• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN KUOTA 30% PEREMPUAN DALAM PEMILU DARI PARTAI GERINDRA DALAM PILEG 2019 DI DKI JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "KEBIJAKAN KUOTA 30% PEREMPUAN DALAM PEMILU DARI PARTAI GERINDRA DALAM PILEG 2019 DI DKI JAKARTA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

791

KEBIJAKAN KUOTA 30% PEREMPUAN DALAM PEMILU DARI PARTAI GERINDRA DALAM PILEG 2019 DI DKI JAKARTA

Edeltrudis Calasansia Murni, Haryo Ksatrio Utomo Prodi Ilmu Politik FISIP Universitas Bung Karno

etrudis369@gmail.com haryo.ksatrio.utomo@gmail.com

Abstrak

Peneliti membahas tentang proses kaderisasi pada partai politik Gerindra menjelang pemilu DPR RI pada tahun 2019 di DKI Jakarta, Pada proses perekrutan caleg perempuan Gerindra pada tahun 2019 di DKI Jakarta, Gerindra berhasil memenuhi kebijakan Affirmative action yang harus dipenuhi oleh setiap partai politik untuk mengikuti pemilu. Gerindra melakukan proses perekrutan dengan membuka pendaftaran secara umum khususnya di DKI Jakarta, Gerindra lebih fokus mengusung anggota perempuan yang sudah menjadi Kader dan sudah memiliki kartu tanda anggota sebagai Kader Gerindra. Selain itu Gerindra juga fokus mengusung aktivis dan juga Bacaleg yang memiliki basis besar di masyrakat.

Kata Kunci : Kebijakan, Affirmative Action, Rekrutmen Politik, Politik Perempuan.

Pendahuluan

Masyarakat merupakan subyek utama dalam pelaksanaan setiap aktivitas politik, meskipun masyarakat bukan sebagai subjek politik, tetapi ia merupakan objek utama politik.

Sistem politik demokratis yang dianut oleh suatu negara, menghendaki partisipasi masyarakat (warga negara). Terkait dalam sistem politik yang demokratis, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama. Pemenuhan hak-hak politik perempuan merupakan salah satu jalan perbaikan nasib perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan sudah berlangsung lama, terlepas itu dari konsep negara ataupun sebagai seorang warga negara, kasus seperti ini tetap terjadi meskipun sudah ada begitu banyak gerakan perempuan yang bermunculan. Budaya patriarki memproses perempuan pada peran-peran domestik seperti pengasuhan, pendidikan dan penjaga moral. Sementara peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga, mengambil keputusan dan mencari nafkah. Peran yang dilekatkan ke perempuan tersebut, di arena politik yang sarat dengan peran pengambil kebijakan terkait erat dengan isu-isu kekuasaan identik

(2)

792

dengan dunia laki-laki. Jika perempuan naik panggung atau menjadi pengambil kebijakan akan dianggap tidak pantas, bahkan politik dianggap dunia yang kerat, sarat dengan persaingan.

Rendahnya partisipasi perempuan dibidang politik disebabkan karena kendala kultural, struktural dan anggap-anggapan yang bias gender. Perubahan terhadap nilai ini sangat dibutuhkan, mengingat setiap individu mempunyai kewajiban dan hak serta peran yang sama di masyarakat sesuai dengan kemampuannya dan mendapatkan kesempatan yang sama tanpa harus memandang gender

Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, maka ciri yang sangat melekat untuk sebuah negara yang berdasarkan hukum adalah memberikan perlindungan terhadap kebebasaan dan hak-hak asasi manusia. Dari berbagai masalah yang ada dalam proses demokratisasi di Indonesia, pada akhirnya pemerintah telah membuat aturan hukum yang jelas untuk mengakomodir keterwakilan perempuan dalam pemilu. Ada dua undang-undang yang dapat dirujuk untuk memuat tindakan kebijakan affirmative bagi perempuan diranah politik, yang pertama adalah UU NO 10 Tahun 2008 tentang pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta UU NO 2 Tahun 2008 tentang partai politik pasal 55 ayat 920 UU No. 10 Tahun 2008 menyatakan, ‘didalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat 910, dalam setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon”.

Pada tahun 2012 dalam UU No. 8 tahun 2012 tentang pemilu, kebijakan ini mewajibkan partai politik mencalonkan sekurang-kurangnya 30% Perempuamn dari total caleg yang diusung dari setiap partai dari tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Partai politik yang tidak menjalankan peraturan ini akan dikena sdanksi tidak bisa mengikuti pemilu. Peraturang dikeluarkan karena berharap dapat menjadi tonggak awal negara dalam upaya terkait meningkatkan keterakilan perempuan dalam pemilu, parlemen maupun dalam kegiatan public lainnya dalam mengambil keputusan.

