• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Pengaruh Limbah Cair Terhadap Kualitas Air Sungai di Pekalongan

N/A
N/A
Ariani Nur Hana

Academic year: 2025

Membagikan "Kajian Pengaruh Limbah Cair Terhadap Kualitas Air Sungai di Pekalongan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Adapun penelitian terdahulu yang digunakan sebagai tolak ukur dan acuan dalam menyelesaikan laporan praktikum ini adalah sebagai berikut:

2.1.1 Analisis Pengaruh Limbah Cair Terhadap Kualitas Air Sungai Di Kota Pekalongan, oleh Elvinda Bendra Agustina, Yuni Lestiyanti, Yusril Ihza Tachriri, dan Nina Ulfiya pada tahun 2025.

Penelitian yang dilakukan oleh Elvinda Bendra Agustina, Yuni Lestiyanti, Yusril Ihza Tachriri, dan Nina Ulfiya (2025) bertujuan untuk menganalisis pengaruh limbah cair terhadap kualitas air sungai di Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Penelitian ini memfokuskan pada empat sungai utama yaitu Sungai Banger, Sungai Meduri, Sungai Loji, dan Sungai Asem Binatur. Pengambilan sampel dilakukan di titik-titik yang diketahui telah tercemar, dan pengujian mencakup parameter suhu, DO, BOD, COD, TSS, TDS, amonia, fosfat, dan nitrit.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas parameter kualitas air di keempat sungai tersebut melebihi baku mutu kelas II berdasarkan PP No. 22 Tahun 2021. Sungai Asem Binatur tercatat sebagai sungai dengan pencemaran terparah, diikuti oleh Sungai Loji, Meduri, dan Banger. Penyebab utama pencemaran berasal dari limbah industri batik yang mengandung bahan kimia seperti logam berat dan zat pewarna sintetis, limbah pertanian, serta limpasan air rob yang mencampur air laut ke dalam sungai. Selain menyebabkan penurunan kualitas air, pencemaran juga berdampak terhadap ekosistem perairan dan kesehatan masyarakat sekitar. Limbah cair batik terbukti mengandung BOD, COD, dan TSS tinggi, serta senyawa kimia seperti formalin dan soda kaustik, yang tidak hanya beracun tetapi juga sulit terurai secara alami. Penelitian ini menegaskan pentingnya instalasi pengolahan air limbah (IPAL) serta pengawasan ketat terhadap industri batik untuk mencegah pencemaran yang lebih parah.

(2)

2.1.2 Monitoring Kualitas Air Sungai (Kekeruhan, Suhu, TDS,PH)

Menggunakan Mikrokontroler Atmega328, oleh Nur’aeni Latekeng, Salmawaty Tansa, Raghel Yunginger, dan Iskandar Z. Nasibu pada tahun 2024.

Penelitian yang dilakukan oleh Nur’aeni Latekeng, Salmawaty Tansa, Raghel Yunginger, dan Iskandar Z. Nasibu (2024) dari Universitas Negeri Gorontalo yang mengembangkan alat monitoring kualitas air sungai berbasis mikrokontroler Atmega328. Penelitian ini bersifat eksperimental dan bertujuan untuk menciptakan sistem pemantauan kualitas air sungai secara real-time dengan mengintegrasikan sensor kekeruhan (SEN0189), sensor suhu (DS18B20), sensor TDS (SEN0244), dan sensor pH (pH-4502C). Pengujian dilakukan pada 30 titik sampel di berbagai sungai wilayah Gorontalo, seperti Bone dan Bolango.

Hasilnya menunjukkan bahwa alat mampu memberikan hasil pengukuran yang cukup akurat: suhu dengan akurasi 98,08%, pH 93,15%, TDS 85,94%, dan kekeruhan 81,09%. Walaupun masih terdapat error dibanding alat standar laboratorium, hasil ini menunjukkan bahwa teknologi monitoring berbasis mikrokontroler dapat menjadi solusi efisien untuk pemantauan kualitas air sungai secara langsung dan murah. Penelitian ini juga menunjukkan adanya indikasi bahwa beberapa sungai di Gorontalo mengalami degradasi kualitas air, terutama pada parameter TDS dan kekeruhan yang melebihi ambang batas baku mutu air bersih menurut PerMenKes RI No. 416/MenKes/PER/IX/1990. Penelitian ini memberikan kontribusi dalam bidang teknologi lingkungan untuk membantu upaya pelestarian sumber daya air melalui pemantauan yang efektif.

