukum yang dilakukan Pemegang Hak Atas Merek dan/atau Penerima Lisensi Merek merupakan konsekuensi adanya perlindungan hukum terhadap merek yang sudah terdaftar sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016.

Adapun mengenai upaya-upaya hukum yang dapat ditempuh oleh Pemegang Hak Atas Merek terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan nya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis dijelaskan sebagai berikut:

1. Gugatan Perdata Melalui Pengadilan Niaga

Prosedur dan Tata cara pengajuan gugatan sengketa merek diatur dalam Pasal 85 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2016. Berdasarkan bukti permulaan yang cukup, pemilik merek terdaftar yang hak nya di rugikan dapat meminta hakim Pengadilan Niaga untuk menerbitkan surat penetapan sementara (Marni Emmy Mustafa, 2017:139). Permohonan Penetapan Sementara diajukan secara tertulis kepada Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat terjadinya pelanggaran merek (Marni Emmy Mustafa, 2017:139). Adapun persyaratan yang harus dipenuhi dalam permintaan Permohonan Penetapan Sementara kepada Pengadilan Niaga sebagaimana diatur dalam Pasal 95 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016.

2. Tuntutan Pidana

Di samping gugatan Perdata yang diajukan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan, negara berdasarkan hak publiknya dapat melakukan penuntutan secara pidana kepada si pelanggar.

Hal ini sesuai dengan praktik selama ini bahwa disamping gugatan perdata yang diajukan pihak berkepentingan, maka tuntutan pidana dapat dilakukan penuntut umum, baik atas prakarsa sendiri maupun atas laporan pihak yang dirugikan (Rahmi Janed, 2015:354).

Sanksi Pidana dalam proses Hukum Perdata menjadi alternatif terhadap proses Pidana, menurut TRIP’s masalah Kekayaan Intelektual adalah hak privat, tetapi di Indonesia penegak hukum kebanyakan melalui tindakan kepolisian serta menganggap Kekayaan Intelektual sebagai hak-hak publik, sebenarnya akan lebih bermanfaat adalah membayar ganti rugi kompensasi (Marni Emmy Mustafa, 2017:147).

3. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Pengadilan bukanlah satu-satunya cara yang bias ditempuh untuk menyelesaikan sengketa, karena selain melalui pengadilan ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa yang popular dengan sebutan Alternatif Penyelesaian sengketa (APS)/Alternatif Dispute Resolution (ADR) (Marni Emmy Mustafa, 2017:136).

Penyelesaian gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016, para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase atau alternatif Jurnal Privat Law Vol. VII No 1 Januari - Juni 2019 Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap ... 95

(5)

penyelesaian sengketa dalam penjelasan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi geografis dijelaskan yang dimaksud dengan “alternative penyelesaian sengketa” antara lain negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan cara lain yang dipilih oleh para pihak (Marni Emmy Mustafa, 2017:136).

Sebagaimana cara penyelesaian sengketa merek melalui jalur Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) yang selanjutnya disebut APS, sebagaimana diatur dalam Pasal 93 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2016, dalam hal para pihak yang bersengketa memilih jalur APS, maka dalam hal ini berlaku ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Saat ini berkaitan dengan Sengketa Pelanggaran merek yang menggunakan penyelesaian melalui jalur APS salah satu badan yang memiliki kompetensi untuk mengadili adalah Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAM HKI).

D. Simpulan

Pemegang hak atas merek terdaftar mendapat kepastian Perlindungan Hukum oleh Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2016 sejak pendaftaran merek tersebut di terima oleh Ditjen KI hingga jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama (Pasal 35 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016). Perlindungan Hukum yang diberikan oleh Undang Undang Nomor 20 Tahun 2016 mencakup pengaturan bentuk-bentuk pelanggaran terhadap merek terdaftar, sanksi pidana atas bentuk-bentuk pelanggaran terhadap merek terdaftar, pemberian hak kepada pemegang hak atas merek terdaftar yang hak nya dilanggar untuk melakukan gugatan perdata melalui Pengadilan Niaga, melakukan Tuntutan Pidana dengan membuat aduan kepada Kepolisian ataupun memilih jalur alternatif penyelesaian sengketa, serta membantu pemegang hak atas merek terdaftar untuk membuktikan haknya dengan cara memberikan segala bantuan administrasi yang diperlukan untuk pembuktian sebuah merek terdaftar melalui Ditjen KI Kemenkumham selaku otoritas yang berwenang dibidang Merek. Perlindungan hukum merek yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 menggunakan sistem konstitutif, artinya perlindungan yang diberikan hanya kepada pemegang hak atas merek terdaftar, pada sistem Konstitutif pendaftar pertama atas merek sepanjang tidak ada pengakuan atau penolakan dari pihak lain menjadi pihak yang berhak atas suatu merek.

E. Saran

Guna terciptanya perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas merek terdaftar yang ideal dan sesuai dengan tujuan hukum pemebentukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, diperlukan adanya komunikasi dan koordinasi yang efektif satu sama lain diantara stakeholders yang memiliki kepentingan dan kewenangan dibidang merek. Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM sebagai perpanjangan tangan Ditjen KI Kemenkumham di daerah harus meningkatkan frekuensi program sosialisasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis dengan melaksanakan sosialisasi yang tersegmentasi sesuai bidang usaha pelaku usaha, serta dalam melaksanakan fungsinya sebagai otoritas negara dibidang merek harus melakukan inovasi sesuai perkembangan zaman, seperti dengan membuat e-book tentang ketentuan-ketentuan dibidang merek serta perlindungan hukum untuk diberikan kepada kalangan pelaku usaha dibidang merek agar pengetahuan masyarakat terkait merek semakin baik.

F. Daftar Pustaka

Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin. 2004. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum.

Jakarta: PT. Raja Grafindo.

John C. Mowen, Michael Minor. 2008. Perilaku Konsumen (Jilid II) Edisi Kelima. Jakarta:

Erlangga.

Marni Emmy Mustafa. 2017. Aneka Penegakan Hukum Hak cipta, Paten, Merek dan Indikasi Geografis. Bandung: PT. Alumni.

OK. Saidin. 2013. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights).

Jakarta: Rajawali Pers.

(6)

Sanusi Bintang. 1998. Hukum Hak Cipta. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.

Soerjono Soekanto. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Sudargo Gautama. 1985. Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional. Bandung: PT. Alumni.

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019

Fatahiyah Mohd Anuara, Rossitza Setchia, dan Yu-Kun Laib. 2013. “A Conceptual Model Of Trademark Retrieval Based On Conceptual Similarity”. Procedia Computer Science . 22 (2013) 450 – 459.

Agung Sudjatmiko. 2000. “Perlindungan Hukum Hak Atas Merek”. Yuridika, Vol.15 No. 5 September- Agustus.

Jisia Mamahit. 2013. “Perlindungan Hukum Atas Merek Dalam Pedagangan Barang dan Jasa”. Lex Privatum, Vol.I No.3/Juli.

Santo Ari, 2015, Polda Usut Kasus Pemalsuan Merek Kick Denim,

http://jogja.tribunnews.com/2015/04/20/polda-usut-kasuspemalsuanmerek-kick-denim , diakses tanggal 14 Desember 2017, Pukul 20.30 WIB.

Jurnal Privat Law Vol. VII No 1 Januari - Juni 2019 Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap ... 97

Referensi

Dokumen terkait

Adapun juga dari bunyi Pasal 113 ayat (2) Undang-undang Hak Cipta, yaitu: Setiap orang yang dengan tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak

Pengertian hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat 1 UUHT adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5

Teori kepastian hukum digunakan dalam penelitian ini dengan alasan berdasarkan Undang-Undang Hak Tanggungan kedudukan pemegang Hak Tanggungan adalah sebagai kreditur preference ,

Hasil Penelitian: Berdasarkan penelitian, saat ini penyebaran karya sinematografi tanpa izin pencipta maupun pemegang hak cipta, hal ini merupakan pelanggaran yang

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul : Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Atas Merek Berdasarkan Undang– Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek

Beradasarkan penjelasan dalam Pasal 20 sampai Pasal 22 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, apabila pendaftaran merek yang dilakukan oleh perorangan

Proses Penyelasaian Sengketa Terhadap Pelanggaran Hak Merek Menurut Pasal 85 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, pemilik merek terdaftar dapat

Begitupun jika terdapat pelanggaran Hak Cipta dalam Transaksi yang merugikan pemegang Hak Cipta secara moral dan ekonomi maka Pencipta mempunyai hak sebagai pemegang Hak Cipta yang