Keadilan Agraria dan Penataan Ruang
sebagai Basis Integrasi Bangsa
Penyunting Erfiana Prihastuty
Supinah Dian Ayu Purwasari
STPN Press, 2020
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta Pasal 2:
(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana Pasal 72:
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedar- kan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelang- garan Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Keadilan Agraria dan Penataan Ruang
sebagai Basis Integrasi Bangsa
Penyunting Erfiana Prihastuty
Supinah Dian Ayu Purwasari
STPN Press, 2020
Keadilan Agraria dan Penataan Ruang sebagai Basis Integrasi Bangsa
© Erfiana Prihastuty, Supinah dan Dian Ayu Purwasari (Ed.)
Diterbitkan pertama kali dalam Bahasa Indonesia Oleh: STPN Press
Mei 2020
Jl. Tata Bumi No. 5 Banyuraden, Gamping, Sleman Yogyakarta, 55293
Tlp. (0274) 587239 Fax: (0274) 587138 Website: http://pppm.stpn.ac.id
Editor: Erfiana Prihastuty, Supinah dan Dian Ayu Purwasari Proofing: Mariska Widya Arfiana
Layout : Erfiana Prihastuty
Cover: Bakti Aji Setiawan dan Rizky Nauval Millenda
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Keadilan Agraria dan Penataan Ruang
sebagai Basis Integrasi Bangsa STPN Press, 2020 xxi+ 168 hlm.: 21 x 14 cm ISBN: 978-602-7894-14-3
Buku ini tidak diperjualbelikan.
Diperbanyak untuk kepentingan pendidikan, pengajaran, dan penelitian
SAMBUTAN KETUA
SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas terbitnya Buku Kumpulan Esai yang berjudul Keadilan Agraria dan Penataan Ruang Sebagai Basis Integrasi Bangsa. Buku ini berisi 15 (lima belas) esai yang terpilih dalam Lomba Esai Agraria Tingkat Nasional Ke-5 yang diseleng- garakan oleh Sekolah Tingi Pertanahan Nasional (STPN) pada tahun 2019. Lomba Esai ini dilaksanakan secara rutin oleh STPN mulai tahun 2015.
Saat ini di kota-kota besar di Indonesia sudah
mulai terjadi permasalahan terkait dengan tata
ruang perkotaan. Banyak pemanfaatan ruang yang
tidak teratur, contohnya bangunan-bangunan ilegal
semakin menjamur, pedagang-pedagang nakal
mulai menguasai fasilitas umum seperti trotoar. Di
situasi yang terjadi saat ini, kita harus mulai
berpikir tentang bagaimana melakukan penataan
ruang yang seefektif mungkin sehingga tidak
menimbulkan gejolak yang tidak baik di masyarakat. Kesalahan dalam penataan ruang dapat juga berakibat pada ketidakadilan agraria yang berdampak terhadap munculnya ketim-pangan struktur perekonomian yang menimbulkan kelas- kelas masyarakat tertentu yang apabila tidak diatasi akan berakibat pada ketidakharmonisan dalam masyarakat.
Menanggapi hal tersebut diperlukan kontribusi dari segenap elemen bangsa, bukan hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh para pemuda, khususnya para mahasiswa untuk berpikir dan bertindak dalam menyikapi secara positif problematika yang terjadi. Peran mahasiswa tersebut dikumpulkan dapat menyumbangkan gagasan bagi pengelolaan agraria/pertanahan dan tata ruang yang memakmurkan dan menentramkan yang salah satunya diwadahi melalui kegiatan, Lomba Esai Agraria Tingkat Nasional ke-5.
Sebagai Perguruan Tinggi Kedinasan di bawah naungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
(Kementerian ATR/BPN RI), STPN sangat
merespon berbagai karya tulis yang dihasilkan oleh
segenap sivitas perguruan tinggi, termasuk para mahasiswa. Respon ini merupakan bentuk kepedulian STPN dalam rangka mewujudkan Penataan ruang yang berkeadilan sebagai basis integrasi bangsa.
Penataan ruang merupakan salah satu instrumen yang bernilai strategis untuk mewadahi proses pembangunan, karena di dalamnya terdapat upaya-upaya penanganan lingkungan, pem- bangunan ekonomi, pemerataan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penataan ruang sebagai sebuah konsep pemikiran atau gagasan, mencakup penataan semua kegiatan beserta karakteristiknya yang berkaitan dengan ruang.
Pemahaman di atas ternyata disambut cukup
antusias di kalangan para generasi muda
mahasiswa. Naskah-naskah yang mereka kirim dari
berbagai disiplin ilmu dan berbagai perguruan
tinggi mencerminkan pemahaman itu. Gagasan-
gagasan serta inovasi-inovasi yang diutarakan
merupakan suatu pemikiran, konsep, bahkan
usulan suatu kegiatan yang sangat dapat membantu
memperlancar kegiatan percepatan Program
Nasional Pemerintah dan juga salah tugas dan
fungsi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN khususnya dalam tugas penataan ruang. Pemikiran- pemikiran anak muda tersebut tentu suatu prestasi yang membanggakan. Oleh karenanya, pencapaian ini patut disyukuri dan dapat menjadi pembelajaran kita bersama.
Saya mengucapkan selamat atas terbitnya buku ini, sekaligus selamat dan terimakasih atas keberhasilan panitia dalam menyelenggarakan kegiatan, serta para finalis dan juara lomba yang telah mengikuti proses kegiatan sejak awal hingga akhir. Terimakasih juga kepada para juri yang telah menilai secara independen terhadap naskah dan hasil presentasi para finalis. Mereka adalah Drs.
R.Yando Zakaria, Dr. Sutaryono, M.Si, dan Iqbal Aji
Daryono. Kami berharap bahwa apa yang telah
dirintis oleh STPN ini dapat berjalan secara
berkelanjutan dalam membangun jejaring akademis
di berbagai perguruan tinggi dan lembaga
penelitian yang peduli terhadap persoalan-
persoalan agraria, tata ruang dan pertanahan, dan
tidak henti-hentinya mencari terobosan solusi
terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah
yang ada.
Akhirnya, saya sebagai Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta secara khusus mengucapkan selamat kepada para penulis.
Hadirnya buku ini merupakan kebahagiaan dan kebanggaan melihat anak muda berprestasi dan melahirkan gagasan gunuine yang diper-sembahkan untuk para pembaca.
Dr. Ir. Sentot Sudhirman, MS
PENGANTAR PENYUNTING
“Keadilan Agraria dan Penataan Ruang Sebagai Basis Integrasi Bangsa” merupakan sebuah tema lomba esai agraria nasional ke-5 tahun 2019 yang diselenggarakan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dalam rangka memperingati hari Dies Natalis Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional ke-56 dan Hari Agraria dan Tata Ruang ke-59.
Tema ini kami adaptasi menjadi sebuah buku yang berisikan 15 naskah esai terbaik, ditulis oleh mahasiswa dari berbagai latar keilmuan yang berbeda di seluruh perguruan tinggi di Indonesia.
Beragam permasalahan yang mengemuka ke ruang publik terkait agraria dan penataaan ruang memantik perhatian para mahasiswa. Melalui berbagai ide, gagasan dan solusi ditawarkan untuk mengatasi permasalahan- permasalahan tersebut. Strategi penguatan hak atas tanah melalui Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), Reforma Agraria (RA), Pengadaan Tanah, Tata ruang dan IPTEK untuk mendukung pengelolaan sumber daya alam merupakan isu-isu pertanahan dan tata ruang yang menarik untuk dikulik dan dibahas.
Perbedaan latar belakang keilmuan dan penggu- naan sudut pandang yang berbeda dalam memandang sebuah permasalahan pada bidang agraria, memberikan sentuhan dan corak yang khas pada setiap tulisan yang
disajikan. Naskah esai yang dimuat berisikan berbagai gagasan dan kerangka pemikiran generasi muda terhadap permasalahan bidang agraria dan tata ruang.
Kami berharap gagasan-gagasan yang diuraikan para penulis menjadi acuan dan motivasi bagi generasi muda untuk aktif merespon isu agraria atau pertanahan dan tata ruang yang memberikan efek terhadap kebijakan sosial di Indonesia. Serta, turut berkontribusi dalam mewujudkan keadilan agraria dan penyelesaian permasalahan penataan ruang.
Demikian buku kumpulan 15 esai terbaik kami persembahkan sebagai bentuk apresiasi kepada para peserta dan finalis Lomba Esai Agraria Nasional ke-5. Besar kiranya harapan semoga gagasan-gagasan yang tertuang dalam buku ini dapat memberikan inspirasi dan bahan renungan bagi para pembaca tentang realita keagrariaan dan penataan ruang yang sedang dihadapi saat ini. Semoga buku ini juga dapat memotivasi seluruh mahasiswa di Indonesia agar turut ikut berpartisipasi mengawal pembangunan melalui kebijakan pertanahan dan tata ruang yang berkeadilan.
Ucapan terima kasih tidak lupa kami haturkan kepada STPN Press yang telah bersedia menerbitkan kumpulan esai ini menjadi sebuah buku yang sangat bagus dan semoga dapat bermanfaat bagi kita bersama.
Akhir kata, selamat atas terbitnya buku ini dan selamat membaca.
Yogyakarta, Mei 2020
Erfiana Prihastuty Supinah Dian Ayu Purwasari
PENGANTAR PANITIA
LOMBA ESAI AGRARIA NASIONAL (LEAN) KE-V 2019
“KEADILAN AGRARIA DAN PENATAAN RUANG SEBAGAI BASIS INTEGRASI BANGSA”
Ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan berciri Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, perlu ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna dan berhasil guna dan dikelola secara berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam konteks tersebut, penataan ruang diyakini sebagai pendekatan yang tepat dalam mewujudkan keterpaduan pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya buatan secara berdaya guna dan berhasil guna. Diharapkan dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang, kualitas ruang wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial sesuai dengan landasan konstitusional UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Suatu daerah harus memiliki sistem tata ruang yang baik, sebab dengan adanya pengelolaan tata ruang yang baik, maka pemerintah akan dapat memprediksi
masalah-masalah yang timbul terkait dengan adanya pertambahan penduduk serta mampu merencanakan penanganannya. Apabila tidak sanggup mengelola tata ruang dengan baik maka akan timbul hal-hal yang tidak diinginkan seperti kesemerawutan pemukiman penduduk, kemacetan, pencemaran dan munculnya lingkungan yang kumuh.
Menanggapi hal tersebut diperlukan kontribusi dari segenap elemen bangsa, bukan hanya oleh peme- rintah, tetapi juga oleh para pemuda, khususnya para mahasiswa untuk berpikir dan bertindak dalam menanggapi problematika tersebut. Untuk kemudian menjadi gagasan bagi pengelolaan agraria/pertanahan dan tata ruang yang memakmurkan dan menentramkan yang diwadahi salah satunya melalui kegiatan Lomba Esai Agraria Tingkat Nasional ke-5.
Kegiatan yang dikelola oleh Unit Kegiatan Taruna Bidang Akademik di bawah naungan Badan Senat Taruna (BST) Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional periode tahun 2019 ini mengangkat tema “Keadilan Agraria dan Penataan Ruang Sebagai Basis Integrasi Bangsa“. Pemi -lihan tema ini dilatarbelakangi oleh munculnya permasalahan-permasalahan terkait keadilan agraria dan tata ruang di Indonesia. Selain itu juga mengacu pada Program Strategis Nasional Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional yaitu Penguatan hak atas tanah melalui Pendafataran Tanah Sistematis Lengkap, Reforma Agraria dan Pengadaan Tanah. Ketiga
program tersebut selanjutnya akan menjadi sasaran utama kementrian untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam bidang pertanahan khususnya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka gagasan
“Keadilan Agraria dan Penataan Ruang Sebagai Basis Integrasi Bangsa” yang menjadi tema utama dijabarkan ke dalam 5 (lima) sub-tema, antara lain: Pertama, Penguatan Hak dan Pendaftaran Tanah. Kedua, Tanah Adat dan Hutan Adat. Ketiga, Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial untuk Mengendalikan Ketimpangan.
Keempat, Penataan Ruang yang berkeadilam. Kelima, Pemanfaatan Iptek Untuk Mendukung Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Penataan Ruang.
Lomba Esai Agraria Nasional ke-5 ini diikuti oleh 200 orang peserta dari berbagai universitas di Indonesia. Dua ratus naskah esai tersebut diseleksi tahap pertama oleh panitia yaitu seleksi administrasi dan kesesuaian penulisan naskah sehingga dari 200 naskah esai yang masuk diperoleh 82 naskah yang sesuai dengan kriteria. 82 naskah esai yang terpilih dari seleksi tahap pertama diseleksi kembali pada seleksi tahap kedua oleh reviewer sehingga diperoleh 15 naskah esai terbaik. Adapun 15 esai terbaik yang terpilih untuk masuk ke babak final merupakan hasil karya dari para mahasiswa yang berasal dari berbagai perguruan tinggi, antara lain Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Universitas Diponegoro, Sekolah Tinggi Ilmu
Hukum Jentera Jakarta, Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Brawijaya, Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur, serta Universitas Islam Indonesia.
Kelimabelas finalis esai terbaik tersebut mempresentasikan naskah esainya di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional pada seleksi tahap akhir sehingga diperoleh tiga orang juara (Juara I, II, dan III), serta seorang best performer.
Ketiga juara dan seorang best performer tersebut dinilai oleh tiga orang juri yang sangat berkompeten di bidangnya, yakni Drs. R. Yando Zakariya, Dr. Sutaryono, M.Si, dan Iqbal Aji Daryono. Sistem penilaian diambil dari substansi esai berupa gagasan, argumen, dan penyajian.
Pada penilaian terakhir, juri memutuskan Juara I diraih I Gede Kusuma Artika dari STPN, Juara II diraih oleh Amas Sultan Dinul Adli, dan Juara III diraih oleh Riski Zakaria, serta Annisa Muliani dari Universitas Brawijaya sebagai Best Performer.
Buku ini merupakan kumpulan dari naskah 15 esai terbaik dari para finalis yang tampil di seleksi tahap akhir lomba esai agraria setelah melewati berbagai proses masukan juri, catatan editor, dan revisi dari penulis.
Dengan demikian panitia mengucapkan terima kasih kepada para seluruh peserta yang telah berparti-sipasi dalam Lomba Esai Agraria Nasional ke-5 ini, serta secara khusus panitia juga mengucapkan terima kasih kepada 15 finalis esai terbaik yang telah meluangkan waktu untuk hadir di STPN dan bersedia memperbaiki naskah esainya sehingga buku ini dapat terwujud sebagaimana mestinya.
Panitia juga menyampaikan banyak terima kasih kepada dewan juri atas kesediaan dalam meluangkan waktunya untuk memberikan penilaian kepada para finalis.
Kepada Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, kami mengucapkan banyak terima kasih atas dukungan penuh kegiatan ini, dan dorongan yang luas untuk kelancaran dan kesuksesan acara Lomba Esai Agraria Nasional ke-5. Panitia juga tak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak/ibu dosen Sekolah Tinggi Pertanahaan Nasional yang telah memberikan bimbingan dan dukungan kepada kami sehingga Lomba Esai Agraria Nasinal ke-5 ini berjalan dengan lancar dan sukses. Kepada semua panitia, yang telah bekerja dari awal hingga akhir tanpa mengenal lelah, saya ucapkan terima kasih banyak atas semua kerja keras yang dilakukan bersama sehingga acara ini dapat berlangsung dengan sukses.
Panitia berharap agar pelaksanaan Lomba Esai Agraria ke-5 tahun 2019 ini dapat menjadi pelajaran untuk menyelenggarakan kegiatan lain terutama untuk Lomba Esai Agraria ke-6 Tahun 2020 sehingga dapat berjalan lebih sukses dari sebelumnya. Panitia juga memohon maaf kepada semua pihak atas kekurangan dan kekhilafan yang tidak kami sengaja.
Semoga buku ini dapat membawa manfaat dan inspirasi untuk para pemuda Indonesia demi masa depan Indonesia yang lebih baik.
Terima kasih Mariska Widya Arfiana (Mewakili Panitia LEAN ke-5 Tahun 2019)
DAFTAR ISI
SAMBUTAN KETUA SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL ~ v
PENGANTAR PENYUNTING ~ x PENGANTAR PANITIA ~ xiii DAFTAR ISI ~ xix
Aplikasi Citra Google Earth untuk Mewujudkan Reforma Agraria yang “Sebenarnya”
I Gede Kusuma Artika ~ 1
Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Agrisus) Untuk Mengawal Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Amas Sultan Dinul Adli ~ 13
Penguatan Partisipasi Masyarakat dalam Penerbitan Hak Guna Usaha untuk Mewujudkan Penataan Ruang yang Berkeadilan
Rizki Zakariya ~ 25
Keadilan Negara Dalam Nagari Kito M Shandy Ramadanu ~ 36
EITSS (Elektroosmosis Integrated Iot Irrigation System) : Solusi Meningkatkan Mutu Tanaman Hortikultura Di Lahan Non- Teknis
Annisa Muliani ~ 47
Pengelolaan Partisipatif Kawasan Hutan Mangrove Bentuk Penataan Ruang Berkeadilan Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak
Rifqi Ardhansyah ~ 56
Deforestasi Dalam Kemelut Kapitalisme : Reforma Agraria Jawabannya?
Ulul Azmi Septidian ~ 67
Gagasan Pendampingan oleh Pemerintah: Strategi
Menanggulangi Ketimpangan Penguasaan dan Pemanfaatan Lahan di Indonesia
Vivi Lutfia ~ 76
Si Pahid Dan Si Gejo (Sistem Padi Hidroganik Dan Sistem Gedung Ijo)
Wisam Zuhdi Surya Nusantara ~ 86
Ketahanan Pangan Sebagai Bentuk Ketahanan Agraria Aisha Wirastri Ardianty Pradipta ~ 103
Tumpang Tindih Kepemilikan Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Yohana Widya Oktaviani ~ 113
Rastaru (Rumah Aspirasi Tata Ruang): sebagai Solusi Cerdas Membangun Masyarakat yang Peduli dengan Tata Ruang dalam Upaya untuk Menciptakan Penataan Ruang yang Berkeadilan
Moh.Ghufron ~ 125
Pembentukan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat:
Strategi Penguatan Hak Ulayat Deni Hendri Kurniawan ~ 134
Keadilan Ruang Bagi Seluruh Rakyat Indonesia Nur Istiqomah ~ 142
Pengentasan Desa Tertinggal Dan Pengembangan Desa Mandiri Melalui Kebijakan Reforma Agraria Dan Perhutanan Sosial
Welly Larasakti Handani ~ 152 DOKUMENTASI
TENTANG PENULIS DAN EDITOR
APLIKASI CITRA GOOGLE EARTH UNTUK MEWUJUDKAN REFORMA AGRARIA YANG
“SEBENARNYA”
I Gede Kusuma Artika
Pendahuluan
Reforma agraria merupakan salah satu dari sembilan agenda prioritas pada masa pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla sebagaimana termaktub dalam Nawacita No. 5 yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan men- dorong pelaksanaan Reforma Agraria dan program kepemi- likan tanah seluas 9 juta hektar. Berbicara kesejahteraan dalam konteks Agraria tentu tidak terlepas dari bagaimana struktur pemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia yang mayoritas penduduknya merupakan petani. Pemilikan dan penguasaan tanah yang adil dan merata menjadi salah satu parameter bagaimana peningkatan kesejahteraan rakyat bisa diwujudkan angka gini rasio penguasaan tanah di Indonesia pada tahun 2016 mencapai 0.58 (Djalil 2016). Artinya, hanya sekitar 1% penduduk yang menguasai 59% sumber daya agraria, tanah, dan ruang. Kenyataan yang sangat pahit bagaimana UUPA sebagai dasar pelaksanaan RA yang telah hampir berumur 60 tahun tapi angka ketimpangan masih berada di atas 0.5 (Bachriadi dan Wiradi 2011, 16). Salah satu skema yang bisa dilakukan untuk mengurangi angka gini rasio dalam konsep RA Jokowi-JK adalah Redistribusi (Salim 2019, 97). Kegiatan Redistribusi Aset dapat mengurangi
ketimpangan pemilikan dan penguasaan karena tanah yang akan diredistribusi kepada masyarakat bersumber dari tanah terlantar, tanah eks HGU serta pelepasan Kawasan hutan.
Untuk mendukung terlaksananya RA yang “sebenarnya”, citra Google Earth (GE) bisa dimanfaatkan dalam proses penetapan obyek TORA dalam Kawasan Hutan.
Redistribusi Tanah Ala Jokowi-JK
Redistribusi tanah merupakan salah satu kegiatan pada skema TORA atau disebut juga redistribusi aset. Target redistribusi aset sampai tahun 2019 adalah 4.5 juta Ha dimana tanah tersebut bersumber dari eks-HGU dan tanah terlantar seluas 0.4 juta Ha serta pelepasan Kawasan hutan seluas 4.1 juta Ha. Data selengkapnya tersaji pada gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Target Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial Jokowi-JK 2015-2019.
Sumber : Bahan sosialisasi PPTKH Kementerian ATR Tahun 2017
Dari gambar di atas bisa dilihat bahwa terdapat dua skema redistribusi aset yang sedang dikerjakan oleh peme- rintah yaitu skema obyek tanah bekas hak atau secara keseluruhan disebut lahan Kawasan non hutan dan objek dari tanah negara pelepasan Kawasan hutan. Sementara dalam tanah pelepasan Kawasan hutan juga terdapat skema PTKH (Salim 2019, 103).
Penguasaan tanah dalam Kawasan hutan memang terjadi di berbagai wilayah Indonesia dan tidak sedikit penguasaan tersebut menimbulkan permasalahan karena ketidakjelasan status penguasaan dan pemilikannya. Kondisi existing penguasaan tersebut sangat beragam dan bahkan ada yang sudah berupa desa definif. Untuk memberikan kejelasan status, kepastian hukum dan mencegah terjadinya pelanggaran hukum pada Kawasan hutan yang terdapat penguasaan masyarakat tersebut, Presiden menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan (PPTKH). Kebijakan Perpres ini merupakan kompromi bahwa lahan masyarakat yang masuk dalam Kawasan hutan harus diselesaikan (Salim, Pinuji & Utami 2018). Jika terdapat penguasaan tanah di dalam Kawasan hutan, maka akan dilakukan identifikasi dan verifikasi yang penyelesai- annya berupa tukar menukar Kawasan hutan, perhutanan sosial, resettlement dan perubahan batas Kawasan (Luthfi 2018).
Perhutanan Sosial vs Hak Milik
Secara garis besar pola penyelesaian PTKH bisa dikelompokkan menjadi dua jenis rekomendasi, yaitu memberikan kepastian hukum terhadap penguasaan tanah di dalam Kawasan hutan dengan pensertipikatan atau memberikan akses pengelolaan Kawasan hutan melalui per- hutanan sosial. Menurut pandangan penulis, apabila ingin mewujudkan keadilan yang betul-betul nyata dan bisa me- ningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemberian akses ke dalam Kawasan hutan (perhutanan sosial) tidaklah cukup.
Masyarakat khususnya petani membutuhkan dukungan modal dalam melakukan usaha pertanian. Selain itu jaminan kepastian hukum kepemilikan juga sangat dibutuhkan sehingga tanah yang menjadi sumber penghidupan keluarga bisa diwariskan untuk anak cucu mereka.
Skema perhutanan sosial atau disebut juga RA-PS (Salim 2019, 96) merupakan solusi apabila masyarakat yang menguasai tanah di dalam Kawasan hutan setelah Kawasan hutan tersebut ditetapkan oleh KLHK. Selain itu penguasaan masyarakat pada daerah yang luas hutannya kurang dari 30% dan berada pada Kawasan hutan lindung dan/atau hutan produksi dengan pemanfaatan lahan Garapan, pola penyelesaiannya adalah perhutanan sosial. Hal ini juga berlaku terhadap penguasaan masyarakat pada wilayah dengan luas hutan lebih dari 30% baik berada pada hutan lindung maupun hutan produksi dengan penguasaan kurang dari 20 tahun. Pola penyelesaian PTKH secara rinci bisa dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2. Pola Penyelesaian PTKH.
Sumber: Bahan sosialisasi PPTKH Menko Perekonomian tahun 2017
Yang menarik pada rekomendasi yang akan dipilih oleh tim Inver PTKH adalah pola penyelesaian perhutanan sosial. Dengan hasil verifikasi lapangan tim Inver berupa penguasaan tanah oleh masyarakat kurang dari 20 tahun.
Ini mirip dengan salah satu syarat dalam pendaftaran tanah pertama kali yang dilakukan Kementerian ATR/BPN untuk menerbitkan sertipikat dimana pemilik tanah harus membuat surat pernyataan penguasaan lebih dari 20 tahun secara terus menerus dengan disaksikan oleh dua orang saksi dan bila dimungkinkan disertai alat bukti. Permasa- lahannya adalah sebagian besar masyarakat yang mengua- sai tanah di dalam Kawasan hutan yang ditetapkan oleh KLHK tidak memiliki alat bukti yang cukup untuk bisa
meyakinkan tim Inver bahwa penguasaan tanahnya lebih dari 20 tahun (disampaikan oleh M. Nazir Salim pada kuliah Reforma Agraria di kelas manajemen pertanahan STPN, 23-10-2019). Sehingga harapan masyarakat untuk bisa memiliki sertipikat hak milik akan hilang jika mereka tidak bisa membuktikan penguasaan tanah lebih dari 20 tahun.
Aplikasi Citra Satelit Historical Imagery Google Earth untuk Membuktikan Jangka Waktu Penguasaan Tanah Di Dalam Kawasan Hutan
Citra satelit yang disediakan oleh Google Earth merupakan citra yang bisa diakses oleh siapapun di seluruh dunia dan tersaji dengan tidak berbayar serta mudah digunakan oleh pengguna (Utami, Artika & Arisanto 2018).
Citra Google Earth (GE) merupakan citra dengan resolusi spasial cukup baik sehingga akurasinya cukup tinggi (Colin, 2014 dalam Utami, Artika & Arisanto 2018). Citra GE yang di-launching pada tahun 2005 ini telah banyak digunakan untuk berbagai aplikasi interpretasi tutupan lahan dan berbagai analisis spasial (Jaafari dan Nazarisamani 2013).
Untuk bisa mengidentifikasi atau membuktikan suatu wilayah telah dikuasai atau ada penguasaan dalam kurun waktu 20 tahun maka salah satu fitur GE yaitu Historical Imagery bisa dimanfaatkan. Historical Imagery merupakan fitur GE yang menyediakan citra multitemporal dengan resolusi spasial cukup memadai. Citra multitemporal merupakan citra yang memiliki resolusi temporal. Menurut
Danoedoro (1996), resolusi temporal adalah kemampuan suatu sistem untuk merekam ulang daerah yang sama sehingga bisa teramati perubahan yang terjadi pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu.
Identifikasi dilakukan dengan melakukan interpre- tasi visual citra multitemporal tersebut dengan perbedaan pengambilan citra yang bisa di-setting 20 tahun ke belakang.
Prinsip pengenalan obyek pada citra secara visual bergan- tung pada karakteristik atau atribut yang tergambar pada citra (Somantri 2008). Karakteristik obyek pada citra diguna- kan sebagai unsur pengenalan obyek yang disebut unsur- unsur interpretasi. Menurut Sutanto dalam Somantri (2008) unsur-unsur interpretasi meliputi : 1) Rona atau warna (tone/color); 6) Bentuk (shape); 7) Ukuran (size); 8) Kekasaran (texture); 5) Pola (pattern); 6) Bayangan (shadow); 7) Situs (site); 8) Asosiasi (association).
Gambar 3. Kenampakan Aplikasi Google Earth pro untuk setting pengambilan citra.
Sumber : Google Earth Pro diakses pada 19 November 2019 Setting tahun citra
yang ingin di ambil
Tanggal imagery
Gambar di atas menunjukkan bahwa pada aplikasi GE bisa ditentukan citra tahun berapa yang ingin dilihat oleh pengguna yang kemudian bisa di-download dengan aplikasi Google Earth Image Downloader. Citra hasil down- load merupakan data yang telah tergeoreferensi dengan format .TIFF sehingga memudahkan untuk melakukan analisis menggunakan aplikasi GIS.
Gambar 4. Kenampakan wilayah Meranti, Provinsi Riau pada citra satelit Google Earth yang diambil pada tanggal 31 Desember 2016.
Sumber: Google Earth 2019, diakses pada tanggal 17 November 2019
Gambar 5. Kenampakan wilayah Meranti, Provinsi Riau pada citra satelit Google Earth yang diambil pada tanggal 31 Desember 1996.
Sumber: Google Earth 2019, diakses pada tanggal 17 November 2019
Pada gambar 4 dan 5 di atas merupakan hasil pengo- lahan citra GE pada suatu Kawasan hutan di Provinsi Riau yang termasuk ke dalam Peta Indikatif KLHK. Penulis melakukan interpretasi citra dengan membandingkan ke- nampakan true colour tutupan lahan (garis merah) citra tahun 2016 dengan citra tahun 1996. Hasil interpretasi menunjukan dalam selang waktu 20 tahun (1996-2016) wilayah yang diamati telah dikuasai oleh masyarakat. Hal itu bisa terlihat dari perbedaan tutupan lahan antara Kawasan yang masih hutan (Rona gelap, Tutupan lahan rapat, warna hijau tua) dengan yang telah dikuasai (Rona agak cerah, warna kecoklatan, bentuk tutupan lahan teratur) yang relative konsisten selama 20 tahun. Untuk memanfaatkan citra satelit pengindraan jauh GE tim Inver PPTKH bisa terlebih dahulu melakukan pengecekan kelapangan untuk mengetahui batas batas lahan Garapan yang telah dikuasai masyarakat dan sekaligus mengambil koordinat batasnya. Kemudian untuk memastikan pengu- asaan tersebut telah terjadi selama 20 tahun atau lebih maka data hasil cek lapang bisa ditumpang susunkan dengan citra GE.
Kesimpulan
Dengan adanya alat bukti tambahan yang meyakin- kan yang diperoleh dari citra satelit Google Earth terkait penguasaan tanah didalam hutan maka rekomendasi tim Inver tentu saja melakukan tata batas Kawasan hutan sesuai dengan pola penyelesaian PTKH. Dengan begitu,
tujuan Reforma Agraria yang sebenarnya yaitu meredis- tribusikan TORA kepada masyarakat dengan status yang clean and clear dan memiliki jaminan kepastian hukum akan terwujud dan secara tidak langsung nilai gini rasio pengua- saan tanah akan mengalami penurunan tentu dengan ha- rapan bisa kurang dari 0,5.
Daftar Pustaka
Bachriadi, D & Wiradi G 2011, Enam dekade ketimpangan, Bina Desa, ARC, KPA, Bandung.
Danoedoro, P 1996, Pengolahan citra digital, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Jalil, S 2016, ‘Gini rasio pertanahan capai 0.58 program strategis agraria dan tata ruang mendesak’, diposting pada 24 September 2016, dilihat pada 17 November 2019, https://ekonomi.bisnis.com/read/20160924/9/
586709/gini-rasio-pertanahan-capai-058-program- strategis-agraria-dan-tata-ruang-mendesak.
Jaafari, S & Nazarisamani, A 2013, Comparison between land use/land cover mapping through landsat and google earth imagery, American-Eurasian J. Agric. &
Environ. Sci., vol. 13, no.6, hlm. 763-768, DOI:
10.5829/idosi.aejaes.2013.13.06.290.
Luthfi, AN 2018, ‘Reforma kelembagaan dalam kebijakan reforma agraria era Joko Widodo-Jusuf Kalla’, Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan, vol 4, no. 2, hlm. 140- 163. DOI: http://dx.doi.org/10.31292/jb.v4i2.276 Salim, MN 2019, ‘Modul reforma agraria II Program Studi
manajemen dan perpetaaan STPN’, Yogyakarta.
Salim, MN, Pinuji, S & Utami, W 2018, ‘Reforma agraria di kawasan hutan Sungaitohor, Riau: pengelolaan perhutanan sosial di wilayah perbatasan’, Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan, vol 4, no. 2, hlm 164- 189. DOI: http://dx.doi.org/10.31292/jb.v412.277 Somantri, L 2008, ‘Pemanfaatan teknik penginderaan jauh
untuk mengidentifikasi kerentanan dan risiko banjir’, Jurnal Gea, Jurusan Pendidikan Geografi, vol 8, no. 8, Oktober 2008.
Tim Pelaksana Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan 2017, ’Bahan Sosialisasi PPTKH Kementerian ATR/BPN, Sertipikasi Tanah Hasil PPTKH’.
Tim Pelaksana Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan 2017, ’Bahan Sosialisasi PPTKH Menko Perekonomian, Sosialisasi Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan’.
