• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata kunci: Anak retardasi mental,FFQ,SPPAHI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Kata kunci: Anak retardasi mental,FFQ,SPPAHI"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS

KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2020

HUBUNGAN POLA KONSUMSI GLUTEN DAN KASEIN DENGAN POLA PERILAKU HIPERAKTIF PADA ANAK RETARDASI MENTAL YANG

DISERTAI HIPERAKTIVITAS DI SLB NEGERI

Arvian Putra Riyadi1) Innez Karunia Mustikarani2) Mellia Silvy Indiyanti3)

1) Mahasiswa Program Studi Sarjana Keperawatan Universitas Kusuma Husada Surakarta [email protected]

2,3) Dosen Program Studi Sarjana Keperawatan Universitas Kusuma Husada Surakarta [email protected]

ABSTRAK

Retardasi mental merupakan suatu keadaan dimana perkembangan mental seseorang yang terhenti atau tidak lengkap atau bisa juga dikatakan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan anak seusianya. Masalah penelitian ini adalah anak retardasi mental yang mengkonsumsi makanan yang mengandung gluten dan kasein sehingga menyebabkan perilaku hiperaktif. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan pola konsumsi gluten dan kasein dengan pola perilaku hiperaktif pada anak retardasi mental di SLB Negeri Sragen.

Jenis penelitian ini adalah Kuantitatif dengan rancangan Observasional Korelatif dengan pengambilan sampel dilakukan secara total sampling, menggunakan kriteria penggguran (drop out) didapatkan responden sebanyak 32 dari 44 responden.

Penelitian ini menggunakan analisis statistik uji chi square. Penelitian ini dilakukan du SLB Negeri 1 Sragen.

Hasil penelitian ini adalah terdapat hubungan pola konsumsi gluten dan kasein dengan pola konsumsi gluten dan kasein dengan pola perilaku hiperaktif pada anak reatardasi mental di SLB Negeri Sragen. Hasil uji statistik chi square pola konsumsi gluten dan kasein dengan pola perilaku hiperaktif didapatkan hasil p value adalah o,014

Kata kunci: Anak retardasi mental,FFQ,SPPAHI Daftar pustaka: 47 (2003-2019)

(2)

STUDY PROGRAM FOR BACHELOR NURSING AND PROFESSION NERS FACULTY OF HEALTH SCIENCE KUSUMA HUSADA UNIVERSITY SURAKARTA 2020

Arvian Putra Riyadi

The Relationship between Gluten and Casein Consumption Patterns with the Hyperactive Behavior Pattern in Children with Mental Retardation in SLB Negeri

Sragen

Abstract

Mental retardation is a condition in which a person's mental development is halted or incomplete or can be said to be incompatible with the level of development of children his age. The problem of this research is that mentally retarded children consume foods that contain gluten and casein, causing hyperactive behavior. The purpose of this study was to determine the relationship between gluten and casein consumption patterns with hyperactive behavior patterns in children with mental retardation in SLB Negeri Sragen.

This type of research is quantitative with a correlative observational design with sampling carried out by total sampling, using the criteria of unemployment (drop out) obtained by 32 out of 44 respondents. This study used the chi square test statistical analysis. This research was conducted in SLB Negeri 1 Sragen.

The results of this study are that there is a relationship between gluten and casein consumption patterns with gluten and casein consumption patterns with hyperactive behavior patterns in mentally reatarded children in SLB Negeri Sragen. Result Chi square statistical test of gluten and casein consumption pattern with hyperactive behavior pattern showed that the p value was 0.014

Keywords: Children with mental retardation, FFQ, SPPAHI

Bibliography: 47 (2003-2019)

(3)

PENDAHULUAN

Retardasi mental merupakan suatu keadaan dimana perkembangan mental seseorang yang terhenti atau tidak lengkap atau bisa juga dikatakan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan anak seusianya. Pada umumnya retardasi mental ditandai dengan intelegensia yang kurang (subnormal), sejak masa perkembangan baik setelah lahir maupun masa kanak-kanak (Subini, 2014). Retardasi mental menurut klasifikasinya dibedakan menjadi ringan, sedang, berat bahkan sangat berat, yang disertai dengan keterbatasan kemampuan fisik sehingga memerlukan perawatan terus-menerus seumur hidupnya (Sutini, Keliat, & Gayatri, 2014).

