• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kawin Kontrak menurut prespektif Agama Hindu

N/A
N/A
Alfa Elthon Mission Pelasula

Academic year: 2023

Membagikan "Kawin Kontrak menurut prespektif Agama Hindu"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Kawin Kontrak menurut prespektif Agama Hindu

UPLOADED BY I. Hariri

 VIEWS 182

DOWNLOAD

Kawin Kontrak Menurut Prespektif Agama Hindu Dalam Agama Hindu sejatinya kawin kontrak tidak dikenal bahkan dilarang, yangmenjadikan landasan kami

mengenai larangan perkawinan kontrak bagi umat Hindu adalahsetelah memaknai dan menafsirkan salah satu serat yang ada di kitab Weda (Veda).

Úaý jàspatyaý suyamam astu devàh. ( Ågveda X. 85. 23)

Yang kalau diartikan dalam bahasa Indonesia „ Ya, para dewata, semoga kehidupan

per¬kawinan kami berbahagia dan tenteram‟. Makna dari

Ågveda X. 85. 23

dapat kita ambilsebuah pendapat bahwa Perkawinan menurut agama Hindu itu suatu yang disucikan

dankeabadian, sebab makna dari berbahagia dan tentram

(2)

itu identik dengan keabadian, dalam halini tidak terikat waktu. Hal itu diperdalam lagi dalam

Ågveda VI. 15. 19

Asthùri no gàrhapatyàni santu.

Jika kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia

„Hendaknyalah hubungan suami istri kamitidak bisa putus berlangsung abadi‟. Keterangan

Ågveda VI. 15. 19

semakin menguatkan bahwa perkawinan itu hendaknya berlangsung abadi, hal itu agar dapat

mewujudkankebahagiaan yang seutuhnya.

Ihaiva staý mà vi yauûþaý, viúvàm àyur vyaúnutam.

krìðantau putrair naptåbhiá, modamànau sve gåhe.

(Ågveda X. 85. 42)

Jika kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia

“Ya, pasangan suami isteri, semoga ¬anda

tetap di sini dan tidak pernah terpisahkan. Semo¬ga anda berdua mencapai hidup yang penuhkebahagiaan.

Semoga anda, bermain dengan anak anak lakimu dan cucu cucu la¬kimu,

tinggal di rumah ini dengan gembira”. Dimana tujuan perkawinan dalam Matra

Ågveda X.85. 42

bisa kita ambil kesimpulan, bahwa sang Dewata

menghendaki dan merestui sebuahikatan perkawinan yang abadi, bukan kawin yang bersifat sementara

(Kontrak) karena nilai-nilai yang tertera dalam kitab Veda

(3)

sudah sangat jelas, bahwa pernikahan itu suatu

hal yangabadi.Hal itu semakin diperjelas dengan adanya sutra di bawah ini:

Tathà nityaý yateyàtàý strìpuýsau tu kåtàkriyau, Yathà nàbhicaretàý tau viyuktà vitaretaram.

Manavadharmaúàstra IX .102.

Yang jika kita artikan dalam Bahasa Indonesia

“Hendaknya

laki-laki dan perempuan yangterikat dalam ikatan

perkawinan, mengusahkan dengan tidak jemu-jemunya agar mereka

tidak bercerai, mewujudkan antara yang satu dengan yang lain”.

Sutra

Manavadharmaúàstra IX .102

dapat kita jadikan patokan, bahwa

Agama Hindumengakui sebuah Ikatan Perkawinan dan Ikatan Perkawinan dalam Agama Hindu tidakdikenal kawin kontrak, karena dalam pemaparan kitab Veda dijelaskan bahwa perkawinan ituhubungan yang abadi, kekal, dan suci. Sehingga menurut prespektif kelompok kami, Kawinkontrak dilarang dalam agama Hindu, karena sudah jelas pemaparan dalam Kitab Veda yangmana

sejatinya perkawinan itu adalah Keabadian dan sesuatu yang Suci

MENGENAL DAN MEMAHAMI AJARAN AGAMA HINDU

Dengan mengenal dan mencintai Hindu akan mempermudah kita dalam memahaminya.

Home

(4)

Custom Search

Monday, November 12, 2007

SELINGKUH DEKAT TEMPAT SUCI

Perkawinan dan PerselingkuhanAda beberapa surat yang datang dan menanyakan masalah perkawinan serta perselingkuhan.