2.1.3 Kualitas Air Sungai, oleh Desi Nursaini dan Arman Harahap pada tahun 2022.

Penelitian yang dilakukan oleh Desi Nursaini dan Arman Harahap (2022) dari Universitas Labuhanbatu menyoroti penurunan kualitas air Sungai Barumun di Kota Pinang, Sumatera Utara, akibat limbah domestik dan aktivitas pertanian.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dan menganalisis status mutu air berdasarkan Indeks Pencemaran (IP).

(3)

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai PI berkisar antara 0,82 hingga 1,71 yang mengindikasikan kondisi air dari baik hingga cemar ringan. Beberapa parameter seperti BOD, COD, TSS, amonia, dan fosfat menunjukkan nilai melebihi baku mutu kelas II, terutama pada titik pantau hilir sungai. Penelitian ini juga merumuskan strategi pengendalian pencemaran air berupa peningkatan pengawasan, pemberlakuan izin pembuangan limbah cair (IPLC) dengan mempertimbangkan daya tampung sungai, dan penegakan hukum lingkungan terhadap pelaku usaha yang melanggar baku mutu. Penelitian ini menegaskan pentingnya peran serta masyarakat serta pemerintah daerah dalam menjaga dan memperbaiki kualitas sungai melalui pendekatan progresif dan partisipatif.

2.2 Pengertian Kualitas Air

Kualitas air adalah sifat air dan kandungan organisme, zat, energi atau komponen lain yang terkandung di dalamnya. Kualitas air juga merupakan istilah yang mengacu pada ketentuan atau kesesuaian air untuk penggunaan tertentu, seperti air minum, perikanan, irigasi, industri, rekreasi, dan lain-lain. Namun, kualitas air berubah seiring pertumbuhan populasi manusia dan tingginya aktivitas masyarakat dalam memanfaatkan air tersebut (Riduan, Efendi, and Nasruddin, 2022).

Kualitas air sungai dipengaruhi oleh kualitas pasokan air yang berasal dari daerah tangkapannya, sedangkan kualitas pasokan air dari daerah tangkapan berkaitan dengan aktivitas manusia yang ada di dalamnya. Saat ini masalah utama yang dihadapi adalah air yang ada dipermukaan sering tercemar sehingga mengurangi kualitas air. Penurunan kualitas air akan menurunkan daya guna, hasil guna, produktivitas, daya dukung dan daya tampung dari sumber daya air yang pada akhirnya menurunkan kekayaan sumber daya alam. Untuk mendapat air sesuai standar tertentu saat ini menjadi barang yang mahal, karena air sudah banyak tercemar oleh bermacam- macam limbah dari kegiatan manusia sehingga secara kualitas sumber daya air telah mengalami penurunan (Asrini, Sandi Adnyana, and Rai, 2017).

(4)

Tingkat kualitas air yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan tertentu memiliki baku mutu yang berbeda oleh karena itu harus dilakukan pengujian untuk mengetahui kesesuaian kualitas dengan peruntukannya. Dengan dasar pemikiran ini, maka perlu dilakukan analisa kualitas air dengan berdasarkan beberapa parameter yaitu parameter fisika, kimia dan biologi (Sulistyorini, Edwin, and Arung, 2017).

2.3 Pencemaran Air

Pencemaran air adalah suatu perubahan keadaan di suatu tempat penampungan air seperti danau, sungai, lautan dan air tanah akibat aktivitas manusia. Danau, sungai, lautan dan air tanah adalah bagian penting dalam siklus kehidupan manusia dan merupakan salah satu bagian dari siklus hidrologi. Selain mengalirkan air juga mengalirkan sedimen dan polutan. Berbagai macam fungsinya sangat membantu kehidupan manusia (Irwan et al., 2022)

Pencemaran air sungai sangat ditentukan oleh kegiatan serta manfaat sumber daya air oleh manusia yang berada di perairan tersebut. Pasal 1 ayat 11 PP.

No 82 Tahun 2001 mendefinisikan Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya (Lensun and Tumembouw, 2013).

Dalam UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP RI No 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yang dimaksud dengan pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya. Menurut Yusni 2019, mengemukakan air yang tercemar oleh residu pestisida ketika telah mencapai konsentrasi tertentu akan sangat mempengaruhi lingkungan dan organisme air yang hidup di dalamnya (Arianti & Atifah, 2023)

(5)

Pencemaran serta tercemarnya air sungai tidak hanya merugikan masyarakat yang mendiami daerah bantaran sungai saja akan tetapi layaknya seperti air sungai yang mengalir dari hulu ke hilir yang berarti turut membawa dampak- dampak negatif bagi masyarakat lain (Puspitasari, 2012).

