KISAH MENARA BABEL ( KEJADIAN 11:1-9 ) DAN IMPLIKASI NYA TERHADAP SIKAP ORANG KRISTEN DALAM MEMANFAATKAN BAHASA DAN BUDAYA DALAM PEKERJAAN TUHAN DI MASA KINI
1. Ridwan Rudiyanto Kajah Kore 2. Cinriani Silla
3. Imelda Voni Mone 4. Olimpia Mau Weni 5. Ine Setiawati Bani Woli 6. Presly Amelia Ninu Tnunay
INSTITUT AGAMA KRISTEN NEGERI KUPANGINSTITUT AGAMA KRISTEN NEGERI KUPANG
Email: [email protected] ABSTRAK
Kisah Menara Babel mengingatkan kita untuk tidak membiarkan perbedaan bahasa dan budaya memisahkan kita. Sebaliknya, orang Kristen diajak untuk membangun kesatuan dalam Kristus, yang melebihi segala perbedaan. Meskipun ada banyak suku, bahasa, dan budaya yang berbeda, kita dipanggil untuk hidup dalam kasih dan keharmonisan, dan memanfaatkan bahasa dan budaya kita untuk pekerjaan Tuhan. Dalam konteks ini, orang Kristen harus berusaha untuk memahami dan menghargai perbedaan budaya, serta menggunakan keberagaman tersebut sebagai kekuatan dalam melayani dan membangun kerajaan Tuhan di bumi. Dalam artikel ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan pengumpulan data melalui studi kepustakaan (library research) untuk memberikan penjelasan secara deskriptif.Penulis mengumpulkan data maupun informasi yang berkaitan dengan gagasan tentang posthuman dan kaitannya dengan Pendidikan Agama Kristen. Penulis melakukan penelaahan terhadap berbagai literatur yang berhubungan dengan pokok masalah yang dibahas untuk menolong serta memperkaya pemahaman akan topik tersebut. Data yang didapat kemudian dianalisis secara objektif untuk menarik sebuah kesimpulan
PENDAHULUAN
Tulisan ini merupakan perpaduan minat saya terhadap studi bahasa Alkitab dan studi sosial bertujuan untuk menguraikan pemaknaan sejarah yang dikisahkan dalam episode Menara Babel dan menarik benang merah dalam bentuk spirit dan nilai-nilai yang tersembunyi di dalam teks ke dalam konteks Indonesia. Tradisi kekristenan mengenal kisah Menara Babel sebagai bukti kesombongan umat manusia yang menginginkan dirinya sama seperti Allah. Tradisi penafsiran dan pengajaran gereja mengenai Menara Babel ini selalu dihubungkan dengan tiga hal. Pertama, ketidakpuasan manusia terhadap keberadaan kemanusiaan mereka. Mereka ingin menjadi sama seperti Allah. Kedua, berawalnya bahasa yang berbeda-beda di seluruh dunia, yang sebelumnya hanya ada satu.
Kisah Menara Babel yang terdapat dalam Kitab Kejadian 11:1-9 adalah salah satu narasi yang memuat peristiwa penting dalam sejarah umat manusia. Dalam cerita ini, umat manusia yang pada waktu itu berbicara dengan satu bahasa berusaha untuk membangun sebuah menara yang puncaknya mencapai langit, sebagai simbol kekuatan dan kesombongan mereka. Namun, Tuhan melihat tindakan ini sebagai bentuk kesombongan yang berusaha mengatasi kekuasaan-Nya, dan akibatnya, Dia membingungkan bahasa mereka, sehingga mereka tidak lagi bisa saling memahami satu sama lain. Akibat peristiwa ini, manusia tersebar ke seluruh penjuru bumi dengan berbagai bahasa yang berbeda.1
Kisah ini mengandung pesan yang sangat dalam mengenai hubungan antara manusia, bahasa, budaya, dan Tuhan. Sebagai orang Kristen, kita diingatkan untuk tidak menyombongkan diri atau mengandalkan kemampuan manusia semata.
Sebaliknya, kisah ini juga memberi implikasi tentang bagaimana Tuhan dapat memakai berbagai bahasa dan budaya dalam pekerjaan-Nya, meskipun manusia sering kali berusaha untuk mengandalkan diri mereka sendiri dalam cara yang salah.
Dalam konteks ini, makalah ini bertujuan untuk mengeksplorasi implikasi dari Kisah Menara Babel terhadap sikap orang Kristen dalam memanfaatkan bahasa dan budaya dalam pekerjaan Tuhan di masa kini. Apakah kita menggunakan bahasa dan budaya dengan bijak dalam pelayanan kita kepada Tuhan? Apakah kita memahami bahwa bahasa dan budaya yang ada saat ini adalah bagian dari keragaman yang diciptakan Tuhan, dan seharusnya digunakan untuk memuliakan-Nya dan menyebarkan Injil ke seluruh dunia?
Makalah ini akan mengkaji beberapa aspek penting terkait dengan pemahaman bahasa dan budaya dalam konteks pekerjaan Tuhan. Di antaranya, bagaimana sikap rendah hati, kerendahan hati, dan saling memahami harus tercermin dalam interaksi antar budaya dan bahasa, serta bagaimana perbedaan bahasa dan budaya tidak menjadi penghalang dalam menyampaikan pesan Kristus. Sebagai umat Kristen, kita diharapkan untuk melihat bahasa dan budaya sebagai alat untuk melayani Tuhan, bukan sebagai sumber perpecahan atau kesombongan.
1 Tjendanawangi Saputra, “PERAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM MENJAWAB TANTANGAN PERKEMBANGAN TEKNOLOGI DI ERA POSTHUMAN” 4 (2022): 44–61.
Allah menghentikan proses pembangunan Menara Babel dengan mengacaukan satu-satunya bahasa itu dan menciptakannya menjadi banyak bahasa. Ketiga, kekacauan yang terjadi adalah hukuman Allah. Lantas, berabad-abad lamanya, ketiga hal ini dikhotbahkan dan diajarkan dari generasi ke generasi dalam gereja hingga saat ini sehingga nilai-nilai itu jugalah yang kita pahami dan hidupi. Padahal banyak nilai positif, yang tidak terduga dari menggali teks, dan tentunya memberi pencerahan bagi umat untuk memaknai kehidupannya di tengah dunia ini.2
METODE PENELITIAN
Dalam artikel ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan pengumpulan data melalui studi kepustakaan (library research) untuk memberikan penjelasan secara deskriptif.Penulis mengumpulkan data maupun informasi yang berkaitan dengan gagasan tentang posthuman dan kaitannya dengan Pendidikan Agama Kristen. Penulis melakukan penelaahan terhadap berbagai literatur yang berhubungan dengan pokok masalah yang dibahas untuk menolong serta memperkaya pemahaman akan topik tersebut. Data yang didapat kemudian dianalisis secara objektif untuk menarik sebuah kesimpulan3
PEMBAHASAN a. Kisah Menara Babel: Kejadian 11 (1-9)
Kisah menara Babel sebagai suatu awal keberagaman, baik dari segi bahasa dan bangsa-bangsa. "Adapun seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya", sebagai permulaan kisah Menara Babel dalam Kejadian 11. Sejarah purba ditutup dengan kisah Menara Babel yang menyebabkan kehancuran dan penyebaran manusia. Secara umum, pemikiran orang-orang Kristen tentang kisah menara sebagai saksi dari kesombongan umat manusia.
Tetapi pembangunan menara itu lebih didorong oleh rasa takut akan penyebaran yang akan menyebabkan kehancuran persekutuan masyarakat. Rupanya kalimat yang paling mendasar dalam kisah ini adalah, “supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi”, dibandingkan pernyataan yang mendahuluinya, “marilah kita cari
2 Merilyn Merilyn, “Memaknai ללבָּ (Bȃlal) Dan ץצַפָּ (Patsats) Kejadian 11:1-9 Dalam Konteks Multikultural Di Indonesia,” Satya Widya: Jurnal Studi Agama 1, no. 2 (2018): 127–38, https://doi.org/10.33363/swjsa.v1i2.49.
3 Dapot Damanik, Afriani Manalu, and Aristar Sembiring, “Fondasi Pluralisme Multikulturalisme Berdasarkan Alkitab,” INNOVATIVE: Journal Of Social Science Research Volume 3, no. 6 (2023):
4978–93.
nama” (11:4). Rasa takut akan penyebaran adalah rasa takut akan kehancuran.
Terkait kalimat diatas, Von Rad berpendapat bahwa menara itu adalah suatu "kisah etiologis" yang berusaha menjelaskan mengapa ada begitu banyak bangsa dan bahasa" dan "bermaksud menjelaskan nama Babel". Gerhard von Rad, seorang teolog Perjanjian Lama, menyatakan bahwa "kesatuan sebagai tanda kemandirian mereka yang perkasa, menara tersebut sebagai lambang kehendak mereka mencari kemasyhuran".
Menara Babel adalah suatu kebangkitan melawan rasa takut akan kehancuran. Tujuannya adalah menyimpan dalam ingatan manusia apa yang mungkin akan terlupakan zaman. Ia berusaha memperluas apa yang telah dicapainya ke masa depan. Ia bermaksud menyatukan masa lampau, masa kini dan masa depan ke dalam satu aliran waktu yang berkesinambungan, tetapi Allah menantang usaha manusia untuk melawan penyebaran dan mempertahankan kesinambungan. Dari waktu ke waktu manusia harus disebarkan ke semua penjuru dunia. Sama seperti yang Allah katakana kepada manusia ketika penciptaan selesai: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan- ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang menetap di bumi" (Kej 1:28). Pembangunan menara sebagai perlawanan terhadap perintah Allah untuk "memenuhi bumi" sehingga pembangunan harus dihancurkan.
Kisah Menara Babel, yang tercatat dalam Kejadian 11:1-9, adalah narasi yang menggambarkan peristiwa yang terjadi setelah Banjir Besar pada zaman Nuh.
Saat itu, seluruh umat manusia berbicara dengan satu bahasa, yang memungkinkan mereka untuk bekerja sama dengan sangat efektif. Mereka mulai merencanakan untuk membangun sebuah menara yang tinggi, yang puncaknya mencapai langit, dengan tujuan untuk membuat nama mereka terkenal dan mencegah diri mereka tersebar ke seluruh dunia. Namun, tindakan ini tidak hanya mencerminkan usaha manusia untuk membangun sebuah kebanggaan, tetapi juga mencerminkan kesombongan dan ambisi untuk menyamai atau bahkan menandingi kuasa Tuhan.
Tuhan, yang melihat niat hati mereka, tidak mengizinkan umat manusia terus maju dengan rencana ini. Dalam Kejadian 11:5-7, dikatakan bahwa Tuhan turun ke bumi untuk melihat kota dan menara yang sedang dibangun oleh manusia.
Tuhan menyadari bahwa dengan bahasa yang sama, manusia bisa melakukan segala
hal, bahkan hal-hal yang tidak baik, seperti yang mereka coba lakukan dalam membangun Menara Babel. Oleh karena itu, Tuhan memutuskan untuk membingungkan bahasa mereka, sehingga mereka tidak bisa lagi saling memahami satu sama lain. Akibatnya, pembangunan menara terhenti, dan umat manusia tersebar ke seluruh penjuru dunia, masing-masing dengan bahasa yang berbeda- beda. Inilah asal mula keberagaman bahasa dan suku bangsa di dunia.
Kisah Menara Babel mengandung beberapa pesan penting. Pertama, kisah ini mengajarkan bahwa manusia, meskipun diberi kebebasan dan kemampuan oleh Tuhan, harus berhati-hati dalam menggunakan potensi dan kebesaran yang diberikan-Nya. Ambisi untuk mencapai sesuatu yang besar, tanpa memperhitungkan kehendak Tuhan, bisa menjerumuskan manusia dalam kesombongan dan dosa.
Tuhan, sebagai pencipta langit dan bumi, tidak akan membiarkan umat manusia jatuh ke dalam ketergantungan pada kemampuan diri sendiri tanpa menyadari keterbatasannya.
Kedua, kisah ini menunjukkan bahwa keragaman bahasa dan budaya adalah bagian dari rancangan Tuhan yang lebih besar. Dengan membingungkan bahasa manusia dan menyebabkan mereka tersebar, Tuhan menegaskan bahwa umat manusia tidak bisa mengandalkan kesatuan bahasa atau budaya sebagai dasar dari kebersamaan mereka. Sebaliknya, keragaman ini merupakan bagian dari takdir ilahi yang menunjukkan bahwa meskipun manusia terpecah dalam hal bahasa dan budaya, Tuhan tetap berdaulat atas segala sesuatu. Keragaman ini bukanlah sesuatu yang harus dipandang sebagai hambatan, melainkan sebagai bagian dari rencana Tuhan untuk menyebarkan kebaikan dan karya-Nya ke seluruh dunia.
Akhirnya, peristiwa ini memberikan pelajaran bahwa manusia harus mengutamakan kesatuan dengan Tuhan dan saling menghargai dalam perbedaan, daripada terjerumus dalam kesombongan yang berujung pada perpecahan. Di tengah-tengah keragaman bahasa dan budaya, umat Kristen diajak untuk melihat lebih dalam tentang bagaimana Tuhan menggunakan perbedaan-perbedaan tersebut untuk pekerjaan-Nya, bukan sebagai alasan untuk terpecah belah. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk memanfaatkan bahasa dan budaya dengan cara yang mulia dan sesuai dengan kehendak Tuhan.4
4 Damanik, Manalu, and Sembiring.
b. Ekspositori Kejadian 11:1-9: Dalam Memaknai Peran Awal Kemunculan Komunikasi Lintas Budaya
1. “Adapun seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya.
2. ”Maka berangkat lah mereka ke sebelah timur dan menjumpai tanah datar di tanah Sinear lalu menetap lah mereka di sana.” Pada ayat yang pertama, narasi dimulai dengan memperkenalkan latar 5 belakang dunia dimana hanya memiliki satu bahasa dan logat, sebelum Tuhan memutuskan untuk mengacaukan bahasa mereka. Selanjutnya pada ayat yang kedua, Adegan berlanjut dengan mencatat bahwa pembangunan dilakukan di tanah datar Sinear dari bagian timur. Penting untuk diperhatikan bahwa titik awal peristiwa dalam narasi Menara Babel dipandang sebagai sebuah negeri atau kerajaan di sebelah barat Babilonia. Dengan demikian ayat kedua menceritakan pergerakkan dari bagian barat Babilonia ke arah timur. Babilonia sendiri terletak di antara dua silsilah yang diteruskan dari Sem. Pertama garis keturunan dari Sem sampai Eber (Kej 10:21-24) berlanjut sampai kepada Yoktan (ayat 26-29). Karena pendirian Babilonia berada diantara akhir daftar empat belas nama dari garis Yoktan, di akhir daftar sepuluh nama dari garis Peleg, dan mungkin dari sini juga sedikit catatan tentang akan adanya panggilan Abraham yang dilanjutkan pada pasal (11:27-12:10). Sehingga bisa dilihat dua garis besar keturunan Sem yang terbagi menjadi dua putra Eber (10:25) yang satu menuju ke Babilonia dan yang lain ke Abraham.
3. Mereka berkata seorang kepada yang lain: "Marilah kita membuat batu bata dan membakarnya baik-baik." Lalu bata itulah dipakai mereka sebagai batu dan tergala-gala sebagai tanah liat.”
4. “Juga kata mereka: "Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak, ke seluruh bumi. " Dalam ayat tiga menjelaskan diskusi pembanguna Menara Babel. Mereka menggunakan batu bata yang adalah bahan bangunan. Batu bata yang digunakan terbuat dari lumpur yang dicampur dengan jerami kemudian dijemur, penggunaan bahan batu bata tersebut disebut dengan
“adobe” awalnya digunakan oleh kuil Ziggura
5. Lalu turunlah TUHAN untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh anak- anak manusia itu,
6. dan Ia berfirman: "Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa untuk semuanya.
Ini barulah permulaan usaha mereka; mulai dari sekarang apapun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana.”
7. Baiklah Kita turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing“
8. Demikianlah mereka diserakkan TUHAN dari situ ke seluruh bumi, dan mereka berhenti mendirikan kota itu.”
9. Itulah sebabnya sampai sekarang nama kota itu disebut Babel, karena di situlah dikacaubalaukan TUHAN bahasa seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan TUHAN ke seluruh bumi.” Sebenarnya ayat 8-9 menyiratkan bahwa tempat dimana peristiwa dari ayat 1-8 terjadi kemudian disebut “Babel”. Ini dianggap sebagai konsekuensi dari tindakan mereka kepada Tuhan. Sedangkan ayat 9 menekankan penyebarluasan di masa yang akan datang.5
c. Memaknai ב Hלָּ Jלַ dan פ Hצָּ Jץַ dalam Konteks Kejadian 11:1-9 dalam memanfaatkan bahasa dan budaya dalam pekerjaan Tuhan di masa Kini
Kejadian 11:1-2 paralel dengan 11:8-9; keduanya adalah kisah naratif dan menekankan fakta bahwa pernah dalam suatu waktu dunia hanya memiliki satu bahasa yang sama. Kejadian 11:3-4 dan 11:6-7; keduanya memuat sebuah kalimat langsung: “mari kita...” dan “baiklah Kita...”. Pada 11:1-4 menunjukkan tindakan manusia dan setelahnya pada 11:5-9 menunjukkan tindakan Allah. Pada pasal 11:1 tertulis “satu bahasanya dan satu logatnya”; teks Ibrani secara hurufiah menyebut mereka memiliki satu “lidah” (ש Hפָּ Hהָּ - shapah) dan satu "perkataan" (ד Hבָּ Hרָּ - davar).
Teks ini bermakna bahwa semua orang di bumi berbicara dan dapat memahami tata bahasa (Yes. 19:18) dan kata-kata (Yeh. 3: 5, 6) satu sama lain. Paul H. Selly menegaskan bahwa telah ada kesepakatan universal sejak awal hingga saat ini di mana setiap manusia di bumi berbicara dengan bahasa yang sama
Pada Pasal 11:5 tertulis “Lalu turunlah TUHAN untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh anak-anak manusia itu,”; memperlihatkan reaksi Allah.
Dalam Sumber Y reaksi Allah itu digambarkan dengan tindakan manusiawi:
“melihat” yang dalam bahasa Ibrani menggunakan kata רHV א Hהָ (ra’ah). Tindakan
“melihat” Allah merupakan tindakan imanensi-Nya. Allah tidak melihat dari kejauhan (baca: surga atau dari posisi kemuliaan) melainkan Allah “datang mendekati”. Hal itu ditegaskan pada Pasal 11:7 tertulis, “Baiklah Kita turun...”, dalam bahasa Ibrani menggunakan kata י [ר[ ד (yered) yang artinya datang ke bawah atau turun. Dengan “turun”, Allah digambarkan beranjak meninggalkan tahta-Nya untuk kemudian berada di lokasi pembangunan menara, bukan saja untuk menyaksikan proses pembangunan itu, tetapi lebih daripada itu, mengetahui isi hati manusia dengan segala tujuan sesungguhnya membangun menara.
5 9 C F Keil dan Franz Delitzsch, “Commentary on Genesis,” 2014, 310. 20
ב Hלָּ Jלַ (bȃlal) pada 11:7 adalah jenis kata kerja aktif qal yang artinya “untuk mencampur”, “membaur”, “membingungkan”, yang dalam teks Alkitab terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), “mengacaubalaukan”. Dalam konteks teks, Allah adalah subyek atau pelaku yg bertindak “untuk mencampur”, “membaur”,
“membingungkan” bahasa orang di Sinear. Berkaitan dengan itu, seorang linguis mengatakan bahwa bahasa adalah simbol identitas dan entitas masyarakat (Irwan Abdullah, 1999:111). Melalui bahasa kebangsaan, budaya, dan karakteristik seseorang dikenali. Dalam hal ini, bahasa tidak hanya tentang aksen atau dialek, kosakata, dan sikap satu sama lain dapat membentuk komunikasinya, namun tentang identitas utuh seseorang sebagai suatu integritas. Dg memahami pendapat sang linguis ini dan dikaitkan dengan konteks teks, maka pembangunan Menara Babel menjadi sebuah aksi menjaga satu-satunya bangsa, budaya, dan bahasa yang ada saat itu yang diharapkan tetap menjadi satu-satunya bangsa, satu-satunya budaya, dan satu-satunya sepanjang sejarah dunia. huruf dan suku kata dari bahasa asal yang sama itu (William Elford Rogers, 2002:36). Jelas itu menjadi bahasa yang sangat membingungkan. Masing-masing orang mengucapkan kosa kata baru, tidak seperti yang mereka kenal. Di situlah dimulainya kekacauan bahasa mereka.
Mereka saling berbicara tetapi tidak lagi dengan bahasa yang sama sehingga mereka tidak lagi saling mengerti. Bisa dibayangkan, seseorang dalam bahasanya mengucapkan perintah, tetapi dalam bahasa yang lain dipahami ejekan atau yang satu mengucapkan terima kasih tetapi dalam pemahaman yang lain mungkin berarti umpatan. Allah tidak berkenan dengan tindakan mereka. Bahasa yang tadinya menjadi saranaberkomunikasi mereka saat membangun menara telah dicampur, dibaur, dan dibuat membingungkan oleh Allah.Menurut William Elford Rogers, ketika Allah mengacaubalaukan bahasa, Ia tidak sedang menciptakan bahasa baru, melainkan mencampur
Kemudian pasal 11:8 tertulis, “Demikianlah mereka diserakkan TUHAN dari situ keseluruh bumi.” Dalam bahasa Ibrani, kata “diserakkan” adalah פ Hצָּ Jץַ (patsats) yang artinya “untuk menyebarkan” atau “untuk menyebarkan ke negeri lain”.
Dalam teks Alkitab terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) menggunakan kata “diserakkan”. פ Hצָּ Jץַ (patsats) adalah jenis kata kerja niphal yaitu kata kerja bentuk pasif dari kata kerja qal, di mana manusia sebagai obyek yang “disebarkan”
atau “diserakkan” dan Allah sebagai subyek yang bertindak
“menyebarkan”/”menyerakkan”. Mengapa Allah menyerakkan mereka? Tidakkah dengan mencampurkan bahasa saja telah membuat satu entitas bangsa melahirkan banyak entitas bangsa, budaya, dan bahasa baru? Ada baiknya kita mengingat perintah Allah kepada Adam dan Hawa segera setelah Ia selesai mencipta, “...
"Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung- burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”
Jadi, baik ב Hלָּ Jלַ (bȃlal) maupun פ Hצָּ Jץַ (patsats) dapat dipahami sebagai proses tindakanAllah mendekonstruksi sekaligus merekonstruksi bangsa-bangsa dengan identitas baru. ב Hלָּ Jלַ (bȃlal) dan פ Hצָּ Jץַ (patsats) mengandung spirit pembaruan; dari satu bahasa, budaya, bangsa menjadi ragam bahasa, budaya, bangsa. Ini memberi kesan betapa Allah menyetujui keragaman di muka bumi. Sebagai puncak dari itu semua,
ב Hלָּ Jלַ (bȃlal) dan פ Hצָּ Jץַ (patsats) menandai dimulainya sikap yang telah ditransformasi
ke dalam bentuk penerimaan sekaligus penghargaan terhadap keunikan diri sendiri dan orang lain yang berbeda dalam sebuah keutuhan.
Peristiwa ini mengandung pesan mendalam mengenai hubungan antara manusia, bahasa, budaya, dan kehendak Tuhan. Tuhan menunjukkan bahwa meskipun manusia memiliki potensi luar biasa dalam berkolaborasi, ambisi yang didorong oleh kesombongan dapat berujung pada perpecahan. Hal ini mengajarkan kita untuk tidak mengandalkan diri sendiri, tetapi untuk selalu mengakui keterbatasan kita dan berusaha untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Selain itu, Tuhan menggunakan perbedaan bahasa dan budaya sebagai cara untuk menyebarkan umat manusia ke seluruh penjuru bumi, menciptakan keragaman yang memperkaya kehidupan manusia.6
Implikasi dari Kisah Menara Babel terhadap sikap orang Kristen dalam memanfaatkan bahasa dan budaya dalam pekerjaan Tuhan di masa kini sangat relevan. Pertama-tama, orang Kristen diajak untuk memahami bahwa bahasa dan budaya bukanlah alat untuk menyombongkan diri, seperti yang dicontohkan dalam kisah Babel. Sebaliknya, bahasa dan budaya seharusnya dilihat sebagai sarana untuk memuliakan Tuhan dan menyebarkan Injil. Dalam dunia yang semakin global dan terhubung, orang Kristen memiliki kesempatan untuk melayani dalam konteks yang lebih luas, di mana perbedaan bahasa dan budaya harus diterima dengan rasa hormat, bukan menjadi penghalang dalam membangun hubungan antar sesama.
Kedua, kisah ini mengajarkan kita bahwa keragaman bahasa dan budaya adalah bagian dari rancangan Tuhan yang lebih besar. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk menggunakan bahasa dan budaya yang ada untuk saling membangun dan memperkaya satu sama lain dalam pelayanan. Misalnya, dalam penyebaran Injil, bahasa bisa menjadi sarana untuk menjangkau lebih banyak orang. Meskipun ada banyak bahasa yang berbeda, Tuhan tetap dapat menggunakan keragaman ini untuk menyampaikan pesan-Nya kepada umat manusia di seluruh dunia. Oleh karena itu, orang Kristen harus melihat keragaman ini sebagai suatu kesempatan, bukan hambatan.
Selain itu, kisah Menara Babel mengingatkan kita untuk tidak membiarkan perbedaan bahasa dan budaya memisahkan kita. Sebaliknya, orang Kristen diajak untuk membangun kesatuan dalam Kristus, yang melebihi segala perbedaan.
Meskipun ada banyak suku, bahasa, dan budaya yang berbeda, kita dipanggil untuk hidup dalam kasih dan keharmonisan, dan memanfaatkan bahasa dan budaya kita untuk pekerjaan Tuhan. Dalam konteks ini, orang Kristen harus berusaha untuk memahami dan menghargai perbedaan budaya, serta menggunakan keberagaman tersebut sebagai kekuatan dalam melayani dan membangun kerajaan Tuhan di bumi.7
KESIMPULAN
6 Yudi Fernando Pangemanan and Grant Nixon, “Ekspositori Kejadian 11:1-9: Dalam Memaknai Peran Awal Kemunculan Komunikasi Lintas Budaya,” DA’AT : Jurnal Teologi Kristen 2, no. 2 (2021): 14–21, https://doi.org/10.51667/djtk.v2i2.502.
7 Merilyn, “Memaknai ללבָּ (Bȃlal) Dan ץצַפָּ (Patsats) Kejadian 11:1-9 Dalam Konteks Multikultural Di Indonesia.”
Kesimpulan dari Kisah Menara Babel dalam Kejadian 11:1-9 menunjukkan pentingnya keragaman bahasa dan bangsa sebagai bagian dari rencana Tuhan.
Meskipun manusia awalnya hidup dengan satu bahasa dan budaya, kesombongan mereka dalam berusaha menyamai kekuasaan Tuhan melalui pembangunan menara yang sangat besar mengundang reaksi dari Allah. Dengan membingungkan bahasa mereka dan menyebarkan umat manusia ke seluruh dunia, Tuhan menegaskan bahwa keragaman bangsa dan budaya merupakan bagian dari desain ilahi, dan bukan sebagai bentuk kehancuran. Perbedaan bahasa dan budaya, meskipun awalnya terlihat sebagai perpecahan, sesungguhnya menunjukkan betapa besar kebijaksanaan Tuhan dalam memanfaatkan keragaman tersebut untuk memperluas karya-Nya ke seluruh bumi.
Dalam konteks ini, orang Kristen diajak untuk memanfaatkan bahasa dan budaya dengan penuh penghargaan terhadap perbedaan, tanpa menjadikannya sebagai alasan untuk terpecah. Sebaliknya, perbedaan tersebut harus dihargai sebagai sarana untuk memperkaya pengalaman bersama dalam pelayanan. Sebagai bagian dari panggilan kita untuk menyebarkan Injil ke seluruh dunia, orang Kristen di masa kini harus melihat bahasa dan budaya sebagai alat untuk memuliakan Tuhan dan membangun kesatuan dalam Kristus, meskipun ada banyak perbedaan.
Kisah Menara Babel mengajarkan kita untuk merangkul keragaman, berusaha untuk hidup harmonis dalam kasih, dan memanfaatkan keunikan budaya sebagai kekuatan dalam pekerjaan Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Damanik, Dapot, Afriani Manalu, and Aristar Sembiring. “Fondasi Pluralisme Multikulturalisme Berdasarkan Alkitab.” INNOVATIVE: Journal Of Social Science Research Volume 3, no. 6 (2023): 4978–93.
Merilyn, Merilyn. “Memaknai לַ Jלַ Hבָּ (Bȃlal) Dan ץַ Jצַ Hפָּ (Patsats) Kejadian 11:1-9 Dalam Konteks Multikultural Di Indonesia.” Satya Widya: Jurnal Studi Agama 1, no. 2 (2018): 127–38. https://doi.org/10.33363/swjsa.v1i2.49.
Pangemanan, Yudi Fernando, and Grant Nixon. “Ekspositori Kejadian 11:1-9:
Dalam Memaknai Peran Awal Kemunculan Komunikasi Lintas Budaya.”
DA’AT : Jurnal Teologi Kristen 2, no. 2 (2021): 14–21.
https://doi.org/10.51667/djtk.v2i2.502.
Saputra, Tjendanawangi. “PERAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM MENJAWAB TANTANGAN PERKEMBANGAN TEKNOLOGI DI ERA POSTHUMAN” 4 (2022): 44–61.