Suratnya panjang-panjang, karena sebelum menyampaikan pertanyaan, terlebih dahulu diawali dengan menjelaskan duduk soal mengenai latar belakang perkawinan dan perselingkuhan yang dimaksud. Surat datang, antara lain, dari: Made Arta di Tegalalang, Gianyar; Sucitra di Negara, Jembrana; Made Santi di Jalan Katrangan, Denpasar; Nyoman Susilayasa di Dawan,

Klungkung. Ada beragam pertanyaan diajukan:1. Ada orang yang melakukan perselingkuhan dekat tempat suci. Apa yang

sebaiknya dilakukan oleh warga panyungsung tempat suci tersebut?2. Apakah melaksanakan perkawinan di rumah calon mertua dapat dibenarkan? Bagaimana akibat hukumnya bila perkawinan itu dilaksanakan tidak di alamat sendiri? Apakah sesudah perkawinan dilangsungkan suami beserta istri dapat kembali ke tempat orangtua si suami?3. Ketika saya

melangsungkan perkawinan, sebagai sekadar bekal dalam

menempuh hidup baru (berkeluarga), orangtua saya memberikan sedikit kekayaannya, berupa perhiasan emas. Cuma, hingga kini saya masih titipkan ke adik dan tidak memberitahukan

pemberian itu kepada suami saya. Kalau diberitahu, khawatir suami kurang bisa menerima pemberian dari orangtua saya itu.

Saya kurang tahu sampai sejauh mana harta pemberian orangtua itu boleh dipergunakan dalam keluarga. Salahkah saya karena tidak memberi tahu suami perihal bekal tersebut ?4. Apa

bedanya perkawinan secara adat, perkawinan sesuai Undang- Undang Perkawinan, dan kawin kontrak?Jawab:

Masalah perselingkuhan dekat tempat suci. Penganut Hindu mengenal tempat suci dan kawasan suci. Tempat suci warga Hindu disebut pura, dan yang dinamakan kawasan suci adalah

Search

(5)

tempat yang ada di sekitar tempat suci atau tempat yang diyakini suci. Termasuk kawasan suci berdasarkan Keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat (PHDI) Nomor

11/Kep./I/PHDI/1994 tentang Bhisama Kesucian Pura, antara lain: gunung, danau, campuhan (pertemuan dua sungai atau lebih), pantai, laut, dan sebagainya yang diyakni memiliki nilai- nilai kesucian.Tempat-tempat suci dimaksudkan tadi memiliki radius kesucian yang disebut daerah kekeran. Kekeran ini bisa ditentukan lewat ukuran apaneleng, apanimpug, dan

apenyengker. Ukuran-ukuran atau batas kesucian satu pura tentu disesuaikan dengan tempat suci yang ada. Untuk kategori pura sad kahyangan dipakai ukuran apaneleng agung (minimal 5 km dari pura). Pura berstatus dang kahyangan radius

kesuciannya dipakai ukuran apeneleng alit (minimal 2 km dari pura), dan untuk kahyangan tiga dan lain-lain dipakai ukuran apanimpug dan apanyengker (batas tembok pura).Nah,

menyangkut pertanyaan tentang ada orang yang melakukan perselingkuhan di tempat suci, sepatutnya dilihat dulu seberapa dekat perbuatan itu dilakukan? Apakah tempat perselingkuhan itu terjadi diyakini sebagai kawasan suci atau tidak? Ini penting dipastikan sebelum melakukan sesuatu, mengambil satu

keputusan, termasuk mengenakan sanksi kepada orang yang melakukan perslingkuhan tadi. Kalau yang bersangkutan harus dikenakan sanksi, sanksi yang ditimpakan bukan untuk balas dendam atas dasar sentimen, melainkan sanksi yang benar-benar dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan sakala dan niskala menurut keyakinan Hindu. Oleh karena itu, dalam hal ini yang penting adalah bahwa sanksi itu mengandung unsur

sangaskara danda (upacara tertentu menurut keyakinan Hindu), sekecil apa pun sanksi yang dijatuhkan.Kemudian, masalah

tempat melangsungkan upacara perkawinan. Perkawinan menurut orang Bali yang beragama Hindu, umumnya dapat dibedakan menjadi dua. Perkawinan biasa dan perkawinan

nyentana . Dalam perkawinan biasa, rangkaiannya kurang lebih sebagai berikut: ada dua orang saling mencintai, kemudian merencanakan perkawinan.Sistem perkawinan seperti ini

(6)

umumnya dilaksanakan dengan ngidih atau memadik (meminang) dan ngrorod atau ngerangkat (lari bersama).

