• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEL 1. KAEDAH-KAEDAH UMUM MEMAHAMI HADIS NABI SAW-2

N/A
N/A
Fadhil Wathani

Academic year: 2024

Membagikan "KEL 1. KAEDAH-KAEDAH UMUM MEMAHAMI HADIS NABI SAW-2"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

KAEDAH-KAEDAH UMUM DALAM MEMAHAMI HADI NABI Delintang Octav Wulansari P1, Husnu Marya Ulfa2, Muhammad Raif Al Abrar3,

Muhammad Danang Hidayatullah4

21040260101, 21040260132, 21040260513, 21040261364

Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Abstrak

Dalam memahami sebuah hadis pada konteks zaman sekarang ini, perlu adanya kita memahami hadis secara lengkap sehingga akan lebih maksimal dalam memahami hadis zaman sekarang ini. Melalui tulisan ini akan membahas tentang apa saja kaedah-kaedah umum dalam memahami hadis, seperti dengan pendekatan tekstual maupun kontekstual serta bentuk teks hadis menurut Syuhudi Ismail dan yang lainnya. Metode yang digunakan dalam penulisan ini yaitu library research yang mana menggunakan analisis deskripsi dan juga jurnal-jurnal yang relevan. Adapun yang dikaji dalam tulisan ini mengenai esensi, eksistensi, bentuk teks menurut Syuhudi Ismail, tentang pemahaman tekstual maupun kontekstual, serta pola untuk memahami hadis tersebut.

Kata Kunci : Bentuk Teks Hadis, Esensi, Eksistensi, Pemahaman Tekstual, Kontekstual, Pola memahami Hadis.

Pendahuluan

Pada bentuk perkataan, perbuatan dan takrir Nabi Muhammad, kita menyadari bahwa kita meyakini hadis yang selama ini ada, ternyata tidak sampai kepada kita dalam bentuk aslinya. Namun, para penulis hadis menerima hadis dalam bentuk rekaman setelah itu hadis tersebut ditulis di zaman setelahnya sampai ke dalam bentuk pembukuan hadis.1 Hadis menduduki posisi yang penting, dan sumber kedua setelah Al-Qur’an. Pada masa kontemporer banyak ulama yang menulis hadis, kemudian akan lebih mudah untuk mengkaji hadis pada masa itu.2 Bagi umat islam, hadis merupakan peranan yang sangat penting karena didalamnya terdapat tradisi yang dapat berkembang pada masa Rasulullah. Sehingga dengan

1 Indal Abror, Metode Pemahaman Hadis, (Ilmu Hadis Press: Program Studi Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017), h. 1.

2 Muhammad Asriady, Metode Pemahaman Hadis, Jurnal Ekspose, Vol. 16, No.1, (Institut Parahikma Indonesia, 2017), h. 314.

(2)

berkembangnya tradisi tersebut pada zaman sekarang, umat islam dapat memahami, merekam, ataupun melaksanakan syariat islam dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah.3

Dalam pemahaman hadis ini terbagi menjadi dua kelompok, yakni melalui pendekatan tekstual dan pendekatan kontekstual. Pada pendekatan tekstual yang berarti pemahaman yang fokus pada teks hadis. Dalam pemahaman hadis melalui tekstual ini muncul ketika masa sahabat dan juga muncul berbagai macam persoalan yang tidak begitu rumit pada masa sekarang ini.

Sedangkan pendekatan kontekstual berarti memahami hadis dengan cara mengkaji atau memperhatikan yang berupa ucapan serta tindakan. Adanya pemahaman kontekstual ini, muncul berbagai bentuk metode pendekatan baru.4

Dalam memahami hadis, tidak hanya dalam bentuk mengetahui makna, tujuan ataupun maksud yang terkandung. Namun, untuk menelusuri upaya pengamalan pada doktrin keagamaan dan dikaitkan dengan konteks yang baru dimana didalamnya diperoleh girah. Akan tetapi, dalam mengkaji hadis, banyak pembicaraan yang masih relevan serta mengalami perkembangan wacana yang dilakukan oleh para ahli hadis serta tokoh hadis. Dalam konsep pemikiran Syuhudi Ismail ini berbeda dengan tokoh mayoritas lainnya. Syuhudi Ismail berpendapat bahwa kondisi yang dialami pada masa sekarang lebih berbeda jika dibanding dengan masa kenabian. Syuhudi Ismail memiliki sebuah konsep dalam memahami hadis dengan cara pendekatan tekstual dan pendekatan kontekstual pada kajian hadis.5

Esensi dan Eksistensi Hadis

Meskipun hadis dan al-Qur'an menjadi sumber ajaran Islam, terdapat perbedaan mencolok di antara keduanya. Al-Qur'an dianggap sebagai wahyu langsung dari Allah, diyakini disusun oleh-Nya dan diturunkan kepada Nabi Muhammad, kemudian disampaikan secara tawâtur dari generasi ke generasi. Status al-Qur'an ini ditempatkan pada tingkat qath'i al-wurûd dan dianggap sebagai sumber utama ajaran Islam. Sementara itu, hadis adalah perkataan Nabi, meskipun beberapa ulama meyakini bahwa juga merupakan wahyu Allah karena Nabi senantiasa dalam bimbingan Allah dan memiliki pengetahuan tentang syari'at baik yang berasal

3 Masrukhin Muhsin, Memahami Hadis Nabi dalam Konteks Kekinian Studi Living Qur’an, Junal Holistic Al Hadis, Vol. 01, No. 1, (2015), h. 1-2.

4M Ulil Abshor, Metode dan Pendekatan Pemahaman Hadis Nabi, Jurnal Spiritualis, Vol. 5, No. 1, (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2019), h. 87-88.

5 Dayan Fithoroini, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Analisis Pemikiran Syuhudi Ismail, Jurnal Nabawi, Vol. 2, No. 1, (UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2021), h. 118.

(3)

dari Allah (manqûl) maupun pengetahuan logis dan filosofis (ma’qûl). Periwayatan hadis sebagian besar tidak secara tawâtur, sehingga hadis ditempatkan pada tingkat zhanni al-wurûd.

Kedudukan al-Qur'an sebagai wahyu Allah yang bersifat qath'i al-wurûd membuatnya menduduki posisi utama sebagai sumber utama ajaran Islam. Al-Qur'an dianggap sebagai penentu dan penguji bagi sumber-sumber lain seperti hadis Nabi. Oleh karena itu, penjelasan yang terdapat dalam hadis Nabi tidak boleh bertentangan dengan ajaran al-Qur'an. Jika penjelasan tersebut melanggar batasan yang ditetapkan oleh al-Qur'an, maka validitasnya sebagai ajaran yang berasal dari Rasulullah dapat ditolak.

Sebagai sumber utama, al-Qur'an lebih banyak mengandung prinsip-prinsip pokok dan garis-garis besar. Oleh karena itu, jarang ditemukan penjelasan teknis dalam teks tersebut.

Pelaksanaan ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, nikah, dan sebagainya tidak dijelaskan secara rinci dalam al-Qur'an. Yang dibahas dalam al-Qur'an hanyalah perintah-perintah dan prinsip-prinsip pokok dari suatu ajaran.

Tidak seperti al-Qur'an, hadis lebih berperan sebagai penjelasan teknis terhadap perintah dan prinsip-prinsip ajaran al-Qur'an, memungkinkan pelaksanaannya oleh umat Muslim. Oleh karena itu, peran Nabi sebagai penerjemah al-Qur'an dalam aspek praktis dan teknis (bayân murad Allah) sangat penting. Petunjuk tentang pelaksanaan perintah shalat, puasa, zakat, haji, dan sejenisnya umumnya dapat ditemukan dalam hadis-hadis Nabi. Poin ini ditegaskan oleh al- Qur'an sendiri dalam surat al-Nahl ayat 44.

Itulah sebabnya Allah dengan tegas menekankan dalam al-Qur'an agar umat mengikuti petunjuk Nabi: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya" (QS al- Nisa': 59), menerima ajaran yang diberikan Nabi, dan meninggalkan yang dilarang oleh-Nya (QS al-Hasyr: 7). Dengan dasar ini, pentingnya posisi hadis menjadi jelas. Hadis menjadi pedoman utama bagi umat Islam untuk menjalankan perintah dan ajaran Allah yang terdapat dalam al-Qur'an. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kebutuhan al-Qur'an terhadap hadis lebih besar daripada kebutuhan hadis terhadap al-Qur'an.

Sebagai penyampaian pesan Tuhan dalam aspek praktis dan teknis, Nabi harus menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh kaumnya (bi lisâni qaumihi). Pemahaman oleh kaumnya tidak hanya mencakup menyampaikan kata-kata dengan makna dasarnya, tetapi juga pemahaman terhadap hubungan dan tujuan serta keinginan-keinginan yang tersembunyi di balik teks-teks tersebut. Oleh karena itu, dalam menyampaikan pesan-pesan tersebut, Nabi

(4)

menggunakan seluruh kecerdasan kenabiannya (fathanah) yang diberikan Allah untuk mencapai tujuan tersebut.

Inilah tampaknya yang ditegaskan oleh al-Qur'an bahwa Nabi, sebagai sosok yang cerdas, diharapkan menjelaskan isi al-Qur'an dengan menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh kaumnya.

Para pakar tafsir mengartikan ناسلب هموق dengan menggunakan ةغلب, yang berarti penjelasan-penjelasan yang dapat dimengerti dan dipahami oleh lawan bicara. Konsep ini diperkuat oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad: Allah tidak mengutus seorang Nabi kecuali penjelasan-penjelasannya bisa dipahami oleh kaumnya.

Oleh karena itu, dalam menyampaikan sabdanya, Nabi selalu mempertimbangkan semua aspek penting agar sabdanya dapat dipahami dan diamalkan. Pertama, dengan memperhatikan redaksi yang sederhana dan mudah dimengerti, di mana Nabi terlihat menggunakan beragam redaksi. Kedua, memperhatikan situasi sosial dan lingkungan geografis, sehingga terkadang Nabi menyesuaikan perintah dan larangannya dengan kondisi masyarakatnya. Dan ketiga, tidak kalah pentingnya, adalah peran Nabi sebagai penyampai hadis.

5 Macam Bentuk Teks Hadis Menurut Syuhudi Ismail

Syuhudi Ismail membedakan redaksi matan hadis menjadi lima bentuk:6

a. Jawami’ al-kalim (ungkapan singkat namun memiliki makna luas). Hadis dengan redaksi singkat ini dipahami secara tekstual dan mencerminkan ajaran Islam yang bersifat universal. Meskipun demikian, bisa juga dipahami kontekstual jika tidak ada informasi waktu dan tempat yang spesifik (Syuhudi Ismail, 1994: 13). Sebagai contoh, Rasulullah memiliki keistimewaan menyampaikan ungkapan singkat dan padat (Syuhudi Ismail, 1994: 13-18).

b. Bahasa Tamsil (perumpamaan), dalam redaksi hadis ini, menggunakan perumpamaan untuk menjelaskan sesuatu dengan hal lain yang serupa. Hadis berbentuk tamsil ini dimaknai secara kontekstual agar pemahaman yang diperoleh bersifat universal.

Sebagai contoh, terdapat hadis yang menggambarkan dunia sebagai penjara bagi orang- orang beriman.

6 Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani alHadits Tentang Ajaran

Islam Yang Universal, Temporal, dan Lokal, Bulan Bintang, Jakarta, 1994.

(5)

c. Ungkapan simbolik. Berbeda dengan bentuk sebelumnya, redaksi matan menggunakan simbol. Pengakuan bahwa hadis kadang-kadang berbentuk ungkapan simbolik menimbulkan perdebatan. Kelompok yang memahami hadis secara tekstual cenderung menolak ide bahwa ungkapan tersebut hanya simbol (Syuhudi Ismail, 1994: 18). Bagi mereka, hadis harus dipahami sesuai dengan teks yang tertulis. Di sisi lain, kelompok yang menerima konsep ungkapan simbolik menganggap bahwa hadis yang menggunakan simbol perlu dipahami dalam konteks. Sebagai contoh, hadis tentang usus orang mukmin dan orang kafir menunjukkan perbedaan dalam sikap terhadap nikmat Allah, bukan perbedaan fisik (HR. al-Bukhari, at-Tirmizi, dan Ahmad bin Hanbal dari Ibn Umar). Orang beriman menganggap makan bukan tujuan hidup, sementara orang kafir melihatnya sebagai bagian dari tujuan hidup, menggambarkan perbedaan sikap terhadap nikmat Allah.

d. Bahasa percakapan. Jenis ini umumnya dikenal, di mana beberapa hadis muncul dalam bentuk percakapan atau tanya jawab antara Nabi dan sahabat. Dalam hadis jenis ini, terkadang jawaban Nabi dapat berbeda untuk pertanyaan yang sama (Syuhudi Ismail, 1994: 23). Penting untuk memperhatikan relevansi antara kondisi penanya dan materi jawaban. Syuhudi Ismail menyatakan bahwa perbedaan jawaban tersebut tidak bersifat universal, lebih bersifat temporal atau kondisional (Syuhudi Ismail, 1994: 26).

Sebagai contoh, beberapa hadis membahas amalan yang paling utama, dan meskipun jawaban Rasulullah dapat bervariasi, terdapat hadis yang dianggap bersifat universal, terkait dengan ajaran Islam yang mendasar.

e. Ungkapan analogi. Analog mengacu pada kesamaan, keserupaan, atau perbandingan.

Dalam terminologi analogi, perbandingan dilakukan secara kiasan dengan bentuk yang sudah ada (Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, 1994: 94). Dengan definisi ini, redaksi matan menggunakan bentuk analogi dapat dibedakan dari jenis-jenis sebelumnya. Contohnya terlihat ketika Nabi membandingkan sesuatu dengan hal lain untuk mempermudah pemahaman bagi pendengarnya.

Pemahaman Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual

Pemahaman berasal dari kata paham, yang memiliki arti pengertian, pikiran, pendapat.

Sementara pemahaman merupakan proses atau perbuatan cara memahami atau memahamkan.7 Memahami hadis Nabi merupakan upaya dalam memahami sebuah tema atau matan hadis dengan tepat yakni dengan cara menganalisis faktor yang berhubungan dengan petunjuk yang

7 Muhammad Asriady,…h. 315.

(6)

mencakupinya, serta berhubungan dengan usaha dalam memahami hadis dengan tepat Syuhudi Ismail menyatakan bahwa apabila hadis sesudah dikaji secara dalam seperti sesudah dikaitkan dengan latar belakang kejadian tetap menuntut pemahaman yang sesuai dengan yang tertulis pada teks hadis yang berkaitan hingga hadis tersebut lebih tepat dipahami dengan cara tersurat atau tekstual. Akan tetapi, sesudah dikaji dengan cara intensif dan dibalik teks sebuah hadis apabila ditemukan ada pertanda kuat yang memerlukan hadis yang berkaitan dipahami, serta menerapkan tidak sebagaimana maksud yang tersurat maka dapat dipahami secara kontekstual.

8 Dari berbagai macam cara atau karakteristik dalam pemahaman hadis Nabi, maka dari itu dalam pemikiran Syuhudi Ismail membagi kedalam dua konsep yaitu pemahaman hadis dengan tekstual dan kontekstual:

Pemahaman hadis secara tekstual adalah kata tekstual yang berarti makna naskah yang berupa, perkataan asli dari pengarang, cuplikan dari kitab suci awal ajaran, bahan yang tertulis sebagai dasar untuk memberikan pelajaran, pidato ataupun yang lainnya. Adapun makna dari hadis tekstual ini merupakan memahami hadis yang berdasarkan lahiriah, asli, serta sesuai dengan arti yakni secara bahasa. 9Analisis terhadap teks hadis sebagai suatu usaha untuk mengungkapkan makna moral atau ajaran agama yang tersirat di dalamnya, melibatkan beberapa asumsi kunci yang perlu ditekankan. Tanpa dasar yang kuat dalam proses interpretasi, seorang analis akan kesulitan menetapkan titik awal analisisnya serta tidak dapat memilih dan memilah peristiwa-peristiwa yang relevan. Kekurangan ini dapat menyebabkan seseorang terperangkap dalam konteks yang sebenarnya memiliki sedikit signifikansi dalam konteks agama, mengabaikan peluang untuk menggali, memikirkan, dan mengembangkan konsep- konsep yang penting secara substansial. Dengan demikian, seseorang mungkin terpaku pada aspek luar dari suatu teks tanpa kesempatan untuk memahami inti pesan yang sebenarnya.

Pemahaman hadis secara kontekstual, adalah berasal dari kata konteks yang berarti bagian dari suatu kalimat yang bisa menambah atau mendukung penjelasan terhadap makna.

Dan dalam arti lain situasi yang berkaitan dengan suatu kejadian. Dalam pemahaman kontekstual atas hadis Nabi adalah memahami hadis berdasarkan hubungannya dengan kejadian-kejadian dan situasi apabila hadis tersebut diucapkan, serta kepada siapa pula hadis tersebut disampaikan. Dalam arti hadis Nabi hendaknya tidak hanya didapatkan maksud serta makna yang hanya melalui redaksi lahiriah tanpa menghubungkannya dengan perspektif

8 Indal Abror,…h. 3.

9 Firad Wijaya dan Andri Afriani, Pendekatan Tekstual dan Kontekstual dalam Studi Hadist, (STAI Darul Kamal NW Kembang Kerang NTB), h. 39.

(7)

kontekstualnya.10 Oleh karena itu, memahami konteks dari hadis Nabi berarti mempertimbangkan peristiwa-peristiwa dan situasi saat hadis tersebut diucapkan serta siapa yang menjadi tujuannya. Ini berarti bahwa hadis Nabi saw. harus dipahami dengan memperhatikan teksnya dan juga konteks-konteks terkait. Meskipun konteks historis tampaknya menjadi yang paling penting dalam pendekatan kontekstual, namun konteks redaksional juga memiliki relevansi yang tidak boleh diabaikan. Aspek terakhir tersebut sama pentingnya dalam membatasi dan menginterpretasikan makna yang lebih luas (makna filosofis) sehingga hadis tetap memiliki nilai komunikatif yang signifikan.11

Langkah Pemahaman Tekstual

Ali Mustafa Yaqub berpendapat bahwa tekstualisasi matan hadis harus diperlakukan bagi teks hadis harus diperlakukan bagi teks hadis yang terkait dengan hal-hal yang cukup dipahami aspek tekstualnya. Ali Mustafa Yaqub menguraikan metode pemahaman hadis secara tekstual adalah sebagai berikut:

a. Analisis Majaz

Seperti yang kita ketahui dalam teks bahasa Arab sesekali bermakna denotatif dan konotatif, demikian pula dengan matan hadis. Ali Mustafa Yqub berpendapat bahwa teks hadis yangberupa kalimat konotatif tidak selamanya dipahami secara konotatif sampai diketahui dengan pasti bahwa kalimat tersebut memang dimaksudkan menunjukkan arti konotatif.

Menurut beliau, majaz di dalam hadis ada beragam bentuk, yaitu :

Pertama, hadis yang matannya berbentuk kalimat konotatif dan hanya dapat dipahami secara konotatif, tidak berimplikasi ke dalam paham yang sesat jika terjadi kesalahan dalam memahaminya. Contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA yang mengisahkan dialog antara Rasulullah SAW dengan para istri beliau berkenaan dengan siapa diantara mereka yang akan segera menyusul wafat setelah Rasulullah SAW. Kalimat yang dimaksud adalah ادي نكلوطا. Kalimat tersebut dipahami secara haqiqi oleh istri-istri nabi, sehingga mereka mengukur tangan-tangan mereka, padahal sebenarnya kalimat tersebut bermajaz (konotatif) yang berarti “gemar bersedekah”.

Kedua, hadis yang dipahami secacra majazi dan haqiqi sekaligus. Contohnya:

10 M Ulil Abshor,…h. 92-94.

11 Firad Wijaya dan Andri Afriani,…h. 40.

(8)

تْقَلِغُوَ ،ةِنَّجَلا بُاوبْأَ تْحَتِفُ نُاضَمَرَ ءَاجَ اذَإِ

نيطايشَّلا تِدفْصُوَ ،رَانَّلا بُاوبْأَ

“ jika datang bulang ramadan maka pintu-pintu surga dibuka dan pintu neraka di tutup, serta setan dibelenggu”

Para ulama berpendapat bahwa hadis ini adalah musykil, yaitu pada kalimat. Hal ini dikarenakan setan merupakan makhluk immateri, tidak kasat mata serta bisa menjelma kedalam bentuk manusia dan jin.

Kemusykilan menurut Ali Muatafa Yaqub dapat hilang dengan cara melakukan analisis kebahasaan yaitu dengan cara meniliti ada dan tidaknya majaz dalam hadis tersebut. konsep

"terbelenggunya setan" menunjukkan bahwa selama bulan Ramadhan, setan tidak menggoda orang-orang yang sedang berpuasa, sehingga mereka memiliki kesempatan lebih besar untuk melakukan amal kebajikan dan menghindari dosa. Meskipun demikian, pemahaman ini juga bisa diinterpretasikan secara harfiah, yaitu bahwa setan benar-benar dibelenggu sehingga tidak bisa menggoda manusia untuk berbuat dosa kepada Allah. Ali Mustafa Yaqub mengutip pendapat Qāḍī ‘Iyāḍ yang menggunakan pendekatan lafaz majāzī dan haqīqī secara bersamaan dalam memahami beberapa hadis musykil.

A. Ta’wil Hadis

Ali Mustafa Yaqub menyatakan bahwa setiap makna hadis yang samar harus diinterpretasikan dengan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, seperti: konsistensi dengan aspek kebahasaan atau norma bahasa yang berlaku dalam masyarakat Arab, didukung oleh bukti-bukti yang konsisten, sesuai dengan ketentuan-ketentuan analogi, dan penafsiran tidak boleh kembali kepada teks aslinya (teks yang sedang ditafsirkan).

B. ‘Illat Hadis

Selain dalam Al-Qur’an, di dalam hadis juga terdapat ‘illat (alasan hukum) yang mansus ( tersurat) dan mustanbatah (tersirat). Sebagai sumber hukum, hadis juga memuat akan perintah (‘amr) ddan larangan (nahi), terkadang perintah dan larangan tersebut disertai dengan alasan hukum dan seringkali tidak disebutkan, namun ‘illat tersebut dapat diketahui dengan proses istinbat. Pentingnya mengetahui ‘illat hukum adalah unutk mengetahui apakah hukum tersebut berlaku secara permamanen atau tidak.

(9)

Keberadaan ‘iilat mansusah dikalangan para ulama hadis tidak menimbulkan perbedaan, berbeda dengan ‘illat mustanbatah. Akan tetapi, ‘illat mansusah terkadang juga diperselisih12kan, jika hadis tersebut mempunyai beragam periwayatan dan tidak semua menyebutkan alasan hukumnya (‘illat). Kemudian ‘illat mustanbatah digali dari nash (teks) melalui proses ijtihad. Sudah pasti jika ‘illat ini menyebabkan perbedaan diantara para ulama hadis.

Dengan menerapkan metode-metode historis, sosiologis, dan antropologis sebagaimana yang telah dijelaskan, diharapkan kita dapat mencapai pemahaman yang lebih tepat, menghargai, dan menerima evolusi serta perubahan zaman dalam kerangka pemahaman hadis.

Hal ini mengindikasikan bahwa dalam menafsirkan hadis, kita tidak hanya memusatkan perhatian pada makna literalnya saja, tetapi juga mempertimbangkan konteks sosial dan budaya pada masa itu. Maka, harapannya adalah bahwa hadis-hadis Nabi SAW., yang menyertainya dengan al-Qur'an, dapat menginspirasi secara teologis untuk menangani tantangan yang timbul di tengah masyarakat modern. Ada kesepakatan bahwa dalam melakukan penyegaran atau pembaruan ajaran Islam, kita harus kembali kepada sumber-sumber aslinya, yakni al-Qur'an dan al-Hadis. Metode historis dalam hal ini mengacu pada upaya untuk memahami hadis dengan memperhitungkan konteks sejarah dan pengalaman pada waktu hadis tersebut diucapkan oleh Nabi SAW. Dengan cara lain, pendekatan historis merupakan cara untuk mengaitkan konsep-konsep atau pemikiran yang terdapat dalam hadis dengan latar belakang sosial dan situasi sejarah budaya yang berpengaruh.

Pada bunyi hadis,

مرِحْم اهَعَمولَّإَِةًأَرِمارِفِاستُلَّ َ مَلسَوَ هيْلعَ هللَّا ىىلصَ 'يُّبِنَّلَّلَااق :

“Tidak dibolehkan seorang perempuan (berpergian jauh-jauh) kecuali ada seorang mahram bersamanya.”(H.R. al-Bukhari dan Muslim).

Hadis itu, seperti yang diuraikan oleh Imam an-Nawawi dalam kitab Syarh Muslim, dipahami oleh mayoritas ulama sebagai larangan bagi perempuan untuk melakukan perjalanan yang bersifat sunnah atau mubah tanpa didampingi oleh mahram atau suami. Namun, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama mengenai perjalanan yang diwajibkan, seperti menjalankan

12 Hasan Su’adi Hasan Su’adi, Metode Pemahaman Hadis Ali Mustafa Yaqub dalam Kitab Al Turuq al Sahihah fi Fahmi al Sunnah al Nabawiyyah, Disertasi Program Ilmu Hadis, (Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2021), h. 139-147.

(10)

ibadah haji. Imam Abu Hanifah dan sebagian besar cendekiawan hadis menekankan bahwa seorang wanita yang ingin menjalankan ibadah haji harus memiliki mahram atau suaminya sebagai pendampingnya. Namun, Imam Malik, al-Auza’i, dan asy-Syafi’i berpendapat bahwa hal tersebut tidak diwajibkan. Mereka hanya membutuhkan "keamanan", yang bisa dijamin dengan kehadiran mahram atau suami, atau perempuan lain yang dipercaya (tsiqat). Oleh karena itu, dengan memperluas gagasan ini, prinsip "mahram" yang semula bersifat pribadi bisa digantikan dengan sistem keamanan yang menjamin keselamatan dan perlindungan bagi perempuan tersebut.

Keterkaitan pemahaman hadis tersebut di atas dengan konteksnya diperkuat oleh informasi yang sah dari isi hadis yang berasal dari sumber yang dipercayai, yaitu hadis marfu’

(berkaitan langsung dengan Rasulullah) yang disampaikan oleh al-Bukhari dari ‘Ady bin Hatim, sebagai berikut:

:

مدقت ةيْعَظلَّا جرِخت نأَ كشوي مَ5لسَ وَ هيْلعَ لاله ىلصَ يُّبِ5نَّلَّا لاق

) (

جوَز ل َ ةبِعَكلَّا تيْبِلَّا اهَعَم

“Akan datang masanya, seorang perempuan penunggang onta pergi dari kota (Hijrah) menuju Ka’bah tanpa seorang suami bersamanya.”(HR. Al-Bukhari). Dalam hakikatnya, hadis tersebut memperkirakan masa kebangkitan Islam dan perdamaian global, sambil juga menunjukkan bahwa perempuan diizinkan untuk melakukan perjalanan tanpa didampingi suami atau mahram. Ini adalah kesimpulan yang diambil oleh Ibnu Hazm, sebagaimana yang disitir oleh Yusuf Qardhawi.

: :

مويلالهدنَّعَ اباذَعَسَانَّلَّادشأَنَّإَِ لوقيلاله لوسَرِتُعَمِسَ لاقرِمِعَنَّبالالهدبِعَنَّعَنَّوَرُAوصَمِلَّاةمايْقلَّا

: :

موي هللَّادنَّعَ اباذَعَسَانَّلَّادشأَنَّإَِ لوقي هللَّا لوسَرِتُعَمِسَ لاقرِمِعَ نِبا هللَّادبِعَ نِعَ

“Sesungguhnya orang akan disiksa paling keras disisi Allah adalah para pelukis.”(HR.

Al-Bukhari dan Muslim). Dalam konteks kata per kata, hadis tersebut menegaskan bahwa menulis tentang makhluk hidup dilarang. Ketika itu, semua Imam Madzab sepakat bahwa menggambar, menampilkan, dan menjualnya adalah haram. Kesimpulan seperti ini dapat ditarik karena adanya banyak riwayat yang membahas masalah menggambar. Salah satunya adalah hadis yang menyatakan bahwa pada hari kiamat, para pelukis akan diminta untuk memberikan nyawa pada karya lukisan mereka di dunia. Selain itu, malaikat juga tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat lukisan.

(11)

Larangan ini sebagian besar ditujukan sebagai tindakan pencegahan agar masyarakat tidak terjerumus kembali ke dalam praktik kesyirikan, terutama dalam penyembahan berhala dan gambaran. Namun sekarang ini, larangan tersebut mungkin kurang relevan dalam konteks melukis atau berkreasi seni, karena hal itu lebih berkaitan dengan ekspresi dari pelukis.

Pandangan para ulama tentang sebuah hadis juga beragam terkait dengan interpretasi teksnya.

Beberapa mengambil pemahaman secara harfiah, sementara yang lain menggali konteksnya.

Kedua pendekatan ini sebenarnya telah diterapkan oleh para sahabat Nabi SAW.

Menurut Musahadi, ketika seseorang membaca suatu teks, ia sebenarnya terlibat dalam proses interpretasi, sehingga membaca bukan hanya sekadar mengonsumsi informasi. Tidak hanya sampai di situ, tetapi juga melibatkan "menulis kembali" atau merekonstruksi ide-ide pengarang dalam bahasa mental dan bahasa pikir, meskipun tidak diungkapkan secara tertulis.

Saat menghadapi teks, individu akan terlibat dalam suatu "trialog", yakni munculnya pertanyaan seperti "siapa yang sebenarnya sedang berbicara dalam teks ini? siapa yang menjadi objek pesan dari teks? dan di mana letak posisi kita sebagai pembaca?". Ada tiga subjek yang terlibat dalam konstruksi makna, yaitu teks, pengarang, dan pembaca, masing-masing dengan dunia pemahamannya sendiri.13

Jadi, pembaca merupakan salah satu elemen dalam wacana bersama teks dan pengarang.

Pembaca memiliki peran yang signifikan dalam menafsirkan atau memahami makna teks yang sedang dibacanya. Dalam teori, terdapat keterkaitan antara pengarang, teks, dan pembaca dalam menghasilkan interpretasi atau makna. Namun, pada kenyataannya, peran pembaca dalam wacana sering diabaikan, mengakibatkan kesalahan dan pergeseran makna karena kesenjangan antara dunia teks dan dunia pembaca. Kesalahan juga dapat muncul selama proses pemahaman dan interpretasi yang terfokus hanya pada teks, sehingga hasil pemahamannya kurang bermakna bagi pembaca. Sebenarnya, pembaca memiliki hak dan kebebasan untuk menafsirkan suatu teks, dan otoritas pembaca memiliki peran penting dalam menghasilkan makna.

Membaca sendiri menjadi sarana untuk memperoleh pengetahuan. Dalam Al-Qur'an, terdapat perintah untuk membaca (أَرِقا), namun hal tersebut harus didasarkan pada motivasi Bismi Rabbika. Motivasi ini menjadi tujuan utama dalam mencapai pemahaman. Ilmu harus dicari dengan cara yang diridai Allah, yakni dicari dan digunakan untuk kebaikan, keutamaan, dan kebahagiaan umat manusia. Oleh karena itu, meskipun pembaca memiliki hak dan

13 Musahadi, “Rekonstruksi dan Reinterpretasi Teks dalam Penelitian Naskah”, Jurnal Jarlit Bimasuci, 2001, 77-85, diakses 15 September 2022, https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/12194/.

(12)

kebebasan untuk menafsirkan, tidak boleh dilakukan dengan semaunya, apalagi menganggap bahwa interpretasinya paling benar sementara yang lain salah. Sikap dan cara berpikir seperti itu tentu bertentangan dengan motif Bismi Rabbika. Keberadaan teks dapat diperwujudkan melalui kehadiran pembaca. Secara esensial, teks bersifat monosemi, sementara pembaca bersifat polisemi. Menurut Erik Rosengren, komunikasi manusia penuh dengan makna yang bermakna.

14 Ada lima pilar penting yang perlu diperhatikan oleh pembaca saat memahami teks agama, yaitu: 1) keikhlasan (al-ikhlaṣ), 2) teks hukum syariah (al-naṣ al-syar’i), 3) pemahaman terhadap teks syariah, 4) perilaku baik (al-akhlaq al-ḥamidah), dan 5) penerapan yang sesuai (al- taṭbiq al-muwaffaq).15

Pola Memahami Hadis

Dari berbagai macam cara kaedah pada pemahaman hadis, kita perlu adanya mengetahui apa saja pola dalam memahami hadis terbagi menjadi 4 yaitu, metode tahlili, metode ijmali, metode, metode muqaran, dan metode maudhu’i, yaitu sebagai berikut:

Metode Tahlili merupakan upaya penjelasan hadis-hadis Nabi dengan cara menjelaskan segala aspek yang terkandung dalam hadis dan juga menjelaskan maksud yang mencakup dalam hadis yang sesuai dengan kecenderungan dan kemahiran pensyarah. Pensyarah dalam menjelaskan secara berurutan mulai dari kalimat demi kalimat ataupun hadis demi hadis. Pada uraian ini mengaitkan dari berbagai aspek yang terkandung dalam hadis sebagaimana konotasi dalam kalimatnya, kosa kata, latar belakang ketika hadis turun atau berhubungan dengan hadis yang lain dan argumen atau pendapat yang menyebar di sekitar pemahaman hadis, baik yang berasal dari sahabat, tabi’in, atau ulama hadis. Dalam konteks "metode tahlili" atau analisis mendalam terhadap hadis, para ulama hadis akan mengambil hadis tertentu dan menganalisisnya dari berbagai sudut pandang, seperti sanad (rantai perawi) dan matan (teks hadis), konteks sejarah, makna leksikal, dan sebagainya.

Metode Ijmali merupakan menerangkan tentang hadis yang sesuai berurutan pada kitab hadis yang terdapat dalam al-Kutub al-Sittah dengan ringkas, namun dapat menyajikan makna

14 Engkus Kuswarno, “Komunikologi Hado: Sebuah Rekonstruksi Epistemologis Metafisika

Komunikasi,” dalam Komunikasi Kontekstual: Teori dan Praktik Komunikasi Kontemporer, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), h. 23.

15 Abdullāh bin Ḍaifillah al-Raḥilī, Manhajiyah Fiqh al-Sunnah alNabawiyah, (Qawāid wa Munṭalaqāt

Naḍriyah, wa Amṡilah al Taṭbiqiyah), (Madinah: Ḥuqūq al Ṭib al-Maḥfūḍh, 2009), 29. Lihat juga Sri

Purwaningsih, “Kritik terhadap Rekonstruksi Metode Pemahaman Hadis Muhammad Al-Ghazali,” Theologia Vol 28 No 1 (2017): 75-102, doi: http://dx.doi.org/10.21580/teo.2017.28.1.1189.

(13)

literal hadis dengan bahasa yang dapat dipahami serta mudah dimengerti. Dalam pengertian lain metode ijmali adalah metode penjelasan yang lebih singkat atau ringkas dalam memahami suatu hadis, di mana penjelasannya lebih bersifat umum tanpa melakukan analisis mendalam seperti yang dilakukan dalam metode tahlili.

Metode Muqaran merupakan cara memahami hadis yaitu dengan membandingkan hadis yang memiliki penulis hadis yang sama dalam persoalan yang sama ataupun memiliki penulis yang berbeda tetapi persoalan yang sama. Dan juga membandingkan berbagai macam pendapat ulama ketika mensyarah hadis.16 Metode muqaran adalah metode perbandingan atau pembandingan antara satu hadis dengan hadis lainnya yang memiliki keterkaitan atau kesamaan dalam konteks tema atau masalah yang sama.

Metode Maudhu’i merupakan sebuah cara untuk mengumpulkan hadis-hadis yang tersebar dalam kitab hadis yang berkaitan dengan tema maupun tujuan tertentu kemudian disusun sesuai sebab munculnya serta dengan penjelasannya maupun pengkajiannya pada persoalan tersebut. Dalam pemahaman hadis pada metode ini yang berarti memahami makna serta mengambil makna yang terkandung dalam hadis yakni dengan mempelajari hadis yang lain yang berhubungan pada tema pembahasan yang sama serta melihat keterkaitan masing- masing, maka akan mendapatkan pemahaman yang sempurna.17 Metode maudhu'i, dalam konteks hadis Islam, merujuk pada metode identifikasi hadis palsu atau hadis yang dipalsukan.

Ini melibatkan penelusuran dan penilaian terhadap sanad (rantai perawi) dan matan (teks hadis) untuk menentukan apakah hadis tersebut bersifat sahih (otentik) atau maudhu' (palsu). Berikut adalah contoh riwayat hadis yang sering diketahui merupakan hadis palsu dan dapat dianalisis menggunakan metode maudhu'I, seperti: "Dari Aisyah RA, Nabi Muhammad SAW bersabda:

'Barangsiapa mengucapkan laa ilaaha illallah dengan ikhlas, maka dia akan masuk surga tanpa hisab.’’ Dalam metode ini Para ulama akan melakukan penelusuran terhadap sanad dan matan hadis ini untuk menemukan kelemahan atau ketidakakuratan dalam riwayatnya. Mereka mungkin akan menemukan bahwa sanad hadis ini tidak mencapai tingkat keandalan yang memadai atau terdapat cacat dalam rantai perawinya. Selain itu, mereka akan memeriksa matan hadis untuk melihat apakah ada kontradiksi dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang lain atau jika pesan hadis tersebut terlalu jauh dari kerangka pemahaman agama yang sehat. Dengan

16 Benny Kurniawan, Metodologi Memahami Hadis, Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Vol. 7, No. 1,

(Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Kebumen, 2020), h. 3-10.

17 Maulana Ira, Studi Hadis Tematik, Jurnal Ilmu Hadis Al-Bukhari, Vol. 1, No. 2, (Institut Agama Islam

Negeri Langsa, 2018). h. 191.

(14)

demikian, dengan menggunakan metode maudhu'i, para ulama dapat mengidentifikasi hadis- hadis palsu dan memastikan bahwa ajaran Islam yang disampaikan kepada umat Muslim bersumber dari hadis yang sahih dan otentik.

Kesimpulan

Dalam pemahaman hadis adalah bahwa terdapat beragam pendekatan yang digunakan oleh para ulama dalam memahami hadis. Pendekatan tersebut mencakup interpretasi tekstual dan kontekstual. Beberapa ulama cenderung mengikuti makna harfiah hadis secara tekstual, sementara yang lain lebih memperhatikan konteks historis, budaya, dan sosial pada saat hadis itu diucapkan. Dalam sejarah Islam, kedua pendekatan ini telah dipraktikkan oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman hadis memerlukan kajian yang mendalam dan luas serta pemahaman yang bijaksana terhadap konteksnya untuk meraih pemahaman yang komprehensif.

Daftar Pustaka

Abror Indal, Metode Pemahaman Hadis, Ilmu Hadis Press: Program Studi Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (2017).

Abshor Ulil M, Metode dan Pendekatan Pemahaman Hadis Nabi, Jurnal Spiritualis, Vol. 5, No.

1, (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (2019).

Al-Raḥilī Abdullah, Manhajiyah Fiqh al-Sunnah alNabawiyah, Qawāid wa Munṭalaqāt Naḍriyah, wa Amṡilah alTaṭbiqiyah, Madinah: Ḥuqūq al Ṭib al-Maḥfūḍh, (2009), doi: h ttp://dx.doi.org/10.21580/teo.2017.28.1.1189.

Asriady Muhammad, Metode Pemahaman Hadis, Jurnal Ekspose, Vol. 16, No.1, Institut Parahikma Indonesia, (2017).

Fithoroini Dayan, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Analisis Pemikiran Syuhudi Ismail, Jurnal Nabawi, Vol. 2, No. 1, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, (2021).

Ira Maulana, Studi Hadis Tematik, Jurnal Ilmu Hadis Al-Bukhari, Vol. 1, No. 2, Institut Agama Islam Negeri Langsa, (2018).

Ismail Syuhudi, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani alHadits Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal, dan Lokal, Bulan Bintang, Jakarta, 1994.

(15)

Kurniawan Benny, Metodologi Memahami Hadis, Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, Vol. 7, No. 1, Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Kebumen, (2020).

Kuswarno Engkus, Komunikologi Hado: Sebuah Rekonstruksi Epistemologis Metafisika Komunikasi, dalam Komunikasi Kontekstual: Teori dan Praktik Komunikasi Kontemporer, (Bandung: Remaja Rosdakarya, (2011).

Muhsin Masrukhin, Memahami Hadis Nabi dalam Konteks Kekinian Studi Living Qur’an, Junal Holistic Al Hadis, Vol. 01, No. 1, (2015).

Musahadi, Rekonstruksi dan Reinterpretasi Teks dalam Penelitian Naskah, Jurnal Jarlit Bimasuci, 2001, diakses pada 15 September (2022).

https://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/12194/.

Su’adi Hasan, Metode Pemahaman Hadis Ali Mustafa Yaqub dalam Kitab Al Turuq al Sahihah fi Fahmi al Sunnah al Nabawiyyah, Disertasi Program Ilmu Hadis, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, (2021).

Wijaya Firad dan Afriani Andri, Pendekatan Tekstual dan Kontekstual dalam Studi Hadist, (STAI Darul Kamal NW Kembang Kerang NTB).

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan tema yang diangkat yaitu tentang hadis hak perlindungan terhadap perempuan, yang objeknya tidak dapat diteliti secara statistik atau cara

Syuhudi Ismail tersebut, tidak ada satupun yang mengkaji dan menyinggung secara khusus tentang sanad dan matan hadis-hadis yang mempunyai sebab secara khusus pada buku Hadis

Dan setelah memahami secara komprehensif teks-teks Hadis yang secara sepintas memberikan label negatif terhadap perempuan dan hadis tersebut dijadikan dalil bahwa perempuan

1) Memahami as-Sunnah sesuai dengan petunjuk al-Qur‟an Gagasan mengenai pentingnya memahami hadis berdasarkan petunjuk al-Qur‟an ini bukan orisinal gagasan Imam Qardhawi

Oleh karena itu perlu pendekatan secara kontekstual, yaitu memahami hadis atau sunnah dengan mengacu pada latar belangkang, situasi dan kondisi serta kedudukan

Dari buku dan penelitian karya-karya tersebut di atas, penulis ingin turut berkontribusi untuk meneliti kajian-kajian hadis secara umum yang berkembang di

ABSTRAK Pemahaman terhadap hadis merupakan sebuah usaha untuk memahami matan hadis secara tepat dengan mempertimbangkan factor-faktor yang berkaitan dengannya, indikasi- indikasi yang

KESIMPULAN Bahsan Fiqh al-Hadis dapat disimpulkan merupakan perilaku integrasi ilmu fikih dan hadis dalam usaha memahami hadis secara mendalam, dilihat dari etimologi, fiqh bermakna