Jumlah anak dengan retardasi mental di Indonesia 1-3% dalam satu populasi yang berarti dari 1000 penduduk diperkirakan 30 penduduk menderita retardasi mental dengan kriteria retardasi mental ringan 80%, retardasi mental sedang 12%, retardasi mental berat 1%. Indonesia belum memilik data pasti anak retardasi mental.

Berdasarkan data Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) tahun 2015 terdapat 4.235 anak retardasi mental yang terdaftar di sekolah luar biasa. Kejadian tertinggi pada anak sekolah umur 10 sampai 14 tahun. Retardasi mental mengenai 1,5 kali lebih banyak pada laki- laki dibandingkan perempuan (Marselina, 2016).

Berdasarkan data dinas sosial Jawa Tengah pada tahun 2008- 2017 jumlah peyandang retardasi mental sekitar 8.066 jiwa (Arfandi et.al, 2014).

Menurut hasil penelitian Fiskasila (2014) menunjukkan bahwa makanan berbahan dasar gluten dan kasein tidak begitu berpengaruh pada perilaku hiperaktif anak autis di Kota Malang.

Dengan menerapkan diet bebas gluten dan kasein pada anak autis tidak memberikan dampak yang positif secara signifikan pada perilaku hiperaktif

anak autis. Menurut penelitian Nurhidayati (2018) didapatkan hasil bahwa pola konsumsi bebas gluten dan kasein dengan pola perilaku hiperaktif anak autistik dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh antara pola konsumsi bebas gluten dan kasein dengan pola perilaku pada anak austistik.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di Sekolah Luar Biasa Negeri Sragen pada tanggal 28 Januari 2020 didapatkan data jumlah keseluruhan siswa sekolah dasar dengan retardasi mental sebanyak 44 siswa tersebut terdiri dari kelas 1 sampai kelas 6. Berdasarkan hasil wawancara yang tidak terstruktur dengan salah satu staf di sekolah luar biasa didapatkan hasil bahwa pada dasarnya setiap anak sudah mampu diajak berkomunikasi. Beberapa anak memiliki perilaku yang cenderung hiperaktif.

Berdasarkan hasil wawancara tidak terstruktur dengan 3 orang tua anak retardasi mental disekolah orang tua pertama yang diwawancara mengatakan bahwa beliau tidak terlalu memperhatikan konsumsi anaknya, beliau mengatakan hanya memperhatikan pola makan dengan porsi 3 kali sehari. Orang tua kedua mengatakan bahwa anaknya ketika dirumah diberikan makanan sesuai makanan sesuai dengan makanan yang dimasak oleh orang tua dan tidak ada pembataasan makanan khusus.

Orang tua ketiga mengatakan bahwa anaknya hanya dibatasi pada jajanan yang mengandung pewarna makanan berlebih dan susu UHT.

Dari uraian latarbelakang diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul hubungan pola konsumsi bebas gluten dan kasein dengan pola perilaku hiperaktif pada anak retardasi mental di Sekolah Luar Biasa Negeri Sragen.

(4)

METODOLOGI PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan rancangan penelitian menggunakan observasional korelatif. Rancangan penelitian tersebut merupakan suatu metode penelitian yang bertujuan untuk melihat hubungan antara dua variabel atau lebih yang dilakukan oleh pendekatan cross sectional (potong lintang) yaitu rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan atau sekali waktu (Notoatmodjo, 2010).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil yang didapatkan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

Karakteristik umur responden (n=32)

Berdasarkan tabel 1. dapat diketahui bahwa umur responden rata-rata 10 tahun dengan nilai usia termuda 7 dan nilai usia tertua 15 tahun.

Dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti, didapatkan hasil bahwa anak dengan retardasi mental ialah anak yang mengalami keterlambatan dalam berifikir dibandingkan anak seusianya. Pada hasil penelitian ini mayoritas anak berusia anak berusia 10 tahun. Dengan jumlah reposnden sebanyak 32 anak. Usia paling muda dalam penelitian ini, paling muda berusia 7 tahun dan untuk usia paling tua 15 tahun.

Pertumbuhan dan perkembangan pada masa sekolah akan mengalami percepatan pada usia 10- 12 tahun, secara umum aktivitas fisik pada anak

semakin tinggi dan memperkuat kemampuan motoriknya serta kemampuan kemandiriannya (Ariani, 2016).

Pada penelitian yang dilakukan Rosmaya (2019) didapatkan hasil Pada anak tunagrahita (retardasi mental) dengan usia sekolah mampu melakukan kegiatan sehari-hari termasuk merawat diri namun anak tersebut harus dibimbing dan dilatih terlebih dahulu.

Pertumbuhan dan perkembangan pada masa sekolah akan mengalami percepatan pada usia 10-12 tahun, secara umum aktivitas fisik pada anak semakin tinggi dan memperkuat kemampuan motoriknya serta kemampuan kemandiriannya (Ariani, 2016).

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perkembangan dan pertumbuhan anak retardasi mental pada usia sekolah dapat meningkatkan perkembangan psikomotorik dan kemampuan motorik.

Tabel 2. Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin (n=32)

Jenis

kelamin Frekuensi Presentase Laki-laki 18 56,3%

Perempuan 14 43,7%

Total 32 100%

Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa mayoritas responden berdasarkan jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 18 orang (56,3%.

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa responden dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 18 (56,3%) anak dan jenis kelamin perempuan 14 (43,7%) anak. Dari keseluruhan jumlah reponden anak retardasi mental mayoritas jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan jenis kelamin perempuan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Usia N Mea

n

Medi an

Std.

Deviati on

Min-Max

32 10 10 2,08 7-15

(5)

yang dilakukan oleh Preodita Agradi (2008) pada 61 anak di SLB Negeri Semarang, dimana diperoleh hasil anak berjenis kelamin laki-laki sebanyak 85,2% dan perempuan 14,8%, begitu juga penelitian yang dilakukan oleh Dian Ramawati (2011), yang memperoleh hasil bahwa dari 65 sampel ditemukan 40 berjenis kelamin laki-laki (61,5%).

Menurut (Teguh, 2013), jenis kelamin adalah perbedaan antara perempuan dengan laki- laki secara biologis sejak sesorang lahir. Anak tunagrahita lebih banyak terjadi pada anak laki- laki dibandingkan pada anak perempuan, sebanyak 1,5 kali lebih besar. Dalam struktur bentuk kromosom anak Laki-laki memiliki bentuk kromosom XY, sedangkan anak perempuan memiliki bentuk kromosom XX.

Penyebab laki-laki lebih banyak menderita tunagrahita karena abnormalitas sel-sel jenis kelamin Flagile X Syndrome. Flagile X Syndrome merupakan mutasi gen pada ujung kromosom X yang rusak (Teguh, 2013)

Hal ini dapat disimpukan bahwa anak laki-laki lebih dominan menderita retardasi mental dengan beberapa faktor penyebab, kemudian kematangan sosial dan kemampuan intelegensi anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan, serta umumnya anak laki-laki akan diberikan kebebasan orang tua untuk lebih mengeksplorasi dirinya dibandingkan anak perempuan. data pada hasil penelitian di SLB Negeri Sragen bahwa anak lebih banyak anak laki laki dan cenderung lebih aktif anak laki laki.

