FIKIH HADITS MAKALAH
Disusun sebagai tugas mata kuliah Studi Alqur`an dan Hadis Dosen Pengampu Dr. Moh Tamtowi, M. Ag.
Di Susun oleh : Setia Miko (24203011056)
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU SYARI`AH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2024
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan aufiq, aufiq, hidayah, inayah, serta kemudahan, sehingga mmakalah ini dapat diselesaikan yang berjudul
“FIKIH AL HADIS” dengan baik dan sesuai dengan ketentuan yang ada. Shalawat serta salam kami sanjung sajukan kepada baginda kita, Nabi Muhammad SAW.
Yang telah membawa kita dari alam kegelapan ke alam yang penuh berilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan saat ini dan yang kita nantikan syafa’atnya di hari kiamat nanti.
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai tugas mata kuliah Studi Alqur`an dan Hadis program studi Magister Ilmu Syari`ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penyusun makalah ini menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan, agar makalah ini menjadi lebih baik kedepannya.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari umat muslim kita ketahui bahwasanya yang menjadi salah satu pedoman dalam hidup adalah Sejarah Islam Nabi Muhammad dalam menegakkan Agama Islam mulai dari timur Tengah Arab sampai kepada Nusantara yang diiringi dengan Hadis dalam seluk beluknya.
Sejarah penulisan oleh umat muslim terhadap pedoman syariat Agama di dahului oleh perkembangan ilmu pengetahuan Tafsir dan Hadis yang kemudian muncul penerapan disiplin terhadap sunnah. Histografi (proses penulisan Sejarah) Islam dan Histografi Hadis adalah satu rumpun yang berjalan beriringan yang data nya jelas 1
Dalam Islam sumber hukum yang kedua setelah Alqur`an adalah Hadis.
Dalam perkembangan disiplin ilmu tersebut mempunyai alasan sebab ataupun historis nya masing-masing. Fiqh al-hadis merupakan salah satu rumpun dari Ilmu Hadis dan juga merupakan ilmu untuk memahami hadis secara mendalam.
Fiqh al-hadis tidak disebutkan di masa Nabi Muhammad SAW, Ilmu ini baru muncul ketika setelah masa itu di periode setelahnya untuk memperdalam keilmuan tentang hadis.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Fiqh Al-Hadis?
2. Contoh Iplementasi Hadis dalam Fiqh Al-Hadis?
1 Ramadani, S. K., & Ubaidillah, R. (2024). Historiografi Hadis Di Irak: Periwayat- Periwayat Hadis di Irak. FIQHUL HADITS: Jurnal Kajian Hadits dan Hukum Islam, no 2, Vol 1, 1- 2.
BAB II PEMBAHASAN A. Pembahasan
a. Fiqh Al-Hadis
Jika dilihat dari sisi hubungan antara hadist dan fikih , maka fiqh al- hadist pada dasarnya merupakan upaya mengintegrasikan antara disiplin ilmu fikih dan ilmu hadist untuk mensyarah suatu hadist. Jika dibandingkan dengan syarah hadist, fiqh al-hadist memiliki ruang lingkup yang lebih spesisfik.
Fiqh al-hadîts terdiri dari dua kata yaitu fiqh dan al-hadîts. Kata fiqh berasal dari kata fiqhun yang secara etimologi (bahasa) berarti mengerti dan memahami.2 juga diartikan pengetahuan, pemahaman atau pengertian.
Adapun secara terminologi (istilah) fiqh didefinisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syar‟iyyah amaliah yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci. Tetapi kata fiqh yang dimaksudkan disini, adalah kata fiqh dalam makna dasarnya. Kata ini sebanding dengan kata fahm yang juga bermakna memahami. Kata yang lebih popular dipakai untuk menunjukkan pemahaman terhadap suatu teks keagamaan atau cabang ilmu agama tertentu adalah fiqh. Hal ini wajar, meskipun kedua kata ini sama-sama bermakna memahami, namun kata fiqh lebih menunjukkan kepada makna
“memahami secara dalam”. Itu pula sebabnya, Ibnû al-Qayyim menyatakan bahwa kata fiqh lebih spesifik dari kata fahm, karena fiqh lebih memahami maksud yang di inginkan pembicara. Jadi fiqh lebih dari sekedar memahami maksud yang diinginkan pembicaraan secara lafaz dalam konteks kebahasaan.3
2 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 1067
3 M. Yusni Amru Ghozaly, Fiqh al-hadist, Jawa Timur: Pustaka Tebuireng, 2017, hal, 49.
Secara etimologi istilah kata al-hadits baru dan berita.4 Kemudian jika dipahami secara terminologi al-hadits adalah sesuatu yang diriwayatkan dimasa setelah jaman Kenabian Muhammad SAW baik secara ketetappan, perbuatan dan perkataan beliau. Dengan begitu bis akita pahami bahwa fiqh al-hadits adalah ilmu yang mengkaji tentang Upaya memahami hadis nabi dengan baik kemudian sebagai perolehan dalil-dalil terperinci sebagai sebagai hukum-hukum syar`iyyah amaliah.
b. Sejarah Fiqh Al-Hadis
Kajian fiqh al-hadîts pada tahap awalnya masih terbatas, kemudian tumbuh secara berangsur-angsur dan meluas hingga menjadi sebuah cabang ilmu yang dikenal dengan nama syarah al-hadîts dan fiqh al-hadîts. Sejarah pertumbuhan awalnya tidak dapat dilepaskan dari perjalanan historis periwayatan hadis.
Pada masa Tabi`in usaha dalam menyusun karya tentang Ilmu Hadis dan pemahaman terhadap Hadis (fiqh al-Hadits). Imam Malik pernah menuliskan dalam karyanya al-Muwaththa. Menurut Ibnu Yasir keadaan fiqh al-hadits pada masa Tabi`in bisa dikatakan sudah cukup berkembang, dilihat dari Upaya yang dilakukan untuk memahami hadis dengan baik. Dan apakah hadis tersebut bersifat hukum atau tidak.5
Hal-hal yang menjadi pendukung :
- Adanya keinginan untuk menggunakan kaidah fiqh al-hadits.
- Munculnya permasalahan pemahaman dalam memahami hadis oleh Khilaffiyah.
- Perkembangan pembukuan sunnah dan hadis
4 Maizuddin, “Fiqh al-Hadîts (Aspek Penting ilmu hadis)” dalam http://maizuddin.wordpress.com/fiqh al-hadits-aspek penting ilmuhadis, diakses pada tanggal 3 oktober 2024.
5 Wahyudi, M. “METODE FIQHUL HADIST DALAM STUDI AL-QURAN DAN TAFSIR” Jurnal Academi edu, hlm 7
Sekitar pada abad ke 4 Hijriyah fiqh Hadist pertama kali di terapkan ke dalam kitab ilmu hadis. pada kitab hadis yang tersusun rapi kedua karya Imam al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H) yang berjudul Ma`rifah `Ulum al- Hadits.6
Secara umum, sejarah perkembangan fiqh al-hadits terbagi menjadi dua kelompok dalam memahami hadis Nabi saw. Pertama, kelompok yang lebih fokus pada makna eksplisit (Makna) dari teks hadis, yang dikenal sebagai ahl al-hadîts (tekstual). Kedua, kelompok yang lebih menekankan analisis faktor-faktor di balik teks hadis, disebut sebagai ahl al-ra'y (kontekstual).
Kecenderungan untuk memahami hadis dengan pendekatan tekstual dan kontekstual sebenarnya telah muncul sejak masa sahabat dan terus berkembang lebih luas pada periode tabi'in dan setelahnya.7
c. Metodologi Fiqh al-Hadits
Beberapa Prinsip yang harus di terapkan dalam Fiqh al- Hadits :
1. Memastikan tingkat keshahihan Hadits tersebut baik secara sanad maupun matannya.
2. Pemahaman terkait Bahasa arabnya serta konteks asbab al-wurud.
3. Memastikan tidak adanya pertentangan antara hadis yang di teliti dengan nash-nash lain yang lebih kuat kedudukannya. Dan dipastikan bahwa hadis tersebut tidak bertentangan dengan nash yang lebih layak dengan hikmah Tasyri`, atau yang yang dinilai mencapai tingkat Qath`i.8
6 M. Yusni Amru Ghozaly, Fiqh al-hadist, Jawa Timur: Pustaka Tebuireng, 2017, hal, 51.
7 Suryadi, Metode Memahami Hadis Nabi: Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yusuf alQardhawi, Yogyakarta: Teras, 2008, hal 73
8 Tasbih, Ilmu Hadis; Dasar-Dasar Kajian Kontekstual Hadis Nabi saw, (Gorontalo:
Sultan Amai Press, 2009), 10-11.
B. Implement Metode Fiqhul Hadis Terhadap Kejelasan Barang Dalam Jual Beli Online
Selanjutnya penulisan memberikan beberapa bahasan yang dijadikan sebagai contoh terhadap penerapan metode fiqhul hadis, yakni penerapan fiqhul hadis terhadap fenomena kejelasan barang dalam jual beli online sebagai dukungan data yang memungkinkan memperjelas praktek fiqhul hadis yang telah dibahas diatas. Hubungan antara dua variabel ini sangat jelas bila ditinjau dari beberapa faktor yang bersinggungan, pandangan permasalahan yang pertama dilihat bagaimana dari perilaku media masa yang memberikan penawaran terhadap penjual-penjual barang offline untuk berjualan secara online (jejaring internet) yang memungkinkan tidak terlaksananya hukum syariat jual beli dan menguntungkan si penjual atau si pembeli saja, sedangkan yang kedua, terhadap fenomena kejelasan barang pada jual beli, bagaimana pandangan dari sisi fiqhul hadis?, kendatipun singkat namun memungkinkan terlaksananya metode dan hasil dari bahasan.
Dalam islam tata cara baik dan benar dalam jual beli diatur menurut rukun dan syarat sah jual beli, dan hal ini harus dipenuhi agar jual beli sah dan sesuai dengan syariat dan halal. Berikut rukun jual beli:9
a. Terdiri dari dua pihak, Bai’ (penjual) dan mustari (pembeli) beserta syarat kapasitas masing-masing (baligh, berakal sehat, dan merdeka).
b. Tersedianya barang atau jasa yang menjadi objek jual beli secara jelas, dapat dimiliki, dan spesifik.
c. Melakukan ijab dan qabul atau antara penjual dan pembeli terdapat kesepakatan terkait objek yang dijual berupa harga, ijab merupakan pernyataan menawarkan si penjual terkait barang, qabul merupakan pernyataan dari si pembeli terkait menerima tawaran barang dari si penjual.
9 Shobirin, Jual Beli Dalam Pandangan Islam, Bisnis, Vol. 3, No. 2, 2015, 245-251
d. Harga, jual beli dapat dilakukan atas harga yang disepakati secara jelas bukan mengandung unsur gharar (ketidakjelasan),
Selain dengan adanya rukun yang perlu diperhatikan, syarat sah bagi pelaku jual beli (transaksi) perlu diperhatikan, agar terhindar dari pelanggaran syariat, berikut syarat sahnya:10
a. Halalnya barang yang dijualbelikan dan bukan yang merugikan orang lain.
b. Tidak terdapat unsur paksaan diperjualbelikan.
c. Tidak mengandung unsur riba.
d. Transaksi yang dilakukan jelas dan bukan mengandung ketidakpastian ( gharar).
e. Bukan termasuk dalam transaksi maisir (judi) dan untung-untungan.
Terlihat disini semakin jelas bagaimana jual beli yang dilakukan sudah diatur oleh syariat. Sedikit dapat dilihat bahwa jual beli secara syariat tidak ada menyaratkan atau merukunkan tempat, waktu, dan bentuk perilaku penjualan seperti apa yang melanggar atau sebaliknya. Dengan ini maka perilaku yang dilakukan oleh penjual dan pembeli secara online dapat dilakukan selama memenuhi rukun dan syarat dan jatuhnya tetap berhukum halal. Namun secara fenomena bahwa transaksi dilakukan secara online merupakan titik rawan dalam penipuan bahkan ketidakjelasan barang yang disediakan ataupun yang dibeli. Namun penulis bukan melihat bagaimana masalah ini terjadi dan oleh apa hal ini disebabkan, melainkan keadaan kejelasan barang itu penting dalam melakukan transaksi terkhususnya secara online yang notabennya barang yang hanya dilihat secara gambar dan membaca deskripsi sebagai acuan pembelian.
Bila dilihat kembali kepada syarat dan rukun terdapat bahasan ketidakjelasan barang yang dijualbelikan (gharar), perlu dilihat dari sudut pandang bagaimana runtutan dasar hukum ditinjau melaui hadis dan bagaimana memahami hadis tentang gharar dengan dalih mendapatkan pemahaman awal
10 Ibid., 251-253
keadaan ketidakjelasan barang melalui hadis.
Berikut hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal, tercantum dalam musnadnya pada Bab Musnad Abdullah bin Mas’ud nomor 3494, yang membahas tentang gharar:
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin As-Sammak dari Yazid bin Abu Ziyad dari Al Musayyah bin Rafi dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata: Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “janganlah kalian membeli ikan dalam air sebab gharar.”11
pernyataan tentang hadis secara kritik sanad bahwa setelah Rasulullah SAW, matan diteruskan kepada Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Habib kemudian terputus dan sampai kepada Al Musayyab bin Rafi’ kemudian Yazid bin Abi Ziyad kemudian Muhammad bin Shubaih As-Samak, sedangkang yang terputus itu pada masa tabi’ut Tabi’in kalangan tua. Dari hal ini dikritik sebagai hadis yang dhaif. 12
namun matan secara bandingan dengan hadis yang lain, terdapat kesamaan dengan hadis yang shohih dan dapat dipergunakan sebagai dasar hukum, berikut hadisnya yang tertera pada Shahih Muslim no 2783:
11 Purbayu Budi, Ars Anwaril , Larangan Jual Beli Gharar Telaah Terhadap Hadis dari Musnad Ahmad Bin Hanbal, Equilibri, Vol. 3, No.1, 2015, 159.
12 Ibid., 160
Artinya: dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris dan Yahya bin Sa’id serta Abu Usamah dari Ubaidillah, Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb sedangkan lafaz darinya, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dari ‘Ubaidillah telah menceritakan kepada Abu Az Zinad dari Al A’raj dari Abu Hurairah dia berkata; Rasullah Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang jual beli dengan cara hashah (yaitu: jual beli melempar kerikil) dan cara yang mengandung unsur gharar.
Secara asbab alwurud sebagaimana yang diriwyatkan oleh imam ahmad bin hambal, pada bab Bidayah Musnad abdullah bin Abbas.
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Aswad Telah menceritakan kepada kami Ayyub bin Utbah dari Yahya bin Abu Katsir dari ‘Atho dari Ibnu Abbas, Ia berkata;
“Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wasallam melarang jual beli gharar.” Ayyub berkata: bahwasanya Yahya menafsirkan jual beli gharar, dia berkata; “Diantara bentuk (jual beli) gharar adalah (menjual sesuatu) yang diperoleh dengan menyelam terlebih dahulu menjual budak yang kabur, menjual unta tersesat, (jual beli) gharar adalah janin yang masih dalam perut binatang, (jual beli) gharar adalah susu yang masih didalam ambing binatang, kecuali dengan ditakar,”
Yang mana penyebab adanya hadis ini adalah karena fenomena bangsa Arab pada saat itu mengadakan transaksi tukar menukar janin yang belum lahir dan masih di perut unta dengan unta yang sudah cukup umur, dan kemudian perbuatan ini dilarang oleh nabi karena mengandung gharar. secara nash yang lebih tinggi kedudukannya dari hadis ini tidak bertentangan dengan nash-nash lainnya melainkan terdapat prinsip ayat yang mendukung tindakan larangan ini, salah satu adalah QS. Al-Baqarah: 279, yang melarang diri sendiri dan orang lain.13
Secara etimologi gharar diartikan sebagai bahaya, nnamun bila ditinjau dan dikaitkan dengan perkataan bai’u ghararin maka diartikan “sebagai menjual barang yang tidak dapat dipegang, diaraba seperti ikan didalam air.”14Dapat dilihat indikasi ini sama dengan yang dilakukan didalam jual beli online, yang mana barang yang di sajikan tidak tampak dan tidak dapat diraba dan hanya dapat dilihat, namun tetap terjadi transaksi, yang memberikan kesempatan bagi oknum penipuan dan hanya mengambil untung sabelah pihak. Namun hal ini dapat dilihat hanya pada penjualan barang yang memang menipu, secara asumsi penulis semua jual beli online didasarkan kepada kecurigaan akan terjadinya gharar, minimum terjadi keraguan oleh sipembeli bahwa barang ini terpercaya atau tidak, atau dapat di beli atau tidak, tergantung analisis sipembeli dalam memperkecil keraguan dalam pembelian juga memperkecil terjadinya perbuatan gharar.
13 Ibid., 161-170
14 Mahamud Yunus, Kamus Arab Indonesian, (Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2009), 291.
KESIMPULAN
Bahsan Fiqh al-Hadis dapat disimpulkan merupakan perilaku integrasi ilmu fikih dan hadis dalam usaha memahami hadis secara mendalam, dilihat dari etimologi, fiqh bermakna pemahaman mendalam sedangkan hadis adalah muatan perkataan, perbuatan atau ketetapan dari Nabi Muhammad SAW, maka Fiqh al- Hadis adalah kajian yang lebih fokus kepada memahami hadis yang mendalam dengan tujuan penetapan hukum syar’I yang didukung oleh dasar dalil yang rinci.
Fiqh Al- Hadis memiliki sejarah yang diawali masa tabi’in kemudian masa penysunan oleh Imam malik dengan karya al-Muwaththa yang menjadi awal pembahasan mendalam terhadap hadis. Pada abad ke-4 Fiqh al-Hadis semakin berkembang dengan ditandai adanya konsep penulisan sistematis, bahkan kemudian memiliki metodologi tersendiri, Fiqh al-hadis menekankan prinsip yang perlu dilaksanakan dalam penerapannya secara metodologi, baik itu memverifikasi stastus hadis, memahami hadis menurut sudut pandang asbab al-wurud, serta pertimbangan kontradiksi dengan sumber yang lebih kuat atau lebih tinggi.
Pengimplementasian metode terhadap fenomena kejelasan barang dalam jual beli online dapat disimpulkan bahwa, jual beli online berpotensi mengandung tindakan gharar karena pembeli tidak dapat mengonfrimasi barang secara langsung, hanya berpatokan kepada deskripsi dan gambar. Namu secara sah dan batalnya jual beli ialah tergantung rukun dan syarat jual beli, harga, ijab qabul, dan yang terpenting kejelasan barang. Demi terhindarnya gharar, si penjual dalam memberikan informasi harus trensparan serta jelas dalam memberikan informasi, transaksi yang jelas dan sesuai syariat tetatp akan memastikan jual beli online tetap halal.
DAFTAR PUSTAKA
Budi, Purbayu. Ars Anwaril. (2015). Larangan Jual Beli Gharar Telaah Terhadap Hadis dari Musnad Ahmad Bin Hanbal. Equilibri. Vol. 3. No.1.
Firdayanti, A., Aulia, L., Bukhori, A., & Noviani, D. (2023). Studi Hadist Dan Pengimplementasiannya Dalam Kehidupan Sehari Hari. Social, Educational, Learning and Language (SELL), 1(2), 219-232.
Ramadani, S. K., & Ubaidillah, R. (2024). Historiografi Hadis Di Irak: Periwayat- Periwayat Hadis di Irak. FIQHUL HADITS: Jurnal Kajian Hadits dan Hukum Islam, 2(1), 1-14.
Salman Abdul Muthalib, FIQH AL-HADIS “Konsep Tasyri` dalam studi Otoritas Sunnah”, cet. I, (Darussalam Banda Aceh: UIN Ar-Raniry, 2018).
Saputra, D. (2023). FIQHUL HADIS: SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA DALAM KAJIAN HADIS. Al-Akmal: Jurnal Studi Islam, 2(4), 41-49.
Shobirin (2015). Jual Beli Dalam Pandangan Islam, Bisnis. Vol. 3. No. 2.
Yunus, Mahamud. (2009). Kamus Arab Indonesian. (Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah).