• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komplikasi Intraoperasi pada Operasi Katarak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Komplikasi Intraoperasi pada Operasi Katarak"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

I. Pendahuluan

Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan tertinggi di Indonesia.

Secara global, katarak dan kelainan refraksi yang tidak terkoreksi merupakan penyebab utama gangguan penglihatan dan kebutaan. Hasil survey kebutaan Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) tahun 2014-2015 di 15 provinsi pada penduduk berusia lebih dari 50 tahun menunjukkan prevalensi kebutaan sebesar 3% dengan katarak sebagai penyebab utama. Di Indonesia, percepatan penanggulangan katarak dilakukan dengan meningkatkan skrining dan operasi katarak sebagai strategi utama.1-3

Operasi merupakan tatalaksana definitif dari katarak. Perkembangan teknik operasi katarak berjalan pesat mengikuti peningkatan jumlah operasi katarak.

Teknik operasi fakoemulsifikasi dengan implantasi intraocular lens (IOL) tipe foldable saat ini dianggap sebagai teknik yang paling aman sehingga banyak dilakukan. Teknik ini berkembang sebagai alternatif dari teknik extracapsular cataract extraction (ECCE) dan intracapsular cataract extraction (ICCE).

Dengan meningkatnya perkembangan operasi katarak ini tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya risiko atau komplikasi intraoperasi.2-4

Jumlah komplikasi intraoperasi pada rumah sakit tersier dilaporkan lebih tinggi terjadi pada residen sebagai operator dibandingkan dengan staf sebagai operator.

Beberapa tahapan dari operasi katarak yang dianggap sulit dan sering terjadi komplikasi yaitu tahap fakoemulsifikasi terutama dengan nukleus yang keras, capsulorrhexis, irigasi / aspirasi, dan hidrodiseksi. Dengan mengetahui berbagai komplikasi yang mungkin terjadi saat prosedur operasi diharapkan dapat meminimalisir angka kejadian komplikasi.3-5 Sari kepustakaan ini bertujuan untuk memaparkan komplikasi intraoperasi yang dapat terjadi saat prosedur operasi katarak.

II. Komplikasi pada Kornea dan Konjungtiva 2.1. Komplikasi pada Insisi

Pembuatan insisi dan penutupan insisi yang baik penting dalam mengurangi komplikasi pada operasi katarak. Pembuatan insisi dalam operasi katarak dapat dilakukan melalui kornea seperti pada prosedur fakoemulsifikasi, maupun

(3)

pembuatan scleral tunnel pada prosedur Manual Small Incision Cataract Surgery (MSICS). Pada prosedur fakoemulsifikasi, lebar insisi kornea umumnya 2.2 - 3.2mm. Insisi dapat dilakukan dengan teknik uniplanar, biplanar, atau triplanar.

Pada prosedur MSICS, insisi dibuat pada sklera dengan jarak 1-2 mm dari limbus dengan teknik triplanar.6-8

Pembuatan insisi yang baik akan menghasilkan luka yang stabil dan kedap sehingga meminimalisir risiko kebocoran serta endoftalmitis. Insisi yang terlalu lebar berisiko dalam terjadinya bilik mata depan yang dangkal akibat keluarnya terlalu banyak cairan. Insisi yang terlalu kecil sebaliknya dapat membatasi manuver dan masuknya cairan ke dalam bilik mata depan dan meningkatkan risiko terjadinya wound burn saat manipulasi instrumen.6-8

Semakin dekat insisi pada kornea bagian sentral, semakin besar risiko terjadinya silindris. Insisi pada scleral tunnel yang terlalu pendek cenderung tidak kedap, tidak self-sealing, dan berisiko terjadi premature entry. Saat akhir operasi, operator harus memastikan tunnel kedap dengan tidak adanya kebocoran pada insisi serta tekanan bola mata dalam batas normal. Apabila terdapat kebocoran dapat dilakukan penjahitan pada insisi.6-8

Thermal wound burn akibat panas pada insisi dapat mengakibatkan kontraksi pada jaringan kornea. Jaringan kornea yang mengalami kontraksi akan mengubah bentuk insisi menjadi tidak kedap dan berisiko mengalami kebocoran sehingga memerlukan jahitan untuk menutupnya. Hal ini umumnya disebabkan karena phaco tip tidak cukup dingin saat melakukan manuver operasi. Penggunaan dispersive ophthalmic viscosurgical device (OVD), densitas lensa yang tinggi, dan penggunaan energi ultrasound secara kontinyu dapat menjadi faktor risiko thermal wound burn.6-8

2.2. Descemet Membrane Detachment

Komplikasi Descemet membrane detachment (DMD) dapat terjadi ketika instrumen atau IOL dimasukkan ke dalam bilik mata depan melalui insisi yang sempit dan ketika cairan atau OVD tersuntikkan antara membran Descemet stroma kornea. Selain itu, arah keratome yang tidak sesuai dan pendangkalan bilik mata depan intraoperasi juga dapat menjadi penyebab terjadinya DMD. DMD

(4)

ditandai dengan edema kornea yang terjadi segera setelah operasi tanpa disertai adanya perbaikan.6,7,9

Alat diagnostik berupa Anterior segment coherence tomography (AS-OCT) dapat membantu dalam penegakan diagnosis dan memberikan gambaran yang jelas terlepasnya membrane Descemet dari stroma kornea. Beberapa cara untuk mencegah DMD semakin meluas yaitu dengan menjaga kedalaman bilik mata depan tetap stabil dan memberikan gelembung udara pada bilik mata depan saat akhir operasi. DMD yang lebar memerlukan tindakan berupa descemetopexy menggunakan 20% sulfur hexafluoride, perfluoropropane, atau jahitan.6,8,10

Gambar 2.1. Descemet membrane detachment di area sentral dan perifer, disertai dengan edema stroma kornea

Dikutip dari: Gonzalez dkk.10

Pencegahan DMD dapat dilakukan dengan cara pembuatan insisi dengan konstruksi yang baik, memasukkan instrument dengan arah lebih ke posterior menuju pupil, dan pemberian OVD pada bilik mata depan. Untuk menghindari kerusakan pada iris saat memasukkan instrument, phaco tip dimasukkan melalui insisi dengan bevel mengarah ke bawah kemudian putar bevel ke arah atas setelah melewati membran Descemet.7,8,10

III. Komplikasi pada Segmen Anterior Mata 3.1. Intraoperative Floppy Iris Syndrome

Komplikasi Intraoperative Floppy Iris Syndrome (IFIS) ditandai oleh adanya trias: iris yang lentur dalam kondisi fluidic yang normal, kecendurungan iris untuk prolaps melalui insisi, dan miosis pupil secara progresif meskipun dengan

(5)

midriatik yang adekuat. IFIS dapat meningkatkan risiko komplikasi intraoperasi seperti kerusakan sel endotel kornea, trauma pada iris, robekan kapsul anterior, ruptur kapsul posterior, dan hilangnya jaringan vitreous. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara IFIS dengan penggunaan obat alpha-1 adrenoreceptor antagonist selektif seperti tamsulosin. Faktor risiko lainnya yaitu usia lanjut, jenis kelamin laki - laki, panjang aksial bola mata yang pendek, pseudoexfoliation syndrome, hipertensi, diabetes melitus, penggunaan 5α- reductase inhibitor, dan α-adrenoreceptor antagonist lainnya seperti silodosin, alfusozin dan doxasozin. Obat-obatan lainnya yang berhubungan dengan terjadinya IFIS diantaranya chlorpromazine, benzodiazepine, metformin, losartan, labetalol, dan aspirin.11-13

Gambar 3.1. (A) Kondisi pupil midriasis normal pada operasi katarak.

Tiga karakteristik IFIS: (B) Miosis pupil yang progresif (C) Iris yang lentur (D) Prolaps iris melalui insisi.

Dikutip dari: Yang dkk.11

Tamsulosin merupakan lini pertama terapi untuk mengobati benign prostate hyperplasia (BPH). Insidensi BPH yaitu sekitar 50% pada laki-laki usia lebih dari 50 tahun dan meningkat seiring bertambahnaya usia. Sementara itu insidensi katarak juga semakin tinggi dengan bertambahnya usia. Oleh karena itu, penting bagi operator untuk melakukan evaluasi preoperasi terhadap pasien yang akan dilakukan operasi katarak.11-13

(6)

Evaluasi preoperasi meliputi anamnesis secara komprehensif mengenai riwayat pengobatan pasien, terutama penggunaan tamsulosin dan α-adrenoreceptor antagonis lainnya. Penggunaan atropine atau epinephrine topikal dapat menurunkan risiko terjadinya IFIS. Selain itu dilatasi pupil preoperasi dengan non-steroidal anti inflammatory drugs (NSAID) topikal juga dapat mencegah terjadinya miosis. Phenylephrine intrakameral dapat mendorong dilatasi pupil pada kasus terjadinya miosis pupil secara progresif. Beberapa modifikasi intraoperasi yang dilakukan untuk meminimalisir efek samping dari IFIS diantaranya mengurangi pergerakan keluar masuknya instrument melalui insisi, menggunakan parameter low-flow saat irigasi atau aspirasi, dan penggunaan OVD dengan teknik soft-shell untuk melindungi permukaan endotel serta struktur iris.11-

14

3.2. Lens-Iris Diaphragm Retropulsion Syndrome

Lens-iris diaphragm retropulsion syndrome (LIDRS) merupakan komplikasi intraoperasi yang terjadi akibat tingginya tekanan infusi cairan pada bilik mata depan yang disertai dengan blok pupil ke posterior. LIDRS ditandai dengan pergeseran diafragma lensa-iris ke posterior, iris menjadi cekung, dan dilatasi pupil. Hal ini dapat menyebabkan tekanan pada zonule dan rasa tidak nyaman pada pasien dengan anestesi topikal atau intrakameral. Bilik mata depan yang sangat dalam juga dapat menyulitkan prosedur operasi.6,7,15

LIDRS umumnya lebih sering terjadi pada pasien yang memiliki riwayat operasi vitrektomi. Lim dkk melaporkan insidensi LIDRS sebesar 41.9% pada pada pasien yang sebelumnya memiliki riwayat operasi vitrektomi dan 11.8%

pada pasien yang tidak memiliki riwayat vitrektomi. Selain itu, penelitian oleh Lim dkk juga menunjukkan panjang aksial bola mata yang tinggi serta insisi kornea yang lebih lebar juga menjadi faktor risiko LIDRS. Managemen LIDRS dapat dilakukan dengan pemisahan iris dengan kapsul anterior untuk mencegah blok pupil dan mengembalikan kedalaman bilik mata depan yang normal.6,7,15

3.3. Trauma pada Iris dan Badan Siliar

Trauma pada iris dapat terjadi ketika proses insersi IOL atau instrumen operasi.

Selain itu adanya prolaps iris melalui insisi ketika prosedur operasi dapat

(7)

menyebabkan kerusakan pada stroma dan sfingter yang berisiko terhadap terjadinya bentuk pupil yang ireguler, peripheral anterior synechiae, inkarserasi jaringan uvea, atoni pupil, dan transluminasi pada iris. Trauma pada iris juga dapat menyebabkan perdarahan intraokular akibat ruptur pembuluh darah iris.6,7,9 Adanya trauma pada iris, baik itu kontak dengan instrument, fragmen nukleus, ataupun dengan IOL akan menyebabkan pelepasan prostaglandin intrakameral.

Prostaglandin intrakamera akan meningkatkan kecenderungan pupil untuk miosis dan meningkatkan terjadinya cystoid macular edema (CME) post operasi.

Pemberian NSAID topikal preoperasi, sikloplegik topikal yang adekuat dan pemberian epinephrine atau phenylephrine intrakameral akan membantu pupil untuk dilatasi selama operasi.7,9,13

Trauma atau tarikan iris pada lokasi insersinya dapat mengakibatkan iridodialisis. Iridodialisis dapat terjadi pada saat pengeluaran nukleus dengan instrument Sinskey hook atau irrigating vectis. Apabila iridosialisis tidak signifikan dan ukurannya kecil maka dapat dibiarkan, namun apabila ukurannya besar maka perlu dilakukan penjahitan iris pada sklera. Trauma yang menyebabkan pemisahan antara badan siliar dengan insersinya disebut dengan cyclodialysis. Pada pemeriksaan gonioskopi, dapat terlihat adanya jarak antara sklera dan badan siliar. Perbaikan pada cyclodialysis diindikasikan apabila hal tersebut mengakibatkan hipotoni pada tekanan intraokular.6,7,9

3.4. Bilik Mata Depan Dangkal

Bilik mata depan yang dangkal akan menyulitkan prosedur operasi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat bilik mata depan yang dangkal diantaranya Descemet membrane detachment, kerusakan pada iris, dan kerusakan lapisan endotel kornea. Penggunaan OVD dengan viskositas yang lebih tinggi dapat membantu mempertahankan kedalaman bilik mata depan.6,7,13

Pendangkalan bilik mata depan selama prosedur operasi dapat terjadi akibat kondisi seperti kebocoran cairan akibat ukuran insisi yang terlalu lebar, masuknya cairan yang tidak adekuat, tekanan eksternal pada bola mata, fluid misdirection syndrome, dan perdarahan suprakoroid. Apabila insisi terlalu lebar, operator dapat membuat jahitan yang menutupi sebagian insisi agar bilik mata depan terbentuk.

(8)

Masuknya cairan yang tidak adekuat dapat diatasi dengan menaikkan ketinggian botol infus. Spekulum mata dapat diatur ulang untuk mengurangi tekanan eksternal pada bola mata. Jika penyebab pendangkalan belum diketahui dan terdapat peningkatan intraokular, penting mengevaluasi adanya red reflex untuk menilai apakah terdapat perdarahan suprakoroid.6,7,16

Kondisi fluid misdirection syndrome ditandai dengan bilik mata depan yang dangkal tanpada disertai adanya efusi suprakoroid dan patologi pada diafragma lensa-iris. Cairan yang dialirkan ke bilik mata depan akan mengalir menuju rongga vitreous dan menyebabkan peningkatan volume intravitreous sehingga lensa bergeser ke depan dan bilik mata depan menjadi lebih dangkal. Pemberian mannitol 0.5 -1.0 mg/kgBB secara intravena dapat membantu mengurangi volume vitreous sehingga memfasilitasi terbentuknya kedalaman bilik mata depan yang cukup.6,7,16

3.5. Perluasan Robekan pada Kapsul Anterior

Ukuran bukaan pada kapsul anterior yang cukup diperlukan untuk memudahkan prolaps nukleus menuju bilik mata depan. Capsulorrhexis yang baik dapat mencegah terjadinya tarikan pada capsular tag secara tidak sengaja saat melakukan aspirasi korteks dan mencegah perluasan robekan menuju kapsul posterior. Selain itu, capsulorrhexis yang baik akan memfasilitasi fiksasi sulkus pada kasus ruptur kapsul posterior dan sentrasi IOL yang lebih baik.7,8,17

Perluasan robekan kapsul anterior ke arah perifer dapat disebabkan oleh kurvatura kapsul anterior yang sangat cembung. Kondisi ini berkaitan dengan pasien dengan bilik mata depan yang dangkal serta tekanan intralentikular yang tinggi. Kapsul anterior yang cembung dapat diibaratkan sebagai suatu “lembah”.

Suatu robekan pada kapsul anterior akan lebih mudah untuk meluas menuruni

“lembah” atau ke arah perifer. Pemberian OVD pada bilik mata depan dapat memfasilitasi perubahan bentuk kurvatura kapsul anterior sehingga lebih mudah saat proses capsulorrhexis.7,8,14

Perluasan robekan ke arah perifer umumnya terjadi pada katarak intumesen akibat tingginya tekanan intralentikular. Pada katarak intumesen, robekan kapsul anterior secara tiba-tiba ke perifer akan memberikan gambaran yang disebut

(9)

Argentinian flag sign” karena warna yang kontras antara korteks yang putih dengan kapsul yang terwarnai dengan trypan blue. Hal ini umumnya terjadi di awal prosedur capsulorrhexis karena tekanan intralentikular yang tinggi meneruskan energi pada kapsul anterior sehingga robekan meluas ke perifer.

Gambaran “Argentinan flag sign” ini juga dapat ditemukan pada prosedur kapsulomi menggunakan prosedur femtosecond laser-assisted capsulotomy (FLACS) meskipun ekstensi lebih minimal dibandingkan dengan kapsulotomi manual.8,17,18

Gambar 3.2. Gambaran “Argentinian flag sign” pada katarak intumesen Dikutip dari: Garg dkk.7

Salah satu cara untuk menghindari perluasan robekan kapsul hingga ke posterior yaitu dengan membuat robekan kedua dengan cystotome di dekat robekan pertama, kemudian ditarik ke arah yang berlawanan hingga keduanya bertemu. Cara lainnya yaitu dengan bantuan intrumen seperti gunting intraokular, mikroforsep, dan penggunaan OVD untuk mempertahankan kedalaman bilik mata depan. Umumnya fakoemulsifikasi dengan pengaturan “low-flow” digunakan untuk meminimalisir fluktuasi pada kedalaman bilik mata depan. Apabila menggunakan IOL dengan bahan 1-piece acrylic, haptik tidak ditempatkan pada area yang mengalami robekan kapsul anterior sehingga mencegah terjadinya sindrom uveitis-glaucoma-hyphema (UGH).6,7,17

(10)

3.6. Ruptur Kapsul Posterior

Ruptur kapsul posterior dapat disebabkan oleh beberapa kondisi, diantaranya yaitu perluasan robekan kapsul anterior hingga ke posterior, intraoperative capsular block syndrome, kontak dengan ujung instrumen fakoemulsifikasi atau instrumen untuk aspirasi dan irigasi, kontak dengan intrumen lainnya seperti kanula atau chopper, dan proses insersi IOL yang terlalu cepat. Intraoperative capsular block syndrome merupakan kondisi dimana terjadi tekanan berlebih di dalam kapsul sehingga mendorong robekan pada kapsul posterior ketika prosedur hidrodiseksi. Beberapa kondisi yang berisiko tinggi untuk terjadinya hal tersebut yaitu pada kasus katarak polaris posdterior, defek kapsul yang sudah ada sebelumnya, dan katarak yang tebal dengan ukuran capsulorrhexis yang kecil.

Riwayat injeksi intravitreous dengan antivascular endothelial growth factor (anti- VEGF) juga dilaporkan dapat menjadi faktor risiko terjadinya PCR.6,7,19

Komplikasi yang dapat terjadi akibat ruptur kapsul posterior yaitu nukleus yang terjatuh ke segmen posterior mata (dropped nucleus) dan prolaps vitreous ke bilik mata depan. Pada kasus black cataract dan brunescent cataract, pembuatan capsulorrhexis yang cukup lebar dapat meminimalisir manipulasi nukleus dan menurunkan terjadinya ruptur kapsul posterior hingga 1.96%. Pada kondisi terjadi prolaps vitreous, maka dilakukan vitrektomi pada bilik mata depan sehingga mencegah traksi pada vitreoretinal dan menempelnya vitreous pada IOL, iris, atau insisi.6,7,8

IV. Perdarahan Intraoperasi

Perdarahan suprakoroid merupakan komplikasi operasi intraokular yang jarang terjadi namun berisiko mengancam penglihatan. Perdarahan suprakoroid dapat terjadi pada beberapa prosedur diantaranya vitrektomi pars plana, prosedur filtrasi pada glaukoma, keratoplasti, dan operasi katarak. Pasien yang berisiko untuk mengalami perdarahan suprakoroid diantaranya pasien dengan panjang aksial bola mata yang tinggi, tekanan intraokular yang tinggi, pasien yang mengalami kehilangan jaringan vitreous, pasien dengan tekanan darah tinggi, pasien dengan arteriosklerosis, dan penggunaan obat antikoagulan.7,16,20

(11)

Fluktuasi pada tekanan intraokular, terutama hipotensi okular, dapat menyebabkan perluasan dari efusi koroidal karena ketidakmamapuan untuk mengimbangi tekanan pembuluh darah koroid. Pada pasien dengan kondisi vaskular yang stabil, fluktuasi tekanan intraokular masih dapat dikompensasi.

Pada pasien dengan gangguan sistem vaskular, fluktuasi ini dapat menyebabkan efusi koroid yang semakin luas. Jika hal ini terjadi secara progresif maka akan menyebabkan tarikan dan ruptur pada arteri siliaris atau pembuluh darah koroid yang berakhir menjadi perdarahan suprakoroid. Expulsive hemorrhage merupakan kondisi ketika perdarahan melebihi garis ekuator. Hal ini dapat menyebabkan keluarnya jaringan intraokular melalui insisi yang dibuat.7,16,20

Beberapa kondisi intraoperasi yang menjadi tanda adanya perdarahan suprakoroid diantaranya pendangkalan bilik mata depan secara mendadak, hilangnya red reflex, peningkatan tekanan intraokular, dan rasa nyeri yang timbul secara tiba-tiba. Selain itu kondisi seperti keluarnya jaringan iris yang sulit direposisi, ruptur kapsul posterior disertai hilangnya jaringan vitreous, dislokasi IOL ke bilik mata depan secara spontan juga perlu dicurigai kemungkinan terjadinya perdarahan suprakoroid.7,16,20

Gambar 4.1. (A) Akumulasi cairan serum di lapisan koroid pada efusi koroid.

(B) Pendangkalan bilik mata depan akibat perdarahan suprakoroid tanpa disertai keterlibatan polus posterior. (C) Expulsive hemorrhage yang mengakibatkan keluarnya jaringan intaokular melalui insisi Dikutip dari: Marquez dkk.16

Perdarahan suprakoid dapat terjadi secara akut intraoperasi atau beberapa hari setelah operasi. Apabila beberapa hari setelah operasi terdapat keluhan seperti rasa nyeri yang parah disertai penurunan tajam penglihatan, pasien dapat dilakukan

(12)

pemeriksaan funduskopi dan B-scan ultrasonography untuk mengonfirmasi diagnosis. Pada perdarahan suprakoroid terlihatan adanya elevasi koroid yang berbentuk kubah disertai perdarahan. Teknik operasi katarak yang semakin berkembang beberapa dekade terakhir, terutama dengan teknik mikro insisi berisiko mengurangi insidensi perdarahan suprakoroid. Prosedur fakoemulsifikasi menggunakan dengan insisi minimal dapat mengurangi risiko terjadinya hipotoni okular.6,16,20

Perdarahan intraoperasi lainnya yang mungkin terjadi selain di suprakoroid yaitu perdarahan retrobulbar. Umumnya hal ini terjadi pada pasien dengan injeksi anestesi retrobulbar. Perdarahan retrobulbar ditandai dengan pembengkakan orbita, proptosis, peningkatan tekanan bola mata, gerak bola mata yang menurun, dan ekimosis pada palpebra yang massif. Penggunaan obat antikoagulan meningkatkan risiko terjadinya perdarahan retrobulbar yang serius. Apabila hal ini terjadi, perdarahan diminimalisir dengan penekanan pada orbita. Operasi sebaiknya ditunda hingga tekanan bola mata dan gerak bola mata kembali normal, kemudian menggunakan teknik anestesi yang berbeda saat akan dilakukan operasi kembali.6,7,8

V. Simpulan

Selama prosedur operasi katarak dapat terjadi beberapa komplikasi.

Komplikasi yang mungkin terjadi pada kornea dan konjungtiva yaitu komplikasi yang berkaitan dengan rekonstruksi insisi, thermal wound burn, dan Descemet membrane detachment. Komplikasi yang mungkin terjadi pada segmen anterior mata yaitu intraoperative floppy iris syndrome (IFIS), lens – iris diaphragm retropulsion syndrome (LIDRS), trauma pada iris dan badan siliar, pendangkalan bilik mata depan, perluasan robekan kapsul anterior, dan ruptur kapsul posterior.

Selain itu, perdarahan suprakoroid dan retrobulbar juga dapat terjadi saat prosedur operasi katarak. Pemahaman mengenai komplikasi intraoperasi pada operasi katarak diperlukan dalam membantu meningkatkan hasil operasi katarak yang lebih baik.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO fact sheet blindness and vision impairment. 2023. Tersedia dari: https://

www.who.int/en/news-room/fact-sheets/detail/blindnessand-visual- impairment

2. Kementrian Ksehatan Republik Indonesia. Peta jalan penanggulangan gangguan penglihatan di indonesia tahun 2017 – 2030. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2018. hlm. 1-12

3. Daware RP, Balwir D, Kokas S. Intraoperative complications during phacoemulsification in cataract surgery at a tertiary care hospital. MVP J Med Sci. 2022;8:209–18.

4. Jaiswal N, Bhardwaj R, Tomar VPS, Sharma S, Kapoor N, Kohli A, et al.

Profile of intraoperative complications in cataract surgery SEHEDS: Sitapur eye hospital eye disease study. Int Surg J. 2020;8(1):318.

5. Magyar M, Sandor GL, Ujvary L, Nagy ZZ, Toth G. Intraoperative complication rates in cataract surgery performed by resident trainees and staff surgeons in a tertiary eyecare center in Hungary. Int J Ophthalmol.

2022;15(4):586–90.

6. Tsai LM, Afshari NA, Brasington CR, Cole C, Currie BD, Edgington BD, dkk. Intraoperative challenge in cataract surgery. Dalam: Lens and cataract.

San Fransisco: American Academy Ophthalmology; 2022. hlm. 157 -75.

7. Garg S, Koch DD, Abulafia A, Chang DF, Farid M, Fram NR, dkk.

Intraoperative complication. Dalam: Steinert's Cataract Surgery, Fourth Edition. Philadelphia: Elsevier; 2023. hlm. 423-436

8. Goel R, Shah S, Malik KP, Sontakke R, Golhait P, Gaonker T. Complications of manual small-incision cataract surgery. Indian J Ophthalmol.

2022;70:3803-11

9. Sharma U, Sharma B, Kumar K, Kumar S. Evaluation of complications and visual outcome in various nucleus delivery techniques of manual small incision cataract surgery. Indian J Ophthalmol. 2019;67:1073-8 10. Gonzalez AL, Silva F, Barrientos R, Paredes F. Descemet's membrane

detachment: an intraoperative complication in cataract surgery with phacoemulsification. Int Med Case Rep J. 2020:13 673–677

11. Yang X, Liu Z, Fan Z, Grzybowski A, Wang N. A narrative review of intraoperative floppy iris syndrome: an update 2020. Ann Transl Med.

2020;8(22):1546

12. Maluskova M, Vidlar A, Maresova K, Lounova V, Karhanova M. Floppy iris syndrome associated with spesific medication intake: A narrative review.

Biomed Pap Med Fac Univ Palacky Olomouc Czech Repub. 2023; 167(1):9- 15

13. Kaur S, Kumari K, Gupta PC, Sukhija J. Pharmacological management of intra-operative miosis during cataract surgery. Indian J Ophthalmol 2023;71:2656-61

12

(14)

14. Borkenstein AF, Borkenstein EM, Malyugin B. Ophthalmic viscosurgical devices (OVDs) in challenging cases: a review. Ophthalmol Ther 2021;10:831–43

15. Lim DH, Shin DH, Han G, Chung ES, Chung TY. The incidence and risk factors of lens-iris diaphragm retropulsion syndrome during phacoemulsification. Korean J Ophthalmol. 2017;31(4):313-19

16. Marquez AF, Urbinati F, Lossada CR, Gutierrez JA, Munteanu M, Ferrara M, dkk. Management of suprachoroidal hemorrhage during phacoemulsification:

a comprehensive review. Medicina. 2023; 59:583

17. Sharma B, Abell RG, Arora T, Antony T, Vajpayee RB.

Techniques of anterior capsulotomy in cataract surgery. Indian J Ophthalmol 2019;67:450-60

18. Adams ML, Diakonis VF, Weinstock RJ. Argentinian flag sign and its management during femtosecond laser-assissted cataract surgery in case with intumescent cataract. Case Rep Ophthalmol. 2021;12:129-33

19. Nagar AM, Luis J, Kaith N, Panos GD, Mckechnie CJ, Patra S. Risk of posterior capsular rupture duringphacoemulsification cataract surgeryin eyes with previous intravitreal antivascular endothelial growth factor injenctions. J Cataract Refract Surge. 2020;46(2):204-08

20. Fan J, Hudson JL, Pakravan P, Lazzarini TA, Lin BR, Fan KC, dkk.

Outcomes in patients with suprachoroidal hemorhage after anterior segment surgery. Clin Ophthalmol. 2022;16:4199–205

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan, kelompok sudut bilik mata depan tertutup menunjukkan hasil penurunan tekanan intraokular pascabedah katarak fakoemulsiikasi lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok

Pembentukan akuos humor pada taju siliar dari badan siliar, lalu mengalir ke bilik mata belakang, melalui pupil ke bilik mata depan, kemudian ke sudut bilik mata depan masuk ke

Pembentukan akuos humor pada taju siliar dari badan siliar, lalu mengalir ke bilik mata belakang, melalui pupil ke bilik mata depan, kemudian ke sudut bilik mata depan masuk ke

intraokular, pemeriksaan panjang bola mata dan kedalaman sudut bilik mata depan. Bapak/ibu dari anak yang ikut Penelitian berhak untuk menolak dan tidak ikut.. serta dalam

Kebanyakan klinisi akan memberikan obat tetes mata steroid kuat seperti prednisolon asetat 1% otau deksamethasone 0.1% setiap 1-2 jam pada kasus edema kornea post operasi,

Selama periode 1 Januari – 15 Juni 2017, hasil tajam penglihatan implantasi lensa intraokular sekunder pada kasus afakia dengan lensa bilik mata depan, fiksasi

Tantangan anestesi yang perlu menjadi pertimbangan adalah mempertahankan oksigenasi, meneegah hipoksemia, hipotermi, menjaga tekanan darah sistemik dengan

Kelompok bedah Kelompok non-bedah 2D 2D 3M 3M 6M 6M 12M 12M Gambar 4Gambar tomografi koherensi optik sumber sapuan dari mata yang representatif antara mata yang menjalani operasi