Sesudah itu dilanjutkan dengan menggelar upacara perkawinan di alamat suami. Upacara lain yang menyertai adalah: mapejati dan terakhir penyelesaian administrasi perkawinan. Jadi,

lazimnya, perkawinan dilaksanakan di rumah mempelai laki- laki.Sebaliknya, perkawinan yang dilaksanakan di alamat

mempelai wanita biasanya disebut perkawinan nyentana . Dalam hal ini ada perubahan status, yaitu sang istri berubah status menjadi purusa atau laki-laki dan yang laki-laki berstatus predana atau wanita. Yang berubah adalah status hukumnya, menurut hukum adat Bali. Bukan alat kelaminnya!Perlu

ditambahkan, perkawinan nyentana atau disebut pula

perkawinan kaceburin . Perkaiwnan dengan cara ini biasanya dilaksanakan bagi orangtua yang tidak melahirkan anak laki-laki.

Dalam hal ini, salah seorang di antara anaknya yang perempuan (biasanya anak perempuan tertua) akan tetap tinggal di rumah (sebagai sentana rajeg ). Anak inilah yang melanjutkan

kewajiban orangtuanya. Sementara anak perempuan lainnya boleh melakukan perkawinan seperti biasa.Sehubungan dengan permasalahan yang Anda kemukakan, ada hal yang kurang jelas bagi saya. Apakah Anda akan melaksanakan perkawinan

nyentana atau perkawinan biasa. Saya menangkap Anda akan melangsungkan perkawinan biasa.

Walaupun Anda melaksanakan perkawinan biasa, sebenarnya tidak ada larangan jika melangsungkan perkawinan di rumah calon mertua. Asalkan ada kejelasan bahwa keberadaan Anda di sana dalam rangka meminjam tempat perkawinan, bukan

nyentana . Hal ini harus diketahui dan dimengerti terutama oleh Anda berdua, keluarga, dan masyarakat di tempat asal Anda, serta keluarga dan masyarakat di tempat perkawinan itu

dilangsungkan. Hal ini penting dipertegas agar tak menimbulkan persepsi lain. Kalau semua sudah tahu dan mengerti, tidak ada konsekuensi hukum yang patut dikhawatirkan. Cuma, yang harus dipahami, kalau Anda merasa telah mempunyai rumah dan

mempunyai keluarga, kenapa harus bingung mencari tempat

(7)

melangsungkan upacara perkawinan? Laksanakan saja sesuai dengan yang lumrah berjalan selama ini. Gampang sekali.Dalam satu perkawinan memang terkadang ada orangtua memberikan secara sukarela kepada anak perempuannya sekadar bekal dalam menempuh hidup baru (berkeluarga). Pemberian oleh orangtua kepada anaknya menjelang perkawinan sebagai bekal berumahtangga, dikenal dengan istilah jiwa dana . Dapat berupa benda tetap (tanah) atau benda bergerak (emas, uang, dan

lainnya). Nah, sejauh mana harta pemberian orangtua itu boleh dipergunakan dalam keluarga dan apakah Saudari salah karena tidak memberi tahu kepada suami perihal dari mana harta

tersebut didapatkan?Kalau dicap salah, mungkin tidak begitu amat. Tetapi, yang pasti, kurang etis. Sungguh tidak etis kalau seorang istri mendapat sesuatu dan tidak menyampaikan secara terus terang kepada suami. Lebih-lebih lagi yang namanya jiwa dana (pemberian secara sukarela dari orangtua). Secara yuridis (hukum) pemberian semacam ini sepenuhnya menjadi hak pihak yang diberikan atau si penerima. Harta semacam ini tidak akan menjadi harta bersama (suami istri), kecuali pihak yang

menerima secara sukarela menjadikannya sebagai harta bersama. Bila harta itu tidak menjadi harta bersama, berarti pemilik bebas memanfaatkannya. Sebaliknya, kalau harta

tersebut dijadikan harta bersama, maka setiap pemanfaatannya haruslah dengan persetujuan suami istri. Lebih baik yang mana, tetap dipertahankan menjadi milik sendiri atau dijadikan harta bersama? Ini yang mesti dipikirkan lebih matang. Kalau benda tetap (tanah), biasanya akan disertifikatkan atas nama sendiri agar ”keamanannya” lebih terjamin. Kalau benda bergerak, terserah Anda. Yang penting tulus dan terus terang agar terang terus. Kalau tidak terus terang, maka terus tidak terang.Perihal pertanyaan perbedaan antara perkawinan menurut hukum adat Bali, sesuai Undang-Undang Perkawinan, dan kawin kontrak.

Perkawinan menurut ketentuan yang pertama dan kedua (ditelaah dari sudut hukum adat Bali dan Undang-Undang

Perkawinan), tidak banyak bedanya. Artinya, kalau semua proses perkawinan menurut hukum adat Bali dilaksanakan, ditambah

(8)

penyelesaian akte perkawinan, berarti sudah sama persis dengan perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan.Menyangkut kawin kontrak, minta ampun beribu-ribu ampun, saya tidak bisa menjelaskan. Terus terang, memang tidak tahu.