Saat ini Indonesia sudah memiliki banyak perkembangan anggota perempuan yang berada di parlemen dan lembaga negara lainnya. Mulai dari pemilihan umum pada tahun 1992, dari 2283 calon anggota yang diusulkan oleh organisasi pemilu, jumlah perempuan, yang lolos untuk berada di parlemen ialah 62 orang (12,5%) sedangkan jumlah, anggota laki-laki 438 (87,5%). Pada pemilu tahun 1997 perempuan hanya terwakili 54 orang (10,8%), sedangkan jumlah anggota laki-laki 446 orang (89,2%) kemudian pada tahun 1999 menurun menjadi 46 orang anggota (9%), dan anggota laki-laki yang masuk parlemen mengalami kenaikan 454 orang (91%). Pada pemilu tahun 2004 mengalami kenaikan menjadi 65 orang (11,6%), dan anggota laki-laki yang lolos mengalami penurunan menjadi 435 orang (87%). Sementara itu

(3)

793

pada pemilu, tahun 2009, presentase perempuan mengalami peningkatan dibanding periode sebelumnya berubah menjadi 101 orang (18%), anggota laki-laki mengalami kenaikan juga dengan jumlah 459 orang (82%) dari 560 anggota DPR, tetapi peningkatan ini tidak otomatis disebabkan oleh peningkatan kesadaran masyrakat tentang kesetaraan gender sebab caleg perempuan ‘tertolong’ oleh penentuan nomor urut yang terlanjur mengacu pada system zipper sesuai UU. Pada pemilu tahun 2014 proporsi anggota legislatif perempuan yang terpilih gagal mencapai affirmative action 30%. Proporsi ini mengalami penurunan dari 18% pada tahun 2009 menjadi 17,3%. Pada tahun 2014 Padahal kandidat perempuan yang mencaloinkan diri dan masuk daftar pemilih dari partai pemilih dari partai politik mengalami peningkatan dari 33,6% tahun 2009 menjadi 37% pada pemilu 2014. Pada pemilu 2019 menjadi salah satu sejarah baru dalam pemilu untuk perjuangan perempuan selama bertahun-tahun, disini meningkatnya jumlah keterpikihan perempuan dalam pemilu sekaligus menjadi sejarah parlemen di Indonesia. Tentu saja partai politik sudah memenuhi kuota 30% calon legislatif perempuan yang bisa ikut pemilu tetapi belum bisa memenuhi kuota 30% untuk berada di parlemen. Pada pemilu 2019 dari 575 anggota legislatif yang lolos, sekitar 20,5% anggota perempuan yang lolos untuk berada di parlemen. Sangat disayangkan karena dari 20%

perempuan yang terpilih dalam pemilu 2019 yang berlatar belakang aktivis perempuan, ataupun anggota yang bersentuhan dengan kaum marjinal sangat minim. Sebagian besar yang terpilih berasal dari dinasti politik dan juga figure populer. Secara ringkas dapat digambarkan, banyak anggota parlemen yang terpilih ini mempunyai modal finansial maupun jaringan yang memadai, namun minim dalam pengetahuan tentang politik dan kesetaraan gender yang dimana menjadi acuan pertama adanya kebijakan affirmative.

Kebijakan affirmative di indonesia baru sampai pada tahap pendorongan terhadap perempuan, pada proses kontestasi untuk mendapatkan kursi masih terdapat ketimpangan dalam strategi politik, mengakses informasi, berelasi dengan calon konsisten sehingga pengalaman perempuan harus terus diakumulasi menjadi suatu proses pembelajaran dan pendidikan politik perempuan. Masih begitu banyak yang belum memahami apa yang harus diperjuangkan dan belum sampai pada tingkat mengupayakan bagaimana makna dari keberadaan perempuan di parlemen, dan di berbagai lembaga negara lainnya. Kebijakan partai politik dalam menentukan anggota yang akan direkrut sangatlah penting untuk pemberdayaan perempuan lebih lanjut, mekanisme rekrutmen cenderung bersifat instan dan seringkali diwarnai oleh nepotisme. Selain rekrutmen, kaderisasi juga tidak berjalan selayaknya sehingga tidak mengherankan jika melihat partai politik bisa dengan mudah mencari dan mendukung

(4)

794

figure yang bukan kader partai dalam kondisi memperebutkan kekuasaan dan jabatan publik seperti pada pilkada atau pemilu legislatif. Dalam pemetaan model rekrutmen ada secara formal dan juga secara logika atau informal yang juga berjalan sehingga kesepakatan secara formal bisa saja dilanggar oleh pimpinan partai. Pimpinan tertinggi partai jarang memahami terkait masalah terkait gender, hal ini menyebabkan mereka tidak bersungguh-sungguh untuk menerapkan kebijakan terhadap calon anggota perempuan yang akan direkrut saat kaderisasi.

Partai politik terkesan setengah-setengah dalam mengimplementasikan kebijakan affirmative karena dianggap hanya sebagai persyaratan administratife yang sifatnya hanya formalitas untuk mengikuti pemilu. Seharusnya ada mekanisme dan aturan pra pencalonan yang lebih demokratis dalam partai politik terutama terkait aturan affirmative pencalonan perempuan, untuk memastikan rekrutmen bukan sekedar syarat administrasi tetapi substansi affirmative pencalonan betul membuat perempuan menghadirkan identitas dan kepentingannya.

Dalam perjalanan perpolitikan di Indonesia, jumlah perempuan yang mengikuti pemilu terhitung naik secara signifikan setelah adanya kebijakan terkait kuota 30% perempuan, dan peraturan ini menjadi salah satu syarat utama partai politik untuk mengikuti pemilu. Namun dalam realitasnya hal ini dimanfaatkan oleh partai politik agar bisa mengikuti pemilu secara keseluruhan, tidak ada jaminan bahwa caleg perempuan yang diusung akan memiliki posisi di parlemen, hal ini juga disebabkan karena masyrakat Indonesia khususnya sesama kaum perempuan tidak terlalu paham terkait alasan kenapa perempuan harus berada di parlemen.

Perempuan menjadi subordinasi dari laki-laki dalam berbagai hal, khususnya dalam mengambil kebijakan di berbagai ruang publik. Di lembaga politik selalu terjadi kesenjangan yang cukup luas dalam setiap keterwakilan perempuan, hal ini dapat dilihat dilihat pada jumlah anggota legislatif yang masih sedikit, jumlah perempuan yang berada di parlemen sangat jauh dari yang dicita-citakan setelah pengesahan terkait kuota 30%.

Menjelang pemilu pada tahun 2019 di DKI Jakarta, Gerindra melakukan perekrutan untuk mencapai kebijakan kuota 30% perempuan dalam pemilu. Pada masa perekrutan dan pengkaderan ini Gerindra melakukan pengkaderan secara terbuka dan juga terstruktur terhadap calon perempuan yang sama dengan calon laki-laki, tidak ada perlakuan khusus dalam kaderisasi keanggotaan perempuan. Hal ini menunjukkan bagaimana kebijakan Gerindra terkait perekrutan bakal calon anggota secara adil dan tidak ada tindakan diskriminasi.

Kebijakan partai politik gerindra dalam menentukan calon legislatif perempuan pada pemilu 2019, memperlihatkan hasil yang cukup baik meskipun peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen belum signifikan dibanding laki-laki.

(5)

795

Hasil dari perekrutan yang dilakukan sebelum pemilu pada tahun 2019. Gerindra berhasil mendapatkan calon anggota yang kompeten dan berhasil mengikuti pemilu 2019 dan mengusung 23 calon legislative untuk III Dapil di DKI Jakarta. Dapil 1 yang melingkup Jakarta Timur terdapat 91 caleg dan Gerindra mengusung 6 calon anggota yang terdiri dari 3 calon perempuan dan 3 calon laki-laki. Dari Dapil II yang melingkupi Jakarta pusat, Jakarta selatan dan warga negara yang berada diluar negeri terdapat 105 caleg dan Gerindra hanya mengusung 7 caleg yang terdiri dari 3 anggota perempuan dan 4 laki-laki. Dan yang terakhir adalah Dapil III yang melingkupi kepulauan seribu, Jakarta utara dan Jakarta barat, di Dapil III terdapat 115 caleg dan gerindra berhasil mengusung 8 caleg yang terdiri dari 3 perempuan dan 5 laki-laki.

Dari hasil pemilu ini Gerindra hanya mendapatkan 5 kursi untuk Dapil DKI Jakarta, dari 23 calon anggota yang mengikuti pemilu hanya 3 anggota yang lolos ke parlemen. Dari 3 anggota yang lolos hanya 1 anggota perempuan yang terpilih dari Dapil DKI Jakarta II Hj.

Himmatul Aliyah, S.SOS., M.Si beliau adalah pejuang politik dari Parta politik Gerindra dan saat ini ditugaskan oleh Fraksi Gerindra RI menjadi anggota komisi X DPR RI di bidang pendidikan dan kebudayaan, pemuda dan perpustakaan. Dari 9 calon perempuan yang diusung dari 3 dapil untuk DKI Jakarta, Gerindra hanya memiliki 1 anggota perempuan terpilih dan lolos ke parlemen.

Hasil dari pemilu ini juga menjadi sangat menarik untuk diteliti dan dibahas mengingat dari 3 Dapil terdapat 3 calon perempuan dari setiap Dapil, sedangkan hasil pemilu hanya 1 calon perempuan yang terpilih. Hal ini menjadi latar belakang utama masalah yang akan diteliti oleh peneliti terkait kebijakan Gerindra pada tahap perekrutan terhadap calon legislatif perempuan yang diusung, apakah Gerindra merekrut dan mengusung calon anggota perempuan untuk kemajuan partai terkait pengambil kebijakan untuk bagian perempuan atau hanya untuk memenuhi aturan affirmative dengan kuota 30% perempuan dalam pemilu.

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik membahas terkait proses perekrutan di Gerindra pada pemilu DPR RI 2019 di DKI Jakarta.

Kerangka Teori

Kerangka teori, menjadi salah satu landasan berpikir dalam menyusun sebuah penelitian, dalam penelitian ini teori digunakan untuk menganalisis masalah dan membahas

(6)

796

masalah yang ada. Peneliti menggunakan 3 teori dalam penelitian ini yaitu, Teori Partai Politik, Teori Rekrutmen Politik, Teori Keterwakilan Perempuan

Metode penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif.

Metode kualitatif merupakan penelitian yang menjabarkan suatu masalah/fenomena secara deskriptif dalam bentuk narasa dengan menjalin hubungan antara suatu fenomena dengan fenomena lainnya secara sistematis. Dalam melakukan penelitian kulitatif, peneliti perlu memiliki beberapa hal terkait human instrument, yakni kecakapan dalam bidang ilmu yang dikuasai, objektif dan mampu menganalisa dengan baik. Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif analisis yang berarti peneliti akan mendekripsikan secara naratif hasil temuan yang telah dianalisis peneliti dengan baik.

Menurut Sugiyono, metode analisis yang berlandaskan pada filsafat post positivism, digunakan untuk meneliti pada konsep objek ilmiah, dimana peneliti merupakan instrumen kunci/ utama dalam penelitian. Metode penelitian ini sering digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, yakni objek yang berkembang apa adanya, tidak dimanipulasikan oleh peneliti, dan peneliti tidak tidak mempengaruhi proses objek tersebut. Dalam penelitian kualitatif rumusan masalah adalah fokus penelitian yang bersifat sementara dan akan berkembang setelah peneliti melakukan penelitian langsung di lapangan.

Pembahasan

Pembukaan Pendaftaran Bakal Caleg Perempuan Gerindra 2019 di DKI Jakarta DPP Gerindra mulai membuka pendaftaran untuk setiap calon yang ingin mengikuti pesta pemilu pada tahun 2019 khususnya di DKI Jakarta dimulai pada tanggal 30 April sampai dengan 5 Mei, pendaftaran ini terbuka untuk setiap calon tanpa terkecuali antara calon anggota laki-laki maupun calon anggota perempuan. Pada saat pembukaan pendaftaran ini banyak calon yang berminat dan terpaksa Gerindra memperpanjang waktu untuk proses pendaftaran ini agar semua yang ingin mendaftar bisa mendaftar. Pada proses pendaftaran ini Gerindra melakukan verifikasi secara faktual, hal ini dilakukan supaya kriteria Gerindra melebihi kriteria KPU, dan hal ini memberi dampak positif untuk calon yang mendaftar, agar saat diverifikasi oleh KPU menjadi mudah untuk lolos. Gerindra mengajak seluruh masyrakat, mulai dari toko agama, tokoh pendidikan, organisasi untuk bergabung, yang ingin bergabung hanya harus menyetujui persyaratan dari Gerindra yaitu memenangkan Prabowo di daerah pemilihannya. Pada pemilu

(7)

797

tahun 2019 Gerindra berhasil menjadi partai politik nomor urut ke-2 yang berhasil lulus verifikasi dengan syarat yang dimaksud tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai partai politik yang sah untuk mengikuti pemilu (Pasal 173 ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017). Gerindra sendiri menerima pendaftaran bisa melalui mana saja, termasuk melalui DPD maupun DPP, tetapi juga harus mengikuti jalur dan peraturan yang dikeluarkan oleh KPU.

Proses Perekrutan Caleg Perempuan DKI Jakarta di DPP Gerindra.

Pada pemilu 2019 khususnya di daerah DKI Jakarta partai Gerindra melakukan proses rekrutmen melalui proses rapat pleno pemilihan umum internal dan eksternal melalui pendaftaran terbuka, yang terdiri atas, 1)Sosialisasi pemilihan umum yang internal, 2) penetapan daftar pemilih tetap pemilihan umum secara internal, 3) inventaritasi dan verifikasi daftar bakal cslon, 4) penetapan daftar calon sementara, 5) penetapan daftar calon tetap, 6) sosialisasi daftar calon tetap, 7) pemungutan dan penghitungan suara, 8) penetapan Anggota.

Mekanisme rekruitmen anggota calon legisltaif Partai Gerindra atau yang disebut dengan tahapan panitia penjaringan khusus tingkat daerah merupakan tahap panjang yang harus dilakukan setiap menjelang pemilu. Prosesnya terdiri dari1) Pembentukan panitian penjaringan khusus, 2) sosialisasi keseluruh kader, 3) melakukan penjaringan oleh kader, 4) Verifikasi bakal Caleg, 5) rapat pleno pemilihan umum secara internal, 6) penetapan nomor urut calon legislatif, 7) pengesahan dan pengajuan bakal caleg ke Dewan pengurus wilayah, 8) penetapan calon legislatif oleh komisi pemilihan umum. Mekanisme rekruitmen Partai Gerindra dalam pelaksanaannya sudah sesuai dengan ADART Partai Gerindra Bab V Anggota dan Kader, Pasal 14 ayat 4 bahwa kader partai Gerindra dipersiapkan untuk menjadi a) Calon Pengurus Partai, b) Bakal calon Anggota DPR dan DPRD, c) Bakal calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dan d) Bakal calon Presiden dan Wakil Presiden . Oleh karena itu, berdasarkan ADART tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa Partai Gerindra lebih mengutamakan anggota partai/kader sebagai calon anggota DPR atau DPRD.

Ada dua model perekrutan dalam lembaga politik yaitu secara terbuka dan tertutup termasuk partai Gerindra juga menerapkan proses perekrutan secara terbuka atau umum. Tentu saja proses ini memberi dampak positif untuk kemajuan partai dikarenakan proses ini lebih dikenal oleh masyrakat luas. Proses rekrutmen kader calon anggota legislatif secara semi terbuka yang dilakukan oleh Partai Gerindra merupakan indikasi bahwa Partai Gerindra telah melakukan kaderisasi yang baik. Fungsi partai politik juga mencakup fungsi berkomunikasi dengan masyarakat dan kepentingan masyarakat untuk sosialisasi politik. Mengingat salah

(8)

798

satu fungsi partai politik adalah melakukan kaderisasi untuk menghasilkan calon pemimpin.

Dengan memilih dan menyeleksi dari kader internal maupun eksternal tentunya kader tersebut telah dipersiapkan secara matang untuk menjadi legislator dari tahun-tahun sebelumnya sehingga sudah melalui proses pembinaan.

Dari uraian diatas menjelaskan bahwa selama proses perekrutan bakal calon anggota legislative pada tahun 2019 di DKI Jakarta, partai Gerindra tidak memberi keistimewaan khusus terhadap bakal calon anggota legislative perempuan semuanya mengikuti proses yang sudah ditetapkan secara sah. Hal lainnya adalah Gerindra melakukan perekrutan secara terbuka terhadap calon anggota perempuan yang akan diusung, tentu saja hal ini menjadi salah satu hal baik, bahwa tidak adanya tindakan diskriminatif terhadap calon anggota perempuan ataupun kader perempuan di Gerindra, semuanya memiliki kewajiban dan hak yang sama dalam memperjuangkan hak-hak masyrakat dan hak mereka sendiri untuk berada di parlemen. Tentu saja pada pemilu tahun 2019 setiap partai memiliki hal positif dan negative dalam kemenangan ataupun prosesnya, Gerindra sendiri berhasil memenuhi bahkan lebih untuk memenuhi peraturan dalam pemilu terkait kebijakan affirmative action dengan kuota 30% perempuan dalam pemilu yang harus diikuti oleh semua partai politik. Tapi dalam kemenangan anggota perempuan yang mengikuti pemilu di DKI Jakarta, anggota perempuan Gerindra yang berhasil memenangkan pemilu hanya 1 orang dari Dapil II DKI Jakarta.

Menurut Ann Philips dalam the politics of presence (1998) menyatakan bahwa politik untuk kaum perempuan bukan hanya dimaknai sebagai pertarungan ide dan gagasan tapi juga harus diartikan dalam kehadiran yang memberi makna. Ketika politik juga dimaknai sebagai kehadiran aktor politik, konsep keterwakilan (representattivenes) menjadi salah satu hal yang penting untuk di diskusikan. Prinsip keterwakilan tidak hanya bermakna statis sebagai mewakili kelompok dan kepentingan tertentu, tapi gagasan keterwakilan didalamnya menyangkut masalah “responsiveness” dan “accountability” (soetjipto;2011:71). Gerindra dalam kebijakannya terkait keterwakilan perempuan ini sudah memenuhi proses, tetapi dalam hasilnya keterwakilan ini belum sepenuhnya mendapatkan hasil yang baik. Dalam pengertian diatas menyatakan bahwa politik untuk kaum perempuan bukan hanya dimaknai sebagai pertarungan ide dan gagasan tapi juga harus diartikan dalam kehadiran yang memberi makna.

Dalam pengertian ini penulis menjelaskan terkait Calon anggota perempuan Gerindra dalam pemilu tahun 2019 di DKI Jakarta sudah mengikuti terkait pertarungan ide dan gagasan tetapi dalam kehadiran yang memberi makna belum terlihat karena belum terpilihnya mereka menjadi anggota legislative di parlemen jadi belum bisa memberi makna terhadap masyrakat.

(9)

799

Kebijakan Gerindra Terkait Affirmative Action dengan kuota 30% Perempuan Dalam Pemilu pada tahun 2019 di DKI Jakarta.

Affirmative action merupakan salah satu kebijakan yang diambil untuk bertujuan agar kelompok atau golongan tertentu yang minoritas dalam dunia profesi mapun gender bisa mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dengan mayoritas. Affirmative action juga bisa diartikan sebagai salah satu kebijakan yang memberikan keistimewaan terhadap suatu kelompok atau suatu golongan yang minoritas. Affirmative action ini pertama kali dikenalkan oleh Presiden Kennedy ( Presiden AS), dan kebijakan terkait affirmative action tetap berlanjut selama masa jabatan presiden Jhosson dan memberi banyak dampak positif. Bukan hanya AS yang menerapkan kebijakan tetapi negara-negara di Eropa juga menerapkan ini, bahkan negra- negara Asia juga menerapkan kebijakan ini untuk universitas, politik, perempuan dan berbagai profesi lainnya.

Indonesia menerapkan affirmative action ini dalam dunia politik, Indonesia mencoba menerapkan kebijakan ini pada era reformasi, tetapi masih banyak hambatan dan belum banyak yang mendukung terkait kebijakan ini. Ada yang menganggap bahwa kebijakan ini seperti sebuah diskriminasi terhadap perempuan dalam dunia politik, ada juga yang menganggap bahwa ini merupakan salah satu jalan utama untuk perempuan semakin berkembang. Sebelum capai pada keputusan final terkait UU ini, aktivis perempuan harus melalui berbagai perjuangan yang panjang selama bertahun-tahun, melalui berbagai perundingan untuk capai pada kesepakatan bahwa setiap parpol harus mengajukan calon anggota perempuan dengan kuota 30% baru bisa mengikuti pemilu.

Pada pemilu 2019 di DKI Jakarta, Partai Gerindra berhasil memenuhi peraturan terkait kebijakan Affirmative dengan kuota 30% ini. Partai Gerindra mengusung 9 calon anggota legislative perempuan untuk DPR RI dari Dapil 1 yang melingkup Jakarta Timur, Gerindra mengusung 6 calon anggota yang terdiri dari 3 calon perempuan dan 3 calon laki-laki. Dari Dapil II yang melingkupi Jakarta pusat, Jakarta selatan dan warga negara yang berada diluar negeri Gerindra mengusung 7 caleg yang terdiri dari 3 anggota perempuan dan 4 laki-laki. Dan yang terakhir adalah Dapil III yang melingkupi kepulauan seribu, Jakarta utara dan Jakarta barat, Gerindra mengusung 8 caleg yang terdiri dari 3 perempuan dan 5 laki-laki. Hasil dari pemilu dari 3 Dapil ini Gerindra hanya memenangkan 1 caleg perempuan yang lolos ke Parlemen. Selama proses perekrutan untuk setiap calon anggota legislative, Gerindra sendiri tidak melakukan diskriminasi terhadap calon anggota perempuan ataupun diperlakukan secara

(10)

800

khusus, semuanya dilakukan secara adil dengan laki-laki. Hasil dari pemilu ini memang memberi dampak pandangan yang sedikit negative terkait perjuangan perempuan di dunia politik khususnya Gerindra, tapi hal ini juga tentu saja karena masih banyak pandangan masyrakat yang menganggap bahwa tidak seharusnya perempuan berada di lembaga Negara.

Selain tercantum dan diatur dalam Undang- Undang, keterwakilan perempuan pada partai politik dengan kuota 30% perempuan juga tercantum dalam AD/ART setiap partai politik. Partai gerindra merupakan partai yang mendeklarasikan sebagai partai kader, mempunyai sistem kaderisasi kepartaian yang sistematis dan metodik. Kaderisasi mempunyai fungsi rekrutmen calon anggota serta fungsi pembinaan untuk seluruh anggota, kader dan fungsionaris partai. fungsi-fungsi tersebut dijalankan secara terbuka melalui infrastruktur kelembagaan yang tersebar dari tingkat pusat sampai ranting. Partai Gerindra salah satu partai yang telah mengatur keterwakilan perempuan di dalam AD/ART Partai, yakni pada Bab 2 Struktur dan Kepengurusan Pasal 7 Ayat 5, Pasal 8 Ayat 4, Pasal 9 Ayat 4, Pasal 10 Ayat 4, Pasal 11 Ayat 4, dan Pasal 12 Ayat 4 (AD/ART Partai Gerindra, 2014). Disebutkan bahwa dalam setiap kepengurusan di tingkat pusat maupun tingkat ranting, untuk tetap memperhatikan keterwakilan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan di dalam struktur partai.

Terkait kebijakan Gerindra dalam penentuan keputusan untuk caleg yang akan maju itu diputuskan dan dikendalikan oleh beberapa pihak yang memiliki kekuasaan untuk mengambil keputusan tersebut. Salah satunya dalah DPD, sedangkan untuk DPP keputusan ini diambil oleh bagian OKK dan pihak lain yang memang memiliki kekuaaan untuk keputusan tersebut.

Tetapi untuk kebijakan affirmative ini merupakan kebijakan nasional yang harus dipenuhi oleh setiap partai politik yang akan mengikuti pemilu, dan dalam pemenuhan kebijakan ii Gerindra tentu saja lebih mengutamakan Kader yang sudah jadi dulu baru memilih bacaleg lainnya yang baru mendaftar menjadi kader Gerindra. Untuk DPRD keputusan akhir akan diambil oleh DPD sedangkan untuk DPR RI adalah DPP, walaupun keputusan DPD akhirnya harus mengikuti keputusan DPP.

Penentuan Kuota 30% Bakal Calon Perempuan DPR Dari Partai Gerindra pada KPU Pusat.

Proses penentuan ini tentu saja harus melihat latar belakang calon yang akan menjadi calon jadi, salah satunya adalah latar belakang sebagai anggota DPR ataupun aktivis itu menjadi sebuah bahan pertimbangan, jadi seperti dilintas partai itu adalah hal yang menjadi kebijakan inti. Karena itu adalah rahasia umum, tapi semua yang memahami tentang politik

(11)

801

pasti paham bahwa kalau bicara tentang partai politik itu adalah untuk mendapatkan kekuasaan sebanyak-banyaknya, untuk menginfluens pengambilan kebijakan istilahnya seperti itu jikalau berbicara pragmatisnya. Jadi dalam hal terkait kebijakan dan peraturan ini Gerindra tentu sama saja dengan partai-partai lainnya, yang pasti dalam pertimbangan siapa yang akan maju mungkin perbedaan yang terbesar dengan partai lain karena setiap partai pasti memiliki persyratannya masing-masing, tetapi yang pasti di Gerindra bahwa orang yang akan diusung untuk mengikuti pemilu adalah kader, walaupun mungkin sebelumnya bukan sebagai kader Gerindra, tetapi pada saat pendaftaran Bacaleg sudah pasti harus memiliki kartu tanda anggota (KTA) yang sudah pasti. Disimpulkan bahwa Gerindra tidak membuka kepada independen, Gerindra pasti harus menunjukkan bahwa loyalitas kepada partai Gerindra dan kepada Bapak Prabowo Subianto, dan tentu saja hal ini sudah menjadi salah satu standar utama dan standar awal Gerindra untuk setiap kader, jadi yang sudah memiliki KTA dan yang bersangkutan juga sudah siap secara jasmani, Rohani dan mental, dan yang paling akhir adalah tentunya kesiapan secara finansial itu harus dibuktikan. Termasuk untuk bagian dari iuran juga untuk kontribusi dalam persiapan Pemilu ditahun berikutnya, jadi itu semua adalah bagian-bagian yang pasti menjadi bagian dari pengambilan keputusan terhadap nama para caleg yang akan diserahkan ke KPU untuk emngikuti pemilu, untuk hal lainnyaa juga tentu saja dilihat dari peta pendukung dari para bakal calon yang mendaftar. Dari semua hal yang diuraikan tentu saja akan dilihat dipetakan kembali baru memutuskan mana yang memang punya kemampuannya diatas dari yang lainnya dari segala sisi, dan juga tentunya dari segi peta, seperti biografis, demografis, baru Gerindra memutuskan nama-nama yang akan diusung untuk mengikuti pemilu.

Penutup Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan metode penelitian kualitatif pendekatan deskriptif dengan teknik wawancara serta dokumentasi melalui wawancara online dengan narasumber membahas tentang kebijakan affirmative action kuota 30% perempuan dalam pemilu DPR RI DKI Jakarta pada tahun 2019.

 Setiap partai politik tentu saja memiliki strategi dan kebijakan dalam mengambil keputusan apalagi itu berhubungan dengan perkembangan partai kedepannya. Partai Gerindra pada pemilu tahun 2019 menjadi salah satu partai yang memenuhi kebijakan affirmative action dengan kuota 30% perempuan dalam mengikuti pemilu. Terkait strategi yang dilakukan Gerindra dalam pemenuhan kebijakan ini, Gerindra membuka

(12)

802

pendaftaran secara terbuka tetapi Gerindra lebih mengutamakan kader perempuan yang sudah memiliki kartu tanda anggota sebagai Kader tetap Gerindra.

 Dalam kebijakan untuk pemenuhan affirmative action ini Gerindra cenderung mengusung kader partai yang perempuan untuk menjadi calon dalam pemilu. Dalam pemenuhan kebijakan ini juga Gerindra mengusung kader perempuan yang kompeten dalam politik dan juga aktivis, dalam proses pemenuhan ini Gerindra juga fokus dalam mengusung kader yang memiliki basis paling banyak di masyrakat.

Saran

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan diatas, maka saran dari penulis adalah:

 Seharusnya Gerindra mengevaluasi nama-nama calon yang mendaftar, baru mengusung calon jadi, bukan hanya karena latar belakang sebagai aktivis ataupun karena sudah lama memiliki kartu tanda anggota. Hal ini dilakukan karena terkadang ada Caleg Independen yang sudah memiliki pendukung banyak, tetapi belum memiliki partai yang akan mengusungnya.

 Seharusnya dalam penerapan kebijakan untuk pemenuhan affirmative action ini Gerindra memberi banyak peluang untuk setiap calon aggota perempuan yang mendaftar walaupun belum menjadi kader utama Gerindra. Tentu saja hal ini harap dilakukan, mengingat komitmen utama partai Gerindra tentang membela masyrakat yang rentan, walaupun untuk wilayah DKI Jakarta budaya patriarki bukanlah sebuah hal yang dikhawatirkan. Bahkan wilayah DKI Jakarta merupakan salah satu daerah yang ramah akan perempuan untuk berada dalam dunia politik maupun di lembaga lainnya. Bukan hanya fokus untuk Kader Gerindra ataupun aktivis yang sudah memiliki KTA Gerindra, untuk pemilu selanjutnya sangat diharapkan Gerindra bisa membuka banyak peluang untuk setiap perempuan yang mendaftar untuk menjadi Bacaleg, untuk wilayah DKI Jakarta maupun diluar wilayah DKI Jakarta.

Daftar Pustaka A. Buku

Miriam Budiarjho, 2013. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. PT Gramedia Pustaka, Jakarta.

(13)

803

Ani Tsoejipto, 2011. Politik Harapan: Perjalanan Politik Perempuan Indonesia Pasca Reformasi, PT. Wahana Aksi Kritika, Tangerang.

Imron Wasi,S.Sos, 2020. Politik, Partai Politik, dan Perempuan. Frontstage and Backstage Sebuah Catatan. Perpustakaan Nasional, Jakarta.

George Geraoetritis( Springer 2016) buku teks; affirmative Action policies and judicial review worldwide.

May Lan,S.S., M.Si, 2000. Pers, Negara dan perempuan; refleksi atas praktik jurnalisme gender pada masa orde baru, Kalika, Yogyakarta.

Miriam Budiarjo, 2008. Dasar-dasar ilmu politik. PT. Gramedia pustaka,Jakarta Hardjaloka. L.2016. Potret keterwakilan perempuan dalam wajah politik Indonesia perspektif regulasi dan implementasi, Mendeley, Jakarta.

Prof Sugiyono, 2016. Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R&D. Penerbit Alfabeta, Bandung.

B. Jurnal

JDIH BPK RU; database peraturan. Pemilihan umum anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah.

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia,2016. (Kebijakan Affiamative Untuk Perempuan).

Herdin Arie Saputra1, Dyah Mutiarin2, Achmad Nurmandi. (Jurnal kajian gender;

Partisipasi Perempuan dalam Politik di Indonesia Tahun 2018-2019), Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

C. Internet

Website Gerindra; sejarah,visi-misi.( https://gerindra.id/)

https://datapemilu.kpu.go.id/pileg2019

(14)

804 D. Sumber Lain

Wawancara dengan Ibu Rahayu Sarashwati Djojohadikusumo, Waketum PP Gerindra, Ketua Umum TIDAR

Referensi

Dokumen terkait

Yang menjadi hambatan terbesar bagi Partai Nasional Indonesia Marhaenisme dalam mencapai kuota 30% perempuan dalam pemilu legislatif 2009 yang lalu adalah ketidaksiapan dari

Melalui hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) partai politik memberikan respon positif terhadap pemenuhan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam

Pada pemilu tahun 2004, PKS Kota Malang sama sekali tidak mengalami kendala atau hambatan bagi partai dalam merekrut kader perempuan untuk dijadikan calon legislatif guna memenuhi

Program strategi DPD Partai Gerindra Provinsi DKI Jakarta dalam pemilihan umum kepala daerah tahun 2012 untuk pasangan calon Joko Widodo dan Basuki Tjahaja

Program strategi DPD Partai Gerindra Provinsi DKI Jakarta dalam pemilihan umum kepala daerah tahun 2012 untuk pasangan calon Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama,

Bila Gerindra menjadi pemenang pemilu, mungkin saja mereka juga melakukan hal yang sama dengan partai politik fraksi pendukung pemerintahan saat ini untuk mempertahankan

Adapun sebab-sebab dan faktor yang mempengaruhi kenaikan suara Partai Gerindra di Kota Semarang merupakan suatu bagian dari hasil pemasaran politik

Untuk mengetahui sejauh mana implementasi kebijakan afirmasi (Affirmative Action) kuota 30% Perempuan dalam pemilu legislatif (DPRD) Kota Jambi dan partisipasi perempuan