Utami, W, Artika, IGK, & Arisanto, A 2018, ‘Aplikasi citra satelit penginderaan jauh untuk percepatan identifikasi tanah terlantar’, Bhumi, Jurnal Agraria dan Pertanahan, vol 4, no. 1, hlm. 53-66. DOI: http://
dx.doi.org/10.31292/jb.v411.220
Peraturan Perundangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Permasalahan Tanah Dalam Kawasan Hutan
SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (AGRISUS) UNTUK MENGAWAL
KEBIJAKAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN
Amas Sultan Dinul Adli
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alam di darat maupun di laut yang sangat melimpah dan berpotensi untuk dikembangkan. Tercermin pada syair lagu “tongkat, kayu, dan batu menjadi tanaman”, meng- gambarkan betapa kaya sumber daya alam Indonesia, khususnya bidang pertanian. Wilayah Indonesia yang dominan bertanah vulkanis sangat cocok dan subur dengan berbagai tanaman komoditas.
Berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan Badan Pusat Statistik (BPS), luas lahan pertanian di Indonesia mencapai 7,1 juta hektar pada tahun 2018. Luas lahan menjadi sebuah potensi jika semua elemen di Indonesia khususnya pemerintah melindungi dan mengembangkan lahan pertanian ini sebagai landasan dalam memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia. Sementara, kebutuhan lahan untuk kegiatan pemukiman, perdagangan, industri, dan jasa dari tahun ke tahun semakin meningkat akibatnya lahan pertanian akan terus terancam. Terlihat dari data Kementerian ATR/BPN, lahan pertanian yang dialihfungsi-
kan mencapai sekitar 650 ribu hektar pada tahun 2017.
Pangan merupakan kebutuhan dasar makhluk hidup, peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan kegiatan ekonomi akan menambah kebutuhan akan lahan sehingga dapat mengancam ketersediaan lahan pangan. Hal terse- but mendorong direncanakannya suatu strategi dalam rangka pertanian yang berkelanjutan (Azman, 2013).
Pemerintah memiliki landasan hukum untuk melin- dungi lahan pertanian di Indonesia khususnya lahan perta- nian pangan berkelanjutan yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) yang mana pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan informasi LP2B yang dapat dan mudah diakses oleh masyarakat.
Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 19 Tahun 2016, lahan pertanian pangan berkelanjutan memi- liki status lahan yang tidak dapat dialihfungsikan semba- rangan. terdapat 3 status lahan:
1. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan 2. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
3. Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 2009 Pasal 1 angka 1 yang berisi lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedau- latan pangan nasional.
Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 2009 Pasal 1 angka 4 berisi lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada masa yang akan datang.
Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 2009 Pasal 1 angka 7 yaitu Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah wilayah budidaya pertanian terutama pada wilayah perde- saan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan/atau hamparan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.
Untuk mendukung peraturan tersebut, pemerintah mengamanatkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2012 tentang Insentif Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk membantu para petani yang menge- lola LP2B dalam mendorong perwujudan LP2B yang telah ditetapkan, meningkatkan pengendalian alih fungsi LP2B, meningkatkan pemberdayaan, pendapatan, dan kesejahte- raan bagi petani dengan memberikan insentif kepada petani penggarap atau pemilik sawah.
Pemerintah juga mengamanatkan pada PP Nomor 25 Tahun 2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk penyediaan data, penyera- gaman, penyimpanan dan pengamanan, pengolahan, pem- buatan produk Informasi, penyampaian produk Informasi
dan penggunaan Informasi yang terkait satu sama lain, serta penyelenggaraan mekanismenya pada Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Perumusan Masalah
Keberjalanan regulasi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah masih tidak sesuai ekspektasi yang diama- natkan terlihat dari kegiatan alih fungsi lahan yang masih tinggi. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai pelaksana regulasi juga belum sepenuhnya maksimal dalam melindungi LP2B. Beberapa kebijakan tersebut tidak dilaksanakan dengan tegas seperti pemberian insentif kepada para petani penggarap, pemilik lahan, maupun kelompok tani. Orang-orang yang melakukan alih fungsi LP2B guna kepentingan non pertanian, dalam hal ini belum di tindak tegas oleh pemerintah. Berdasarkan evaluasi dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2015) tentang implementasi LP2B yaitu persebaran informasi yang dilakukan oleh pemerintah mengenai LP2B belum merata sedangkan pemerintah memiliki berbagai data-data mengenai LP2B di berbagai website akan tetapi tidak terintegrasikan dalam satu data, sehingga masyarakat sulit mendapatkan data-data mengenai LP2B dan sulit memahami data-data tersebut. Kesulitan ini dikarenakan masyarakat tidak mengetahui secara pasti maksud dari data-data yang tersedia di website pemerintah seperti Kementerian Pertanian, Kementerian ATR/BPN, dan BPS.
Informasi mengenai data LP2B juga hanya dapat
diakses melalui pejabat Kementerian ATR/BPN, sehingga masyarakat secara umum tidak mengetahui mengenai informasi-informasi yang diamanatkan pada PP Nomor 25 Tahun 2012. Sedangkan masyarakat khususnya para petani penggarap dan pemilik lahan merupakan orang-orang yang membutuhkan informasi mengenai LP2B.
Menurut Bapak Sudirman petani di Desa Sumbersari, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung yang lahannya sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berke- lanjutan belum mendapatkan insentif maupun upaya untuk mengembangkan pertanian dari pemerintah daerah sedangkan tawaran alih fungsi lahan ke Bapak Sudirman mulai berdatangan. Bapak Sudirman juga tidak menge- tahui mekanisme untuk mendapatkan insentif dari pemerintah.
Menurut Bapak Asep di Desa Sumbersari, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, beliau tidak mengetahui lahan miliknya sudah ditetapkan sebagai LP2B karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah daerah setempat mengenai LP2B sehingga otomatis Bapak Asep tidak mendapatkan fasilitas dari pemerintah daerah berupa pemberian insentif.
Penulis berpendapat bahwa masyarakat umum harus mengetahui informasi mengenai LP2B beserta dengan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan LP2B karena informasi LP2B penting untuk mencegah alih fungsi lahan khususnya LP2B. Masyarakat juga bisa merasakan manfaat dari peraturan LP2B dengan pemberian insentif dari peme-
rintah dan pemerintah dapat memberikan akses informasi yang mudah dijangkau oleh seluruh masyarakat.
Dalam mengatasi permasalahan LP2B, penulis mem- punyai alternatif solusi dengan mengembangkan sistem informasi yang lebih terpadu dan bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Skema Gagasan
Gambar 1. Skema Gagasan, Hasil Analisis, 2019
Agrisus (agriculture and sustainable)
Sistem informasi lahan pertanian berkelanjutan (Agrisus) adalah Platform gratis (website) dengan layanan integrasi basis data, dihimpun dan diolah dari data persil lahan BPN, teknologi citra satelit, teknologi image processing di lapangan. Basis data yang diolah, selanjutnya ditampilkan menjadi sistem informasi yang membantu user
Ketahanan Pangan Kurangnya Implementasi UU Nomor 41 Tahun 2009
Keterbatasan Minimnya Kontrol Alih Fungsi Lahan
Platform Informasi LP2B (Agraris)
(pemilik lahan dan petani) mengakses status dan kondisi lahan, produktivitas lahan serta data pelaporan yang belum ditangani pemerintah dengan tujuan untuk mengin- formasikan kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam mengawal LP2B. Agrisus juga menyediakan layanan pelaporan untuk para pemilik lahan jika lahan tersebut belum mendapatkan insentif dari pemerintah atau menga- lami kerugian, layanan pelaporan tersebut terintegrasi dengan pemerintah dan berfungsi guna mengetahui secara langsung pelaporan dari masyarakat.
Gambar 2. Menu utama dari agrisus terdapat 2 fitur pendaftaran lahan dan simulasi lahan Sumber : Prototype website Agrisus, 2019
Gambar 3. Fitur pendaftaran lahan Sumber : Prototype website Agrisus, 2019
Gambar 4. Fitur pendaftaran lahan untuk mengisi formulir sebagai syarat pendaftaran
Sumber : Prototype website Agrisus, 2019
Gambar 5. Fitur simulasi lahan dengan memasukan nomor ID sertifikat,
Sumber : Prototype website Agrisus, 2019
Gambar 6. Fitur simulasi lahan Sumber : Prototype website Agrisus, 2019
Gambar 7. Hasil prediksi panen dari fitur simulasi lahan Sumber : Prototype website Agrisus, 2019
Gambar 8. Hasil prediksi panen dan terdapat fitur untuk melaporkan jika pemilik tanah belum mendapatkan
fasilitas dari pemerintah Sumber : Prototype website Agrisus, 2019
Agrisus memiliki peran untuk mengawal UU Nomor 41 Tahun 2009 dalam melaksanakan amanat LP2B dengan melibatkan partisipasi masyarakat dengan layanan pelaporan yang terintegrasi langsung dengan pemerintah.