Diposkan oleh I WAYAN SUDIARSA di

Posted: 13 Januari 2015 in semester 4 pendidikan agama hindu 2013 0

index

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

Perkawinan adalah adanya ikatan antara dua orang, pria dan wanita secara lahir bathin, bertujuan membentuk rumah tangga bahagia.

Perkawinan berhubungan erat dengan agama, Perkawinan bukan hanya mempunyai unsur jasmani tapi juga rohani

Wiwaha identik dengan upacara yadnya menyebabkan hukum hindu juga sebagai dasar persyaratan dalam pelaksanaan perkawinan.

Legalnya upacara perkawinan harus ditandai dengan pelaksanaan ritual, yaitu upacara wiwaha minimal upacara byakala.

Perkawinan dianggap sah bila ada saksi.

Dalam Upacara wiwaha, terdapat tri upasaksi (tiga saksi), yaitu Dewa Saksi, Manusa Saksi dan Butha Saksi.

(9)

Usai melaksanakan Upacara Byakala, Kedua pasangan resmi sebagai Suami-Istri (Dampati).

perceraian sebagai putusnya hubungan perkawinan secara hukum yang disebabkan pada hubungan pernikahan yang tidak berjalan dengan baik yang biasanya didahului oleh konflik antar pasangan suami istri yang pada akhirnya mengawali berbagai perubahan emosi, psikologis, lingkungan dan anggota keluarga serta dapat menimbulkan perasaan yang mendalam.

cerai hidup antara pasangan suami istri sebagai akibat dari kegagalan mereka menjalankan obligasi peran masing-masing. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku (Erna, 1999¬).

Perceraian merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami istri.

<strong>1.2 Rumusan Masalah</strong>

1. Apa itu pengertian perkawinan dan perceraian dalam hukum hindu di bali?

2. Bagaimana perkawinan dan perceraian hindu menurut manawadharma sastra dan sistem perkawinannya?

3. Undang-undang No. Tahun dan pasal berapa saja yang mengatur perkawinan dan perceraian yang syah menurut hukum Hindu?

<strong>

1.3 Tujuan Penulis</strong>

1. Untuk mengetahui Apa itu pengertian perkawinan dan perceraian dalam hukum hindu di bali.

2. Untuk mengetahui Bagaimana perkawinan dan perceraian hindu menurut manawa dharma sastra dan sistem perkawinannya.

(10)

3. Untuk mengetahui Undang-undang No. Tahun dan pasal berapa saja yang mengatur perkawinan dan perceraian yang syah menurut hukum Hindu.

BAB II

<strong>PEMBAHASAN

2.1 Perkawinan dan Perceraian menurut Hukum Hindu Bali</strong>

Hukum hindu di Bali mengenal dua bentuk perkawinan, yaitu perkawinan biasa (wanita menjadi keluarga suami) dan perkawinan nyentana/nyeburin (suami berstatus pradana dan menjadi keluarga istri). Dalam perkembangan selanjutnya, adakalanya pasa¬ngan calon pengantin dan keluarganya tidak dapat memilih salah satu di antara bentuk perkawinan tersebut, karena masing-masing merupakan anak tunggal, sehingga muncul bentuk perkawinan baru yang disebut perkawinan pada gelahang. Hal ini menjadi persoalan tersendiri dalam masyarakat Bali

sehingga perlu segera disikapi.

Selain perkembangan mengenai bentuk perkawinan, perkawinan beda wangsa yang secara hukum tidak lagi dianggap sebagai larangan perkawinan sejak tahun 1951 berdasarkan Keputusan DPRD Bali Nomor 11/Tahun 1951 tanggal 12 Juli 1951, ternyata masih menyisakan persoalan tersendiri dalam masyarakat, yakni masih dilangsungkannya upacara patiwangi dalam perkawinan yang lazim disebut nyerod. Hal ini perlu pula disikapi karena hal itu bertentangan dengan hak asasi manusia dan menimbulkan dampak ketidaksetaraan kedudukan perempuan dalam keluarga, baik selama perkawinan maupun sesudah perceraian.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali (disaksikan prajuru banjar atau desa

pakraman) dan agama Hindu. Sesuai Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, perkawinan bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali, agama Hindu, sedangkan perceraian baru dapat

dikatakan sah apabila dilaksanakan di pengadilan negeri sesuai ketentuan Undang- Undang Perkawinan.

