See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/341788742
UPAYA KOMODITISASI TEMBESU DALAM PERSPEKTIF SOSIAL BUDAYA PETANI DAN PASAR
Chapter · January 2014
CITATIONS
2
READS
576
2 authors:
Edwin Martin
National Research and Innovation Agency Republic of Indonesia 65PUBLICATIONS 201CITATIONS
SEE PROFILE
Tejo Premono foerdia
35PUBLICATIONS 121CITATIONS SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Edwin Martin on 01 June 2020.
The user has requested enhancement of the downloaded file.
TEMBESU
KAYU RAJA ANDALAN SUMATERA
Editor:
Nina Mindawati Hani Siti Nurohmah
Choirul Akhmad
Penerbit
FORDA PRESS
TEMBESU KAYU RAJA ANDALAN SUMATERA
Editor:
Nina Mindawati Hani Siti Nurohmah Choirul Akhmad
Disain Sampul dan Tata Letak:
Hendra Priatna
Copyright © 2014 Penulis
Cetakan Pertama, November 2014
Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan x + 130 halaman; 160 x 242 mm
ISBN: 978-602-71770-3-1 Diterbitkan oleh:
FORDA PRESS
Anggota IKAPI No. 257/JB/2014
Jln. Gunung Batu No.5 Bogor, Jawa Barat, Indonesia Telp./Fax.: +62251-7520093
Email: [email protected]
Dicetak oleh Percetakan PT Rambang, Palembang Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta
Pasal 2
(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana Pasal 72
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
KATA PENGANTAR
Tembesu (Fragraea fragrans Roxb.) merupakan salah satu jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan dan mempunyai nilai ekonomi tinggi sehingga potensial dikembangkan di wilayah Sumatera Bagian Selatan.
Secara sosial tembesu telah dikenal dan kayunya telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat.
Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah benyak meneliti tembesu. Secara detail, hasil-hasil penelitian tersebut dituangkan di dalam buku ini yang dikemas dalam bentuk bunga rampai, mengupas tuntas berbagai aspek tembesu mulai dari pengenalan dan ekologi, perbenihan, budidaya, perlindungan, hasil dan pertumbuhan serta sosial, ekonomi dan kebijakan.
Apresiasi diberikan kepada para peneliti yang telah berkontribusi dalam penyusunan buku ini. Terimakasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses editing, penyajian, penerbitan, pencetakan, dan pendistribusiannya hingga dapat tersebarluaskan dengan baik.
Semoga buku ini bermanfaat dan menjadi sumber inspirasi bagi ilmu pengetahuan serta kemajuan bidang kehutanan khususnya dalam pengembangan/pengusahaan dan peningkatan produktivitas hutan tanaman tembesu.
Kepala Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan,
Dr. Ir. Bambang Trihartono, MF NIP. 195610051982031006
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... iii DAFTAR ISI ... iv 1. PENDAHULUAN ... 1 2. MENGENAL KARAKTERISTIK TANAMAN TEMBESU
Junaidah, Agus Sofyan dan Nasrun ... 3 3. PENANGANAN DAN PENGUJIAN BENIH TEMBESU
Muhammad Zanzibar ... 13 4. PEMBIBITAN JENIS TEMBESU (Fagraea fragrans Roxb)
Agus Sofyan dan Abdul Hakim Lukman ... 27 5. BUDIDAYA TANAMAN TEMBESU
Abdul Hakim Lukman dan Agus Sofyan ... 41 6. POTENSI DAN PERTUMBUHAN TEMBESU DALAM
PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT
Agus Sumadi dan Hengki Siahaan ... 57 7. HAMA DAN PENYAKIT TEMBESU
Asmaliyah ... 73 8. TEKNIK PENGENDALIAN GULMA PADA TANAMAN
TEMBESU
Etik Erna Wati Hadi dan Fatahul Azwar ... 93 9. SIFAT DASAR DAN PEMANFAATAN KAYU TEMBESU
Sahwalita ... 107
10. UPAYA KOMODITISASI TEMBESU DALAM PERSPEKTIF SOSIAL BUDAYA PETANI DAN PASAR
Edwin Martin dan Bambang Tejo Premono ... 117
Tembesu 117
Kayu Raja Andalan Sumatera Oleh: Edwin Martin dan Bambang Tejo Premono
I. PENDAHULUAN
Komoditas adalah segala sesuatu yang bisa diperdagangkan. Selain memiliki nilai (value), komoditas juga mengandung elemen nilai guna (use value) dan nilai tukar (exchange value). Nilai pada komoditas terbentuk akibat pencurahan sejumlah kerja tertentu. Proses terbentuknya nilai atau penambahan nilai benda dalam ruang pasar inilah yang dikenal sebagai Komoditisasi. Sebagai hasil dari proses, nilai komoditas tidak hanya dilihat dari sifat fisiknya saja, namun juga oleh konstruksi sosial yang dibentuk oleh pasar (Wright, 2006).
Pasar atau konsumen merupakan penentu dalam komoditisasi.
Komoditisasi muncul akibat dorongan seleksi oleh masyarakat yang menginginkan ruang pasar dalam ruang interaksi sosial (Manno, 2010 dalam Caputo, 2012). Komoditisasi tanaman berkayu dalam bidang kehutanan dilakukan melalui sistem silvikultur/budidaya (Caputo, 2012). Hal ini ditegaskan pula oleh Walters et al. (2005), bahwa adopsi teknik silvikultur oleh masyarakat dipengaruhi oleh kelangkaan sumberdaya dan permintaan pasar. Peran pasar (harga jual kayu) inilah yang memegang peran kunci dalam memotivasi masyarakat menanam pohon dalam areal pertanian milik mereka (Godoy, 1992; Shively, 1999), bahkan pada lahan yang tidak aman secara tenurial (Godoy, 1992). Oleh karena itu, secara teoritis, jenis-jenis pohon penghasil kayu akan menjadi komoditas masyarakat apabila memiliki nilai guna (farmer driven) dan diminta oleh pasar (market-led).
Dalam kasus di Sumatera Selatan, jenis-jenis pohon penghasil kayu masih jarang yang menjadi komoditas budidaya masyarakat, kecuali bambang lanang (Michelia champaca) yang dibudidayakan oleh masyarakat di wilayah sekitar dataran tinggi, dan akhir-akhir ini jabon (Anthocephalus cadamba) yang ditanam masyarakat di sekitar Kota Palembang.
Komoditisasi kedua jenis tersebut didukung oleh persepsi bahwa umur UPAYA KOMODITISASI TEMBESU DALAM PERSPEKTIF SOSIAL BUDAYA PETANI DAN PASAR
panen tanaman adalah relatif cepat (< 15 tahun untuk bambang lanang dan
< 10 tahun untuk jabon). Bagaimanakah dengan jenis pohon lain yang memiliki nilai guna dan diminta oleh pasar namun tergolong lambat tumbuh?
Jenis-jenis seperti merawan (Hopea mangerawan), ulin (Eusideroxylon zwageri), dan tembesu (Fagraea fragrans) telah dikenal oleh masyarakat di Sumatera bagian Selatan sebagai penghasil kayu berkelas dan diminati pasar, namun lambat tumbuh (slow growing species). Dapatkah jenis-jenis tersebut menjadi komoditas budidaya masyarakat?. Apakah kasus jati (Tectona grandis) yang diminati untuk dikembangkan oleh petani pemilik lahan sempit di Jawa (Filius, 1997) akan dapat berlaku juga bagi masyarakat luar Jawa?
Khusus untuk tembesu, berbagai program pemerintah telah berupaya menjadikan jenis ini sebagai komoditas budidaya masyarakat, namun hingga kini belum mampu mendorong petani untuk melakukan budidaya secara swadaya. Bukankah tembesu merupakan jenis pohon terkenal di Sumatera Selatan? Mengapa masyarakat belum/tidak menjadikan tembesu sebagai komoditas budidaya sebagaimana terjadi pada jati di Pulau Jawa. Tulisan ini bertujuan untuk menerangkan bagaimana sesungguhnya relasi tembesu dan masyarakat serta menjelaskan prospek tembesu menjadi komoditas budidaya masyarakat.
II. TINJAUAN TEORITIS DAN ANALISIS KOMODITISASI JENIS POHON
A. Kerangka Kerja Teoritis
Malla (2000) melalui penelitiannya terhadap pengelolaan pohon oleh masyarakat di Nepal memberikan rekomendasi bagi program intervensi dan insentif untuk mendorong penanaman pohon oleh masyarakat.
Rekomendasi utama yaitu bahwa program atau proyek harus mempertimbangkan kebutuhan subsistensi rumah tangga petani terhadap kayu dan perkembangan usaha-usaha berbasis hutan. Ini berarti petani dan pasar adalah komponen utama dalam menganalisis sebuah upaya komoditisasi jenis pohon. Komoditisasi atau komersialisasi jenis pohon bagi
Tembesu 119
Kayu Raja Andalan Sumatera petani pemilik lahan sempit disarankan Godoy (1992) melalui pola budidaya campuran (mixed-cropping). Dalam pola agroforestri ini, menurut Mercer (2004) petani akan bersedia berinvestasi apabila pendapatan yang diharapkan (expected gains) dari sistem tanam baru lebih tinggi dari alternatif lain dalam penggunaan lahan, tenaga kerja dan modal mereka.
Tinjauan teoritis ini menjadi acuan dalam analisis upaya komoditisasi tembesu.
B. Kerangka Kerja Analisis
Analisis upaya komoditisasi tembesu dilakukan terhadap fenomena eksistensi tembesu dalam kebun-kebun masyarakat di Kabupaten OKU Timur, Sumatera Selatan dan pemanfaatan kayunya oleh industri ukiran dalam Kota Palembang. Kabupaten OKU Timur, Sumatera Selatan diidentifikasi sebagai salah satu tempat yang paling mudah mendapati tembesu tumbuh di sekitar kebun dan pekarangan masyarakat. Dua kecamatan di OKU Timur, yaitu Semendawai Barat dan Madang Suku I adalah pusat sebaran tembesu. Dua desa di Kecamatan Madang Suku I, yaitu Mengulak dan Jatisari dipilih sebagai tempat kajian. Mengulak merupakan representasi desa asli yang penduduknya didominasi Suku Komering, dan Jatisari dipilih untuk mewakili eks desa transmigrasi yang banyak terdapat di OKU Timur.
Kajian dilaksanakan dengan metode survei yang dilengkapi dengan Focus Group Discussion (FGD). Data status dan potensi pasar kayu tembesu diperoleh dari usaha meubel ukiran Palembang, melalui kajian aspek permintaan bahan baku kayu tembesu pada setiap unit usaha dalam Kota Palembang.
III. SOSIAL BUDAYA PETANI TEMBESU A. Penghidupan Petani
Kecamatan Madang Suku I OKU Timur merupakan kecamatan utama yang memiliki potensi bagi pengembangan budidaya tembesu. Desa Rasuan, Mengulak, Simpang Karto, Kartomulyo, dan Jati Sati teridentifikasi
sebagai desa yang banyak ditumbuhi tembesu, baik tumbuh secara tidak beraturan di lahan-lahan sisa/pinggiran maupun di dalam perkebunan karet rakyat. Desa Rasuan dan Mengulak selama ini dikenal sebagai desa penghasil duku (Lansium domesticum). Sebagian besar masyarakat Rasuan, Mengulak, dan Simpang Karto adalah orang komering. Orang komering di desa-desa ini memiliki kebun campuran duku-durian, karet, dan sawah. Kebun campuran duku-durian merupakan warisan tradisi nenek moyang mereka yang terus dipertahankan keberadaannya dan sekaligus sebagai identitas petani duku (duku komering). Di dalam kebun campuran duku dan durian (Durio zibethinus), tumbuh beragam jenis tanaman seperti tembesu, bungur (Lagerstroemia speciosa), jabon, dan seru (Schima wallichii). Pohon-pohon penghasil kayu pertukangan ini dinilai orang komering sebagai tanaman berharga dan menjadi tabungan masa depan.
Lahan-lahan yang dimiliki masyarakat, baik di Desa Jati Sari (dominan suku Jawa) dan Desa Mengulak (dominan suku Komering) merupakan lahan produktif, sehingga sulit mendapatkan lahan kosong/terlantar di kedua desa tersebut. Kehidupan ekonomi di Desa Jatisari saat ini relatif lebih baik dibandingkan dengan Desa Mengulak. Ini terjadi karena penduduk Desa Jatisari mengandalkan karet sebagai komoditas utama penghasil pendapatan keluarga. Sementara, penduduk Desa Mengulak masih tergantung dengan pola tradisional kebun campuran, namun mulai mengarah menjadi perkebunan karet intensif. Komoditisasi karet di Kabupaten OKU Timur telah terjadi sejak tahun 1990-an, bahkan mendorong terjadinya alih fungsi lahan padi sawah.
B. Relasi Petani dan Tembesu
Tembesu lebih banyak ditemui di dalam kebun-kebun yang dimiliki oleh masyarakat Jatisari dibandingkan dengan Mengulak. Meskipun pendatang, masyarakat Jatisari ternyata memiliki relasi budidaya tembesu lebih kuat dibandingkan dengan masyarakat Mengulak (Tabel 1).
Masyarakat Jatisari memiliki motivasi lebih baik untuk melakukan budidaya tembesu dibandingkan masyarakat Mengulak. Desa Jatisari baru dibuka
Tembesu 121
Kayu Raja Andalan Sumatera menjadi pemukiman masyarakat pada tahun 1984, sementara Mengulak merupakan salah satu desa tua di OKU Timur.
Tabel 1. Hubungan masyarakat Desa Jatisari dan Mengulak dengan tembesu
Uraian relasi Besaran Desa Jatisari (n=30)
Desa Mengulak (n=40)
Kepemilikan tanaman tembesu (batang)
Max. 150 50
Min. 1 1
Rerata 39 15
Pernah menanam (%) 13,33 2,5
Pernah memangkas (%) 90 12,5
Pernah memanen (%) 16,66 15
Pernah menjual (%) 3,3 10
Tembesu sebagai kayu
bangunan rumah (%) 60 80
Sumber: Data primer, 2010
Sebagian besar rumah yang ditempati oleh responden menggunakan kayu tembesu sebagai salah satu bahan bangunannya, terutama di Desa Mengulak. Kekuatan dan keawetan kayu tembesu telah dibuktikan sendiri oleh masyarakat, termasuk di Desa Jatisari. Konsumsi kayu lokal di desa-desa penelitian tergolong rendah, hanya 6 m3 untuk pembangunan rumah baru. Laju pembangunan rumah baru setiap tahunnya tidak lebih dari 5 (lima) buah rumah per desa per tahunnya. Selain kayu tembesu, rumah masyarakat juga terdiri dari bahan kayu bungur, jabon, seru, dan durian.
Sifat awet kayu tembesu mendorong orang untuk menggunakannya dalam pembangunan rumah baru, namun penggunaan subsistensi jangka panjang ini adalah juga penyebab rendahnya konsumsi kayu tembesu pada tingkat lokal. Tembesu yang tumbuh liar di areal perkebunan sengaja tidak dibuang guna mendapatkan kayunya untuk digunakan sendiri oleh masing- masing pemilik kebun. Pasar kayu tingkat lokal lebih banyak dipenuhi oleh kayu-kayu dari jenis bukan tembesu.
Harga jual beli kayu tembesu di tingkat desa berkisar antara Rp. 3 juta sampai dengan Rp. 4 juta per m3, biasanya diperdagangkan dalam bentuk kayu olahan berdimensi 8/12 cm dan 5/10 cm. Meskipun tergolong kayu mahal, tembesu belum menjadi komoditas budidaya atau ditanam secara sengaja, masih merupakan hasil regenerasi alami yang dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat di dalam kebun-kebun mereka. Tabel 2 menyajikan persepsi responden terhadap usaha budidaya tembesu. Masyarakat sebetulnya meyakini bahwa menanam tembesu merupakan usaha yang bernilai guna, namun enggan melakukan penanaman secara khusus (monokultur) karena umur panen dianggap terlalu lama dan tidak dapat diprediksi kapan masa panennya.
Tabel 2. Persepsi mengenai usaha menanam tembesu
Uraian Desa
Jatisari
Desa Mengulak
“Umur panennya lama” 86,66% 20%
“Mudah dilakukan tanpa perawatan” 86,6% 25%
“Tidak jelas kapan panennya” 3,33% 65%
“Tembesu dapat dibudidayakan seperti jati” 93% 100%
“Menanam tembesu merupakan usaha
bermanfaat” 93% 80%
“Tembesu cocok ditanam bersama dengan
tanaman pokok usahatani” 87% 57,5%
Sumber: Data primer, 2010
Masyarakat yang secara tradisional memiliki kebun campuran (contoh kasus Desa Mengulak) memang tidak menganggap umur panen tembesu sebagai masalah, karena bagi mereka pohon penghasil kayu diorientasikan bagi subsistensi. Mereka memanen kayu tembesu apabila terdapat kebutuhan untuk membangun atau memperbaiki rumah sendiri.
Hasil panen kayu tembesu juga tidak dapat banyak, karena karakteristik batang dan cabang dari tembesu alami ini jarang berbentuk lurus panjang.
Tembesu yang tumbuh dalam kebun campuran belum menjadi alternatif pendapatan tunai andalan petani. Komoditisasi tembesu melalui budidaya belum terjadi di tingkat petani. Hal ini merupakan penjelasan mengapa
Tembesu 123
Kayu Raja Andalan Sumatera masyarakat berperilaku mempertahankan tembesu yang tumbuh alami di dalam kebun-kebun mereka, tanpa melakukan langkah-langkah budidaya bagi tembesu.
C. Kelayakan Usaha Budidaya Tembesu
Keuntungan ekonomi usaha budidaya hutan tanaman yang dilakukan secara berkelanjutan dapat dilihat dari Nilai Harapan Lahan (NHL) (Bright, 2001). NHL merupakan cerminan nilai dari tanah atau lahan yang diusahakan dalam rotasi yang tak terbatas. Tabel 3 merupakan hasil analisis NHL dari simulasi berbagai pola tanam karet-tembesu untuk periode usaha 30 tahun, berdasarkan struktur biaya dan pendapatan masyarakat. NHL tertinggi diperoleh pada pola tanam yang berlaku saat ini, khususnya di Desa Jatisari, yaitu agroforestri karet-tembesu dengan jumlah pohon tembesu 40 batang. NHL terendah akan diperoleh dari lahan yang ditanami tembesu secara monokultur, meskipun dengan intensitas tegakan cukup tinggi.
Tabel 3. Nilai Harapan Lahan (NHL) hutan tanaman tembesu di OKU Timur (masa proyek/umur daur 30 tahun)
Pola tanam NHL / ha (Rp.)
A. Faktual
Agoforestri karet-tembesu
(karet, 4m x 6 m; tembesu acak 40 pohon)
263,809,363
B. Faktual
Karet monokultur (4m x 6m)
254,940,367 C. Pilihan I
Agroforestri karet-tembesu
(karet, 4m x 6m; tembesu 6m x 8m)
258,329,154
D. Pilihan II
Tembesu monokultur (4m x 4m)
3,314,839 Sumber: Data primer disimulasi, 2010
Nilai Harapan Lahan usaha budidaya agroforestri karet-tembesu dengan pola tanam teratur ternyata lebih rendah dibandingkan NHL pola tanam tembesu acak. Hal ini dapat terjadi karena pola teratur dengan jumlah
pohon lebih banyak membutuhkan biaya pemapanan lebih tinggi sehingga meningkatkan nilai biaya gabungan (compounded cost) pada masa analisis 30 tahun.
Hasil analisis finansial terhadap usaha budidaya tembesu juga menunjukkan bahwa pola agroforestri karet-tembesu yang diterapkan masyarakat lebih menguntungkan dari pola tanam tembesu secara monokultur (Tabel 4). Hanya tembesu yang ditanam dengan intensitas tinggi dapat memenuhi kriteria kelayakan ekonomi, namun secara teknis hal ini sulit terjadi mengingat lebar tajuk tembesu dewasa yang tumbuh alami umumnya lebih dari 4 (empat) meter.
Tabel 4. Hasil analisis finasial pada berbagai kemungkinan intensitas penanaman per hektar pada pembangunan hutan tanaman tembesu di OKU Timur
Intensitas penanaman Kriteria analisis
NPV BCR IRR
Jarak tanam 5m x 5m (400 pohon) (2,087,868) 0.7742 12%
Jarak tanam 4m x 5m (500 pohon) (958,095) 0.9033 13%
Jarak tanam 4m x 4m (625 pohon) 454,121 1.0423 13%
Acak 40 pohon + karet, 4m x 6m 200,885,415 6.0173 37%
Sumber: Data primer disimulasi, 2010
Usaha budidaya tembesu yang dicampur dengan karet bernilai ekonomi lebih tinggi daripada budidaya tembesu monokultur. Faktor yang dapat menyebabkan hal ini dapat terjadi adalah lamanya masa panen tembesu (30 tahun). Waktu dalam analisis ekonomi merupakan komponen biaya, sehingga satu-satunya cara untuk mengurangi biaya ini adalah dengan mempersingkat masa panen tembesu melalui peningkatan riap secara signifikan.
Bagi kebanyakan petani, menambah pendapatan tunai adalah alasan penting dalam menanam pohon (Filius, 1997). Tambahan pendapatan dari penebangan kayu tembesu memang didapatkan petani pemilik lahan, namun belum cukup mampu memotivasi petani untuk menanam kembali tembesu secara sengaja. Tanah yang dinilai subur lebih
Tembesu 125
Kayu Raja Andalan Sumatera mendorong petani untuk memaksimalkan produktivitas komoditas pokok seperti karet.
D. Tembesu dalam Kebun Karet; Upaya Komoditisasi dari Sisi Petani Tembesu adalah jenis yang tumbuh alami di dataran rendah.
Dataran rendah di Sumatera dan Kalimantan saat ini dipenuhi oleh komoditas kelapa sawit dan karet. Di Sumatera Selatan, sebagian besar karet merupakan usaha masyarakat (rakyat). Lahan karet yang dimiliki masyarakat rata-rata berkisar antara 1-2 hektar. Masyarakat dapat menikmati hasil penjualan getah karet dengan produksi stabil sejak karet berumur 7 atau 8 tahun sampai dengan 32 tahun. Setelah itu, mereka harus menghadapi masa bera produksi, paling tidak selama 5 (lima) tahun. Ini merupakan peluang bagi usaha budidaya tembesu secara agroforestri.
Tembesu dapat diposisikan sebagai asuransi masa regenerasi tersebut.
Ilustrasi biaya masa regenerasi disajikan seperti berikut:
- Biaya regenerasi karet (5 tahun) = Rp. 15.662.600 - Kompensasi pendapatan selama 5 tahun = Rp. 180.000.000
- Total biaya 5 tahun = Rp. 195.662.600
Total biaya masa regenerasi karet Rp. 195.662.600 dapat ditutupi oleh hasil penjualan kayu tembesu sebanyak 65 m3, hasil penebangan 320 pohon dengan asumsi tingkat riap diameter 1 cm/tahun. Apabila mengikuti pola tanam agroforestri karet-tembesu, maka kebutuhan kayu tembesu 65 m3 harus dicukupi dari tembesu yang ditanam di antara karet. Hasil simulasi pada berbagai tingkat riap diameter rata-rata tahunan (MAI) tembesu menunjukkan bahwa makin tinggi MAI maka makin sedikit jumlah pohon tembesu yang harus ditanam/ditebang untuk dapat memenuhi kebutuhan biaya masa regenerasi karet (Gambar 1).
Gambar 1. Jumlah pohon yang setara dengan 65 m3 kayu tembesu pada berbagai tingkat riap diameter rata-rata tahunan
Pada tingkat MAI diameter antara 1,2-1,3 cm/tahun diperlukan kurang lebih 200 pohon tembesu. Hasil simulasi ini dapat menjadi dasar pengaturan jumlah pohon pada agroforestri tembesu karet. Jika merujuk pada kondisi faktual saat ini, dimana jarak tanam karet 4m x 6m adalah salah satu pilihan masyarakat, maka 200 pohon tembesu dapat ditanam di antara jalur tanam karet dengan jarak tanam 6m x 8m (Gambar 2). Namun demikian, pola tanam ini belum memperhitungkan penurunan produksi getah karet.
0 50 100 150 200 250 300 350
1 1,1 1,2 1,3 1,4 1,5 1,6 1,7 1,8 1,9 2
Jumlah pohon
MAI diameter (cm/tahun)
Tembesu 127
Kayu Raja Andalan Sumatera Gambar 2. Desain model agroforestri karet-tembesu B. Pangsa Pasar Berbasis Kayu Tembesu
A. Potensi Pasar Industri Meubel Ukiran Palembang
Meubel ukiran Palembang adalah furniture khas Palembang yang memiliki pangsa pasar tidak hanya bagi masyarakat Sumatera Selatan, tetapi juga konsumen-konsumen lainnya yang mencari keunikan dan kekhasan warna dan motif khas “Bumi Sriwijaya”. Ukiran khas Palembang ini menempati berbagai varian meubel, seperti lemari pajang, lemari sudut, meja kursi, rak televisi, set pelaminan, mimbar khotib di masjid, dan souvenir. Kayu tembesu adalah bahan baku utama meubel ukiran Palembang. Karenanya, kayu tembesu selalu diminta oleh unit-unit kerajinan meubel ukiran Palembang. Rincian permintaan dan potensi pembangunan hutan tanaman tembesu bagi industri meubel ukiran Palembang disajikan seperti berikut:
Jumlah workshop = 30 unit
Kebutuhan kayu/workshop/minggu = 4 m3 Permintaan tembesu/workshop/minggu = 2 m3 Permintaan tembesu total/tahun = 3.120 m3
Permintaan kayu tembesu oleh industri meubel ukiran Palembang selama ini dipenuhi oleh penebangan tembesu yang tumbuh alami di areal sekitar kebun, rumah, dan lahan hutan sekunder yang terdapat di Kabupaten Musi Banyuasin, Banyuasin, Ogan Ilir, dan Ogan Komering Ilir.
Cara pemenuhan kebutuhan bahan baku seperti ini bersifat tidak lestari, karena mengandalkan kemampuan regenerasi alami tembesu non budidaya. Indikasi ini terlihat dari perilaku pengusaha industri meubel ukiran Palembang yang melakukan substitusi kayu tembesu dengan jenis kayu lainnya, seperti medang batu, malabira, gerunggang, dan jati. Mereka beralasan bahwa tidak mudah untuk memenuhi kebutuhan total kayu jika hanya mengandalkan kayu tembesu, selain faktor meningkatkan potensi pendapatan dengan menggunakan kayu yang lebih murah. Kecenderungan substitusi ini makin meningkat seiring makin sulitnya mendapatkan kayu tembesu dan dimungkinkan pula oleh perilaku konsumen yang tidak mengidentikkan ukiran palembang dengan tembesu. Furniture tembesu memang berbeda dengan jati yang mengandalkan nilai dekoratif. Ukiran Palembang menggunakan cat warna emas, sehingga kekhasan corak kayu menjadi tersamar.
Industri meubel ukiran Palembang yang tidak terlalu banyak menyerap kayu tembesu dan efek substitusi kayu merupakan disinsentif komoditisasi tembesu. Padahal, dalam kasus jenis lambat tumbuh lainnya seperti mahoni, penanaman komersial di lahan masyarakat dapat terjadi karena meningkatnya permintaan industri furniture (Emtage dan Suh, 2004).
B. Tembesu Komersil; Upaya Komoditisasi dari Sisi Pasar
Permintaan kayu tembesu faktual (3120 m3/tahun) dapat dipenuhi secara lestari apabila tersedia hutan tanaman tembesu. Jika diasumsikan, MAI diameter tembesu 1 cm/tahun, diameter tebang ekonomis 30 cm, tinggi bebas cabang tembesu 12 m, angka bentuk 0,5, rendemen penebangan menghasilkan balok 0,5, jarak tanam 5m x 5m, maka volume 1 ha hutan tanaman tembesu pada akhir daur adalah 84,82 m3 atau akan dilakukan penebangan seluas 36,78 ha setiap tahunnya. Ini berarti dibutuhkan alokasi lahan minimal seluas 1103 ha guna menjamin pasokan minimal industri meubel ukiran khas Palembang secara lestari.
Di sisi lain, pemilik dan pemegang Hak Guna Usaha lahan-lahan budidaya yang berpotensi menjadi hutan tanaman tembesu di daerah- daerah sekitar Kota Palembang memiliki preferensi penggunaan lahan bagi
Tembesu 129
Kayu Raja Andalan Sumatera usaha perkebunan karet dan kelapa sawit yang mereka anggap lebih bernilai ekonomi. Lahan yang memiliki luasan lebih dari 10 ha umumnya diperuntukan bagi kelapa sawit. Sehingga, perlu untuk melakukan inovasi peningkatan produktivitas hutan tanaman tembesu pada tingkat yang sebanding atau lebih dari produktivitas ekonomi kelapa sawit. Hasil simulasi nilai ekonomi alokasi lahan bagi tembesu atau kelapa sawit pada berbagai tingkat MAI diamater tembesu menunjukkan bahwa nilai ekonomi alokasi lahan bagi hutan tanaman tembesu akan sebanding dengan jika lahan tersebut dialokasikan bagi kelapa sawit pada tingkat MAI diameter lebih dari 2,5 cm/tahun (Tabel 5).
Tabel 5. Hasil simulasi perbandingan nilai output finansial antara hutan tanaman tembesu dan kebun kelapa sawit dengan peubah MAI diameter tembesu
MAI diameter (cm/tahun)
Alokasi lahan untuk hasil lestari
(hektar)
Output finansial/tahun
(Rp.)
Output finansial/tahun jika
lahan dialokasikan bagi kelapa sawit
(Rp.) 1,00 1.103,47 5.304.000.000 13,241,691,264 1,25 882,78 5.304.000.000 10,593,353,011 1,50 735,65 5.304.000.000 8,827,794,176 2,00 551,73 5.304.000.000 6,620,845,632 2,50 441,39 5.304.000.000 5,296,676,505 3,00 367,82 5.304.000.000 4,413,897,088
IV. PENUTUP
Upaya komoditisasi tembesu, sebagai salah satu jenis pohon lambat tumbuh, bukan hanya terkendala oleh faktor umur panen, tetapi juga oleh lebih kuatnya komoditisasi karet atau sawit dalam sistem usahatani petani potensial. Selain itu, perilaku konsumen industri meubel ukiran sebagai potensi pasar yang tidak peka terhadap kualitas produk turut menyumbang pelemahan pasar kayu tembesu. Pemerintah dan para pihak dapat mendorong upaya komoditisasi tembesu ini, melalui usaha penelitian dan pengembangan yang mengambil fokus pada penyediaan tembesu yang
130 Bunga Rampai
Tembesu (Fagraea fragrans)
lebih cepat tumbuh (tree improvement) dan program masal penggunaan meubel dan bangunan berukiran Palembang bagi kantor-kantor pemerintah dan unit usaha swasta. Cara lain adalah dengan meminta industri ukiran memasang label “tembesu” dalam pemasaran produknya.
DAFTAR PUSTAKA
Bright, G. 2001. Forestry Budgets and Accounts. CABI Publishing, New York.
Caputo, J. 2012. Commoditization and the origins of American Silviculture.
Bulletin of Science Technology & Society 32: 86-95.
Emtage, N. dan Suh J. 2004. Socio-economic factors affecting smallholders tree planting and management intentions in Leyte Provinces, Phillippines. Small-scale Forest Economics, Management and Policy, 3 (2): 257-271.
Filius, AM. 1997. Factors changing farmers‟ willingness to grow trees in Gunung Kidul (Java, Indonesia). Netherlands Journal of Agricultural Science 45: 329-345.
Godoy, RA. 1992. Determinants of smallholder commercial tree cultivation.
World Development, Vol. 20 No. 55: 713-725.
Malla, YB. 2000. Farmers‟ tree management strategies in a changing rural economy, and factors influencing decisions on tree growing in Nepal.
Int Tree Crops J 10(3):247–266.
Mercer, DE. 2004. Adoption in agroforestri innovations in the tropics:
a review. Agroforestri Systems 204411: 311-328.
Shively, GE. 1999. Prices and tree planting on hillside farms in Palawan.
World Development, Volume 27, Issue 6: 937-949.
Wright CJ. 2006. Welcome to the jungle of the real: Simulation, commoditization, and survivor. The Journal of American Culture, Volume 29, Number 2: 170-182.