Agrisus memiliki peran untuk mengedukasi masyarakat umum karena masyarakat bisa mengakses dengan mudah
informasi mengenai LP2B di website Agrisus. Dalam tujuannya, Agrisus dapat meningkatkan kepedulian dan kesadaran masyarakat akan pentingnya lahan pertanian pangan berkelanjutan untuk mencapai ketahanan pangan yang mandiri serta masyarakat bisa menggunakan lahannya dengan bijak dalam mengalihfungsikan lahan. Pemerintah dan masyarakat juga dengan mudah bisa mengetahui pola data alih fungsi LP2B secara time series bisa dilihat dari bentuk pelaporan dari masyarakat.
Agrisus memiliki keunggulan dengan layanan yang bisa diakses secara gratis dan didasarkan atas kondisi terkini (up to date). Agrisus juga memudahkan para pemangku kepentingan (pemerintah daerah) untuk menin- daklanjuti kendala yang dilaporkan oleh pemilik lahan atau petani. Integrasi ini adalah wujud nyata perhatian pemerintah dalam memberikan insentif/disinsentif atas regulasi lahan pertanian dan pangan berkelanjutan.
Menurut Penulis, Agrisus merupakan platform yang tepat untuk menyelesaikan masalah informasi yang selama ini sulit diakses oleh masyarakat umum. Agrisus hadir untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses segala informasi mengenai LP2B hingga pada tahap pelaporan jika masyarakat belum merasakan insentif yang diamanatkan PP Nomor 25 Tahun 2012.
Kesimpulan dan Saran
Luasan lahan pertanian di Indonesia menjadi potensi untuk memenuhi kebutuhan pangan akan tetapi kebu-
tuhan selain pertanian terus meningkat ditandai dengan muncul berbagai industri dan pemukiman yang akan mengancam lahan pertanian untuk dialihfungsikan. Oleh sebab hal ini, pemerintah dapat melakukan tindakan pen- cegahan dengan menerbitkan peraturan mengenai LP2B akan tetapi peraturan tersebut belum dilaksanakan dengan baik dimulai dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Partisipasi masyarakat juga belum dilibatkan dalam mengawal kebijakan lahan pertanian pangan berkelan- jutan. Hal ini membuat masyarakat tidak memiliki urgensi untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan karena masyarakat tidak mengetahui informasi LP2B.
Agrisus menjadi alternatif solusi untuk menyediakan informasi yang terbuka mengenai LP2B sehingga masya- rakat bisa terlibat proses pelaksanaan kebijakan LP2B dengan cara memantau LP2B dan melaporkan jika tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Daftar Pustaka
Janthi, IG, Martono, E & Subejo 2016, ‘Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan guna memperkokoh ketahanan pangan wilayah’, Jurnal Ketahanan Nasional, vol.66, no.1, hlm. 2-4. DOI:
https://doi.org/10.22146/jkn.16666
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/
BAPPENAS (2015). Evaluasi Implementasi Kebijakan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), BAPPENAS RI, Jakarta.
Megawati, GKD & Rijanta, 2015, ‘Konsistensi pelaksanaan kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan’, Jurnal Bumi Indonesia, vol.8, no.6, hlm 209.
Peraturan Perundangan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
PENGUATAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENERBITAN HAK GUNA USAHA UNTUK MEWUJUDKAN PENATAAN RUANG YANG
BERKEADILAN
(Studi Kasus Konflik Perpanjangan Hak Guna Usaha PT. Perusahaan Gula Rajawali II Unit Jatitujuh dengan Forum Kesatuan Aksi Masyarakat Indramayu Selatan)
Rizki Zakariya
Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai negara agraris, karena luasnya wilayah pertanian, dan masyarakat yang sebagian besar sumber kehidupannya dari pertanian. Hal ini dibuktikan dengan luasnya wilayah pertanian yang pada tahun 2017 mencapai 8,1 juta hektar, dan menyerap 22 juta pekerja (Pusat Data Pertanian 2018). Besaran angka tersebut juga berbanding lurus dengan jumlah konflik agraria yang terus terjadi setiap tahunnya. Pada tahun 2017 konflik agraria mencapai 659 kasus, kemudian pada tahun 2018 mencapai 410 kasus (Bayu 2019). Konflik tersebut terjadi baik antara masyarakat dengan perusahaan, masyarakat dengan masyarakat, atau masyarakat dengan pemerintah. Oleh karena itu, perlu penanganan khusus untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria yang terus terjadi tersebut.
Masalah kepemilikan Hak Guna Usaha (HGU) merupakan salah satu penyebab konflik agraria yang sering
terjadi di Indonesia. Masalah itu muncul karena adanya kesenjangan kepemilikan tanah antara masyarakat setempat dengan pemegang HGU, dimana tidak ada keterlibatan dan partisipasi masyarakat sekitar lokasi dalam penerbitan HGU (KPA 2018). Konflik agraria antara PT. Perusahaan Gula Rajawali II di perbatasan Indramayu dan Majalengka, dengan masyarakat sekitar areal konsesi HGU perusahaan merupakan salah satunya. Kondisi masyarakat sekitar perusahaan areal konsesi HGU yang memiliki lahan sempit dan kurang mampu, berbanding terbalik dengan kepemilikan lahan HGU PG Rajawali II yang luasnya ribuan hektar dan laba usaha yang tinggi, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial. Hal itu diperparah dengan perpanjangan HGU perusahaan yang terus menerus oleh pemerintah, tanpa memperhatikan atau melibatkan masyarakat sekitar lokasi dalam penerbitannya.
Sehingga menim-bulkan konflik agraria didaerah tersebut (Wawancara dengan Iskandar, Ketua F-Kamis, 10 November 2019).
Urgensi Partisipasi Masyarakat dalam Penerbitan HGU untuk Mewujudkan Penataan Ruang yang Berkeadilan
Penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) oleh pemerintah seringkali menimbulkan permasalahan di masyarakat yang hidup di sekitar areal konsesi. Hal itu dibuktikan dengan data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada Desember 2017 yang terdapat tambahan 389.500 izin
HGU baru yang dikeluarkan oleh pemerintah selama 2 dua tahun. Dimana dari jumlah tersebut 2.509 izin HGU dinyatakan tidak clean and clear penerbitannya. Kemudian 3.788 izin HGU telah habis masa berlakunya, namun tidak dikembalikan kepada negara dan terus dikelola oleh pemegang HGU (Anggraini 2019). Sedangkan data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) tercatat ada 313.000 ribu hektar dari 9,6 juta hektar lahan wilayah adat yang tumpang tindih dengan izin-izin konsesi HGU.
Sehingga dari jumlah tersebut terdapat 152 komunitas masyarakat adat yang sedang berkonflik dengan pemegang HGU atas kepemilikan lahan adatnya (Bayu 2019).
Permasalahan itu disebabkan tidak adanya ruang partisipasi masyarakat yang hidup sekitar areal konsesi dalam penerbitan maupun perpanjangan HGU oleh pemerintah. Padahal apabila merujuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria (UUPA) terdapat tiga tujuan mulia yang hendak dicapai pembentukannya: Pertama, menata ulang struktur agraria yang timpang menjadi berkeadilan, Kedua, menyelesaikan konflik agraria, dan Ketiga mensejahterakan rakyat setelah reforma agraria itu dijalankan (Biro Hukum Kominfo 2018). Sehingga, dengan kondisi konflik yang terus terjadi dan amanat UUPA itu seharusnya menjadi evaluasi perbaikan penerbitan HGU oleh pemerintah pada masa mendatang, dalam hal ini pelibatan masyarakat dalam penerbitannya.
Konflik Agraria PG Rajawali II dengan F-Kamis Akibat Tidak Adanya Partisipasi Masyarakat dalam Penerbitan HGU
Salah satu kasus tidak adanya partisipasi masyarakat sekitar areal konsesi dalam penerbitan izin HGU yakni konflik antara PT. Perusahaan Gula Rajawali II unit Jatitujuh (disebut PG Rajawali II), dengan masyarakat sekitar areal konsesi yang kemudian membentuk organisasi bernama Forum Komunikasi Masyarakat Indramayu Selatan (F-Kamis). PG Rajawali II Unit Jatitujuh berdiri sejak dikeluarkannya SK Mentan (Menteri Pertanian) No.
795/VI/1975 tentang izin prinsip pendirian yang dikenal
“Proyek Gula Jatitujuh.” Kemudian diikuti dengan dikeluarkannya SK Mentan No. 654/Kpts/UM/76 tanggal 9 Agustus 1976 tentang penetapan kawasan hutan Jatitujuh, Kerticala, Cibenda dan Jatimunggul seliuas 12.022,50 hektar untuk PT. Perkebunan XIV guna penanaman tebu dan instalasi proyek pabrik gula Jatitujuh (“Sejarah PT PG Rajawali II” 2018). Kedua surat keputusan tersebut menjadi dasar hukum awal berdirinya perusahaan, serta dengan Hak Guna Usaha yang termasuk di dalamnya (Wawancara dengan Heryawan, Kepala SDM PG Rajawali II, 5 November 2019).
Konflik tersebut muncul ketika masyarakat sekitar perusahaan gula tidak diberitahukan mengenai perpan- jangan HGU PG Rajawali II pada tahun 2004, dan tiba-tiba diperpanjang hingga tahun 2029. Padahal masyarakat sekitar sangat merasakan dampak kerugian dari adanya
operasional perusahaan gula tersebut. Kerugian itu terdiri dari: Pertama, pencemaran lingkungan operasional perusa- haan, yaitu ketika proses panen berakhir kemudian dibakarnya sisa pohon tebu, sehingga abu dan asap pembakaran tersebut terbawa melewati pemukiman warga dan menyebabkan masyarakat terkena penyakit asma dan sesak napas akibat asap itu. Kedua, kekurangan air bersih, masyarakat sekitar mengeluhkan air tanah yang susah untuk didapatkan karena areal perkebunan tebu yang gersang dan menyerap banyak air tanah di sekitar warga, sehingga cadangan air sulit, baik untuk pertanian maupun kebutuhan sehari-hari. Ketiga, kondisi lingkungan yang gersang dan panas akibat karakter pohon tebu yang tidak banyak mengeluarkan gas oksigen seperti pohon lain, serta truk pengangkut tebu yang hilir mudik sehingga merusak jalan desa masyarakat desa penyangga (Wawancara dengan Iskandar, Ketua F-Kamis, 10 November 2019). Hal-hal itu merupakan kerugian yang dirasakan masyarakat akibat kegiatan usaha PG Rajawali II unit Jatitujuh.
Sehingga masyarakat yang tergabung dalam F-Kamis memiliki persamaan tujuan untuk mengambil alih penguasaan lahan HGU PG Rajawali II seluas 6000 hektar kepada masyarakat setempat untuk dikelola. Adapun upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat tersebut diantaranya dengan melalui mekanisme hukum, demon- strasi, penghadangan truk operasional pengangkut tebu, pendudukan perusahaan untuk menghentikan operasional perusahaan, dan mengajak pekerja perusahaan untuk
mogok kerja (Wawancara dengan Iskandar, Ketua F-Kamis, 10 November 2019). Hal itu menimbulkan bentrokan dan kekerasan antara PG Rajawali II yang meminta bantuan aparat keamanan, dan masyarakat F-Kamis yang berjuang untuk mewujudkan tujuannya. Padahal hal itu dapat dihindari apabila sejak awal penerbitan izin dilakukan dengan partisipasi masyarakat sekitar areal HGU untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan yang baik dengan perusahaan (Wawancara dengan Heryawan, Kepala SDM PG Rajawali II, 5 November 2019).
Pengaturan Partisipasi dan Akses Informasi HGU Partisipasi masyarakat dalam penerbitan HGU merupakan hal yang penting untuk mewujudkan reforma agraria di masa mendatang. Akan tetapi, supaya masyarakat dapat berpartisipasi dalam penerbitan HGU, diperlukan akses informasi HGU itu terlebih dahulu, dimana hal itu masih menjadi masalah sampai saat ini (Supriyanto 2019). Dalam putusan Komisi Informasi Pusat Nomor: 188/V/KIP-PS-A/2012, yang kemudian dijadikan pertimbangan Putusan Komisi Informasi Pusat Nomor:
045/V/KIP-PS-A/2014 disebutkan bahwa Dokumen Surat Erfacht Verponding Afdelling (HGU) merupakan informasi yang dikecualikan namun dapat diketahui atau diperlihat- kan kepada pemohon karena merupakan pihak yang berkepentingan atas dokumen untuk memenuhi tujuan pemohon. Hal itu juga sejalan dengan amanat Pasal 4 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), yang menyatakan bahwa setiap orang berhak melihat dan mengetahui informasi publik. Sehingga dengan putusan Komisi Informasi Pusat dan UU Keterbukaan Informasi Publik tersebut menjadi dasar hukum keharusan dibukanya informasi HGU kepada masyarakat untuk dapat dilakukan partisipasi dalam penerbitannya. Adapun letak partisipasi masyarakat dalam penerbitan HGU dapat dilihat pada gambar 1. mengenai proses penerbitan HGU berikut berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha.
Gambar 1: Proses Penerbitan Hak Guna Usaha
Berdasarkan tahapan proses penerbitan HGU tersebut, maka diketahui partisipasi masyarakat dapat dila- kukan sejak awal dilakukannya pengukuran lokasi yang akan dilakukan penetapan HGU. Dalam proses pengukuran itu dibutuhkan saksi-saksi dari masyarakat sekitar areal
konsesi, untuk menunjukan tanah tidak dalam sengketa.
Kemudian dalam permohonan dan pemeriksaan tanah juga mensyaratkan pelibatan masyarakat sekitar lokasi. Akan tetapi dalam pelaksanaannya partisipasi masyarakat tersebut sulit dilaksanakan bahkan tidak ada, seperti dalam kasus konflik HGU antara PG Rajawali II dengan masyarakat F-Kamis. Oleh karena itu, perlu dilakukan penguatan partisipasi masyarakat dalam penerbitan HGU dari peraturan yang sudah ada supaya dilaksanakan secara maksimal untuk mewujudkan penataan ruang yang berkeadilan bagi masyarakat.
Kesimpulan
Berdasarkan hal yang diuraikan di atas, maka urgensi perlunya dilakukan partisipasi publik dalam penerbitan izin HGU dilakukan karena beberapa alasan, yaitu:
permasalahan izin HGU yang diterbitkan seringkali menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar areal lokasi konsesi, salah satunya konflik yang terjadi antara PG Rajawali II dengan masyarakat F-Kamis. Kemudian untuk menunjang partisipasi masyarakat dalam penerbitan HGU harus dilakukan pembukaan akses informasi HGU kepada masyarakat sebagaimana telah dinyatakan dalam Putusan Komisi Informasi No. 045/V/KIP-PS-A/2014. Meskipun partisipasi masyarakat dalam penerbitan HGU tersebut telah diatur prosesnya mulai dari tahap pengukuran lokasi permohonan dan pemeriksaan tanah, akan tetapi pada kenyataannya di lapangan sulit dilaksanakan. Oleh karena
itu, perlu dilakukan penguatan partisipasi publik dalam penerbitan HGU oleh pemerintah untuk mewujudkan penataan ruang yang memberikan keadilan bagi masyarakat.
Daftar Pustaka
Anggraini, RG 2019, ‘Asosiasi pengusaha serahkan pembukaan data HGU ke Pemerintah,’ Katadata, diunggah pada 12 Maret, dilihat pada 15 November 2019.
Bayu, DJ 2019, ‘Berderet masalah, Kementerian Agraria didesak buka data HGU ikuti MA’, Katadata, diunggah pada 4 Maret, dilihat pada 19 November 2019, https://katadata.co.id.
Bayu, DJ 2019, ‘Selama 2018, konflik agraria paling banyak di sektor perkebunan’, Katadata, 31 Januari, dilihat pada 17 November 2019, https://katadata.co.id.
Biro Hukum dan Humas Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, 2018, ‘Reforma agraria menjamin pemerataan sosial ekonomi masyarakat secara menyeluruh,” Kominfo, 01 Agustus 2018, dilihat pada 19 November 2019, https://
kominfo.go.id./content/detail/13688/reforma-agraria -menjamin-pemerataan-sosial-ekonomi-masyarakat- secara-menyeluruh/0/artikel_gpr
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, ‘Tata cara penetapan Hak Guna Usaha’, Pertanian, dilihat pada 19 November 2019, http://
investasi.pertanian.go.id/publikasi-3-tata-cara- penetapan-hak-guna-usaha-hgu.html
Konsorsium Pembaharuan Agraria, 2018, Catatan akhir tahun 2017: reforma agraria di bawah bayangan investasi, KPA, Jakarta.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2018, Statistik Pertanian 2017, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Jakarta.
‘Sejarah PT. PG Rajawali II’, Pg-rajawali, dilihat pada 19 November 2019, http://pg-rajawali2.com.
Supriyanto, B 2019, ‘HGU tidak bisa dilihat pada publik’, Bisnis, diunggah pada 12 Mei 2019, dilihat pada 18 November 2019, https://ekonomi.bisnis.com.
Peraturan Perundangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Kepala Badan Peratanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2013 tentang Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Peraturan Kepala Badan Peratanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2013 tentang Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
KEADILAN NEGARA DALAM NAGARI KITO
M Shandy Ramadanu
Pendahuluan
Amanat negara yang tersirat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria atau yang lebih dikenal UUPA untuk melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia. Kegiatan ini masih terus dilaksanakan dalam memberikan kepastian hukum kepada bidang tanah dan sebagai basis data dalam sistem informasi pertanahan dalam penentu kebijakan negeri ini. Dalam amanat tersebut juga tersirat cita-cita keadilan bagi rakyat Indonesia.
Pengakuan terhadap tanah adat di Indonesia khususnya Sumatera Barat merupakan dilema tersendiri bagi pemerintah, dikarenakan permohonan tanah ulayat atau tanah adat menjadi tanah hak milik secara hukum masih belum memiliki regulasi yang jelas seperti permohonan tanah negara menjadi tanah hak milik (Fatmi 2018). Bagi masyarakat Sumatera Barat, Hak ulayat mempunyai sifat keluar dan ke dalam (Yarsina 2018) dalam mengambil manfaat dari tanah milik adatnya dan melindungi tanah milik adatnya dari pihak luar. Selain itu, adanya istilah urang mandapek, awak indak kahilangan (Yarsina 2018) juga menyulitkan masyarakat hukum adat untuk menjadi kan hak publik tanah milik adat dan
menjadi hak privat. Tetapi, keadilan yang diterapkan pada masyarakat hukum adat di sana sudah merata, dimana Ninik Mamak tidak akan membiarkan keturunannya tidak memiliki tanah. Walaupun istilah di atas membuat penerapan keadilan secara distributif pada masyarakat hukum adat Sumatera Barat menjadi tidak terpenuhi dan membuat kerugian bagi orang yang menerima amanat dari Ninik Mamak untuk mengelola sebagian tanah pada suatu kaum.
Bagi ninik mamak, apabila tanah ulayat disertifikatkan maka kedudukan dari Tanah Ulayat tersebut berubah dari Hak Pusako Tinggi menjadi Hak Pusako Randah (Yarsina 2018). Selain itu, perubahan tersebut dapat merugikan anggota kaum, sebab apabila tanah tersebut didaftarkan atas nama Mamak Kepala Waris timbul kekhawatiran tanah tersebut nantinya akan dialihkan, dijual atau digadaikan ke bank (Purwaningsih dkk. 2017).
Kehadiran UUPA sendiri dianggap oleh masyarakat hukum adat dapat mengganggu stabilitas adat pada masyarakat Sumatera Barat karena pola pemilikan tanah yang dianut oleh UUPA yang bersifat individual bertentangan dengan prinsip pemilikan tanah secara komunal/bersama dalam masyarakat Sumatera Barat (Purwaningsih dkk. 2017).
Selain itu, batas-batas tanah ulayat yang hanya berdasarkan “peta ingatan” dari Penguasa Adat (Fatimah dan Andora 2014) dapat menjadi salah satu faktor
penyebab sengketa batas antar tanah kaum pada suatu nagari. Hal-hal tersebut, menyulitkan negara untuk hadir melak-sanakan amanah konstitusi dalam Pendaftaran Tanah di seluruh Indonesia, maka dari itu dibutuhkan sebuah konsep yang dapat merangkul tanah milik adat tanpa dihantui oleh ketakutan akan kehilangan tanahnya maupun melanggar adat yang telah ada selama ini.
Negara Hadir dalam Nagari Kito
Konsep tanah milik adat yang ada di Sumatera Barat merupakan tanah komunal atau publik, artinya bukan hubungan hak milik seseorang dengan tanah tersebut (Yarsina 2018), dimana terdapat beberapa klasifikasi antara lain : (a) tanah ulayat kaum, di bawah pengawasan mamak kepala waris/penghulu; (b) tanah ulayat suku, terpegang pada penghulu suku; (c) tanah ulayat nagari, di bawah pengawasan penghulu-penghulu yang bernaung dalam kerapatan nagari (Miko 2006, 203 dalam Fatimah dan Andora 2014).
Selanjutnya setiap Penghulu akan berkumpul dan bermusyawarah dalam suatu balai adat, maka terbentuklah sebuah lembaga adat yaitu Kerapatan Adat Nagari (KAN) (Prasetya 2018). Salah satu tugas KAN adalah mengurus dan mengelola hal-hal yang berkaitan dengan adat sehubungan dengan sako dan pusako yaitu merupakan harta yang diwariskan dalam adat.
Di dalam tanah ulayat terdapat dua jenis penggunaan tanah yaitu hutan adat yang merupakan kewenangan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999) dan area penggunaan lain (APL) dalam tanah ulayat yang merupakan kewenangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960).
Untuk menghadirkan negara dalam masyarakat hukum adat pada area penggunaan lain dapat dilakukan dengan mengadopsi konsep hak pengelolaan yaitu merupakan hak menguasai dari negara. Kewenangan negara sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya (Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999), dimana kewenangan dalam hak pengelolaan ada yang bersifat publik (Santoso 2012) yang sama seperti hak ulayat, diharapkan negara dapat hadir dalam merangkul masyarakat hukum adat melalui konsep tersebut.
Dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 khususnya poin a, b dan d dapat di- gunakan sebagai wewenang hak kepemilikan bersama tanah ulayat, yaitu merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanah tersebut, menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan berda- sarkan ketetapan yang diatur oleh adat.
Adopsi konsep hak pengeloaan juga dilakukan terha- dap hak atas tanah di atas hak pengelolaan (hak sekunder) (Santoso 2012). Dalam konsep ini hak kepemilikan bersama ini selanjutnya dapat diterbitkan hak guna bangunan
(HGB) atau hak pakai (HP) atau hak milik (HM) dengan cara pelepasan hak kepemilikan bersama tersebut sesuai dengan penggunaan bidang tanahnya. Pernyataan ini juga didukung oleh Pasal 8 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya.
Berdasarkan keperluannya penggunaan tanah dapat diperuntukan untuk membangun rumah tempat tinggal, tempat berdagang seperti membuat toko atau rumah dan toko dan untuk bercocok tanam (Fatmi 2018), dimana dapat dilekatkan hak atas tanah sebagai berikut :
1. Untuk rumah tinggal, diberikan Hak Milik (HM) dengan persetujuan Ninik Mamak/Penghulu dan me- lampirkan surat pelepasan hak kepemilikan bersama.
2. Untuk toko, ruko atau usaha lain dapat diberikan Hak Guna Bangunan (HGB) dengan persetujuan Ninik Mamak/Penghulu dan melampirkan surat perjanjian dan jangka waktu. Apabila mendapatkan rekomendasi dapat ditingkatkan menjadi HM.
3. Untuk bercocok tanam dapat diberikan Hak Pakai (HP) dengan persetujuan Ninik Mamak/Penghulu dan me- lampirkan surat perjanjian serta pernyataan pengelo- laan lahan secara berkelanjutan.
Peran Ninik Mamak/Penghulu untuk mengatur tentang penggunaan dan peralihan bidang tanah yang telah dibagi-bagi dan mengambil keuntungan dari pihak lain (urang mandapek, awak indak kahilangan) tidak akan hi- lang, karena dalam mengalihkan bidang tanah tersebut
harus mendapatkan rekomenda