(11)

Apabila diperhatikan uraian di atas, tampak jelas bahwa Undang-Undang

Perkawinan tidak memberikan penghargaan yang seimbang kepada hukum adat Bali dan agama Hindu, dalam hubungan dengan pelaksanaan perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu. Ketentuan hukum adat Bali dan ajaran Hindu

mendapat tempat yang sepantasnya dalam pelaksanaan perkawinan, tetapi tidak demikian halnya dalam perceraian. Terbukti, perceraian dikatakan sah setelah ada putusan pengadilan, tanpa menyebut peran hukum adat Bali (prajuru desa

pakraman) dan ajaran agama Hindu. Akibatnya, ada sementara warga yang telah cerai secara sah berdasarkan putusan pengadilan, tetapi tidak diketahui oleh sebagian besarkrama desa (warga) dan tidak segera dapat diketahui oleh prajuru desa pakraman. Kenyataan ini membawa konsekuensi kurang baik terhadap keberadaan hukum adat Bali dan menyulitkan prajuru desa dalam menentukan swadharma atau tanggung jawab krama desa bersangkutan.

Berdasarkan fakta-fakta di atas maka Pasamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman Bali memutuskan sebagai berikut.

1. Upacara patiwangi tidak dilaksanakan lagi terkait dengan pelaksanaan upacara perkawinan.

2. Bagi calon pengantin yang karena keadaannya tidak memungkinkan melangsungkan perkawinan biasa atau nyeburin (nyentana), dimungkinkan melangsungkan perkawinan pada gelahang atas dasar kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan.

3. Agar proses perceraian sejalan dengan proses perkawinan, maka perceraian patut dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:

• Pasangan suami istri yang akan melangsungkan perceraian, harus

menyampaikan kehendaknya itu kepada prajurubanjar atau desa pakraman.

Prajuru wajib memberikan nasihat untuk mencegah terjadinya perceraian.

• Apabila terjadi perceraian maka terlebih dahulu harus diselesaikan melalui proses adat, kemudian dilan¬jutkan dengan mengajukannya ke pengadilan negeri untuk memper¬oleh keputusan.

• Menyampaikan salinan (copy) putusan perceraian atau akte perceraian kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Pada saat yang bersamaan, prajuru banjar

(12)

atau desa pakraman menyarankan kepada warga yang telah bercerai supaya melaksanakan upacara perceraian sesuai dengan agama Hindu.

• Prajuru mengumumkan (nyobyahang) dalam paruman banjar atau desa pakraman, bahwa pasangan suami istri bersangkutan telah bercerai secara sah, menurut hukum nasional dan hukum adat Bali, sekalian menjelaskan

swadharmamantan pasangan suami istri tersebut di banjar atau desa pakraman, setelah perceraian.

<strong>2.1.1 Makna Perkawinan</strong>

Sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat Umat Hindu di Bali, kawin mengandung pengertian mirip dengan definisi yang tercantum pada pasal 1. U. U.

D. No : 1 tahun 1974, yaitu ikatan lahir bathin, bahkan “ kemenunggalan pribadi”

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagian dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Hanya saja perkawinan umat hindu itu mempunyai sifat-sifat tertentu selaku identitasnya suatu umat yang beragama dan berbudaya sendiri, yaitu:

a. Betapa bentuknya keluarga, serta bagaimana status suami istri masing-masing.

b. Betapa kriterianya keluarga bahagia serta apa syarat-syarat yang perlu ada pada ikatan tersebut, hingga bahagia itu diharap dapat terwujud.

c. Semuanya itu ditentukan oleh pokok keyakinan, dalam hal ini Agama Hindu sebagaimana yang hidup di Bali ini.

<strong>2.1.2 Akibat hukum perceraian adalah sebagai berikut.</strong>

• Setelah perceraian, pihak yang berstatus pradana (istri dalam perkawinan biasa atau suami dalam perkawinannyeburin) kembali ke rumah asalnya dengan status mulih daa atau mulih taruna, sehingga kembali melaksanakanswadharma berikut swadikara-nya di lingkungan keluarga asal.

• Masing-masing pihak berhak atas pembagian harta gunakaya (harta bersama dalam perkawinan) dengan prinsippedum pada (dibagi sama rata).

(13)

• Setelah perceraian, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan hubungan hukum dan hubungan pasidikaran anak tersebut dengan keluarga purusa, dan oleh karena itu anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa.

<strong>2.2 Perkawinan dan perceraian menurut hukum Hindu berdasakan kitab Manawa Dharma Sastra</strong>

BAB IX Sloka 59 :

Dewa radwa sapindadwa striya samyangniyukta ya prajepsitadhi gantawya samtanasya parisaye.

Artinya :

Kegagalan memperoleh anak oleh seorang wanita dari suaminya, dengan secara khusus ia dapat memperoleh anak melalui levirat dengan saudara angkatnya atau saudara yang sedarah dengan suaminya.

Penjelasan :

Berdasarkan ayat ini suami dapat menguasakan istrinya atau setelah mati suaminya kepada sanak keluarga suaminya.