2.4 Parameter Kualitas Air

Parameter kualitas air merupakan suatu hal yang penting untuk diketahui bagi pengguna air, baik secara individu, komunitas, dan industri. Kualitas air perlu diketahui sebagai informasi tentang komposisi secara kualitatif dan kuantitatif senyawa kimia, faktor fisika, dan mikroorganisme yang terkandung di dalam air tersebut. Paramater kualitas air adalah indikator yang menyatakan standar kelayakan air tersebut digunakan sesuai peruntukan dan kebutuhannya (Saputra et al., 2023).

Parameter kualitas air dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1) Parameter fisika, yaitu parameter kualitas air yang dapat dianalisis atau diamati berdasarkan karakteristik fisik dan visual. Contoh suhu, bau, warna, rasa, kekeruhan, dan TSS (Total Suspended Solid).

2) Parameter kimia, yaitu parameter kualitas air yang ditinjau dari komposisi unsur atau senyawa kimia yang terkandung di dalamnya, baik senyawa organik maupun senyawa anorganik. Contoh pH, alkalinitas, kesadahan, TDS (Total Dissolved Solid), oksigen terlarut, BOD (Biological Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand), logam berat 102 (besi, mangan, timbal, raksa, krom, tembaga, dll) dan senyawa kimia lainnya.

3) Parameter biologi, yaitu parameter kualitas air yang ditinjau dari kandungan mikroorganisme di dalamnya, yang dapat berupa virus, jamur, ganggang, dan bakteri patogen. Dengan mengetahui parameter kualitas air, maka dapat dijadikan sebagai acuan dalam melakukan pengendalian kualitas air terutama pengolahan air.

(6)

2.4.1 Ph (Power of Hydrogen)

Nilai pH atau tingkat keasaman pada air menyatakan jumlah ion H+ yang terkandung dalam suatu sampel air. Ion H+ banyak berperan pada berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di lingkungan perairan dan mengindikasikan keseimbangan antara asam dan basa. Standar ideal pH air berada pada kisaran 6-8. Pengukuran pH air dapat dilakukan dengan menggunakan alat pH meter dan kertas pH. Pada umumnya, nilai pH dipersyaratkan pada standar baku mutu kualitas air, baik untuk air minum, air higiene sanitasi, pemandian umum, air limbah domestik, hingga limbah industri. Secara umum, nilai pH dipersyaratkan memenuhi kisaran 6-9.

Tabel 2.1 Tabel rentang pH

Rentang pH Kategori Warna Keterangan

0 – <3 Sangat Asam Merah Bersifat korosif tinggi, berbahaya bagi makhluk hidup.

3 – <6 Asam Oranye Dapat merusak jaringan biologis dan mengganggu organisme perairan.

6 – <6,5 Agak Asam Kuning Masih tergolong aman, tapi bisa memengaruhi pertumbuhan biota air tertentu.

6,5 – 8,5 Netral (Standar

Ideal)

Hijau Rentang ideal untuk kehidupan akuatik dan air minum menurut WHO & Permenkes.

>8,5 –11 Basa Biru Dapat menyebabkan iritasi dan berpotensi membahayakan organisme perairan.

>11 –14 Sangat Basa Ungu Bersifat korosif tinggi, biasanya terdapat pada limbah industry.

(Sumber: PerMenLHK No.22 Tahun 2020)

(7)

Pada umumnya air yang memiliki pH dibawah 6 dapat dinyatakan tercemar, karena mengindikasikan adanya ion atau senyawa lain yang tidak diinginkan, seperti sulfat dan fosfor. Dalam beberapa hal, perairan yang memiliki nilai pH rendah menyebabkan sulitnya biota laut untuk melangsungkan kehidupan yang berdampak pada ekosistem. Khusus untuk air minum atau air higiene sanitasi, air dengan pH rendah dapat berdampak pada kesehatan. Lingkungan perairan yang memiliki pH lebih dari 8 juga diindikasikan tercemar. Air yang sangat basa umumnya mengandung padatan terlarut tinggi (Saputra et al., 2023).

