INSOLVENSI DALAM KEPAILITAN
A. LATAR BELAKANG
Kepailitan merupakan suatu jalan keluar untuk dapat memecahkan persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitur, dimana debitur tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan atau iktikad baik untuk membayar utang-utang tersebut kepada para krediturnya. Adanya perubahan syarat kepailitan di Pasal 1 ayat (1) Faillissement- Verordening 1906, kemudian syarat-syarat kepailitan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 4/1998 dan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, yaitu hilangnya tes insolvensi sebagai syarat kepailitan. Padahal tes insolvensi menjadi penting dalam syarat kepailitan untuk menentukan apakah debitur tersebut memang benar dalam keadaan insolven atau keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya, sehingga memang layak dipailitkan.
Hukum kepailitan di Indonesia sama sekali tidak menganut sistem insolvensi tes sebagai syarat permohonan pailit kepada debitur. Meskipun tujuan dari kepailitan adalah untuk memberikan perlindungan kepada debitur yang memiliki itikad baik kepada para krediturnya, kemudahan yang diberikan oleh UU Kepailitan kepada kreditur untuk mengajukan permohonan pailit debitur tentu sangat beresiko kepada debitur yang masih memiliki tingkat keuangan yang sehat atau dapat dikatakan masih dalam keadaan yang solven, sehingga lembaga kepailitan yang seharusnya menjadi upaya terakhir sering kali digunakan sebagai upaya awal oleh kreditur dalam mendapatkan piutangnya. Disinilah diperlukannya peran insolvency test sebagai syarat permohonan pailit kepada debitur
Tahap ini penting karena pada tahap inilah nasib debitor pailit ditentukan. Apakah harta debitor akan habis dibagi-bagi sampai menutup utangnya, ataupun debitor masih dapat bernafas lega dengan diterimanya suatu rencana perdamaian atau rekstrukturisasi utang. Apabila debitor sudah dinyatakan insolvensi, maka debitor sudah benar-benar pailit, dan hartanya segera akan dibagi-bagi, meskipun hal ini tidak berarti bahwa bisnis dari perusahaan pailit tersebut tidak bias dilanjutkan.
Untuk mempailitkan debotor Undang-undang nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak mensyaratkan agar debitor berada dalam keadaan insolvensi. Hal ini tentu melindungi kepentingan kreditor, tidak
diterapkannya insolvensi test mengakibatkan perusahaan di indonesia bangkrut secara hukum.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU) tidak mengatur syarat insolvensi dalam menentukan kepailitan debitur. Tidak mengherankan apabila putusan pailit terhadap debitur yang dijatuhkan oleh Pengadilan Niaga Indonesia berdasarkan undang-undang tersebut sangat mengecewakan bagi dunia bisnis dan investasi di Indonesia, dikarenakan debitur dapat diputus pailit tanpa melihat kemampuannya untuk menyelesaikan utang. Hal ini bertentangan dengan filosofi universal dari undang-undang kepailitan yaitu hanya debitur yang sudah berada dalam keadaan insolven, dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan setelah dimintakan permohonan untuk memailitkan debitur yang bersangkutan
Insolvensi dapat terjadi manakala terdapat pembatalan terhadap pengesahan Perdamaian (Homologasi), baik Perdamaian yang dicapai dalam proses Kepailitan maupun Perdamaian yang dicapai dalam proses PKPU. Pembatalan terhadap pengesahan Perdamaian (Homologasi) dapat terjadi apabila Debitor tidak melaksanakan Rencana Perdamaian yang telah disahkan (Homologasi) (Vide Pasal 170 ayat (1) UU KPKPU).
Dimana pembatalan terhadap pengesahan Perdamaian (Homologasi) tersebut dapat diajukan oleh Kreditor dan apabila pembatalan Perdamaian tersebut dikabulkan oleh Pengadilan, maka terhadap harta kekayaan Debitor dinyatakan dalam keadaan insolvensi.
Atas dasar hal tersebut, maka Kurator wajib seketika memulai pemberesan terhadap harta pailit.
Mengacu kepada Penjelasan Pasal 292 UU KPKPU, maka insolvensi juga dapat terjadi apabila dalam proses PKPU, Pengadilan menolak untuk mengesahkan Rencana Perdamaian yang sudah disetujui oleh Kreditor, dikarenakan terpenuhi keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (2) UU KPKPU.