Sapinda = satu ikatan keluarga yang terikat dalam satu pinda yang dalam sistem kekeluargaan sapinda ini dihitungtiga ke atas dan tiga ke bawah jika ditarik garis lurus dalam kelompok kekeluargaan itu disebut sapinda. Atas kuasa Undang Undang untuk memperoleh anak laki laki itu suami dapat menguasakan istrinya.

Ayat ini yang sering dijadikan landasan untuk melakukan perkawinan levirat atau untuk angkat sentanan atau merubah status anaknya yang perempuan sebagai status anak laki laki dengan berakibat kawin.

Demikian Kitab Manawa Dharma sastra Bab IX sloka 59.

Selanjutnya Kitab Manawa Dharma sastra Bab IX Sloka 68 :

(14)

Tatah prabhrti yo mohat pramita patikam striyam

niyojayatyampatyartham tam wigarhanti sadhwah

Artinya :

Sejak waktu itu, orang orang bijaksana melakukan perkawinan levirat dengan wanita yang suaminya telah meninggal dunia hanya karena untuk memperoleh anak laki laki dari lelaki lainnya.

Selanjutnya pada BAB IX Sloka 72 dinyatakan : Widhiwatparati grhyapi tyajed

kanyam wigarhitam wyadhitam wipra dustam wa chadmana copapaditam Artinya :

Walaupun seorang laki laki mungkin telah menrima seorang gadis / dikawini sesuai menurut hukum, ia boleh meninggalkannya bila ia cacad berpenyakit atau telah diperkosa dan itupun bila telah diberikan dengan tipu daya.

Penjelasan :

Cacad, misalnya memiliki cacad dalam tubuh atau tanda tanda yang dapat

dianggap tidak baik atau misalnya karena turunan dari orang yang tidak layak atau keluarga hina.

Demikian, sebaikanya sebelum menikah harus diperiksakan terlebih dahulu ke dokter seperti yang dilakukan oleh kaum Islam.

Manawa Dharma Sastra Bab IX Sloka 77 : Samwatsaram pratikseta

dwisantim yositam patih,

(15)

urdhwam samwatsarattwenam dayam khrtwana samwaset.

Artinya :

Hendaknya suami bertahan selama satu tahun terhadap istri yang membencinya, tetapi bila waktu itu telah lewat, ia boleh berbagi harta dan bercerai dari padanya.

Penjelasan :

Harta miliknya yaitu barang barang atau benda benda yang diberikan kepada istrinya olehnya (Medhaditi), Nanda) yang di dalam kitabnya Narayana disebut dengan istilah stridhana yaitu harta benda yang diberikan olehnya tetapi terpisah daro harta campuran dan bukan merupakan barang bawaan dari keluarganya sendiri.

Manawa Dharma Sastra BAB IX Sloka 81 : Bandhastame dhiwedyambde

dacame tu mrtappraja,

ekadace strijanani sadyas twa priyawadini.

Artinya :

Wanita yang tak berketurunan dapat diganti setelah delapan tahun, ia yang anknya semua meninggal dalam sepuluh tahun, ia yang hanya mempunyai anak perempuan saja dalam waktu sebelas tahun, tetapi ia yang suka bertengkar tidak menunggu nunggu waktu lagi.

Penjelasan :

Wanita tak berketurunan artinya tak bisa punya anak (mandul ) menurut ayat ini dapat dimadu dan statusnya diganti oleh istri kedua bila telah lewat masa delapan tahun, sedangkan pernah punya anak tetapi anaknya meninggal akan diganti kedudukannya bila lewat masa sepuluh tahun, tidak berketurunan lagi tetapi ia baru punya hanya anak perempuan saja dapat dimadu setelah masa sebelas tahun. Ketentuan ini didasarkan atas hukum bahwa hanya anak laki laki sajalah yang berhak melakukan sraddha.

(16)

Manawa Dharma sastra BAB IX Sloka 82 : Ya rogini syattu hita

sampanna caiwa cilatah sanujnapyadhi wettawya nawamanya ca karhicit.

Artinya :

Tetapi istri yang sakit, terhadap suaminya bertingkah laku yang baik, dapat diganti hanya dengan persetujuannya dan tidak boleh dihina.

Penjelasan :

Berdasarkan ayat ini kekecualian diberikan terhadap wanita yang setia sebagai istri tetapi karena sakit tidak dapat beranak maka penggantiannya atau pemaduannya hanya dapat dilakukan dengan persetujuannya dan berdasarkan syarat ini sola waktu tidak disebutkan dan karena itu tergantung pada pembuktian ketidak mampuannya karean sakit bila harus dilakukan sebelum waktu minimalm 8 tahun yang telah ditentukan.