2.4.2 Suhu

Suhu merupakan parameter kualitas air dan lingkungan yang penting karena ia mengatur jenis dan tipe kehidupan akuatik, mengatur konsentrasi oksigen terlarut maksimum dalam air, dan memengaruhi laju reaksi kimia dan biologi. Organisme dalam ekosistem memiliki suhu yang lebih disukai yang berubah sesuai musim, usia organisme atau tahap kehidupan, dan faktor lingkungan lainnya. Mengenai reaksi kimia dan biologis, semakin tinggi suhu air, semakin tinggi laju reaksi kimia dan metabolisme dan semakin rendah jumlah gas terlarut yang dapat dikandungnya.

Variasi musiman pada suhu sungai dapat disebabkan oleh perubahan suhu udara, sudut matahari, kejadian meteorologi, dan sejumlah aspek fisik yang terkait dengan sungai dan daerah aliran sungai. Fitur fisik ini meliputi asal sungai, kecepatan, jenis dan cakupan vegetasi, konfigurasi sungai, penggunaan lahan, dan persentase area kedap air di daerah aliran sungai. Misalnya, garis pantai yang sempit, dalam, dan teduh mengurangi dampak pemanasan oleh matahari;

sedangkan, sungai yang lebar dan dangkal akan lebih terpengaruh oleh pemanasan matahari. Di sungai dengan air hangat, suhu tidak boleh melebihi 89 °F. Sungai dengan air dingin tidak boleh melebihi 68 °F. Sering kali, panasnya musim panas dapat menyebabkan matinya ikan di kolam karena suhu yang tinggi mengurangi ketersediaan oksigen terlarut di dalam air.

2.4.3 Total Suspended Solid (TSS)

Zat padat tersuspensi (Total Suspended Solid) merupakan jumlah partikel zat padat dengan ukuran 10-5 cm hingga 10-1 cm yang terkandung dalam sampel air. Zat padat ini berasal dari tanah liat, tanah lempung, kuarsa, zat organik, dan

(8)

plankton. Secara harfiah, suspensi yang menjadi bagian dari TSS merupakan campuran dalam wujud cair yang mengandung partikel padat di dalamnya dengan sifat tidak larut dan terdispersi. Karena sifat tidak larut dan terdispersi ini maka secara visual penampakan dari campuran suspensi dapat diamati langsung tanpa bantuan alat. Hal tersebut dikarenakan campuran suspensi memiliki partikel yang cukup besar.

Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung nilai Total Suspended Solid (TSS) berdasarkan SNI 06-6989.3-2004 yaitu :

TSS(mg/l)=

(

W1W0

)

×1000

V

Keterangan :

- W0 : berat media penimbang yang berisi media penyaring awal (mg)

- W1 :berat media penimbang yang berisi media penyaring dan residu kering (mg) - V : volume contoh uji (mL)

Nilai maksimum TSS dipersyaratkan pada Peraturan Pemerintah RI No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air. Dalam peraturan tersebut dipersyaratkan air kelas satu (air minum) dan dua (sarana dan prasarana rekreasi air) adalah maksimum 50 mg/L sedangkan air kelas tiga (budidaya ikan air tawar) dan empat (pertanaman) adalah maksimum 400 mg/L. Selain itu, pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah juga dipersyaratkan nilai TSS pada berbagai aktivitas sumber air limbah, mulai dari limbah domestik hingga industri (Saputra et al., 2023).

2.4.4 Total Dissolved Solid (TDS)

Zat padat terlarut (Total Dissolved Solid) merupakan jumlah zat terlarut yang terkandung dalam sampel air. Zat terlarut ini dapat berupa ion atau senyawa dengan ukuran partikel 10-6 cm ke bawah. Zat padat terlarut pada suatu perairan dapat bersumber dari aktivitas domestik, industri, atau alamiah perairan.

(9)

Apabila nilai TDS bertambah maka kesadahan air pun juga bertambah. Nilai TDS dipengaruhi adanya bahan anorganik yang berupa ion dalam perairan, seperti:

Tabel 2.2 Ion-ion yang banyak ditemukan di perairan (Effendi, 2003).

Major Ion (Ion Utama) (1,0-1.000 mg/liter)

Secondary Ion (Ion Sekunder) (0,01-10,0 mg/liter) Sodium (Na)

Kalsium (Ca) Magnesium (Mg) Bikarbonat (HCO3)

Sulfat (SO4) Klorida (Cl)

Besi (Fe) Steonium (Sr)

Kalium (K) Karbonat (CO3)

Nitrat (NO3) Fluorida (F)

Boron (Br) Silika (SiO2) (Sumber: Effendi, 2003)

Klasifikasi padatan yang berada di perairan berdasarkan ukuran diameter pertikelnya, ditunjukan pada tabel berikut:

Tabel 2.3 Klasifikasi padatan di dalam perairan berdasarkan ukuran diameter Partikelnya (Effendi, 2003).