Tabel 3.Gambaran pola konsumsi gluten dan kasein, Distribusi frekuensi pola konsumsi gluten dan kasein (n=32)

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pola konsumsi gluten dan kasein pada anak retardasi mental menunjukan hasil dari 32 responden, mayoritas responden sering mengonsumsi gluten dan kasein yaitu sebanyak 19 responden (59,4%). Sedangkan jumlah frekuensi anak yang jarang mengkonsumsi sebanyak 9 responden (28,1%), kadang-kadang sebanyak 4 responden (12,5%). Dari 21 item pernyataan jenis makanan yang dimakan setiap harinya mayoritas makanan yang dikonsumsi yaitu snack wafer 3-4x, susu uht 3-4x dalam seminggu.

Makanan dan produk olahan yang beredar di pasaran kebanyakan campuran dari bahan makanan yang mengandung gluten dan kasein. Oleh karena itu, dilakukan pula pengumpulan data frekuensi asupan bahan makanan atau produk olahan yang mengandung keduanya selama 1 minggu terakhir. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Lutfia khoirunisa (2018) yang menyatakan bahwa Bahan makanan dan makanan olahan yang paling sering dikonsumsi pada sampel dengan asupan gluten kasein rendah tidak berbeda dengan sampel dengan asupan gluten kasein tinggi, tetapi yang membedakan adalah frekuensi konsumsi lebih sedikit dibandingkan sampel dengan asupan yang tinggi. Selain itu,

Kategori konsumsi

Frekuensi Presentase

Jarang 9 28,1%

Kadang- kadang

4 12,5%

Sering 19 59,4%

Total 32 100%

(6)

jenis makanan yang dikonsumsi hanya sekitar 1-2 jenis, sedangkan pada sampel yang asupannya tinggi, jenis makanan yang dikonsumsi yaitu sekitar 3-4 jenis makanan.

Penelitian lainnya yang sejalan dengan penelitian ini dilakukan oleh Effendi (2014) menunjukkan bahwa jenis pangan sumber kasein yang paling banyak dikonsumsi adalah es krim (46,7%) dengan frekuensi konsumsi antara 1-2 kali per minggu hingga 3-4 kali per minggu dan susu sapi (40%) dengan frekuensi konsumsi antara 1-2 kali per minggu hingga >6 kali per minggu. Sampel yang termasuk kategori asupan kasein tinggi yaitu sebanyak 8 orang memiliki skor frekuensi antara 85 – 170 dengan rata-rata frekuensi asupan yaitu 3 kali per minggu, 1 kali per hari, dan > 1 kali per hari. Bahan makanan dan makanan olahan yang dikonsumsi pada sampel dengan asupan kasein tinggi paling sering diantaranya yaitu susu cair, susu kental manis, susu bubuk, eskrim, cokelat dan krim (isian biskuit).

Hasil wawancara dengan orangtua/wali dari sampel, sebagian besar sampel sering mengonsumsi makanan dan produk olahan yang mengandung campuran antara gluten dan kasein.

Hal tersebut dikarenakan orangtua tidak menyadari adanya kandungan kedua zat tersebut didalam makanan dan produk olahan yang beredar luas di pasaran. Beberapa orangtua/wali dari sampel mengaku bahwa mereka mengetahui adanya kandungan gluten dan kasein pada makanan seperti wafer dan biskuit, tetapi karena kedua jenis makanan tersebut merupakan jajanan favorit anaknya setiap hari, orangtua tidak bisa melarang secara ketat dan hanya bisa membatasi jumlah serta frekuensi dari konsumsi makanan tersebut.

Hal ini dapat disimpulkan bahwa pola

konsumsi makanan yang mengandung gluten dan kasein dengan jumlah atau frekuensi makan tertentu pada anak berkebutuhan khusus seperti halnya pada anak autis. Akan tetapi anak autis lebih cepat berpengaruh dibandingkan anak retardasi mental dan pola makan gluten dan kasein dapat menyebabkan perubahan perilaku pada anak.

Tabel 4.diketahui Distribusi frekuensi pola perilaku hiperaktif (n=32)

Jenis perilaku Frekuensi Presentase

Tidak Hiperaktif 8 25%

Kurang Perhatian 7 21,9%

Implusif 16 50%

Kombinasi 1 3,1%

Total 32 100%

Berdasarkan tabel 4. diketahui bahwa mayoritas responden memiliki gejala implusif yaitu sebanyak 16 responden (50%).

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pola perilaku hiperaktif pada anak retardasi mental bahwa mayoritas responden memiliki gejala implusif yaitu sebanyak 16 responden (50%) dari 32 responden. Tidak hiperaktif sebanyak 8 responden (25%), kurang perhatian sebanyak 7 responden (21,9%), implusif yaitu sebanyak 16 responden (50%), dan kombinasi sebanyak 1 responden (3,1%). Dari 35 item pertanyaan dalam kuesioner mayoritas perilaku anak dengan retardasi mental ringan memperlihatkan perilaku implusif, bahwa anak retardasi mental dengan gelaja hiperaktif bertindak sesuai dengan keinginan sendiri. Dari beberapa responden, 1 responden menunjukan gelaja hiperaktif implusif apabila beberapa keinginan tidak dipenuhi anak akan langsung memperlihatkan emosi berlebihan dan anak retardasi mental dengan perilaku kurang

(7)

perhatian mayoritas anak anak tersebut lebih sering memperlihatkan perilaku yang cenderung menarik perhatian orang tua.

Menurut penelitian Jenifer dkk., (2014).

Dalam dominasi hiperaktif / presentasi impulsif ADHD, anak menampilkan gejala hiperaktif atau impulsif, tapi bukan dari kurangnya perhatian.

Perilaku hiperaktif dan impulsif mungkin termasuk menjadi gelisah, kesulitan bermain atau terlibat dalam kegiatan rekreasi diamdiam, berbicara berlebihan, mengganggu orang lain, kesulitan menunggu giliran seseorang, menjadi berlebihan aktif, dan meninggalkan kursi seseorang ketika tidak sesuai APA. Perilaku hiperaktif dan impulsif dapat mempengaruhi tidak hanya prestasi akademik, tetapi hubungan interpersonal juga. Seringkali, anak-anak dengan presentasi ini ADHD dipandang sebagai agresif dan mengganggu anak-anak lain dan staf pendidikan. Hal ini pada gilirannya dapat menyebabkan masalah dengan teman sebaya dan dengan melanggar aturan perilaku sekolah yang membutuhkan disiplin oleh pejabat sekolah Webb

& Myric . Perilaku impulsif khususnya yang terlibat dalam perilaku yang menyebabkan memiliki konflik dengan staf pendidikan dan rekan-rekan mereka Webb & Myric (Jenifer dkk., 2014). Hal iini sejalan dengan penelitian Nathania Bayu Astrella penelitian yang dilakukan pada 2 (dua) subyek yang mengalami retardasi mental disertai dengan ADHD, dapat disimpulkan perlunya kerjasama yang selaras antara keluarga di rumah dan pengajar di sekolah,untuk penanganan mereka. Keterbatasan kemampuan kognitif mereka, ditambah dengan gangguan ADHD (impulsivitas, hiperaktivitas, dan rendahnya rentang perhatian), memunculkan tantangan tersendiri dalam upaya mengajarkan ketrampilan adaptif, khususnya area akademik

mereka.