Menurut agama Hindu dalam kitab Manava Dharmasastra III. 21 disebutkan 8 bentuk perkawinan sebagai berikut:

<strong>2.2.1 Sistem Pawiwahan dalam Agama Hindu</strong>

1. Brahma wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pria ahli Veda dan berkelakukan baik yang

diundang oleh pihak wanita.

2. Daiwa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pendeta pemimpin upacara.

3. Arsa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang terjadi karena kehendak timbal- balik kedua belah pihak antar keluarga laki-laki dan perempuan dengan

menyerahkan sapi atau lembu menurut kitab suci.

4. Prajapatya wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan menyerahkan seorang putri oleh ayah setelah terlebih dahulu menasehati kedua mempelai dengan

(17)

mendapatkan restu yang berbunyi semoga kamu berdua melakukan dharmamu dan setelah memberi penghormatan kepada mempelai laki-laki.

5. Asuri wiwaha adalah bentuk perkawinan jika mempelai laki-laki menerima wanita setelah terlebih dahulu ia memberi harta sebanyak yang diminta oleh pihak wanita.

6. Gandharva wiwaha adalah bentuk perkawinan berdasarkan cinta sama cinta dimana pihak orang tua tidak ikut campur walaupun mungkin tahu.

7. Raksasa wiwaha adalah bentuk perkawinan di mana si pria mengambil paksa wanita dengan kekerasan. Bentuk perkawinan ini dilarang.

8. Paisaca wiwaha adalah bentuk perkawinan bila seorang laki-lak dengan diam- diam memperkosa gadis ketika tidur atau dengan cara memberi obat hingga mabuk. Bentuk perkawinan ini dilarang.

<strong>2.3 Syarat Sah suatu Pawiwahan menurut Hukum Hindu.</strong>

Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kitab Suci Manava

Dharmasastra maka syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin dan administrasi, sebagai berikut:

• Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai.dan mendapatkan izin kedua orang tua. Persetujuan tersebut itu harus secara murni dan bukan paksaan dari calon pengantin serta jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal maka yang memberi izin adalah keluarga, wali yang masih ada hubungan darah. Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang harus dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35 yang berbunyi:

“Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam wicisyate, Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya”

“Pemberian anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului dengan percikan air suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya cukup dilakukan dengan pernyataan persetujuan bersama” (Pudja dan Sudharta, 2002:

141).

(18)

• Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 ( sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut tidaklah mutlak karena jika belum mencapai umur.

minimal tersebut untuk melangsungkan perkawinan maka diperlukan persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Agama Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut dimana dalam Manava Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa walaupun seorang gadis telah mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal bersama orang tuanya hingga akhir hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon suami yang memiliki sifat yang baik atau orang tua harus menuggu 3 tahun setelah putrinya mencapai umur yang layak untuk kawin, baru dapat dinikahkan dan orang tua harus

memilihkan calon suami yang sederajat untuknya. Dari sloka tersebut disimpulkan umur yang layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru dapat mengawinkan anaknya setelah berumur 21 tahun (Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001: 34).

• Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun 1974, dalam Hukum Hindu perkawinan yang dilarang dan harus dihindari dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada hubungan sapinda dari garis Ibu dan Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan upacara suci, tidak mempunyai

keturunan laki-laki, tidak mempelajari Veda, keluarga yang anggota badannya berbulu lebat, keluarga yang memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan wanita yang tidak memiliki etika.

• Selain itu persayaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu disiapkan oleh calon pengantin, antara lain: surat sudhiwadani, surat keterangan untuk nikah, surat keterangan asal usul, surat keterangan tentang orang tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan baik, surat keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6, surat keterangan domisili, surat keterangan belum pernah kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga dan surat ijin orang tua.

Samskara atau sakramen dalam agama Hindu dianggap sebagai alat permulaan sahnya suatu perkawinan. Hal tersebut dilandasi oleh sloka dalam Manava Dharma sastra II. 26 sebagai berikut:

(19)

“Waidikaih karmabhih punyair nisekadirdwijanmanam, Karyah carira samskarah pawanah pretya ceha ca”

“Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci hendaknya dilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta upacara-upacara kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala dosa dan hidup ini maupun setelah meninggal dunia”

(Pudja dan Sudharta, 2002:69).

Dalam pelaksanaan upacara perkawinan ( samskara ) tersebut, agama Hindu tidak mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat karena dalam agama Hindu selain Veda sruti dan smrti, umat Hindu dapat berpedoman pada Hukum Hindu yang berdasarkan kebiasaan yang telah turun temurun disuatu tempat yang biasa disebut Acara. Dengan melakukan upacara dengan dilandasi oleh ajaran oleh pustaka Veda dan mengikuti tata cara adat, maka akan didapatkan kebahagiaan di dunia (Jagadhita ) dan Moksa. Hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharma sastra II. 9 sebagai berikut:

“Sruti smrtyudita dharma manutisthanhi manavah, iha kirtimawapnoti pretya canuttamam sukham”

“Karena orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka suci dan mengikuti adat istiadat yang keramat, mendapatkan kemashuran di dunia ini dan setelah meninggal menerima kebahagiaan yang tak terbatas (tak ternilai)”

( Pudja dan Sudharta, 2002: 63).

Dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik berdasarkan kitab suci maupun adat istiadat maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon pengantin harus sudah dalam satu agama Hindu dan jika belum sama maka perlu dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu menurut kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavad Gita XVII.

12-14 sebutkan syarat-syarat pelaksanaan Upacara, sebagai berikut:

1) Sapta pada (melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan kedua mempelai itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam berbagai variasi (estetikanya) sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya menginjak telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.

(20)

2) Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara

perkawinan. Dalam budaya jawa dilakukan dengan mengunakan kekapa ( sejenis selendang) dengan cara ujung kain masing-masing diletakkan pada masing-masing mempelai dengan diiringi mantra atau stotra.

3) Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).

4) Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai pelaksanaan yajña harus diyakini kebenarannya. Yajña tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam sesaji menjadi bermakna dan

mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya sebagai pajangan biasa.

5) Lascarya artinya suatu yajña yang dilakukan dengan penuh keiklasan.

6) Sastra artinya suatu yajña harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci.

Hukum yang berlaku dalam pelaksanaan yajña disebut Yajña Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman

pelaksanaan yajña.

7) Daksina artinya adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.

8) Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yajña harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.

9) Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yajña hendaknya ada jamuan makan dan menerima tamu dengan ramah tamah.

10) Nasmita artinya suatu upacara yajña hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan.

Demikianlah tinjauan secara umum tentang pelaksanaan perkawinan atau pawiwahan yang ideal menurut agama Hindu.

(21)

<strong>BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan</strong>

Hukum agama hindu di Bali mengenal dua bentuk perkawinan, yaitu perkawinan biasa (wanita menjadi keluarga suami) dan perkawinan nyentana/nyeburin (suami berstatus pradana dan menjadi keluarga istri). Dalam perkembangan selanjutnya, adakalanya pasa¬ngan calon pengantin dan keluarganya tidak dapat memilih salah satu di antara bentuk perkawinan tersebut, karena masing-masing merupakan anak tunggal, sehingga muncul bentuk perkawinan baru yang disebut perkawinan pada gelahang. Hal ini menjadi persoalan tersendiri dalam masyarakat Bali

sehingga perlu segera disikapi.

Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan penghargaan yang seimbang kepada hukum adat Bali dan agama Hindu, dalam hubungan dengan pelaksanaan perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu. Ketentuan hukum adat Bali dan ajaran Hindu mendapat tempat yang sepantasnya dalam pelaksanaan perkawinan, tetapi tidak demikian halnya dalam perceraian. Terbukti, perceraian dikatakan sah setelah ada putusan pengadilan, tanpa menyebut peran hukum adat Bali (prajuru desa pakraman) dan ajaran agama Hindu. Akibatnya, ada sementara warga yang telah cerai secara sah berdasarkan putusan pengadilan, tetapi tidak diketahui oleh sebagian besarkrama desa (warga) dan tidak segera dapat diketahui oleh prajuru desa pakraman. Kenyataan ini membawa konsekuensi kurang baik terhadap keberadaan hukum adat Bali dan menyulitkan prajuru desa dalam menentukan swadharma atau tanggung jawab krama desa bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA I Gst. Ketut Kaler

Windia, Wayan. P. 2008. Tanya Jawab Hukum Adat Bali. Denpasar: Majelis Utama Desa Pakraman.

(22)

Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya:

Paramita

http://www.Keputusan Majelis Utama Desa Pekraman Bali(MUDP).com :www.dharmavada.wordpress.com

<div id=”__if72ru4sdfsdfrkjahiuyi_once” style=”display: none;”></div>

<div id=”__if72ru4sdfsdfruh7fewui_once” style=”display: none;”></div>

<div id=”__hggasdgjhsagd_once” style=”display: none;”></div>

Referensi

Dokumen terkait

Address, fax number and e-mail address if available of other body: Ministry of Food, Agriculture and Livestock General Directorate of Food and Control Eskisehir Yolu 9.. Texts

Final date for comments: [X] Sixty days from the date of circulation of the notification and/or dd/mm/yy: 19 May 2019 Agency or authority designated to handle comments: [ ] National