No. Klasifikasi Padatan

Ukuran Diameter (µm)

Ukuran Diameter (mm)

1. Padatan Terlarut <10-3 <10-6

2. Koloid 10-3 - 1 10-6-10-3

3. Padatan Tersuspensi >1 <10-3

(Sumber: Effendi, 2003)

Untuk mengukur kadar TDS dalam air, digunakan rumus sebagai berikut:

TDS(mg/l)=(AB)×1000 V Keterangan :

- A : berat cawan dan residu sesudah pemanasan (g) - B : berat cawan kosong (g)

- V : volume sample (L)

(10)

Standar baku mutu nilai TDS khusus untuk air kebutuhan mandi dan higiene sanitasi adalah maksimum 1000 mg/L (berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 32 Tahun 2017). Sedangkan Standar baku mutu nilai TDS khusus untuk air minum adalah maksimum 500 mg/L (Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 492 Tahun, 2010) (Saputra et al., 2023).

2.4.5 Dissolved Oxygen (DO)

Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen) merupakan parameter penting pada kualitas air khususnya wilayah perairan karena menunjang keberlangsungan ekosistem perairan tersebut. Adanya oksigen terlarut memicu pertumbuhan kehidupan ikan dan biota air. Selain itu oksigen terlarut dibutuhkan untuk membersihkan polutan atau senyawa lain secara alamiah. Misalkan pada proses penguraian senyawa organik yang ada di dalam air dibutuhkan oksigen. Oksigen terlarut pada suatu perairan dapat berasal dari udara atmosfer dan proses fotosintesis tanaman air.

Secara umum kehidupan organisme di dalam air dapat bertahan apabila kadar oksigen terlarut lebih dari 5 mg/L. Dalam beberapa hal tertentu, terdapat beberapa organisme yang masih dapat hidup dibawah batas tersebut, misalkan cacing. Beberapa jenis air dipersyaratkan memiliki batas minimum kadar oksigen terlarut. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 32 Tahun 2017, untuk air pemandian umum dipersyaratkan harus memiliki kadar oksigen terlarut minimum 8 mg/L (Saputra et al., 2023).

2.4.6 Biological Oxygen Demand (BOD)

Tingkat penggunaan oksigen sering disebut sebagai kebutuhan oksigen biologis atau Biological Oxygen Demand (BOD). Nilai BOD adalah parameter yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri dan mikroorganisme lain yang terlibat dalam air untuk mengurai senyawa organik yang dapat terurai selama periode waktu tertentu. Nilai BOD merupakan indikator pencemaran air oleh senyawa organik. Banyaknya jumlah senyawa organik menyebabkan turunnya jumlah oksigen terlarut, sebab oksigen tersebut digunakan untuk mengoksidasi senyawa organik.

(11)

Pengujian nilai BOD sering digunakan untuk memperkirakan dampak limbah yang mengandung sejumlah besar bahan organik yang berasal dari berbagai aktivitas industri yang menggunakan bahan baku sediaan organik, seperti industri pengolahan makanan, industri pakan ternak, fasilitas pengolahan air limbah kota, dan industri pulp kertas. Kebutuhan oksigen yang tinggi menunjukkan potensi untuk penurunan jumlah oksigen terlarut secara drastis karena mikroorganisme mengoksidasi bahan organik dalam air limbah.

Reaksi oksidasi proses penguraian bahan organik oleh bakteri aerobik (Effendi, 2003):

CnHaObNc + ( n + a 4 - b

2 - 3c

4 ) O2 nCO2 + (a 2 -3c

2 ) H2O + cNH3 ....(2.1) Keterangan : n, a, b, c = indeks

Nilai BOD untuk air yang tidak tercemar biasanya 0,7 mg/L, sedangkan air yang tercemar memiliki nilai BOD lebih besar dari 200 mg/L (Situmorang, 2017).

Pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah dipersyaratkan nilai BOD pada berbagai aktivitas industri.

Misalkan untuk air limbah industri minyak goreng, industri pengolahan daging, dan industri perikanan nilai BOD yang dipersyaratkan secara berturut-turut adalah maksimum 75 mg/L, 125 mg/L, dan 100 mg/L (Saputra et al., 2023).

2.5 Status Mutu Air

Standar baku mutu kualitas air adalah nilai ambang batas maksimum atau minimum yang diperbolehkan atau harus ada yang telah ditetapkan dalam suatu sampel air. Standar Baku Mutu berisikan tentang ketentuan parameter kualitas air dalam bentuk peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Salah satu contoh standar baku mutu kualitas air adalah Peraturan Menteri Kesehatan No. 32 Tahun 2017 yang mengatur kualitas air kebutuhan higiene sanitasi, kolam renang, SPA, dan pemandian umum. Contoh lain Standar Baku Mutu adalah Peraturan Menteri Kesehatan No. 492 Tahun 2010 yang mengatur tentang kualitas air minum. Pada Peraturan Pemerintah RI No. 82 Tahun 2001

(12)

tentang Pengelolaan Kualitas Air, juga membahas mengenai parameter kualitas air yang dibagi menjadi 4 (empat) kelas. Dari kelas-kelas air tersebut, telah diatur masing-masing parameter kualitas air untuk tiap kelasnya. Adapun empat kelas tersebut meliputi (Pemerintah Republik Indonesia, 2001):

1) Kelas satu, yaitu air yang digunakan sebagai air minum dan sejenisnya.

2) Kelas dua, yaitu air yang digunakan sebagai sarana dan prasarana rekreasi air dan sejenisnya.

3) Kelas tiga, yaitu air yang digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar dan sejenisnya.

4) Kelas empat, yaitu air yang digunakan untuk mengairi pertanaman dan sejenisnya (Saputra et al., 2023).

Status mutu air berguna sebagai gambaran mutu air, sehingga tindakan perbaikan dapat dilakukan (misalnya oleh Pemerintah Kota atau Pemerintah Provinsi) untuk menanggulangi pencemaran dan pemulihan kualitas air sesuai peruntukannya, jika air dinyatakan berada dalam kondisi cemar atau mempertahankan bahkan meningkatkan kualitas air jika sudah memenuhi baku mutu air (PP No. 82 Tahun 2001, Pasal 15). Untuk kasus kondisi tercemar, pembagian tingkat pencemaran dapat memberikan gambaran seberapa jauh kualitas sumber air yang tercemardengan baku mutunya, serta dapat menjadi sasaran dalam perbaikan kualitas air selangkah demi selangkah (jika perbaikan drastis tidak dapat dilakukan) untuk mencapai baku mutu.

Hasil klasifikasi tersebut kemudian dikelompokkan dalam empat kategori mutu sebagaimana ditampilkan pada tabel 2.3 berikut.

Tabel 2.4 Status mutu air berdasarkan metode Indeks Pencemaran (IP) Rentang Nilai Indeks Status Mutu Air Kategori

Skor 0 ≤ Pij ≤ 1,0 Baik sekali Memenuhi baku mutu (good)

Skor 1,0 < Pij ≤ 5,0 Baik Cemar ringan (slightly polluted) Skor 5,0 < Pij ≤ 10 Sedang Cemar sedang (fairly

polluted)

Skor Pij > 10 Buruk Cemar berat

(Sumber: PerMenLHK No.27 Tahun 2021)

(13)

Adapun rumus dasar dari Indeks Pencemaran adalah sebagai berikut :

IP=1 n

i=1

n

(

CiSiSi

)

Atau untuk bentuk baku mutu absolut :

Keterangan:

- IP = Indeks Pencemaran

- Ci = Konsentrasi parameter ke-i yang diukur di lapangan - Si = Baku mutu parameter ke-i sesuai peruntukan

- n = Jumlah parameter yang digunakan dalam penilaian

2.6 Indeks Kualitas Air

Menurut Putri, 2018. Dalam menetapkan kualitas air, parameter-parameter tersebut tidak berdiri sendiri tetapi dapat ditransformasikan ke dalam suatu nilai tunggal yang mewakili, yaitu Indeks Kualitas Air. Tujuan perhitungan Indeks Kualitas Air adalah untuk menyederhanakan informasi sehingga informasi kualitas suatu perairan cukup disajikan salam suatu nilai tunggal (Samiono et al., 2023).