Meskipun Debitor telah ditetapkan dalam keadaan pailit, tidak serta merta dapat disimpulkan bahwa Debitor tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan kewajibannya kepada setiap Kreditor. Untuk itu, dalam proses kepailitan hanya dapat dilakukan sita umum terhadap semua kekayaan Debitor Pailit dan belum dapat dilakukan pemberesan dalam rangka pelunasan utang Debitor Pailit kepada setiap Kreditor.
Pemberesan hanya dapat dilakukan setelah harta kekayaan Debitor Pailit dalam keadaan insolvensi.
Barulah setelah harta kekayaan Debitor Pailit ditetapkan dalam keadaan insolvensi, dapat dilakukan pemberesan oleh Kurator terhadap harta kekayaan Debitor Pailit, dimana Kurator akan melakukan penjualan terhadap harta kekayaan Debitor Pailit dimuka umum atau dibawah tangan dengan persetujuan Hakim Pengawas sebagaimana ketentuan Pasal 185 ayat (1) dan ayat (2) UU KPKPU. Kurator hanya dapat melakukan penjualan dibawah tangan dalam hal sebelumnya telah dilakukan terlebih dahulu penjualan di depan umum minimal 2 (dua) kali dibuktikan dengan risalah lelang.
B. ISI
1. Kepailitan a. Pengertian
Definisi Kepailitan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU KPKPU”) yaitu: “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.”
Selanjutnya mengenai akibat kepailitan, Pasal 21 UU KPKPU menyebutkan: “Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.”
Kepailitan merupakan suatu keadaan dimana seluruh kekayaan Debitor Pailit disita untuk dilakukan pengurusan dan pemberesan oleh Kurator dengan pengawasan dari Hakim Pengawas. Mekanisme kepailitan dimungkinkan dilakukan terhadap seorang Debitor lantaran keseluruhan aset Debitor merupakan jaminan dalam tiap-tiap perikatannya, sebagaimana ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata yang mengatur: “Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.”
Kepailitan secara apriori didefinisikan sebagai kegagalan yang disebabkan oleh kesalahan debitur. Kepailitan biasanya didefinisikan sebagai penggelapan hak yang seharusnya dibayarkan kepada kreditur. Ketidakmampuan untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut disadari oleh debitur, maka langkah untuk mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya menjadi suatu langkah yang memungkinkan apabila kemudian ditemukan bukti bahwa debitur tidak mampu lagi membayar utangnya yang telah jatuh tempo.
Perusahaan dinyatakan pailit ketika debitur secara hukum kehilangan haknya untuk berbuat bebas terhadap kekayaannya yang termasuk dalam kepailitan dan hak untuk mengurus kekayaannya yang terhitung sejak tanggal diucapkannya pernyataan pailit. Seseorang maupun badan hukum untuk dapat dipailit sudah tentu memerlukan bukti yang cukup.
b. Syarat pailit
Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU mengatur syarat debitur dapat dinyatakan pailit yaitu: “Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”
Kemudian Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU mengatur sebagai berikut:
“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.”
Syarat-syarat kepailitan yang diberlakukan saat ini di Indonesia terlalu sederhana, hanya memerlukan adanya dua atau lebih kreditur dan ketidakmampuan membayar satu utang yang telah jatuh tempo
Syarat untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU telah terpenuhi, yaitu:
1) Ada dua atau lebih kreditor. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.
"Kreditor" di sini mencakup baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen.
2) Ada sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih yang tidak dibayar lunas oleh debitor. Artinya adalah ada kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.
Menurut standar internasional bahwa dalam hal debitor masih solven tetapi tidak melunasi utangnya yang telah jatuh tempo kepada kreditor, maka kreditor tidak boleh mengajukan gugatan kepailitan di Pengadilan Niaga. Dengan kata lain, kreditor hanya dapat mengajukan permohonan kepailitan apabila debitor telah dalam keadaan insolven. Dalam hal debitor masih dalam keadaan solven tetapi tidak membayar utangnya, kreditor dapat mengajukan gugatan perdata biasa kepada Pengadilan Negeri.
3) 2. Insolvensi
a. Pengertian
Insolvensi adalah ketidakmampuan debitor membayar utang- utangnya. Insolvensi terjadi apabila debitor pailit dalam verifikasi tidak mengajukan atau menawarkan perdamaian, rencana perdamaian ditolak atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dengan timbulnya fase insolvensi ini, maka dimulai pemberesan harta pailit oleh kurator. Pemberesan dilakukan dengan melakukan penjualan harta pailit. Hasil penjualan tersebut kemudian dibagikan kepada para kreditor.
Insolvensi sendiri tidak dijelaskan secara terperinci dalam Undang-Undang Kepailitan, pengertian insolvensi ada dalam penjelasan Pasal 57 Ayat (1) Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 yaitu "keadaan tidak mampu membayar". Kepailitan dan insolvensi dalam sistem hukum Indonesia merupakan dua istilah hukum yang berbeda
Menurut Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan, yang dikatakan dengan debitur dalam keadaan insolven adalah ketika debitur tidak dapat melunasi utang kepada semua krediturnya dan debitur yang memiliki jumlah utang yang melebihi seluruh jumlah harta kekayaannya.
Sutan Remy menyimpulkan bahwa dengan demikian, debitur yang insolven itu adalah debitur yang tidak dapat membayar utang kepada semua krediturnya. Bukan tidak hanya dapat melunasi utang kepada satu kreditur saja.
Sebuah perusahan atau pribadi yang dapat dinyatakan insolven (insolvent) atau pailit (bankrupt) adalah Insolvensi terjadi apabila debitur tidak dapat melunasi semua utangnya;
Debitur telah berada dalam keadaan insolven hanya apabila jumah nilai kewajiban (utangnya) telah lebih besar daripada nilai asetnya (harta kekayaannya). Keadaan debitur yang seperti itu disebut balance sheet insolvency.
Balance sheet insolvency dilawankan dengan cash flow insolvency, yaitu keadaan keuangan debitur yang tidak memiliki likuiditas yang cukup untuk membayar utangnya pada saat telah jatuh tempo karena arus pemasukan (cash inflow) debitur lebih kecil dari pada arus pengeluarannya (cash outflow) sekalipun nilai asetnya masih lebih besar dari pada kewajibannya (belum mengalami balance sheet insolvency).
Menurut Dictionary Business of Term, Insolvency diartikan : insolvensy adalah Ketidaksanggupan untuk memenuhi kewajiban finansial ketika jatuh waktu seperti layaknya dalam bisnis; atau Kelebihan kewajiban dibandingkan dengan asetnya dalam waktu tertentu.
b. Syarat insolvensi
Undang-Undang tidak memberikan syarat jumlah minimum utang tertentu atau mensyaratkan suatu keadaan insolven dimana harta kekayaan debitor (aktiva) jauh lebih kecil dari utang-utang yang dimiliki (pasiva) yang biasanya diukur dengan suatu insolvency Test. Krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia sejak berlakunya Faillissementsverordening seharusnya menyadarkan pemerintah
Indonesia bahwa keadaan Insolvensi dibutuhkan agar debitor tidak dipailit dengan mudah.
Dalam UU No. 4/1998 maupun UU No. 37/2004, tes insolvensi tidak lagi menjadi syarat untuk mempailitkan debitur. Dengan demikian, seorang debitur dapat dinyatakan pailit jika memiliki dua kreditur atau lebih, gagal membayar setidaknya satu utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih. Menurut Pasal 178 ayat (1) UUK-PKPU, kondisi insolvensi baru ditetapkan setelah debitur dinyatakan pailit, yakni jika pada saat rapat pencocokan piutang debitur tidak menawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang diajukan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak oleh putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Sutan Remy menjelaskan tentang syarat insolvensi sebagai berikut: Dalam Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU tidak dicantumkan sebagai syarat agar debitur dapat dipailitkan adalah dialaminya keadaan insolvensi keuangan debitur. Perlu diketahui bahwa dalam Undang-Undang Kepailitan di negara-negara lain, kepailitan debitur hanya dimungkinkan apabila debitur telah dalam keadaan insolven.
Keadaan insolvensi terjadi dalam hal terpenuhi keadaan-keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1) UU KPKPU. Adapun kondisi- kondisi yang mengakibatkan harta kekayaan Debitor Pailit ditetapkan dalam keadaan insolvensi, diantaranya sebagai berikut:
1) Dalam Rapat Pencocokan Piutang tidak ditawarkan Rencana Perdamaian;
2) Rencana Perdamaian ditolak atau tidak diterima oleh Para Kreditor;
3) Pengadilan menolak untuk mengesahkan perdamaian.
Tidak diterapkannya Insolvency test ini mengakibatkan banyak perusahaan di Indonesia bangkrut secara hokum. Hikmahanto Juwana berpendapat bahwa kebijakan dasar Undang- Undang Kepailitan bertujuan untuk membebaskan debitor yang sudah tidak mampu lagi membayar utangnya disamping memfasilitasi kreditor untuk mengambil haknya kembali dari debitor. Lazimnya keadaan berhenti membayar tersebut bukan disebabkan karena hal-hal yang
sepele melainkan sebab yang substansial sehingga aktivitas bisnisnya menjadi sangat sulit untuk dilaksanakan.
Terhadap masalah Insolvensi ini, Sutan Remy Syahdeini bependapat bahwa hukum kepailitan itu bukan mengatur kepailitan debitor yang tidak membayar kewajibannya pada salah satu kreditor saja, tetapi debitor itu harus berada dalam keadaan insolven (insolvent). Seorang debitor berada dalam keadaan insolven hanyalah apabila debitor tidak mampu secara finansial untuk membayar utang-utangnya kepada sebagian kreditornya.Seorang debitor tidak dapat tidak dapat dikatakan telah dalam keadaan insolven apabila hanya kepada seorang kreditor saja debitor tersebut tidak membayar utangnya, sedangkan kepada kreditor- kreditor lainnya debitor tetap melaksanakan kewajibannya dengan baik.
3. Hubungan antara kepailitan dan insolvensi
Pada dasarnya kepailitan dan insolvensi itu merupakan dua hal yang berbeda.
Dimana debitur dinyatakan pailit apabila debitur memiliki paling sedikit dua kreditur dan ada sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Jadi dalam hal pailit, belum tentu harta debitur tidak cukup untuk membayar utang- utangnya. Sedangkan di Indonesia, arti insolvensi yang kita temukan dalam UU 37/2004 KPKPU adalah sebatas “keadaan tidak mampu membayar”. Lebih luas lagi, jika mengacu pada pendapat Sutan Remy, yang dikatakan dengan debitur dalam keadaan insolven adalah ketika debitur tidak dapat melunasi utang kepada semua krediturnya dan debitur yang memiliki jumlah utang yang melebihi seluruh jumlah harta kekayaannya.
Menurut Abdurahman, pailit atau bangkrut adalah seseorang yang dinyatakan pailit oleh pengadilan dan aktiva/warisannya akan dipergunakan untuk pelunasan utang-utangnya. Secara hukum, kepailitan adalah segala hal yang berkaitan dengan keadaan debitor yang mempunyai minimal 2 (dua) utang yang telah jatuh tempo, dan debitor tersebut tidak dapat melunasi salah satu dari utang itu. Inti dari persoalan itu adalah sitaan terhadap harta debitor untuk selanjutnya diurus dan dibereskan, dalam
artian harta kekayaan itu dijual dan hasil penjualannya. Dunia bisnis dalam prakteknya sering mengaitkan antara Insolvensi dengan Kepailitan. Kata bankruptcy dipergunakan untuk mendeskripsikan prosedur Insolvency. Pengertian Insolvency menurut Dictionary of Business Term yaitu:
a. Ketidakmampuan untuk melunasi kewajiban keuangan ketika jatuh tempo; atau b. Kewajiban lebih besar jika dibandingkan dengan harta kekayaannya dalam suatu
waktu tertentu.
Berkenaan dengan perbedaan antara insolvensi dan kepailitan, Goodman Law menyatakan bahwa insolvensi (insolvency) merupakan suatu keadaan keuangan, yaitu keadaan keuangan yang terjadi apabila utang-utang (tidak hanya satu utang saja) dari debitor melebihi asetnya. Suatu keadaan insolvensi dapat menjadi dasar untuk dinyatakan pailit, Namun demikian, dapat pula keadaan insolvensi tersebut hanya sementara dan dapat diatasi sehingga tidak harus berakhir kepada kepailitan. Dengan demikian, insolvensi tidak harus berakhir berupa debitor menjadi pailit, tetapi sebaliknya semua badan hukum dan orang perorangan yang dinyatakan pailit pasti insolven.
Seorang debitor yang tidak melunasi utangnya kepada salah satu kreditornya tidak selalu karena debitor tidak dapat membayar utangnya, tetapi dapat juga karena debitor memang dengan sengaja tidak mau membayar utangnya karena alasan yang berupa bukan karena debitor tidak mampu membayar. Dengan kata lain, keadaan keuangan debitor masih mampu membayar utang. Debitor tidak membayar utangnya kepada kreditor bukan selalu karena debitor tidak memiliki “ability to repay”
(kemampuan membayar).
Debitor yang insolven adalah debitor yang tidak dapat membayar utang kepada semua kreditornya. Bukan tidak hanya dapat melunasi utang kepada satu kreditor saja.
Seseorang hanya dapat diputuskan pailit (bankrupt) apabila telah insolven (insolvent) , yaitu tidak dapat membayar utang-utangnya kepada para kreditornya.
Jumlah keseluruhan utang-utang debitor tidak membeda-bedakan jenis para kreditor. Tidak dibedakan apakah utang-utang debitor tersebut kepada para kreditor konkuren, para kreditor dengan hak jaminan, dan kreditor dengan hak istimewa. Untuk menentukan bahwa debitor sudah berada dalam keadaan insolven, harus dilakukan
penjumlahan semua utang debitor kepada semua jenis kreditornya dan kemudian dibandingkan dengan jumlah harta kekayaannya (asset) untuk mengetahui apakah jumlah nilai utang tersebut masih lebih besar atau sudah lebih kecil daripada jumlah seluruh utangnya.
Terdapat beberapa kelebihan yang dapat dirasakan baik oleh debitur maupun kreditur apabila diterapkannya insolvensi tes sebagai syarat permohonan pailit, diantaranya kreditur tidak dapat menggunakan kepailitan sebagai alat untuk memenuhi kepentingannya sendiri tanpa memikirkan keadaan debitur ataupun kreditur lainnya, debitur yang masih memiliki tingkat keuangan yang sehat dan memiliki prospek yang positif akan terselamatkan dari jerat pailit, serta terhindar adanya asumsi keadaan debitur yang tidak mampu membayar pada saat mengalami kendala keuangan sesaat.
Secara umum terdapat tiga jenis tes finansial dalam menentukan debitur masih solven atau sudah memasuki keadaan insolven, diantaranya:
a. Cash Flow Test
Metode tes ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan debitur itu sendiri dalam membayarkan utangnya baik yang akan jatuh tempo saat ini maupun yang akan jatuh tempo pada masa yang akan datang, dengan cara memeriksa pembukuan yang dimiliki oleh debitur.
b. Balance Sheet Test
Metode tes ini bertujuan untuk menguji total asset yang dimiliki oleh debitur melebihi atau lebih kecil dari total kewajiban yang dimiliki oleh debitur, sehingga tidak hanya melihat apakah debitur tidak mampu untuk membayarkan utangnya dalam jangka pendek, tetapi memperhatikan keseluruhan keadaan asset debitur sebagai penentu apakah debitur telah memasuki keadaan insolven atau masih dalam keadaan solven.
c. Capital Adequacy Test
Metode tes ini dilakukan untuk melihat nilai saham bagi debitur pada masa yang akan datang untuk menentukan debitur masih memiliki kecukupan modal dalam bertahan akibat adanya gangguan transaksi yang dialami oleh debitur
C. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa: Kepailitan dan insolvensi mempunyai hubungan yang sangat erat dimana seharusnya seseorang atau badan hukum dapat dinyatakan pailit apabila seseorang atau badan hukum tersebut dalam keadaan insolven. UUK-PKPU tidak mengatur syarat insolvensi dalam menentukan kepailitan Debitur. Secara umum, Undang-Undang Kepailitan (bankruptcy law atau insolvency law) negara-negara lain menentukan Debitor dapat dinyatakan pailit (bankrupt) hanya apabila Debitur telah dalam keadaan insolven. UUK-PKPU tidak menganut asas insolvensi dalam menentukan kepailitan debitor.
Pengaturan Insolvensi diperlukan sebagai syarat permohonan pailit bagi debitor untuk menghindari debitor yang pailit dalam keadaan solven.
Pengaturan Insolvensi ini dibarengi dengan adanya pembatasan nominal utang yang dibuktikan dengan adanya suatu Insolvency test, tes ini bisa dijadikan indikator dalam hal apakah seorang debitor dalam keadaan bisa dinyataakan pailit dan bagi debitor untuk mengetahui perbandingan jumlah aset debitor dengan jumlah utang-utang yang dimiliki debitor terhadap kreditornya.
D. DAFTAR PUSTAKA
Pratama, B. (2014). Kepailitan Dalam Putusan Hakim Ditinjau Dari Perspektif Hukum Formil dan Materil. Jurnal Yudisial, 7(2), 157-172.
Sutan Remy Sjahdeini. 2016. Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Diana Surjanto, 2018, “Urgensi Pengaturan Syarat Insolvensi Dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Jurnal Acta Comtas, Vol. 3 No.2 Oktober 2018