Menurut Suci Widya Primadani (2015) Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dikenal dalam bahasa Indonesia dengan sebutan Gangguan Hiperaktif Defisit Perhatian (GHDP). Gangguan ini dikategorikan menjadi 3 tipe yakni inatensi, hiperaktifitas/impulsifitas, dan kombinasi keduanya. Diagnosis terkini ditegakkan melalui kriteria pada Diagnostic and Statistical Manual edisi kelima (DSM-V). Dalam DSM-V kriteria dapat ditegakkan pada anak dan dewasa dengan ADHD. Anak dengan ADHD tentu dapat menjadi masalah bagi perkembangan diri, keluarga dan sosial. Oleh karena itu pendekatan secara holistik diperlukan untuk menghasilkan kualitas hidup yang lebih baik. Pendekatan ini membutuhkan peran serta dari pelayanan pendidikan, sosial (keluarga) dan fasilitas pelayanan kesehatan. Aspek yang diperhatikan dalam memperbaiki kualitas hidup adalah gangguan fungsi dan peran serta anak, kualitas kehidupan, kemampuan beradaptasi, dan kemampuan pengambilan keputusan.

Pendekatan secara holistik dengan melakukan pendekatan psikososial dapat dijadikan modalitas terapi disamping terapi medikamentosa.

Hasil peneilitian ini dapat disimpulkan bahwa perilaku hiperaktif mempunyai faktor pemicu atau penyebab anak mengalami perubahan perilaku, sedangkan dari factor tersebut orangtua/wali berperan penting dalam pemantauan perilaku.

(8)

Tabel 5.Hubungan Pola Konsumsi Gluten dan Kasein dengan Pola Perilaku Hiperaktif Pada Anak Retardasi Mental.

Hasil Uji Chi Square Semi-FFQ Dengan SPPAHI Sumber: data primer diolah dengan bantuan komuputer tahun 2020

Hasil analisa data dengan menggunakan uji statistik chi square jenis pola konsumsi gluten dan kasein dengan pola perilaku hiperaktif didapatkan hasil p value adalah o,014. Sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Hasil analisa data dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan pola konsumsi gluten dan kasein dengan pola perilaku hiperaktif pada anak retardasi mental di SLB Negeri Sragen.

Hasil analisa data dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan pola konsumsi dengan perilaku hiperaktif di SLB Negeri dengan P < 0,05. Berdasarkan penelitian ini anak dengan retardasi mental dalam frekuensi pola konsumsi gluten dan kasein terhadap pola perilaku hiperaktif sangatlah berkaitan, apabila terlalu sering mengkonsumsi dari makan yang mengandung gluten dan kasein, anak mengalami perubahan sikap. Hasil penelitian ini sejalan dengan Glodia was (2018)

Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,064. Karena nilai p lebih besar dari

diterima artinya tidak ada hubungan antara pola konsumsi kasein terhadap perilaku hiperaktif anak autis di Kota Ambon.

Menurut Dewi, (2012). Gejala hiperaktif juga dapat muncul berdasarkan makanan yang dimakan sebelumnya yang tidak dapat dicerna dengan baik oleh anak autis.

Proses pencernaan yang sempurna pada orang yang normal adalah 12-24 jam dan rata-rata pada anak normal sendiri proses pencernaan anak terjadi selama 33 jam mulai dari mulut sampai anus, tetapi pada anak autis tidak dapat dipastikan waktu makanan dapat diproses karena adanya gangguan pencernaan maupun alergi lainnya.

Menurut penelitian Rifmie Afriana pratiwi (2014) Penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara frekuensi konsumsi diet bebas gluten bebas casein dengan perubahan perilaku autis. Tingginya konsumsi bahan makanan yang mengandung gluten dan casein maka akan semakin seringnya terjadi perilaku autis. Hal ini disebabkan oleh tidak sempurnanya proses pemecahan protein yang terkandung dalam gluten dan casein. Gluten dan casein merupakan bagian dari asam amino rantai pendek yang biasa juga disebut peptide.

Keadaan normal peptide hanya diabsorbsi sedikit oleh tubuh dan sebagian besar dibuang melalui feses namun tidak demikian pada penderita autis.

Menurut Mangunsong (2014) menyebutkan ada beberapa macam kondisi anak berkebutuhan khusus antara lain cerebralpalcy, ADHD, retardasi mental, dan lain-lain. Fokus utama yang menjadi perhatian kali ini adalah anak retardasi mental

Menuurut peneliti dapat disimpulkan bahwa pola konsumsi berlebih pada makanan yang mengandung gluten dan kasein dapat merubah perilaku anak retardasi. Pada dasarnya anak dengan retardasi mental termasuk dalam

Va ria bel

SPPAHI

X2 P Tidak

Hiper aktif

Kurang Perhatia

n

Implusi

f Kombina si

Ffq N % N % N % N %

15 .8 74

a

0,01 4 Jar

an g

3 3 3, 3

5 55, 6

0 0 1 11,

1 Ka

da ng

1 2 5

0 0 3 75 0 0

Ser ing 4 2

1, 1

2 10, 5 1

3 68,

4 0 0

(9)

klasifikasi anak berkebutuhan khusus. Frekuensi dan pola konsumsi yang mengandung gluten dan kasein pada anak retradasi mental adanya pembatasan makanan tertentu, dan menerapkan diet dengan tepat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Responden berdasarkan golongan usia bahwa umur responden rata-rata 10 tahun dengan nilai usia termuda 7 dan nilai usia tertua 15 tahun.

Responden berdasarkan jenis kelamin diketahui bahwa mayoritas responden berdasarkan jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 18 orang (56,3%). Responden berdasarkan pola konsumsi gluten dan kasein bahwa mayoritas responden sering mengonsumsi gluten dan kasein yaitu sebanyak 19 responden (59,4%). Respponden berdasarkan pola perilaku hiperaktif bahwa mayoritas responden memiliki gejala implusif yaitu sebanyak 16 responden (50%). Terdapat hubungan hubungan antara pola konsumsi gluten dan kasein dengan pola perilaku hiperaktif, dengan hasil uji chi square didapatkan hasil p value adalah o,014 < α (0,05).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diharapkan :

1. Bagi institusi Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi literatur bagi akademik dan sebagai referensi penelitian terkait sehingga dapat menjadi sumber acuan penelitian selajutnya.

2. Bagi peneliti

Peneiliti dapat menambah pengalaman dan ilmu dari hasil penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan pola konsumsi bebas gluten dan kasein dengan pola perilaku hiperaktif anak retardasi mental.

3. Bagi peneliti lain

Kepada peneliti lain yang ingin melakukan penelitian dengan materi pola konsumsi gluten dan kasein dengan pola perilaku hiperaktif, kiranya hasil penelitian ini dapat menjadi acuan agar dapat meneliti variabel-variabel lain yang belum tergali dalam penelitian ini, sehingga dapat menghasilkan karya yang lebik baik untuk kemajuan program kesehatan

4. Bagi orang tua

Setelah dilakukan penelitian ini diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan orangtua terhadap pola konsumsi gluten dan kasein, dan mampu menerapkan pembatasan pola konsumsi bebas gluten dan kasein.

5. Bagi peneliti selanjutnya

Diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumber referensi bagi penelitian selantunya dan diharapkan dapat melakukan penelitian terkait agar menciptakan penelitian baru yang bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA

Ariani, Pratiwi N. (2016). Gambaran kemampuan perawatan diri (self care agency) pada anak disabilitas (tuna grahita dan tuna netra) di sekolah luar biasa negeri 1 bantul. Publikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Arifin, Z. (2015). Gambaran Pola Makan Anak Usia 3-5 Tahun Dengan Gizi Kurang Di Pondok Bersalin Tri Sakti Balong Tani Kecamatan Jabon Sidoarjo, (Online), (http://journal.umsida.ac.id/files/3.Zain ul_Arifin.pdf), diakses tanggal 2 November 2016.

Depkes RI. Pedoman Umum Gizi Seimbang Tahun (2014). Depkes RI:

http://www.depkes.go.id/PedomanUmu mGiziSeimbang 2018

Dewi A, Sari, dkk.Perbedaan Keakraban Suami- Istri Berdasarkan Adanya Anak dengan

(10)

Kecenderungan Attention Deficit/Hyperactivity Disorder. Berita

Kedokteran Masyarakat

https://core.ac.uk/download/pdf/2953555 98.pdf 2012.

