INTERAKSI OBAT DENGAN PENYAKIT KRONIS HIPERTENSI
OLEH ANDI P10120203
DEPARTEMEN ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS TADULAKO
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Makalah ini dengan Judul
“INTERAKSI OBAT DENGAN PENYAKIT KRONIS HIPERTENSI” Penyusunan Makalah ini tidak terlepas dari berbagai kesulitan dan kendala yang penulis hadapi. Namun melalui doa, kerja keras, dorongan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, kendala yang dihadapi penulis dapat diatasi dengan baik. Penulis telah memberikan seluruh kemampuan dan pemikirannya untuk menyelesaikan laporan latihan ini, namun disadari bahwa penulisan artikel ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca demi kesempurnaan laporan praktikum ini dan bermanfaat bagi para pembaca.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... 2
DAFTAR ISI...3
BAB I PENDAHULUAN...4
A. Latar Belakang...4
B. Rumusan Masalah...5
C. Tujuan...5
BAB II PEMBAHASAN...5
A. Penyakit Kronis... 5
B. Obat Hipertensi...6
C. Mekanisme Kerja Obat Antihipertensi...7
D. Risiko Interaksi Obat Antihipertensi...10
BAB III PENUTUP...11
A. Kesimpulan...11
B. Saran... 12
DAFTAR PUSTAKA...12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipertensi disebabkan oleh peningkatan resistensi perifer total karena penyempitan arteri kecil. Perubahan tekanan darah diatur oleh refleks baroreseptor, sedangkan jalur renin-angiotensin- aldosteron untuk mengontrol garam, cairan, dan tekanan darah (Thomas, 2003). Tekanan darah meningkat ketika terjadi tekanan sistolik > 140 mmHg dan diastolik >
90 mmHg. Hipertensi merupakan kerusakan heterogen yang disebabkan oleh penyebab khusus (hipertensi sekunder) atau karena penyebab yang tidak diketahui (hipertensi primer atau esensial) (Bilqiis, T. A. 2020).
Diagnosis hipertensi tidak boleh ditegakkan berdasarkan sekali pengukuran, kecuali bila tekanan darah diastolik (TDD) > 120 mmHg dan/atau tekanan darah sistolik (TDS) > 210 mmHg. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dari pengukuran berulang-ulang tersebut diperoleh nilai rata-rata TDD > 90 mmHg dan/atau TDS > 140 mmHg (Tyashapsari, et., all.
2012).
Beberapa faktor yang mendukung peningkatan hipertensi primer, di antaranya, (1) gangguan saraf, reseptor adrenergik, atau baroreseptor, (2) abnormalitas ginjal, (3) abnormalitas humoral, (4) defisiensi sintesis substansi vasodilator pada endotelium vaskuler, seperti prostasiklin, bradikinin, dan oksida nitrit, atau peningkatan produksi substansi vasokonstriktor seperti angiotensin II dan endotelin I (Tyashapsari, et., all. 2 012).
Banyaknya jumlah obat-obatan yang dikonsumsi memiliki kecenderungan untuk meningkatkan risiko gangguan kesehatan bagi kelompok pasien geriatri dan juga memiliki potensi menyebabkan terjadinya polifarmasi. Kejadian polifarmasi dapat meningkatkan risiko terjadi interaksi obat atau Drugs-drugs Interactions (DDI’s).
B. Rumusan Masalah
1) Apa yang dimaksud dengan penyakit kronis?
2) Apa saja jenis-jenis obat yang umum digunakan dalam pengobatan penyakit kronis hipertensi?
3) Bagaimana mekanisme kerja obat-obatan tersebut dalam menangani hipertensi?
4) Apa risiko interaksi antara obat-obatan hipertensi untuk kondisi kesehatan?
C. Tujuan
1) Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan penyakit kronis 2) Untuk mengetahui jenis obat hipertensi
3) Untuk mengetahui kerja obat hipertensi terhadap penyakit kronis 4) Untuk mengetahui risiko obat hipertensi terhadap penyakit kronis
BAB II PEMBAHASAN
A. Penyakit Kronis
Penyakit kronis merupakan jenis penyakit degeneratif yang berkembang atau bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama, yakni lebih dari enam bulan. Orang yang menderita penyakit kronis cenderung memiliki tingkat kecemasan yang tinggi dan cenderung mengembangkan perasaan hopelessnesdan helplessness karena berbagai macam pengobatan tidak dapat membantunya sembuh dari penyakit kronis. Pusat Statistik Kesehatan Nasional U.S menjelaskan penyakit kronis adalah penyakit yang berlangsung selama tiga bulan atau lebih (National Center for Health Statistics, 2013).
Penyakit kronis didefenisikan sebagai kondisi medis atau masalah kesehatan yang berkaitan dengan gejala-gejala atau kecacatan yang membutuhkan penatalaksanaan jangka panjang Karakteristik penyakit kronis adalah penyebabnya yang tidak pasti, memiliki faktor risiko yang multiple, membutuhkan durasi yang lama, menyebabkan kerusakan fungsi atau ketidakmampuan, dan tidak dapat disembuhkan secara sempurna.
Tanda- tanda lain penyakit kronis adalah batuk dan demam yang berlangsung lama, sakit pada bagian tubuh yang berbeda, diare berkepanjangan, kesulitan dalam buang air kecil, dan warna kulit abnormal (Sensussiana, T. 2020).
B. Obat Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan tekanan darah di dalam arteri. Dimana Hiper yang artinya berebihan, dan Tensi yang artinya tekanan/tegangan, jadi hipertensi merupakan gangguan pada sistem peredaran darah yang menyebabkan kenaikan tekanan darah diatas nilai normal
Terapi farmakologis yaitu dengan mengonsumsi obat antihipertensi yang dianjurkan yang bertujuan agar tekanan darah pada penderita hipertensi tetap terkontrol dan mencegah komplikasi. Jenis obat antihipertensi yang sering digunakan adalah sebagai berikut :
1) Diuretika
Diuretika adalah obat yang memperbanyak kencing, mempertinggi pengeluaran garam (Nacl). Obat yang sering digunakan adalah obat yang daya kerjanya panjang sehingga dapat digunakan dosis tunggal, diutamakan diuretika yang hemat kalium. Obat yang banyak beredar adalah Spironolactone, HTC, Chlortalidone dan Indopanide.
2) Beta-blocker
3) Mekanisme kerja obat obat ini adalah melalui penurunan laju nadi dan daya pompa jantung, sehingga mengurangi daya dan frekuensi kontraksi jantung.
Dengan demikian tekanan darah akan menurun dan daya hipotensinya baik.
Obat yang termasuk jenis Beta-blocker adalah Propanolol, Atenolol, Pindolol dan sebagainya.
4) Golongan Penghambat ACE dan ARB
Golongan penghambat angiotensin converting enzyme (ACE) dan angiotensin receptor blocker (ARB) penghambat angiotensin enzyme (ACE inhibitor/ACE I) menghambat kerka ACE sehingga perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II (vasokontriktor) terganggu. Sedangkan angiotensin receptor blocker (ARB) menghalangi ikatan zat angiotensin II pada reseptornya. Baik ACEI maupun ARB mempunyai efek vasodilatasi, sehingga meringankan beban jantung. Yang termasuk obat jenis penghambat ACE adalah Captopril dan enalapril
5) Calcium Channel Blockers (CCB)
Calcium channel blocker (CCB) adalah menghambat masuknya kalsium ke dalam sel pembuluh darah arteri, sehingga menyebabkan dilatasi arteri coroner dan juga arteri perifer. Yang termasuk jenis obat ini adalah Nifedipine Long Acting, dan Amlodipin
6) Golongan antihipertensi lain
Penggunaan penyekat reseptor alfa perifer adalah obat- obatan yang bekerja sentral, dan obat golongan vasodilator pada populasi lanjut usia sangat terbatas, karena efek samping yang signifikan. Obat yang termasuk Alfa perifer adalah Prazosin dan Terazosin (Dewi, M. D. K. C. 2021).
C. Mekanisme Kerja Obat Antihipertensi
Interaksi obat merujuk pada perubahan dalam efek suatu obat yang disebabkan oleh penggunaan obat lain, makanan, atau senyawa kimia lainnya. Fenomena ini memerlukan perhatian khusus karena dapat berdampak serius terhadap kesehatan. Sebuah studi di Amerika Serikat menemukan bahwa hampir 100.000 orang harus dirawat di rumah sakit setiap tahunnya, bahkan beberapa kasus berujung pada kematian, akibat dari interaksi obat. Pasien yang menjalani perawatan di rumah sakit seringkali menerima terapi dengan beberapa jenis obat secara bersamaan, yang dikenal sebagai polifarmasi (mengonsumsi 6-10 jenis obat), terutama karena mungkin menjadi subjek bagi lebih dari satu dokter. Hal ini meningkatkan risiko terjadinya interaksi obat, terutama pada pasien yang menderita penyakit yang berat atau pada usia lanjut.
Dalam konteks pengobatan hipertensi, ada beberapa jenis obat antihipertensi yang sering digunakan, antara lain diuretik, beta-blocker, inhibitor enzim konversi angiotensin (ACEI), antagonis reseptor angiotensin (ARB), dan antagonis kalsium.
1) ACE Inhibitor
ACE tersebar diseluruh jaringan tubuh, namun tempat produksi utama angiotensin II terutama di pembuluh, tidak di ginjal. ACE inhibitor menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, suatu vasokontriktor yang poten dan stimulan aldosteron. ACE Inhibitor juga menghambat degradasi bradikinin dan menstimulasi zat vasodilator lain seperti prostaglandin E2 dan prostasiklin. Obat golongan ACE-I yang sering digunakan adalah kaptropil. Secara farmakologis kaptropil bekerja secara kompetitif menginhibisi Angiotensin Converting Enxyme yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriksi kuat, yang menstimulasi sekresi aldosteron. ACE-I menurunkan tekanan darah dengan cara menurunkan retensi perifer. Kardiak output dan frekuensi denyut jantung tidak berubah secara signifikan.tidak sepeerti vasodilator langsung, obat ini tidak menimbulkan reflex simpatis dan dapat digunakan secara aman pada pasien dengan jantung iskemia.
2) CCB
CCB menurunkan influx ion kalsium ke dalam sel miokard, sel-sel dalam sistem konduksi jantung, dan sel-sel otot polos pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan konstriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah proses bergantung pada ion kalsium. Terdapat tiga kelas CCB, yaitu dihidropiridin (nifedipin dan amlodipin), fenilalkalim (verapamil) dan benzotiazipin (diltiazem).dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator prefer yang merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai efek kardiak dan digunakan untuk menurunkan Terdapat tiga kelas CCB, yaitu dihidropiridin (nifedipin dan amlodipin), fenilalkalim (verapamil) dan benzotiazipin (diltiazem).dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator prefer yang merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai efek kardiak dan digunakan untuk menurunkan heart rate dan mencegh angina. Efek samping yang dihasilkan yaitu, pemerahan pada wajah, pusing dan pebengkakan pergelangan kaki sering dijumpai karena efek vasodilatasi CCB dihidropiridin.
3) ARB
Mekanisme kerjanya dengan cara menghambat reseptor angiotensin, sehingga melawan kerja angiotensin II seperti vasokontriksi, pelepasan aldosteron, aktivitas simpatik, pelepasan antidiuretik hormone dan kontriksi eferen artiola dan glomelurus. Tidak seperti pada pengguanaan ACE inhibitor, obat ini tidak menghambat degradasi bradikinin, sehingga efek samping batuk menahun tidak terjadi.
4) Golongan Diuretik
Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah, selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya Diuretik kuat (Diuretik Lengkungan),bekerja di ansa Henle
5) β-blocker (Beta-blocker)
β-blocker memblok beta-adrenoseptor Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas system saraf simpatis. Stimulasi reseptor β − 1 pada nodus sino-atrial dan miokardiak meningkatkan aktivitas system renin-angiotensin-aldosteron.
Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air.
6) Vasodilator
Obat golongan ini bekerja langsung pada otot polos arteri dengan meningkatkan kadar GMP intraseluler. Contoh obat golongan vasodilator adalah hidralasin dan minoksidil. Sebelum mendapatkan obat golongan ini, pasien sebelumnya harus diberikan diuretik atau β −bloker. Minoksidil memiliki kerja yang lebih poten sebagai vasodilator dibandingkan hidralasin dan dicadangkan untuk kasus hipertensi yang tidak terkontrol (Sa'idah, D.
2018).
D. Risiko Interaksi Obat Antihipertensi
Terapi farmakologis untuk mengatasi hipertensi membawa manfaat dalam pengendalian tekanan darah dan pencegahan komplikasi, namun juga memiliki risiko tertentu. Berikut adalah beberapa risiko yang terkait dengan terapi farmakologis untuk hipertensi:
1. Efek Samping: Setiap jenis obat antihipertensi memiliki potensi untuk menyebabkan efek samping. Contohnya, diuretika dapat menyebabkan dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, atau gangguan fungsi ginjal.
Beta-blocker dapat menyebabkan kelelahan, penurunan denyut jantung, atau masalah tidur. Penghambat ACE dan ARB dapat menyebabkan batuk kering, hipotensi, atau peningkatan kadar kalium. Calcium channel blockers juga dapat menyebabkan efek samping seperti edema perifer atau palpitasi.
2. Interaksi Obat: Penggunaan beberapa obat antihipertensi bersamaan atau dengan obat lain dapat menyebabkan interaksi obat yang tidak
diinginkan. Hal ini dapat mengurangi efektivitas terapi atau meningkatkan risiko efek samping.
3. Reaksi Alergi: Beberapa individu mungkin mengalami reaksi alergi terhadap salah satu jenis obat antihipertensi, yang dapat berkisar dari reaksi ringan hingga reaksi alergi yang parah seperti anafilaksis.
4. Toleransi dan Ketergantungan: Dalam beberapa kasus, tubuh dapat menjadi toleran terhadap efek obat antihipertensi, yang mengharuskan penyesuaian dosis atau penggantian obat. Selain itu, beberapa obat juga dapat menyebabkan ketergantungan fisik atau psikologis.
5. Efek Jangka Panjang: Penggunaan jangka panjang dari obat antihipertensi tertentu dapat meningkatkan risiko pengembangan penyakit lain atau komplikasi seperti diabetes, gangguan lipid, atau peningkatan risiko fraktur tulang.
6. Keterbatasan Efektivitas: Tidak semua orang merespons dengan baik terhadap semua jenis obat antihipertensi. Beberapa individu mungkin memerlukan kombinasi obat atau strategi pengobatan lainnya untuk mencapai kontrol tekanan darah yang optimal (Kandarini, Y. 2017).
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Hipertensi, atau tekanan darah tinggi, adalah kondisi di mana tekanan darah dalam arteri meningkat di atas nilai normal. Terapi farmakologis merupakan pendekatan utama dalam mengelola hipertensi, yang melibatkan penggunaan berbagai jenis obat antihipertensi dengan mekanisme kerja yang berbeda
Obat antihipertensi yang umum digunakan meliputi diuretika, beta- blocker, penghambat ACE dan ARB, calcium channel blockers (CCB), serta golongan antihipertensi lainnya seperti vasodilator. Masing-masing obat memiliki mekanisme kerja yang berbeda untuk menurunkan tekanan darah dan mengurangi beban kerja jantung.
Namun, penggunaan obat antihipertensi juga membawa risiko tertentu. Risiko tersebut termasuk kemungkinan efek samping, interaksi obat, reaksi alergi, toleransi dan ketergantungan, efek jangka panjang, serta keterbatasan efektivitas. Oleh karena itu, penting bagi pasien dan penyedia layanan kesehatan untuk memahami risiko dan manfaat terapi farmakologis, serta melakukan pemantauan yang tepat terhadap respons pengobatan dan efek samping yang mungkin timbul.
B. Saran
Untuk mengelola hipertensi secara efektif, penting untuk berkomunikasi secara teratur dengan dokter Anda, memahami obat-obatan yang Anda konsumsi, dan mengikuti petunjuk penggunaannya dengan teliti.
Penting juga untuk memantau tekanan darah secara teratur di rumah dan memberitahu dokter tentang perubahan kondisi kesehatan atau efek samping yang mungkin timbul. Selain itu, menerapkan gaya hidup sehat
seperti pola makan sehat, olahraga teratur, dan menghindari kebiasaan merokok dapat membantu mendukung pengobatan antihipertensi dan mengontrol tekanan darah And dengan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Bilqiis, T. A. (2020). POLA PERESEPAN OBAT ANTIHIPERTENSI DI POLI RAWAT JALAN RUMAH SAKIT “X” MALANG (Doctoral dissertation, Akademi Farmasi Putra Indonesia Malang).
Dewi, M. D. K. C. (2021). Gambaran Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita Hipertensi Yang Masih Aktif Bekerja Di Desa Akah Wilayah Kerja Uptd Puskesmas Klungkung Ii Tahun 2021 (Doctoral dissertation, Jurusan Keperawatan 2021).
Kandarini, Y. (2017). Tatalaksana Farmakologi Terapi Hipertensi. Divisi Ginjal Dan Hipertensi RSUP Sanglah Denpasar, 2.
Sa'idah, D. (2018). Evaluasi rasionalitas penggunaan obat antihipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Dr. Soegiri Lamongan periode tahun 2017 (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim).
Sensussiana, T. (2020). Modul Keperawatan Dasar 3.
Tyashapsari, M. W. E., & Zulkarnain, A. K. (2012). Penggunaan obat pada pasien hipertensi di instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang. Majalah Farmaseutik, 8(2), 145-151.