Analisis kualitas air dengan mengacu baku mutu kualitas air sungai menurut PP 22/2021. Penentuan status mutu air menggunakan metode STORET. Kualitas air yang baik akan sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan pemerintah tersebut dengan kadar (konsentrasi) maksimum yang diperbolehkan. Sedangkan untuk mengetahui seberapa jauh contoh air tersebut disebut baik atau tidak dinilai dengan sistem STORET. Hasil analisis kimia percontoh air kemudian dibandingkan dengan baku mutu yang sesuai dengan pemanfaatan air. Kualitas air dinilai berdasarkan ketentuan sistem STORET yang dikeluarkan oleh EPA (Environmental Protection Agency, Canter, 1977) yang mengklasifikasikan mutu air ke dalam empat kelas.

IP=

1n

i=11

(

CiSiSi

)

2

(14)

Setiap parameter memiliki bobot tersendiri yang mencerminkan tingkat kepentingannya terhadap kualitas air secara keseluruhan. Setelah nilai IKA diperoleh, hasilnya diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori mutu seperti pada tabel 2.4 berikut:

Tabel 2.5 Rentang Kategori Kualitas Air (IKA).

Skor Kriteria Keterangan

100 ≥ I ≥ 90 Sangat baik Sangat baik

90 > I ≥ 80 Baik Baik KELAS I

80 > I ≥ 70 Cukup baik Cukup baik KELAS II

70 > I ≥ 50 Sedang Sedang KELAS III

50 > I ≥ 35 “Marginal” “buruk” KELAS IV

35 > I ≥ 0 “Buruk” “sangat buruk”

(Sumber: P3KLL KLHK, 2017)

Tabel 2.6 Penentuan Sistem Nilai untuk Menentukan Status Mutu Air Jumlah Parameter Nilai Parameter Fisika Kimia Biologi.

Jumlah Parameter

Nilai Fisika Parameter

Kimia

Biologi

<10 Maksimum -1 -2 -3

Minimum -1 -2 -3

Rata-Rata -3 -6 -9

≥10 Maksimum -2 -4 -6

Minimum -2 -4 -6

Rata-Rata -6 -12 -18

(Sumber: Effendi, 2003)

Pengukuran kualitas air dapat dengan pendekatan berdasarkan Indeks Kualitas Air versi National Sanitation Foundation (NSF). Water Quality Index- National Sanitation Foundation (WQINSF) dikembangkan sejak tahun 1970 oleh Brown, Mc Clelland, Deininger dan Tozer dengan beracuan pada Indeks Horton.

Proyek ini mendapat dukungan sepenuhnya dari National Sanitation Foundation (NSF) sehingga untuk selanjutnya dinamakan dengan National Sanitation Foundation Water Quality Index (NSFWQI). Charlotte dalam Ott (1978)

(15)

menyatakan bahwa NSFWQI telah digunakan oleh berbagai ahli lingkungan dan terbukti merupakan indeks yang handal dalam melukiskan kualitas lingkungan.

Oleh karena itu NSF-WQI juga disebut sebagai Indeks Kualitas Lingkungan (IKL).

Dalam NSF-WQI ada lima kriteria penilaian kualitas air, yaitu excellent (sangat baik), good (baik), medium (normal), bad (buruk), very bad (sangat buruk) (Samiono et al., 2023).

Rumus umum untuk menghitung Indeks Kualitas Air adalah:

IKA=

i=1 n

WiIi

Keterangan :

- Wi : Bobot dari parameter ke-i

- Ii : Nilai kualitas air dari parameter ke-i - n : Jumlah parameter

Indeks Kualitas Air modifikasi Indonesia (IKA-INA) merupakan salah satu hasil pengembangan indeks kualitas air dengan metode penyusunan mengacu pada metode penyusunan NSF-WQI, yaitu dengan menggunakan metode Delphi dalam penetapan keputusan untuk pemilihan parameter, pembobotan dan penyusunan kurva sub indeks. IKA-INA dikembangkan untuk menyusun formulasi indeks kualitas air yang disesuaikan dengan kebutuhan penilaian kualitas air di Indonesia, sehingga semua penyusunan komponen IKA-INA yang berupa pemilihan parameter kualitas air, bobot parameter kualitas air dan penyusunan kurva sub indeks merupakan hasil pengolahan data primer yang berasal dari panelis bidang air di Indonesia (Samiono et al., 2023).