Efendi, I. F. (2014). Pengetahuan Ibu, Pola Asuh Makan dan Pola Konsumsi Gluten dan Kasein pada Anak Autis di Jakarta dan Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Fransiska.(2017). Buku Ajar Psikiatri Retardasi Mental.Edisi ketiga.Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

G wass (2018). Hubungan Pola Konsumsi Gluten dan Kasein dengan Perilaku Hiperaktif Anak Autis di Kota Ambon Tahun 2016.

GLOBAL HEALTH SCIENCE (GHS), 2018 - jurnal.csdforum.com

Jennifer dkk. (2014). ADHD: Implications for School Counselors. Georgia School Counselors Association Journal. 21 (1), EJ1084428.

Lutfia khoirunisa (2018), Gambaran Asupan Gluten dan Kasein pada Anak Penderita Autis di Klinik Tumbuh Kembang Anak Rumah Sakit Al-Islam Bandung.

http://hellis.litbang.kemkes.go.id:8080/ha ndle/123456789/36862

Mangunsong, Frieda (2009). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.

jilid Ke satu. Jakarta: LPSP 3 Fakultas Psikologi UI

Maria Ulfa (.2015). Beragam Gangguan Paling Sering Menyerang ANAK.Yogyakarta :FlashBooks.

Persagi. (2003). The British Geriatrics Society.

http://www.dieak.or.id. Diakses tanggal 20 November 2014.

Rahmawati Dian Nurani. (2014). Hubungan Pola Asuh Orang tua Dengan Tingkat Kemandirian Pada Anak Retardasi Mental Sedang Di Slb Negeri 01 Bantul.

Universitas Muhammadiyah. Yogyakarta.

Riskesdas. (2018). Pedoman pewawancara petugas pengumpul data. Jakarta: Badan Litbangkes Depkes.

Subini, Nini. (2014). Panduan Mendidiki Anak Dengan Kecerdasan di Bawah RataRata.

Jakarta: Javalitera

Suci Widya Primadani (2015) Attention Deficit Hyperactivity Disorder: Diagnosis dan Pendekatan Holistik. Jurnal

Agromedicine, 2015 -

juke.kedokteran.unila.ac.id

Sutini, Keliat, BA, dan Gayatri. (2014).

Pengaruh terapiself help group terhadap koping keluarga anak retardasimental.

E-journal UNPAD. 2, 114 –123

Teguh. (2013). Retardasi Mental. teguh-s-- fpsi10.web.unair.ac.id/artikel_detail_8 3 130-psikologi-RetardasiMental.html diperoleh tanggal 26 mei 2014

(11)

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini, yang menunjukkan bahwa praktik pemasakan air oleh penjamah makanan sebelum dikonsumsi untuk minum bukan merupakan faktor

Pertambahan berat badan pada trimester I belum begitu banyak karena ibu pada trimester I masih sering mual muntah yang menjadikan asupan makanan ke dalam tubuh

Intensitas komunikasi terapeutik yang terjalin di antara perawat dan pasien anak adalah sering, yang secara rata-rata sebanyak tiga kali dalam sehari dimana waktu yang

Sejalan dengan penelitian tersebut, Nastiti (2016), mengungkapkan bahwa integrasi pendidikan karakter dalam program fullday school dapat dilakukan dengan tiga cara

Selama ini penelitian tentang dukungan keluarga dan asupan energi sudah banyak dilakukan di masyarakat, namun di dalam penelitian ini, peneliti bertujuan untuk

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah asupan energi yang dikonsumsi penderita diabetes melitus yang paling banyak adalah tidak sesuai dengan asupan energi

Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Rengganis dan Putri (2018) yang menyatakan bahwa tidak berpengaruhnya komite audit terhadap tingkat

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Khafid (2008) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh lingkungan sekolah yang didalamnya terdapat indikator