DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, H. Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Asikin, Zainal, 2002, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, PT. RajaGrafindo, Jakarta.
Bahsan, M, 2012, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Fuady, Munir, 1999, Hukum Pailit, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hamzah, Andi, 2010, Asas-asas hukum pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
Harahap, M. Yahya, 2009, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta.
, 2010, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta, Sinar Grafika.
Hartono, Sri Rejeki, 2010, Paramita Prananingtyas, dan Fahima, Kamus Hukum Ekonomi, Ghalia Indonesia, Bogor.
Natadimaja, Harumiati, 2009, Hukum Perdata Mengenai Hukum Perorangan dan Hukum Benda, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Hutagalung, Sophar Maru, 2012, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta.
Manan, Bagir, 2004, Hukum Positif Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta.
Nasir, Muhammad, 2005, Hukum Acara Perdata, Djambatan, Jakarta.
Nasution, Bismar, 2007, Hukum Kegiatan Ekonomi I, BooksTerrace & Library, Bandung.
Nating, Imran, 2004, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Jakarta, RajaGrafindo Persada.
Putong, Iskandar, 2005, Teori Ekonomi Mikro, Mitra Wacana Media, Jakarta.
Sarwono, 2011, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Sinar Grafika, Jakarta.
Siregar, Tampil Anshari, 2005, Metode Penelitian Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan.
Soejono dan H. Abdurrahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.
Soeparmono, R, 2006, Masalah Sita Jaminan (C.B.) dalam Hukum Acara Perdata, Mandar Maju, Bandung.
Sunarmi, 2010, Hukum Kepailitan, Sofmedia, Jakarta.
Suyuthi, Wildan, 2004, Sita Eksekusi: Praktek Kejurusitaan Pengadilan, PT. Tatanusa, Jakarta.
Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, 2004, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan, Rajawali Press, Jakarta.
Widjaja, Gunawan, 2005, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Wignjosumarto, Parwoto, 2003, Hukum Kepailitan Selayang Pandang: Himpunan Makalah, PT. Tatanusa, Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Jurnal
Effendi, Mohammad, 2007, Implikasi Penyitaan Barang-barang Milik Negara dan Konsekuensi Hukumnya, UNISIA, Vo. XXX No.66 Desember 2007.
Internet
Diani, Eksistensi Pengadilan Niaga dan Perkembangannya dalam Era Globalisasi,
Haris, Albert. Masalah Penyitaan dan Benda Sit
Hukum-on, Pengertian Supremasi Hukum dan Penegakkan Hukum
Hukum Online.Prokontra Sita Pidana VS Sita Umum
Paili
Munirah, Aswanto, dan Nurfaidah Said, Kedudukan Hukum Kreditor Pemegang Hak Tanggungan terhadap Objek Jaminan yang Dirampas oleh Negara
dalam Tindak Pidana Korupsi,
Rahmadewi, Maria Regina Fika, Penyelesian Utang Debitor Terhadap Kreditor
melalai Kepailitan,
S, Uray Yanice N., Kepailitan Badan Milik Negara (Analisis Kasus Putusan Niaga
No.24/Pailit/1998/Niaga/Jkt.Pst)
Setiarto, Yulius, Hak Eksekutorial Kreditor Separatis,
Sunarmi, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan Antara Indonesia (Civil Law System) dengan Amerika Serikat (Common Law System),
Wasito, Budi Wasito, Evaluasi Demi Penyempurnaan Konstitusi,
BAB III
HUKUM KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
A. Pengertian, Dasar Hukum, Asas dan Fungsi Hukum Kepailitan
Sebagai catatan perlu diketahui bahwa peraturan kepailitan sudah dikenal
oleh bangsa Indonesia mulai sejak Pemerintahan penjajahan Belanda. Pengaturan
mengenai kepailitan pada awalnya diatur dalam 2 (dua) sumber hukum, yaitu:
1. Buku III KUH Dagang dengan judul “van de voorzieningen in geval
van onvermogen van de kooplieden”, yang diatur dari Pasal 749-910
KUH Dagang, berlaku bagi para pedagang (kooplieden).
2. Titel VII dari Buku III Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) yang berjudul
“van de toestand van kennelijk onvermogen”, yang diatur dari Pasal
899-915 Rv, berlaku untuk pedagang (niet kooplieden).
Adanya dua peraturan diatas yang membedakan antara kooplieden dan niet
kooplieden ternyata banyak menimbulkan kesulitan dan tidak disukai oleh para
sarjana hukum waktu itu antara lain Prof. Mollengraf. Pemerintah Belanda
bermaksud untuk meniadakan pemisahan hukum tersebut dengan menciptakan
satu hukum bagi seluruh rakyat Belanda.Akhirnya Prof. Mollengraaf ditugaskan
oleh pemerintah untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Kepailitan dan
berhasil pada tahun 1887. Rancangan tersebut kemudian disahkan menjadi
Undang-Undang dengan namaFaillisementwet dan mulai berlaku pada 1
September 1896 (Lembaran Negara Tahun 1893 No.140). Faillisementwet ini
Rechtsvordering dan berati juga tidak dapat lagi perbedaan antara hukum yang
berlaku bagi kooplieden dan niet kooplieden.40
Bahwa krisis moneter yang melanda negara Asia termasuk Indonesia sejak
pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang besar terhadap
perekonomian dan perdagangan nasional.Dimana pemerintah kemudian
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.1
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang tentang Kepailitan.Perpu
tersebut tidak mencabut Faillisementwet dan hanya menambahnya saja.
Kemudian pada tanggal 9 September 1998 dengan Undang-Undang No. 4
Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun
1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan menjadi
Undang-Undang, ditingkatkan Perpu No. 1 Tahun 1998 menjadi undang-undang.
Dengan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Tahun 1945,
Faillisementwet tetap diberlakukan setelah Indonesia merdeka bersama dengan
Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Lima tahun kemudian pemeritah
bersama-sama dengan DPR menerbitkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berlaku sampai
sekarang.
Istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis,
Latin dan Inggris.Dalam bahasa Perancis, istilah “faillite” artinya pemogokan
atau kemacetan dalam melakukan pembayaran.Orang yang mogok atau macet
atau berhenti membayar utangnya disebut dengan Le faille.Di dalam bahasa
40
Belanda dipergunakan istilah faillite yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai
kata benda dan kata sifat.Sedangkan dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah to
fail, dan di dalam bahasa Latin dipergunakan istilah failure.
Di Negara-negara yang berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan
kepailitan dipergunakan istilah “bankrupt” dan “bankruptcy”.Terhadap
perusahaan-perusahaan debitor yang berada dalam keadaan tidak membayar
utang-utangnya disebut dengan “insolvency”.41
Dalam Black’s Law Dictionary pailit atau “Bankrupt is the state or condition of person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt.”42
Dari pengertian yang diberikan Black Law’s Dictionary tersebut, dapat kita
lihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk
membayar dari seorang (debitor) atas utang-utangnya yang telah jatuh
tempo.Ketidakmampuan membayar tersebut harus disertai dengan suatu tindakan
nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri,
maupun atas permintaan ketiga (di luar debitor), suatu permohonan pernyataan
pailit ke pengadilan.Maksud pengajuan pailit tersebut adalah sebagai suatu bentuk
pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar dari seorang
debitor.Tanpa adanya permohonan tersebut ke Pengadilan, maka pihak ketiga
yang berkepentingan tidak pernah tahu keadaan tidak mampu membayar dari
debitor.Keadaan ini kemudian diperkuat dengan suatu putusan pernyataan pailit
41
Ibid, hal. 23.
42
oleh hakim pengadilan, baik putusan yang mengabulkan ataupun menolak
permohonan kepailitan yang diajukan.43
Dalam Kamus Hukum Ekonomi, Kepailitan adalah sita umum atas kekayaan
debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di
bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur di dalam
undang-undang.44
Mengenai defenisi kepailitan itu sendiri, tidak ditemukan dalam faillisement
verordening maupun dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1998.Dalam pasal 1
ayat (1) Faillisement Verordening hanya menjelaskan bahwa “setiap berutang
(debitur) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendiri
maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang (kreditor) dengan
putusan hakim dinyatakan dalam keadaan pailit.”
Dari rumusan pasal 1 ayat (1) Faillisement Verordening di atas, dapat
diketahui bahwa agar Debitor dapat dinyatakan pailit, maka harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Terdapat keadaan berhenti membayar, yakni bila seorang debitor sudah
tidak mampu atau tidak mau lagi membayar utang-utangnya;
2. Harus terdapat lebih dari seorang kreditor; dan
3. Salah seorang dari mereka itu piutangnya sudah dapat ditagih.
Pengertian dari “keadaan berhenti membayar” ini tidak dijumpai
perumusannya baik dalam Undang-Undang, yurisprudensi, maupun pendapat para
sarjana.Hanya ada pedoman umum yang disetujui oleh para pengarang, yaitu
43
Ibid, hal. 83-84.
44
untuk pernyataan kepailitan tidak perlu ditunjukkan bahwa debitor tidak mampu
untuk membayar utangnya, dan tidak diperdulikan, apakah berhenti membayar itu
sebagai akibat dari tidak dapat atau tidak mau membayar.45
Dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1998, pengertian “pailit” tercermin
dalam Pasal 1 ayat (1) yang menentukan:
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan Putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonan sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya”.
Perubahan redaksi dari berhenti membayar menjadi tidak membayar terjadi
karena pada masa krisis moneter sesungguhnya debitor Indonesia dalam keadaan
tidak mampu membayar utang, tetapi karena pada saat itu mereka kekurangan
dana segar. Asset masih jauh lebih besar dibandingkan dengan utangnya.Apabila
dapat dijual tentu debitur Indonesia masih dapat membayar
utang.Permasalahannya adalah bahwa ketika asset itu dijual dan tidak ada yang
membeli disebabkan krisis perekonomian di Indonesia berada dalam masa krisis
sehingga terjadi kesulitan keuangan.
Apabila konsep berhenti membayar tetap dipertahankan dalam redaksi Pasal
1 Fv, maka akan sulit bagi kreditor untuk mempailitkan perusahaan-perusahaan di
Indonesia karena asset masih jauh lebih besar dari utang. Akhirnya konsep
“berhenti membayar” ini diubah menjadi “tidak membayar”.46
Setelah keluarnya Undang-Undang No.37 Tahun 2004, pengertian pailit
dijumpai dalam Pasal 1 angka (1) yang menyebutkan :
45
H.F.A Vollmar, De Faillissementsweet, dalam Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, Sofmedia, Jakarta, 2010, hal. 27
46
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.”
Dari defenisi tersebut dapat dijelaskan, bahwa dikatakan sebagai sita umum
karena sita yang dilaksanakan bukan untuk kepentingan seseorang atau beberapa
orang kreditur, melainkan untuk semua kreditur.Hal ini untuk mencegah penyitaan
atau eksekusi yang dilaksanakan secara perorangan.
Secara singkat esensi kepailitan dapat dikatakan sebagai sita umum atas
harta kekayaan debitur baik yang ada pada waktu pernyataan pailit maupun yang
diperoleh selama kepailitan berlangsung untuk kepentingan semua kreditur yang
pada waktu debitur dinyatakan pailit mempunyai hutang, yang dilakukan dengan
pengawasan pihak yang berwajib. Berkaitan dengan digunakannya istilah “sita
umum” perlu dijelaskan, karena sita tersebut bukan untuk kepentingan seorang
atau beberapa orang kreditur, melainkan untuk semua kreditur atau dengan kata
lain untuk mencegah penyitaan dari eksekusi yang dimintakan oleh kreditur secara
Perorangan.47
Hal ini terlihat dalam ketentuan Pasal 21 Undang-Undang No.37 Tahun
2004 berikut ini :
“Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan
pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama
kepailitan.”
47
Namun terdapat beberapa benda yang di luar budel pailit, artinya tidak
termasuk yang disita, yaitu :
1. benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh Debitor
sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis
yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya
yang dipergunakan oleh Debitor dan keluarganya, dan bahan makanan
untuk 30 (tiga puluh) hari bagi Debitor dan keluarganya, yang terdapat
di tempat itu;
2. segala sesuatu yang diperoleh Debitor dari pekerjaannya sendiri
sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun,
uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim
Pengawas; atau
3. uang yang diberikan kepada Debitor untuk memenuhi suatu kewajiban
memberi nafkah menurut undang-undang.48
Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang ini didasarkan pada beberapa asas. Asas-asas tersebut antara lain adalah:
1. Asas Keseimbangan
Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan
perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan
yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga
kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan
48
yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga
kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik.
2. Asas Kelangsungan Usaha
Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan
perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.
3. Asas Keadilan
Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa
ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para
pihak yang berkepentingan.Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya
Kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas
tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan
Kreditor lainnya.
4. Asas Integrasi
Asas Integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian
bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu
kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata
nasional.
Ada beberapa fungsi perlu dikeluarkannya Hukum Kepailitan yaitu :
a. Untuk menghindari perebutan harta Debitor apabila dalam waktu
yang sama ada beberapa Kreditor yang menagih piutangnya dari
Debitor.
b. Untuk menghindari adanya Kreditor pemegang hak jaminan
milik Debitor tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau
para Kreditor lainnya.
c. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan
oleh salah seorang Kreditor atau Debitor sendiri. Misalnya,
Debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang
atau beberapa orang Kreditor tertentu sehingga Kreditor lainnya
dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari Debitor untuk
melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk
melepaskan tanggung jawabnya terhadap para Kreditor.
Menurut Rudhi Prasetyo lembaga kepailitan berfungsi untuk mencegah
terjadinya kesewenang-wenangan pihak kreditor yang memaksa dengan
berbagai cara agar debitor membayar utang.49Dengan adanya lembaga
kepailitan ini debitor dapat dengan tenang, tertib dan adil membayar
utang-utangnya, yaitu dengan dilakukannnya penjualan atas harta pailit yang ada
yakni harta kekayaan debitor yang tersisa.Kemudian membagi hasil
penjualan harta pailit tersebut kepada kreditur yang telah diperiksa sebagai
kreditur yang sah masing-masing sesuai dengan hak preferensinya dan
proporsional dengan hak tagihnya dibandingkan dengan besarnya hak
tagihan kreditur kongkuren lainnnya.
49
Maria Regina Fika Rahmadewi, Penyelesian Utang Debitor Terhadap Kreditor melalai
Kepailitan, diakses
B. Akibat Hukum Pernyataan Pailit terhadap Harta Kekayaan Debitor
Kepailitan mengakibatkan debitor yang dinyatakan pailit kehilangan segala
hak perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah
dimasukkan ke dalam harta pailit. “Pembekuan” hak perdata ini diberlakukan oleh
Pasal 22 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 terhitung sejak putusan pernyataan
pailit diucapkan pukul 00.00 waktu setempat.
Bila sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan
transfer dana melalui bank atau lembaga selain bank pada tanggal putusan,
transfer tersebut wajib diteruskan. Demikian pula bila sebelum putusan
pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan Transaksi Efek di Bursa Efek
maka transaksi tersebut wajib diselesaikan.50
Sebagai konsekuensi dari ketentuan Pasal 22 Undang-Undang No. 37 Tahun
2004, maka semua perikatan antara debitor yang dinyatakan pailit dengan pihak
ketiga yang dilakukan sesudah pernyataan pailit, tidak akan dan tidak dapat
dibayar dari harta pailit, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan
keuntungan bagi harta pailit.51
Selanjutnya, selama berlangsungnya kepailitan tuntutan untuk memperoleh
pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap Debitor Pailit,
hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan.52
50
Pasal 24 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Sedangkan
51
Pasal 25 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
52
tuntutan hukum di Pengadilan yang diajukan terhadap Debitor sejauh bertujuan
untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan perkaranya sedang
berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkan putusan pernyataan pailit terhadap
Debitor.
1. Akibat kepailitan terhadap
perjanjian-perjanjian
a. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal
balik
Terhadap perjanjian yang melahirkan perikatan, berdasarkan para
pihak yang menerima prestasi yang dilakukan, dapat digolongkan ke
dalam perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik.53
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana diuraikan di atas, baik
yang disepakati bersama ataupun yang ditetapkan oleh Hakim
Pengawas, Kurator tidak memberikan jawaban atau tidak bersedia
melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut maka perjanjian berakhir Terhadap
perjanjian timbal balik yang belum atau baru sebagian dipenuhi, pihak
yang mengadakan perjanjian dengan Debitor dapat meminta kepada
Kurator untuk memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan
perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh Kurator
dan pihak tersebut.Dalam hal kesepakatan mengenai jangka waktu
sebagaimana tersebut tidak tercapai, Hakim Pengawas menetapkan
jangka waktu tersebut.
53
dan pihak tersebut dapat menuntut ganti rugi dan akan diperlakukan
sebagai kreditor konkuren. Sebaliknya jika Kurator menyatakan
kesanggupannya maka Kurator wajib memberi jaminan atas
kesanggupan untuk melaksanakan perjanjian tersebut.54
Terhadap perjanjian yang hanya dapat dilaksanakan oleh debitor
sendiri, putusan pernyataan pailit mengakibatkan hapusnya perikatan
demi hukum. Pihak kreditor demi hukum pula menduduki posisi yang
sama sebagai kreditor konkuren terhadap harta pailit. Dalam hal yang
demikian, kurator tidak memiliki kewenangan untuk mengambil alih
maupun melakukan suatu perbuatan yang baik secara eksplisit,
menyatakan kehendaknya untuk tetap atau tidak melanjutkan
perjanjian tersebut.55
Undang-Undang Kepailitan juga memberikan hak kepada pihak
kreditor dan/atau pihak-pihak lainnya yang berkepentingan untuk
memintakan permohonan pembatalan atas perbuatan-perbuatan hukum
debitor pailit yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan, yang bersifat merugikan, baik harta pailit secara
keseluruhan maupun terhadap kreditor konkuren tertentu.Hal yang
penting untuk ditekankan di sini adalah bahwa perjanjian atau
perbuatan hukum tersebut bersifat dapat dibatalkan dan bukan batal
demi hukum. Hal ini harus kita kembalikan kepada prinsip dasar dari
54
Pasal 36 ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
55
sahnya suatu perjanjian, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal
1320 KUH Perdata jo. 1338 KUH Perdata dan Pasal 1341 KUH
Perdata.Ini berarti perjanjian dan atau perbuatan hukum yang dapat
dibatalkan adalah perjanjian yang tidak memenuhi syarat kecakapan
dan ketiadaan kesepakatan, serta perjanjian yang tidak diwajibkan
yang dibuat tidak dengan itikad baik yang merugikan kepentingan
kreditor.56
b. Perjanjian penyerahan barang
Perjanjian timbal balik untuk menyerahkan benda dagangan yang
biasa diperdagangkan, dimana penyerahan barang tersebut akan
dilaksanakan pada suatu jangka waktu dan pihak yang harus
menyerahkan benda tersebut sebelum penyerahan dilaksanakan
dinyatakan pailit maka perjanjian menjadi hapus dengan diucapkannya
putusan pernyataan pailit, dan dalam hal pihak lawan dirugikan karena
penghapusan maka yang bersangkutan dapat mengajukan diri sebagai
kreditor konkuren untuk mendapatkan ganti rugi. Selanjutnya, jika
dengan berakhirnya perikatan tersebut harta pailit dirugikan, maka
pihak lawan wajib membayar ganti kerugian tersebut.57
c. Perjanjian kerja
Pekerja yang bekerja pada Debitor dapat memutuskan hubungan
kerja, dan sebaliknya Kurator dapat memberhentikannya dengan
56
Ibid, hal. 90.
57
mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, dengan pengertian bahwa
hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan
paling singkat 45 (empat lima) hari sebelumnya. Sejak tanggal putusan
pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun
sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta
pailit.58Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja, Kurator tetap
berpedoman pada peraturan perundangundangan di bidang
ketenagakerjaan. Sedangkan yang dimaksud dengan "upah" adalah hak
pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja atas suatu pekerjaan atas
jasa yang telah atau akan dilakukan, ditetapkan, dan dibayarkan
menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarga.59
Terkait dengan kedudukan pekerja, Menurut Joseph E. Stiglitz
sebagaimana dikutip oleh Zulkarnain Sitompul, hukum kepailitan
harus mengandung tiga prinsip.Pertama, peran utama kepailitan dalam
ekonomi kapitalis modern adalah untuk menggalakkan reorganisasi
perusahaan.Hukum Kepalitan harus memberikan waktu cukup bagi
perusahaan untuk melakukan pembenahan perusahaan.Kedua,
meskipun tidak dikenal hukum kepailitan yang berlaku universal dan
58
Pasal 39 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
59
ketentuan kepailitan telah berkembang dari waktu ke waktu seiring
dengan perubahan keseimbangan politik diantara para pelaku,
transformasi struktural perekonomian dan perkembangan sejarah
masyarakat, namun setiap hukum kepailitan bertujuan
menyeimbangkan beberapa tujuan termasuk melindungi hak-hak
kreditur dan menghindari terjadinya likuidasi premature. Ketiga,
Hukum kepailitan mestinya tidak hanya memperhatikan kreditur dan
debitur tetapi yang lebih penting lagi adalah memperhatikan
kepentingan stakeholder yang dalam kaitan ini yang terpenting adalah
pekerja.Ketentuan kepailitan memang telah memberikan hak istimewa
untuk pembayaran gaji buruh yang terutang.Akan tetapi bagaimana
dengan hak-hak buruh lainnya.Disamping itu juga perlu dilihat apakah
pailit menimbulkan dampak luas bagi konsumen atau menyebabkan
terjadinya dislokasi ekonomi yang buruk.Singkat kata, kepailitan
adalah ultimum remedium, upaya terakhir.60
d. Perjanjian pembayaran utang
Jika sebelum putusan pailit dijatuhkan, debitor telah melakukan
pembayaran utangnya kepada kreditor tertentu, maka pembayaran
utang tersebut dapat dibatalkan apabila:
60
1) Dapat dibuktikan bahwa penerima pembayaran mengetahui
bahwa permohonan pernyataan pailit debitor sudah
didaftarkan.
2) Pembayaran tersebut merupakan persengkongkolan antara
debitor Antara debitor dan kreditor dengan maksud untuk
menguntungkan bagi kreditor tersebut melebihi
kreditor-kreditor lainnya.61
Ketentuan pembayaran utang dalam Pasal 45 Undang-Undang
No. 37 Tahun 2004 ini berbeda dengan action paulina, karena dalam
action paulina, yang hanya dapat dibatalkan adalah perbuatan yang
tidak diwajibkan undang-undang. Sedangkan utang seperti yang
dimaksud dalam Pasal 45 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 ini
adalah perbuatan yang diwajibkan udang-undang.
e. Terhadap penjualan surat berharga
Pembayaran yang telah diterima oleh pemegang surat pengganti
atau surat atas tunjuk yang karena hubungan hukum dengan pemegang
terdahulu wajib menerima pembayaran, pembayaran tersebut tidak
dapat diminta kembali. Oleh karena pembayaran tidak dapat diminta
kembali, orang yang mendapat keuntungan sebagai akibat
diterbitkannya surat pengganti atau surat atas tunjuk, wajib
mengembalikan kepada harta pailit jumlah uang yang telah dibayar
oleh Debitor apabila:
61
1) dapat dibuktikan bahwa pada waktu penerbitan surat
tersebut yang bersangkutan mengetahui bahwa permohonan
pernyataan pailit Debitor sudah didaftarkan; atau
2) penerbitan surat tersebut merupakan akibat dari
persekongkolan antara Debitor dan pemegang pertama.62
f. Pembayaran kepada debitor pailit akibat perikatan
Setiap orang yang sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan
tetapi belum diumumkan, membayar kepada Debitor Pailit untuk
memenuhi perikatan yang terbit sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan, dibebaskan terhadap harta pailit sejauh tidak dibuktikan
bahwa yang bersangkutan mengetahui adanya putusan pernyataan
pailit tersebut. Pembayaran yang dilakukan sesudah putusan
pernyataan pailit diumumkan, tidak membebaskan terhadap harta pailit
kecuali apabila yang melakukan dapat membuktikan bahwa
pengumuman putusan pernyataan pailit yang dilakukan menurut
undang-undang tidak mungkin diketahui di tempat
tinggalnya.Pembayaran yang dilakukan kepada Debitor Pailit,
membebaskan Debitornya terhadap harta pailit, jika pembayaran itu
menguntungkan harta pailit.63
g. Perjumpaan utang
62
Pasal 46 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
63
Salah satu alasan hapusnya perikatan adalah karena adanya
perjumpaan utang.64
“Perjumpaan hanya terjadi antara dua utang yang dua-duanya
berpokok sejumlah utang, atau sejumlah barang-barang yang
dapat dihabiskan dan jenis yang sama, dan yang dua-duanya
dapat diselesaikan dan ditagih seketika. . .”
Dalam rumusan Pasal 1425 KUH Perdata jo.
Pasal 1426 KUH Perdata dikatakan bahwa jika antara dua orang
(pihak) saling berutang maka terjadilah perjumpaan utang diantara
mereka, yang menghapuskan utang-utang yang ada di antara mereka,
pada saat itu secara timbal balik untuk suatu jumlah yang sama. Pasal
1427 KUH Perdata menyebutkan bahwa:
Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan terjadinya
perjumpaan utang pihak yang ditanggungnya dengan kreditur utang
tersebut.Namun demikian perjumpaan hanya dapat dilakukan antara
masing-masing pihak yang secara langsung memiliki utang terhadap
lainnya.Seseorang tidak diperbolehkan memperjumpakan utang
miliknya dengan piutang pihak ketiga, meskipun utang terebut
merupakan utang yang lahir dari suatu perikatan tanggung
menanggung, dan pihak ketiga yang memiliki piutang adalah pihak
dalam perikatan tanggung menanggung tersebut. Perjumpaan terjadi
demi hukum, bahkan tanpa setahu debitur, dan kedua utang itu saling
menghapuskan pada saat utang itu bersama-sama ada, bertimbal balik
64
untuk jumlah yang sama.65Bahkan semua penundaan pembayaran
kepada seseorang tidak menghalangi suatu perjumpaan utang.66
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 juga mengenal adanya
sistem perjumpaan utang yang dimuat di dalam Pasal 51 ayat (1).
Dalam rumusan tersebut, secara tegas dikatakan bahwa:
“Setiap orang yang mempunyai utang atau piutang terhadap Debitor Pailit, dapat memohon diadakan perjumpaan utang, apabila utang atau piutang tersebut diterbitkan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, atau akibat perbuatan yang dilakukannya dengan Debitor Pailit sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.”
Dari rumusan tersebut dapat kita ketahui esensi pokok dari setiap
perjumpaan utang dalam rangka pemberesan harta pailit adalah bahwa
utang dan piutang yang aka diperjumpakan haruslah telah ada sebelum
pernyataan pailit diputusan.
Setiap orang yang telah mengambil alih suatu utang atau piutang
dari pihak ketiga sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, tidak
dapat memohon diadakan perjumpaan utang, apabila sewaktu
pengambilalihan utang atau piutang tersebut, yang bersangkutan tidak
beritikad baik.Sedangkan semua utang piutang yang diambil alih
setelah putusan pernyataan pailit diucapkan, tidak dapat
diperjumpakan.67
65
Pasal 1426 Kitab Undanng-Undang Hukum Perdata
66
Pasal 1428 Kitab Undanng-Undang Hukum Perdata
67
Bagi mereka yang mempunyai utang kepada Debitor Pailit, yang
hendak menjumpakan utangnya dengan suatu piutang atas tunjuk atau
piutang atas pengganti, wajib membuktikan bahwa pada saat putusan
pernyataan pailit diucapkan, orang tersebut dengan itikad baik sudah
menjadi pemilik surat atas tunjuk atau surat atas pengganti tersebut.68
h. Terhadap sekutu debitor pailit.
Setiap orang yang dengan Debitor Pailit berada dalam suatu
persekutuan yang karena atau selama kepailitan dibubarkan, berhak
untuk mengurangi bagian dari keuntungannya yang pada waktu
pembagian diadakan jatuh kepada Debitor Pailit, dengan kewajiban
Debitor Pailit untuk membayar utang persekutuan.69
i. Hak retensi
Kreditor yang mempunyai hak untuk menahan benda milik
Debitor, tidak kehilangan hak karena ada putusan pernyataan
pailit.70Hak untuk menahan atas benda milik Debitor berlangsung
sampai utangnya dilunasi.71
68
Pasal 53 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Ketentuan ini tidak memberikan hak
kepada kreditur untuk mengeksekusi kebendaan tersebut sebagaimana
halnya seorang kreditur untuk mengeksekusi dengan jaminan
preferens, namun demikian jika kurator bermaksud untuk “menebus”
69
Pasal 54 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
70
Pasal 61 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
71
kebendaan tersebut, maka kurator wajib melunasi utang debitor pailit
tersebut terlebih dahulu.72
2. Akibat kepailitan terhadap warisan yang terbuka
Undang-undang memberikan ketentuan khusus atas segala warisan
yang jatuh kepada debitur pailit selama kepailitan berlangsung.Kurator oleh
undang-undang tidak diperkenankan untuk menerima warisan tersebut,
kecuali apabila menguntungkan harta pailit.Jika kurator bermaksud untuk
menolak warisan, maka kurator memerlukan kuasa dari Hakim Pengawas.73
3. Akibat kepailitan terhadap suami atau isteri
Pernyataan pailit bukan saja berkaitan dengan diri debitor pailit saja,
tetapi juga berpengaruh pada diri suami atau istri. Pasal 23 Undang-Undang
No. 37 Tahun 2004 menentukan bahwa “Debitor Pailit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 meliputi istri atau suami dari Debitor
Pailit”.Konsekuensi dari pasal tersebut adalah suami atau istri yang kawin
dengan persatuan harta artinya seluruh harta suami atau istri yang termasuk
dalam persatuan harta perkawinan juga terkena sita umum dalam kepailitan
dan otomatis masuk ke dalam boedel pailit.
Ketentuan ini dapat dikecualikan terhadap benda-benda sebagaimana
yang ditentukan di dalam Pasal 62 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
yaitu:
72
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan, Rajawali Press, Jakarta, 2004, hal. 45.
73
1) Dalam hal suami atau istri dinyatakan pailit maka istri atau
suaminya berhak mengambil kembali semua benda bergerak dan
tidak bergerak yang merupakan harta bawaan dari istri atau
suami dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah
atau warisan.
2) Jika benda milik istri atau suami telah dijual oleh suami atau istri
dan harganya belum dibayar atau uang hasil penjualan belum
tercampur dalam harta pailit maka istri atau suami berhak
mengambil kembali uang hasil penjualan tersebut.
3) Untuk tagihan yang bersifat pribadi terhadap istri atau suami maka
Kreditor terhadap harta pailit adalah suami atau istri.
Istri atau suami tidak berhak menuntut atas keuntungan yang
diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan kepada harta pailit suami atau
istri yang dinyatakan pailit, demikian juga Kreditor suami atau istri yang
dinyatakan pailit tidak berhak menuntut keuntungan yang diperjanjikan
dalam perjanjian perkawinan kepada istri atau suami yangdinyatakan
pailit.74
Kepailitan suami atau istri yang kawin dalam suatu persatuan harta,
diperlakukan sebagai kepailitan persatuan harta tersebut. Dengan tidak
mengurangi pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, maka kepailitan tersebut meliputi semua benda
yang termasuk dalam persatuan, sedangkan kepailitan tersebut adalah untuk
74
kepentingan semua Kreditor, yang berhak meminta pembayaran dari harta
persatuan. Dalam hal suami atau istri yang dinyatakan pailit mempunyai
benda yang tidak termasuk persatuan harta maka benda tersebut termasuk
harta pailit, akan tetapi hanya dapat digunakan untuk membayar utang
pribadi suami atau istri yang dinyatakan pailit.75
C. Hak Eksekutorial Kreditor Separatis dalam Hukum Kepailitan
Kegiatan pinjam-meminjam barang merupakan suatu kegiatan yang sudah
lazim dilakukan oleh masyarakat untuk mendukung perkembangan kegiatan
perekonomian dan untuk meningkatkan taraf hidup.Ketika terjadi wanprestasi
dalam pengembalian uang pinjaman, maka disinilah perlunya peranan hukum
jaminan. Dalam hukum positif di Indonesia terdapat peraturan
perundang-undangan yang memuat ketentuan-ketentuan yang secara khusus mengatur
tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan utang, antara lain mengenai
prinsip-prinsip hukum jaminan, lembaga-lembaga jaminan, objek jaminan utang,
penanggungan utang dan sebagainya. Beberapa prinsip hukum jaminan
sebagaimana yang diatur oleh ketentuan-ketentuan KUH Perdata adalah sebagai
berikut:76
1. Kedudukan harta pihak peminjam
Pasal 1131 KUH Perdata mengatur tentang kedudukan harta pihak
peminjam, yaitu bahwa harta pihak peminjam adalah sepenuhnya
75
Pasal 64 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
76
merupakan jaminan (tanggungan) atas utangnya. Pasal 1131 KUH Perdata
menetapkan bahwa semua harta pihak peminjm, baik yng berupa harta
bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang
akan ada di kemudian hari merupakan jaminan atas perikatan utang piutang
pihak peminjam.
Ketentuan pasal 1131 KUH Perdata merupakan salah satu ketentuan
pokok dalam hukum jaminan, yaitu mengatur tentang kedudukan harta pihak
yang berutang (pihak peminjam) atas perikatan utangnya. Berdasarkan
ketentuan pasal 1131 KUH Perdata pihak pemberi pinjaman akan dapat
menuntut lunas pihak peminjam dari semua harta yang bersangkutan,
termasuk harta yang masih akan dimilikinya dikemudin hari. Pihak pemberi
pinjaman mempunyai hak menuntut pelunasan utng dari harta yang akan
diperoleh oleh pihak peminjam di kemudian hari.
2. Kedudukan pihak pemberi pinjaman
Berdasarkan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata dapat disimpulkan
bahwa kedudukan pihak pemberi pinjaman dapat dibedakan atas dua
golongan yaitu:
a. Kreditor yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan
piutang masing-masing; dan
b. Pihak yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak
pemberi pinjaman yang lain berdasarkan suatu peraturan
Pasal 1132 KUH Perdata menetapkan bahwa harta pihak peminjam
menjadi jaminan bersama bagi semua pihak pemberi pinjaman, hasil
penjualan harta tersebut dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut
besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara pihak
pemberi pinjaman itu mempunyai alasan yang sah untuk didahulukan. Pihak
pemberi pinjaman mempunyai kedudukan didahulukan lazim disebut
kreditor separatis dan kreditor preferen sedangkan pinjaman yang
mempunyai hak berimbang disebut kreditor konkuren.
Mengenai alasan yang sah untuk didahulukan sebagaimana yang
tercantum pada bagian akhir ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata adalah
berdasarkan ketentuan dari peraturan perundang-undangan, antara lain
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan Pasal 1133 KUH Perdata, yaitu
dalam hal jaminan utang diikat melalui lembaga gadai atau hipotik.
Kedudukan kreditor yang didahulukan juga ditetapkan oleh ketentuan
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 mengenai Hak Tanggungan dan
ketentuan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 mengenai Jaminan Fidusia.
Pemegang hak tanggungan dan pemegang jaminan fidusia mempunyai hak
didahulukan dari kreditor lainnya untuk memperoleh pelunasan piutangnya
dari hasil pencarian (penjualan) jaminan utang yang diikat dengan hak
tanggungan atau jaminan fidusia.
3. Larangan memperjanjikan pemilikan objek jaminan utang oleh pihak
Pihak pemberi pinjaman dilarang memperjanjikan akan memiliki objek
jaminan utang bila pihak peminjam ingkar janji (wanprestasi). Ketentuan yang
demikian diatur oleh Pasal 1154 KUH Perdata tentang Gadai, Pasal 1178 KUH
Perdata tentang Hipotik. Larangan yang sama terdapat pula dalam ketentuaan
peraturan perundang-undangan lain, yaitu pada Pasal 12 Undang-Undang No. 4
Tahun 1996 mengenai Hak Tanggungan dan Pasal 33 Undang-Undang No. 42
Tahun 1999 mengenai Jaminan Fidusia.
Larangan bagi pihak pemberi pinjaman untuk memperjanjikan akan
memiliki objek jaminan utang sebagaimana yang ditetapkan dalam
ketentuan-ketentuan lembaga jaminan tersebut tetunya akan melindungi kepentingan pihak
peminjam dan pihak pemberi pinjaman lainnya, terutama bila nilai objek jaminan
melebihi besarnya utang yang dijamin. Pihak pemberi pinjaman yang mempunyai
hak berdasarkan ketentuan lembaga jaminan dilarang secara serta merta menjadi
pemilik objek jaminan utang bila pihak peminjam ingkar janjji.
Ketentuan-ketentuan seperti tersebut di atas tentunya akan dapat mencegah tindakan
sewenang-wenang pihak pemberi pinjaman yang akan merugikan pihak
peminjam.
Harmonisasi hukum jaminan terhadap hukum kepailitan juga perlu
dilakukan.Oleh karena itu semua ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam hukum
jaminan berlaku juga di dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Sebagaimana yang diatur di dalam hukum jaminan yang membagi kreditor
tersebut. Golongan kreditor yang dikenal di dalam Undang-Undang No. 37 Tahun
2004 yaitu:77
•Golongan Khusus (Separatis) yaitu golongan yang memegang hak hipotik,
hak gadai, hak tanggungan, dan hak fidusia.
•Golongan istimewa (Privilege/Preferen) yaitu golongan kreditur yang
kedudukan utangnya mempunyai kedudukan yang istimewa dengan
memiliki hak untuk mendapatkan pelunasan lebih dahulu dari hasil
penjualan lelang harta pailit. Golongan yang dimaksud diatur di dalam
Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUH Perdata.78
•Golongan konkuren yaitu kreditur-kreditur yang tidak termasuk dalam
golongan khusus/istimewa. Pelunasan piutang mereka dicukupkan
dengan sisa hasil penjualan/pelelangan harta pailit sesudah diambil
bagian golongan khusus dan istimewa.
Terhadap kreditur separatis ini diberikan hak mendahulu kepada kreditor,
pemegang hak jaminan kebendaan tersebut, untuk memperoleh pelunasan atas
utang-utang debitor, dengan cara menjual secara lelang kebendaan yang
dijaminkan kepada kreditor tersebut untuk memperoleh pelunasan secara
mendahulukan. Pemegang hak dapat melaksanakan haknya sebagaimana yang
ditetapkan pada Pasal 1178 KUH Perdata, yaitu menjual benda jaminan.
77
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Kewajiban Penundaan Pembayaran Utang.
78
Ketentuan di atas juga berlaku di dalam Pasal 55 ayat (1) jo. Pasal 61
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 yang mengakui adanya hak mendahulukan
dari kreditor separatis.
Pasal 55
“Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.”
Pasal 61
“Kreditor yang mempunyai hak untuk menahan benda milik Debitor,
tidak kehilangan hak karena ada putusan pernyataan pailit.”
Walaupun demikian, ketentuan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang No. 37
Tahun 2004 menyatakan “dalam hal penagihan suatu piutang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 136 dan Pasal 137 maka mereka hanya dapat berbuat
demikian setelah dicocokkan penagihannya dan hanya untuk mengambil
pelunasan dari jumlah yang diakui dari penagihan tersebut.”
Frasa “seolah-olah tidak terjadi kepailitan”, tidak berarti bahwa benda yang
diikat dengan jaminan kebendaan tertentu menjadi kebal dari kepailitan
(“Bankrupcty Proof”).Benda tersebut tetap merupakan bagian dari harta pailit,
namun kewenangan eksekusinya diberikan kepada kreditor pemegang jaminan
kebendaan tersebut.Inilah dasar hubungan hukum antara hukum kepailitan dan
hukum jaminan.79
79
Yulius Setiarto, Hak Eksekutorial Kreditor Separatis,
Hak mendahulukan dari kreditur separatis bukan secara otomatis
mengizinkan mereka mengeksekusi benda-benda yang dijaminkan, melainkan
kepada kreditur separatis diberikan waktu tunggu.Hak eksekusi kreditur separatis
tersebut ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilah puluh) hari
sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.Penangguhan tidak berlaku
terhadap tagihan Kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak Kreditor untuk
memperjumpakan utang.80
Penangguhan yang dimaksud dalam ketentuan ini bertujuan, antara lain:
− untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian; atau
− untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit; atau
− untuk memungkinkan Kurator melaksanakan tugasnya secara optimal.
Namun, dalam hal ini terdapat perbedaan antara penangguhan (stay) dalam
kepailitan dengan (stay) dalam PKPU yaitu:
1. Dalam kepailitan, lamanya penangguhan ini adalah 90 (Sembilan
puluh) hari sejak kepailitan ditetapkan, sedangkan dalam PKPU,
lamanya penangguan itu adalah 270 (dua ratus tujuh puluh) hari;
2. Dalam kepailitan yang ditangguhkan eksekusinya adalah hak gadai,
jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas
kebendaan lainnya, kecuali tagihan kreditor yang dijamin dengan uang
tunai dan hak kreditor untuk memperjumpakan utang. Sedangkan
dalam PKPU, yang ditangguhkan eksekusinya adalah kreditor yang
memegang agunan sebagaimana yang disebut di dalam Pasal 5
80
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, namun tidak ada pengecualian
terhadap tagihan kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak
kreditor untuk memperjumpakan utangnya.
3. Dalam PKPU tidak ditangguhkan eksekusi oleh pihak ketiga untuk
menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor yang pailit
atau kurator, walaupun hal ini termasuk dalam ketentuan Pasal 56 ayat
(1) Undang-Undanng No. 37 Tahun 2004.
4. Dalam kepailitan, kreditor yang mempunyai hak untuk didahulukan
tidak ditunda eksekusinya, sedangkan dalam PKPU, hak kreditor
tersebut ditunda eksekusinya.81
Selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala tuntutan hukum
untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam
sidang badan peradilan, dan baik Kreditor maupun pihak ketiga dimaksud dilarang
mengeksekusi atau memohonkan sita atas benda yang menjadi agunan.82
Selama jangka waktu penangguhan, Kurator dapat menggunakan harta pailit
berupa benda tidak bergerak maupun benda bergerak atau menjual harta pailit
yang berupa benda bergerak yang berada dalam penguasaan Kurator dalam rangka
kelangsungan usaha Debitor, dalam hal telah diberikan perlindungan yang wajar
bagi kepentingan Kreditor atau pihak ketiga.
Perlindungan dimaksud, antara lain, dapat berupa:
1. ganti rugi atas terjadinya penurunan nilai harta pailit;
81
Sunarmi, Op. Cit., hal. 118.
82
2. hasil penjualan bersih;
3. hak kebendaan pengganti; atau
4. imbalan yang wajar dan adil serta pembayaran tunai (utang yang
dijamin) lainnya.
Jangka waktu sebagaimana dimaksud tersebut berakhir demi hukum pada
saat kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun
2004.Kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan dapat mengajukan
permohonan kepada Kurator untuk mengangkat penangguhan atau mengubah
syarat penangguhan tersebut.Apabila Kurator menolak permohonan tersebut,
kreditor atau pihak ketiga dapat mengajukan permohonan tersebut kepada Hakim
Pengawas. Hakim Pengawas dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari setelah
permohonan sebagaimana dimaksud di atas, wajib memerintahkan Kurator untuk
segera memanggil dengan surat tercatat atau melalui kurir, Kreditor dan pihak
ketiga datang untuk didengar pada sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut.
Hakim Pengawas wajib memberikan penetapan atas permohonan dalam waktu
paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah permohonan diajukan kepada Hakim
Pengawas.
Dalam memutuskan permohonan, Hakim Pengawas mempertimbangkan:
1. lamanya jangka waktu penangguhan yang sudah berlangsung;
2. perlindungan kepentingan Kreditor dan pihak ketiga dimaksud;
4. dampak penangguhan tersebut atas kelangsungan usaha dan
manajemen usaha Debitor serta pemberesan harta pailit.83
Penetapan Hakim Pengawas atas permohonan untuk mengangkat
penangguhan atau mengubah syarat penangguhan tersebut dapat berupa
diangkatnya penangguhan untuk satu atau lebih Kreditor, dan/atau menetapkan
persyaratan tentang lamanya waktu penangguhan, dan/atau tentang satu atau
beberapa agunan yang dapat dieksekusi oleh Kreditor.Apabila Hakim Pengawas
menolak untuk mengangkat atau mengubah persyaratan penangguhan tersebut,
Hakim Pengawas wajib memerintahkan agar Kurator memberikan perlindungan
yang dianggap wajar untuk melindungi kepentingan pemohon.
Terhadap penetapan Hakim Pengawas, Kreditor atau pihak ketiga yang
mengajukan permohonan atau Kurator dapat mengajukan perlawanan kepada
Pengadilan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah putusan
diucapkan, dan Pengadilan wajib memutuskan perlawanan tersebut dalam jangka
waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah perlawanan tersebut diterima.
Terhadap putusan Pengadilan tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum apapun
termasuk peninjauan kembali.84
Dengan tetap memperhatikan ketentuan di atas, Kreditor separatis harus
melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan
setelah dimulainya keadaan insolvensi. Setelah lewat jangka waktu 2 (dua) bulan,
Kurator harus menuntut diserahkannya benda yang menjadi agunan untuk
83
Pasal 58 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitian dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
84
selanjutnya dijual sesuai dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, tanpa mengurangi hak Kreditor pemegang
hak tersebut atas hasil penjualan agunan tersebut. Setiap waktu Kurator dapat
membebaskan benda yang menjadi agunan dengan membayar jumlah terkecil
antara harga pasar benda agunan dan jumlah utang yang dijamin dengan benda
agunan tersebut kepada Kreditor yang bersangkutan.85
Kreditor separatis yang melaksanakan haknya, wajib memberikan
pertanggungjawaban kepada Kurator tentang hasil penjualan benda yang menjadi
agunan dan menyerahkan sisa hasil penjualan setelah dikurangi jumlah utang,
bunga, dan biaya kepada Kurator. Atas tuntutan Kurator atau Kreditor yang
diistimewakan yang kedudukannya lebih tinggi daripada Kreditor separatis, maka
Kreditor separatis tersebut wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan tersebut
untuk jumlah yang sama dengan jumlah tagihan yang diistimewakan. Dalam hal
hasil penjualan tidak cukup untuk melunasi piutang yang bersangkutan, Kreditor
pemegang hak tersebut dapat mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan
tersebut dari harta pailit sebagai kreditor konkuren, setelah mengajukan
permintaan pencocokan piutang.86
D. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit
85
Pasal 59 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitian dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
86
Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan debitur
untuk kepentingan semua krediturnya.Tujuan kepailitan adalah pembagian
kekayaan debitur oleh kurator kepada semua kreditur dengan memperhatikan
hak-hak mereka masing-masing.Fred B.G. Tumbuan menyatakan, bahwa melalui sita
umum tersebut dihindari dan diakhiri sita dan eksekusi oleh para kreditur secara
sendiri-sendiri.87Dengan demikian para kreditur harus bertindak secara
bersama-sama (concursus creditorum88
Dengan dinyatakan pailit maka seorang debitur pailit tidak memiliki
kewenangan apapun lagi atas seluruh harta kekayaannya baik yang sudah ada
maupun yang akan diterimanya selama kepilitan itu berlangsung.
) sesuai dengan asas sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata.
Kepailitan itu sendiri mencakup :
1. Seluruh kekayaan si pailit pada saat dia dinyatakan pailit (dengan
beberapa pengecualian untuk si pailit perorangan) serta asset-asset
yang diperoleh selama kepailitannya.
2. Hilangnya wewenang si pailit untuk mengurus dan mengalihkan hak
atas kekayaannya yang termasuk harta kekayaan.89
Seluruh kewenangan debitur pailit untuk mengurus seluruh harta
kekayaanya tersebut tersebut selanjutnya beralih kepada kurator. Kurator adalah
87
Fred B.G. Tumbuan, Pokok-pokok Undang-Undang tentang Kepailitan sebagaimana diubah oleh PERPU No. 1/1998 , dalam Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2004, hal.3.
88
Concursus creditorum diartikan sebagai keberadaan dua atau lebih kreditor yang merupakan syarat bagi kepailitan.
89
Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan
untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan
Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004.90
Kurator menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 dapat berasal dari
balai harta peninggalan atau kurator lainnya. Sementara itu yang dapat menjadi
kurator lainnya adalah :
Kurator
yang diangkat haruslah independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan
dengan Debitor atau Kreditor.
a.orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian
khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau
membereskan harta pailit; dan
b. terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan.
Pengadilan setiap waktu dapat mengabulkan usul penggantian Kurator,
setelah memanggil dan mendengar Kurator, dan mengangkat Kurator lain
dan/atau mengangkat Kurator tambahan atas:
1. permohonan Kurator sendiri;
2. permohonan Kurator lainnya, jika ada;
3. usul Hakim Pengawas; atau
4. permintaan Debitor Pailit.
Pengadilan harus memberhentikan atau mengangkat Kurator atas
permohonan atau atas usul kreditor konkuren berdasarkan putusan rapat Kreditor
90
yang diselenggarakan dengan persyaratan putusan tersebut diambil berdasarkan
suara setuju lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah kreditor konkuren atau kuasanya
yang hadir dalam rapat dan yang mewakili lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah
piutang kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.91
Berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, Kurator sejak diangkat
sebagai pihak yang melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit
mempunyai tugas pokok sebagai berikut:
1. Dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah tanggal
putusan pernyataan pailit diterima oleh Kurator dan Hakim Pengawas,
Kurator mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan
paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh Hakim
Pengawas. (Pasal 15 ayat (4))
2. Kurator wajib mengumumkan putusan kasasi atau peninjauan kembali
yang membatalkan putusan pailit dalam Berita Negara Republik
Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian. (Pasal 17 ayat
(1))
3. Melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan
menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek dan surat
berharga lainnya dengan memberikan tanda terima. (Pasal 98)
4. Membuat pencatatan harta pailit paling lambat dua hari setelah
menerima surat putusan pengangkatan sebagai kurator. (Pasal 100 ayat
(1))
91
5. Membuat daftar yang menyatakan sifat, jumlah piutang dan utang
harta pailit, serta nama dan tempat tinggal kreditur beserta jumlah
piutang masing-masing kreditur. (Pasal 102)
6. Berdasarkan persetujuan panitia kreditur sementara, kurator dapat
melanjutkan usaha debitur yang dinyatakan pailit walaupun terhadap
putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan
kembali. (Pasal 104)
7. Menyimpan sendiri uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya
kecuali apabila oleh hakim pengawas ditentukan lain. (Pasal 108 ayat
(1))
8. Melakukan rapat pencocokan perhitungan (verifikasi) piutang yang
diserahkan oleh kreditur dengan catatan yang telah dibuat sebelumnya
dan keterangan debitur pailit, maupun berunding dengan kreditur jika
terdapat keberatan terhadap penagihan yang diterima. (Pasal 116 ayat
(1))
9. Membuat daftar piutang yang sementara diakui sedangkan piutang
yang dibantah termasuk alasannya dimasukkan ke dalam daftar
tersendiri. (Pasal 117)
Dalam melaksanakan tugasnya, kurator:
1. Tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan
pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau salah satu organ
debitur, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau
2. Dapat melakukan pinjaman dari phak ketiga, hanya dalam rangka
meningkatkan nilai harta pailit.92
3. Kurator harus terlebih dahulu mendapat izin dari Hakim Pengawas
untuk menghadap di sidang Pengadilan, kecuali menyangkut sengketa
pencocokan piutang atau dalam hal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang
No. 37 Tahun 2004.93
Dalam melakukan pinjaman dari pihak ketiga Kurator perlu membebani
harta pailit dengan gadai, Jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak
agunan atas kebendaan lainnya maka pinjaman tersebut harus terlebih dahulu
memperoleh persetujuan Hakim Pengawas. Pembebanan harta pailit dengan gadai,
jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan, hanya dapat dilakukan
terhadap bagian harta pailit yang belum dijadikan jaminan utang.
Setelah adanya putusan pernyataan pailit dan dalam rapat pencocokan
piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang
ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit
berada dalam keadaan insolvensi.94
Setelah harta pailit berada dalam keadaan insolvensi maka Hakim Pengawas
dapat mengadakan suatu rapat Kreditor pada hari, jam, dan tempat yang
92
Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
93
Pasal 69 ayat (5) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
94
ditentukan untuk mendengar mereka seperlunya mengenai cara pemberesan harta
pailit.95Apabila Hakim Pengawas berpendapat terdapat cukup uang tunai, Kurator
diperintahkan untuk melakukan pembagian kepada Kreditor yang piutangnya
telah dicocokkan.96
Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian
atau jika rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, Kurator atau
Kreditor yang hadir dalam rapat dapat mengusulkan supaya perusahaan Debitor
Pailit dilanjutkan.97Usul untuk melanjutkan perusahaan, wajib diterima apabila
usul tersebut disetujui oleh Kreditor yang mewakili lebih dari 1/2 (satu perdua)
dari semua piutang yang diakui dan diterima dengan sementara, yang tidak
dijamin dengan hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak
agunan atas kebendaan lainnya.98Atas permintaan Kreditor atau Kurator, Hakim
Pengawas dapat memerintahkan supaya kelanjutan perusahaan dihentikan.99
Keuntungan yang diperoleh dengan diteruskannya perusahaan pailit yaitu:
1. Dapat menambah harta pailit dengan keuntungan-keuntungan yang
mungkin diperoleh dari perusahaan itu;
2. Ada kemungkinan lambat laun si pailit akan dapat membayar utangnya
secara penuh;
95
Pasal 187 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
96
Pasal 188 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
97
Pasal 179 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
98
Pasal 180 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
99
3. Kemungkinan tercapainya perdamaian (akkoord).100
Setelah itu, kurator harus memulai pemberesan dan menjual semua harta
pailit. Semua benda harus dijual di muka umum sesuai dengan tata cara yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal penjualan di umum
tidak tercapai maka penjualan di bawah tangan dapat dilakukan dengan izin hakim
pengawas.
100
BAB IV
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SITA UMUM DALAM HUKUM KEPAILITAN
A. Kewenangan Pengadilan Niaga dalam Mengadili Kasus Kepailitan
Perkembangan perekonomian dunia yang bergerak ke arah perdagangan
bebas berpengaruh terhadap perubahan sistem di setiap Negara termasuk di
dalamnya adalah sistem peradilan.Peradilan juga tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan ekonomi. Hal ini diungkapkan Hilario G. Davide Jr. (Chief
Justices of the Court of the Republic of the Philipines), “Globalisasi adalah
pergerakan ekonomi dari masa depan. Dunia global menyodorkan banyak
kesempatan untuk mencapai peradilan independen.Dalam kalimat yang senapas,
hal itu juga mengandung jebakan riil yang akan megikis independensi peradilan
itu sendiri.”101
Banyak Negara, khususnya Negara berkembang, harus menyesuaikan diri
dan memperbaharui sistem peradilan mereka, karena desakan kebutuhan
internasional dalam menghadapi era perdagangan bebas. Kondisi ini ditenggarai
sebagai salah satu faktor pendorong perbaikan instrument badan peradilan di
Negara berkembang, termasuk Indonesia.Resesi ekonomi yang melanda dunia dan
banyaknya pelaku usaha yang tidak melunasi utangnya pada tanggal jatuh tempo,
telah memperparah keterpurukan ekonomi Indonesia pada tahun 1997. Untuk
memperbaiki kondisi tersebut, maka pada tahun 1998 dibentuk dan diberlakukan
Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
101
Pengganti Undang No 1 tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Kepailitan menjadi Undang-Undang-Undang-Undang.
Di samping itu, penyelesaian perkara perniagaan (kepailitan) yang
sebelumnya menjadi kewenangan pengadilan negeri dianggap kurang efektif. Hal
ini disebabkan juga tidak adanya lagi kepercayaan masyarakat (termasuk di
antaranya penanam modal asing) kepada sistem peradilan di Indonesia. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas) pada tahun 1996 menunjukkan banyaknya korupsi dan kurangnya
pengetahuan undang-undang (incompetency) di kalangan para hakim pengadilan
yang memeriksa perkara perniagaan. Kelemahan ini ditambah pula dengan
pengadilan yang tidak cakap dalam memberikan keputusan.Pengadilan negeri
yang memeriksa perkara kepailitan pada waktu itu dirasa kurang efektif
menyelesaikan perkara kepailitan ketika krisis ekonomi melanda Indonesia.Oleh
karena itu, atas usulan dan desakan Dana Keuangan Internasional (IMF) maka
dibentuk pengadilan niaga.102
Undang-Undang No.4 Tahun 1998 merupakan embrio lahirnya Pengadilan
Niaga di Indonesia. Pengadilan Niaga berasal dari dua kata yaitu “Pengadilan”
dan “Niaga”. Pengadilan menurut WJS Poerwodarminto dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia berarti Dewan yang mengadili perkara.Karena itu perlu
dibedakan dengan Peradilan yang berarti segala sesuatu mengenai perkara
Pengadilan.Sehingga karena itu dapat disimpulkan bahwa Pengadilan adalah
institusi yang bertugas menerima, memeriksa dan mengadili perkara di
102
Pengadilan.Sedangkan peradilan adalah sifat dan kegiatan yang harus
dilaksanakan oleh Pengadilan.Niaga menurut WJS Poerwodarminto diartikan
sebagai dagang. Dengan kata lain Pengadilan Niaga dapat disamakan dengan
Pengadilan Dagang, tetapi bukan dagang Pengadilan.103
Peradilan menurut ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, terdiri atas:
1. Peradilan Umum (Undang-Undang No. 49 Tahun 2009)
2. Peradilan Agama (Undang-Undang No. 50 Tahun 2009)
3. Peradilan Militer (Undang-Undang No. 31 Tahun 1997)
4. Peradilan Tata Usaha Negara (Undang-Undang No. 51 Tahun 2009)
Pengadilan Niaga tidak termasuk sebagai lembaga peradilan tersendiri
berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, tetapi
hanya merupakan defensiasi atas Peradilan Umum, sebab berdasarkan ketentuan
Pasal 281 Undang No.4 Tahun 1998, untuk pertama kali dengan
Undang-Undang ini Pengadilan Niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Namun, demikian apabila ditinjau dari ketentuan Pasal 15 ayat (1)
Undang-Undang No.4 Tahun 2004 dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang-Undang-Undang No. 49 Tahun
2009, maka Pengadilan Niaga ini dapatlah dinilai sebagai Badan Peradilan
Khusus, sebab pembentukannya berdasarkan Undang yaitu
Undang-Undang No.4 Tahun 1998.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, hingga saat ini Pengadilan
Niaga berwenang menangani perkara-perkara sebagai berikut:
103
1. Kepailitan dan PKPU, serta hal-hal yang berkaitan dengannya,
termasuk kasus-kasus actio pauliana dan prosedur renvoi tanpa
memperhatikan apakah pembuktiannya sederhana atau tida
2. Hak kekayaan intelektual:
a. Desain Industri
b. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
c. Pat
d. Mer
e. Hak Cipta
f. Rahasia Dagang (Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang
Rahasia Dagang);
g. Perlindungan Varietas Tanaman (Undang-Undang No. 29 Tahun
2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman).
3. Lembaga Penjamin Simpanan
a. Sengketa dalam proses likuidasi.
b. Tuntutan pembatalan segala perbuatan hukum bank yang
mengakibatkan berkurangnya aset atau bertambahnya kewajiban
bank, yang dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum
Lebih rinci lagi mengenai tugas dan wewenang Pengadilan Niaga ini dalam
Pasal 300 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 disebutkan bahwa:
1. Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, selain
memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, berwenang pula memeriksa dan
memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya
dilakukan dengan undang-undang.
2. Pembentukan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden, dengan
memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang diperlukan.
Dan sebelumnya menurut Pasal 280 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun
1998 dinyatakan juga bahwa: “Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), selain memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit dan
penundaan kewajiban pembayaran utang, berwenang pula memeriksa dan
memutuskan perkara lain dibidang perniagaan yang penetapannya dilakukan
dengan Peraturan Pemerintah.”
Berdasarkan ketentuan pada pasal-pasal di atas, maka ada dua hal penting
yang perlu dicermati berkaitan dengan Pengadilan Niaga, yaitu:
1. Pengadilan Niaga ditetapkan berada di lingkungan Pengadilan Umum.
2. Kompetensi Pengadilan Niaga salah satunya adalah memeriksa dan
memutus perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran