•
MUHAMMAD ABBI FAHREZY SUTIKNO•
SHEENY AZ-ZAHRA•
ANNISA NURUL LAILATUL RAHMADANI•
MOH. JAFAR UMAR•
MUHAMMAD AMJAD HAMY FAQIHOleh Kelompok 3
Kampung Naga yang terletak di Tasikmalaya, Jawa Barat, merupakan suatu perkampungan yang dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan leluhurnya, dalam hal ini adalah adat Sunda. Seperti permukiman Badui, Kampung Naga menjadi objek kajian antropologi mengenai kehidupan masyarakat pedesaan Sunda pada masa peralihan dari pengaruh Hindu menuju
pengaruh Islam di Jawa Barat.Namun, asal mula kampung ini sendiri tidak memiliki titik terang. Tak ada kejelasan sejarah, kapan dan siapa pendiri serta apa yang melatarbelakangi terbentuknya kampung dengan budaya yang masih kuat ini.
Kampung Naga Tasikmalaya
Kearifan lokal
di Kampung Naga Tasikmalaya
Leuweung larangan 01
Gawir Rumah Alami 03 02
Pacilingan
Leuit 05 04
Leuweung larangan
01
Leuweung Larangan
Leuweung larangan atau hutan larangan bagi sebagian orang hanya sebuah mitos. Setiap orang memiliki waktu yang
terbatas jika ingin memasuki leuweung atau hanya ada hari tertentu untuk bisa masuk. Mitos memasuki leuweung
larangan bukan tanpa alasan. Kawasan yang diduga telah ada sejak 300 tahun lalu itu masih sangat terjaga keasriannya.
Larangan yang diberikan tetua adat menjadikan hutan di
sekitar kampung adat terus terjaga. Jika melanggar aturan di
kawasan seluas tiga hektare ini, bisa ada sanksi.
Gawir
02
Gawir
Lokasi pemukimannya yang berada di lereng gunung yang menyebabkan kondisi tanahnya miring lalu dibuat berundak-undak sehingga adanya “gawir” (jurang).
Uniknya gawir-gawir ditopang dengan menggunakan batu yang disusun bertumpuk tidak ditembok atau di
pondasi menggunakan semen. Stuktur tradisional ini menyediakan pori-pori pada dinding gawir (jurang), jika terjadi hujan air yang terserap pada tanah di bagian atas akan dengan mudah keluar dari celah-celah batu yang meminimalisir terjadinya longsor.
Rumah Alami
03
Rumah Alami
Bangunan yang diperbolehkan dibangun adalah bangunan tradisional, yaitu rumah panggung khas Masyarakat Sunda.
Material yang digunakan dari material alami yaitu kayu berdindingkan “bilik” (anyaman bambu, atap I’injuk” (ijuk) berlantaikan kayu atau “gedeg” (bambu yang dibelah sehingga menjadi datar). Bagian kaki rumah ditopang
menggunakan batu alam, hal ini dimaksudkanagar “pelupuh”
(kayu utama penompang rumah) tidak cepat rusak karena terkena air hujan serta lumpur, dan juga untuk melindungi dari serangga seperti“rinyuh” (rayap). Di depan pintu rumah terdapat teras. Seringkali pada sore hari setelah
menyelesaikan aktivitas bertani, warga terlihat duduk- duduk santai di teras depan rumah sambil bercengkrama dengan anggota keluarga maupun tetangga
Pacilingan
04
Pacilingan
Aktivitas membersihkan diri seperti mandi dilakukan di
“pacilingan” (MCK) yang berada di atas kolam ikan.
Menariknya masyarakat disini tidak menggunakan kosmetik seperti sabun, sampo dan pasta gigi dalam aktivitas membersihkan diri. Bahan-bahan yang digunakan untuk mandi dan keramas ialah“taneuh porang” (tanah liat), tumbukan daun orang-aring atau lidah buaya dan ada pula yang menggunakan jeruk nipis. Sedangkan untuk menggosok gigi menggunakan “eurih jeung lebu”
(serat dari daun ilalang dan abu gosok). Uniknya
kebiasaan yang sudah lama diadopsi Masyarakat Sunda ini mulai dilirik dan dikembangkan oleh industri-industri kosmetik yang menggunakan tanah liat, lidah buaya, daun orang aring, jeruk nipis dan charcoal (arang) sebagai bahan dasar dari produk mereka.
Leuit
05
Leuit
Layaknya masyarakat Sunda pada umumnya, aktivitas pagi hari setelah menunaikan shalat subuh dan sarapan ialah berangkat ke sawah dan ladang. Mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan terkait pertanian, baik mengolah sawah, merawat tanaman padi dan tanaman lainnya. Dalam kegiatan mengolah sawah masyarakat tetap mempertahankan tradisi masa lalu, menggunakan bajak sawah yang ditarik oleh kerbau atau sapi.
Sehingga proses tanam padi hingga panen bisa dikatakan cukup lama yakni satu tahun hanya bisa panen dua kali saja. Berbeda dengan
pertanian daerah lain yang sudah modern yang bisa panen hingga tiga kali dalam satu tahun. Hasil pertanian pun bukan untuk dijual, hanya digunakan untuk konsumsi pribadi saja. Biasanya padi hasil panen disimpan didalam
“leuit” yaitu bangunan khusus tempat penyimpanan padi) atau di “goah”
(gudang). Sebagian warga juga ada yang berjualan souvernir berupa
bushcraft (kerajinan dari bambu dan kayu) dan peralatan dapur tradisional.