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Arianti, R. P., & Atifah, Y. (2023). Effect of Water Pollution on Histopatology Fish Gill: Literature Review. Jurnal Serambi Biologi, 8(2), 138–151.

https://serambibiologi.ppj.unp.ac.id/index.php/srmb/article/view/193%0Ahtt ps://serambibiologi.ppj.unp.ac.id/index.php/srmb/article/download/193/104 Asrini, K., Sandi Adnyana, I. W., & Rai, I. N. (2017). Studi Analisis Kualitas Air

Di Daerah Aliran Sungai Pakerisan Provinsi Bali. ECOTROPHIC : Jurnal Ilmu Lingkungan (Journal of Environmental Science), 11(2), 101.

https://doi.org/10.24843/ejes.2017.v11.i02.p01

Irwan, Prasetya, E., & Tahengo, M. W. R. (2022). Analisis Pencemaran Air Pada Berbagai Jenis Usaha Mikro Studi Kasus Di Desa Huluduotamo Kecamatan Suwawa Kabupaten Bone Bolango. Jambura Journal of Public Health Science and Research, 4(1), 510–521.

https://ejurnal.ung.ac.id/index.php/jjhsr/article/download/12070/pdf Lensun, M., & Tumembouw, S. S. (2013). Tingkat pencemaran air sungai

Tondano di Kelurahan Ternate Baru Kota Manado. E-Journal BUDIDAYA PERAIRAN, 1(2), 43–48. https://doi.org/10.35800/bdp.1.2.2013.1919 Puspitasari, D. E. (2012). Dampak Pencemaran Air terhadap Kesehatan

Lingkungan dalam Perspektif Hukum Lingkungan (Studi Kasus Sungai Code di Kelurahan Wirogunan Kecamatan Mergangsan dan Kelurahan

Prawirodirjan Kecamatan Gondomanan Yogyakarta). Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 21(1), 23.

https://doi.org/10.22146/jmh.16254

Ratnaningsih, D. R., Puji Lestari, R., Nazir, E., Diah Pitalokasari, O., & Fauzi, R.

(2018). Pengembangan Indeks Kualitas Air Sebagai Alternatif Penilaian Kualitas Air Sungai. Jurnal Ecolab, 12(2), 53–61.

https://doi.org/10.20886/jklh.2018.12.2.53-61

Riduan, M., Efendi, M., & Nasruddin. (2022). Tanggapan Masyarakat Bantaran Sungai Terhadap Kualitas Air. Jurnal Pendidikan Sosiologi Antropologi, 4(1), 1–5.

Samiono, R., Komarudin, M., & Prasetyo, A. (2023). STUDI KUALITAS AIR SITU DENGAN METODE IKA-INA UNTUK PEMANFAATAN SUMBER AIR BERSIH. XII(2).

Saputra, H. M., Sari, M., Purnomo, T., Suhartawan, B., Asnawi, I., Palupi, I. F., Shabuddin, E. S., Sinaga, J., Juhanto, A., Yuniarti, E., & Nur, S. (2023).

Parameter Kualitas Air. In Pt.Suri Tani Pemuka (Issue September).

Sulistyorini, I. S., Edwin, M., & Arung, A. S. (2017). Analisis Kualitas Air Pada Sumber Mata Air Di Kecamatan Karangan Dan Kaliorang Kabupaten Kutai Timur. Jurnal Hutan Tropis, 4(1), 64. https://doi.org/10.20527/jht.v4i1.2883

(17)

Referensi

Dokumen terkait

Aktivitas industri di Kecamatan Kebakkramat yang menghasilkan limbah cair pada umumnya mengalirkan air limbahnya ke aliran sungai, yang kemudian menyebabkan penurunan

PENGARUH PEMBERIAN LIMBAH KEPALA UDANG TERHADAP KUALITAS LIMBAH CAIR KELAPA SAWIT SEBAGAI PUPUK..

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui kualitas dan kuantitas air sungai yang kemasukan limbah cair batik; (2) mengetahui kualitas air sungai Pete dapat

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui kualitas dan kuantitas air sungai yang kemasukan limbah cair batik; (2) mengetahui kualitas air sungai Pete dapat

Dengan adanya penurunan kualitas air Sungai Klampok dan beberapa kasus dugaan pencemaran air sungai tersebut, maka perlu untuk dilakukan penelitian mengenai kualitas air

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur komunitas fitoplankton yang terdapat di perairan Sungai Banger Kota Pekalongan serta mengetahui kualitas

Industri tahu X di daerah Kecamatan Bogor Utara menghasilkan limbah cair yang dibuang langsung ke area Sungai Ciliwung.. Pembuangan air limbah secara langsung tanpa proses perlakuan

Analisis Dampak Pembuangan Limbah Cair Industri Tahu Terhadap Sifat Fisis Air Sungai Sumber Wayuh Kota Blitar.. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik