MODUL PERKULIAHAN
Arsitektur Nusantara
Konsep Arsitektur Vernakular Bali
Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh
Teknik Arsitektur
15
W121700027 Dea Putri Ghassani, S.T., M.T.Abstract Kompetensi
Mahasiswa mampu menganalisis dampak arsitektur vernakular terhadap pembangunan berkelanjutan.
Mahasiswa mampu
menganalisis kaitan konsep kehidupan dan
budaya dengan hasil karya arsitektur vernakular
Pendahuluan
Perkembangan arsitektur tradisional Bali mengalami sejarah yang panjang dari jaman prasejarah, jaman Bali kuno (jaman sebelum dan sesudah datangnya Mpu Kuturan), jaman pengaruh Majapahit, sampai sekarang. Arsitektur tradisional Bali di bedakan menjadi dua berdasarkan lokasi yaitu arsitektur tradisional Bali daerah pegunungan atau dataran tinggi dan arsitektur tradisional Bali di dataran rendah, baik dari pola permukiman maupun pola perumahan. Pola permukiman tradisional di dearah pegunungan atau dataran tinggi berpola linier dengan konsep luan-teben, sedangkan pola peruhaman yaitu tampul roras.
Pola permukiman tradisional di daerah dataran rendah yaitu pola perempatan agung dengan pola perumahan yaitu pola natah. Pada arsitektur tradisional Bali juga dikenal adanya konsep Kahyangan tiga (tiga pura utama yang berada pada tiap Desa) yaitu Pura Desa (Bale Agung), Pura Puseh dan Pura Dalem sebagai perwujudan konsep tiga dewa Hindu yitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Pada masing-masing pura di Bali, termasuk pura Kahyangan Tiga mempunyai struktur pembagian ruang secara horisontal yang secara umum di bagi menjadi tiga zona (mandala) yang disebut dengan tri mandala yaitu jeroan yang bernilai utama (daerah yang suci), jaba tengah yang bernilai madya (daerah di antara daerah utama dan nista) dan jaba sisi yang bernilai nista (daerah yangbernilai rendah).
Tiga (tiga pura utama yang berada pada tiap Desa) yaitu Pura Desa (Bale Agung), Pura Puseh dan Pura Dalem sebagai perwujudan konsep tiga dewa Hindu yitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Pada masing-masing pura di Bali, termasuk pura Kahyangan Tiga
tiga zona (mandala) yang disebut dengan tri mandala yaitu jeroan yang bernilai utama (daerah yang suci), jaba tengah yang bernilai madya (daerah di antara daerah utama dan nista) dan jaba sisi yang bernilai nista (daerah yang bernilai rendah).
Masyarakat Bali sangat percaya bahwa dirinya hidup di dunia membawa misi hidup untuk membuat kebaikan di bumi, dan bila kebaikannya diterima oleh Sang Hyang Widi maka dirinya dapat menyatu dengan alam semesta dan meninggalkan dunia yang fana untuk moksa menuju nirwana, kemudian bersatu dengan dewanya untuk selamanya. Itulah yang disebut sebagai dharma. Namun, bila masyarakat Bali membuat suatu kesalahan, ketika mati dia akan melakukan reinkarnasi untuk membersihkan dosanya kembali sampai kemudian diterima oleh Tuhannya. Inilah konsep kosmologi Bali yang juga dianut dalam arsitektur Bali. Hal inilah yang mendasarkan arsitektur Bali pada harmoni dan keselarasan kehidupan.
Konsep Arsitektur Bali
Arsitektur tradisional Bali tidak terlepas dari keberadaan manuskrip Hindu bernama
“Lontar Asta Kosala Kosali” yang memuat tentang aturan-aturan pembuatan rumah atau puri dan aturan tempat pembuatan ibadah atau pura. Dalam Asta Kosala Kosali disebutkan bahwa aturan-aturan pembuatan sebuah rumah harus mengikuti aturan-aturan anatomi tubuh pemilik rumah dengan dibantu sang undagi sebagai pedande atau orang suci yang mempunyai wewenang membantu pembangunan rumah atau pura.
Pemahaman Dasar Agama Hindu
Arsitektur Bali perwujudannya dilandasi dan dilatarbelakangi oleh ajaran agama Hindu yang meresap ke dalam tatanan kehidupan masyarakat, menyangkut segala aspek kehidupan seperti filosofi, etika dan ritual. Ke-tiga kerangka dasar agama Hindu adalah : tatwa (falsafah), tata susila (etika) dan ritual (upacara). Pengaruh agama Hindu menghasilkan corak budaya, integrasi sosial dan sistem pengendalian masyarakat yang unik. Moksartam Jagadhita adalah tujuan akhir kehidupan masyarakat Bali. Untuk maksud- maksud tersebutlah segala aktivitas dilakukan. Segala usaha merupakan tahap-tahap untuk mendekatkan diri dengan tujuan hidup, misalnya: beryadnya, sembahyang, termasuk juga usaha dalam bidang sosial ekonomi. Kehidupan bermasyarakat tidaklah dapat dilepaskan pengaruhnya dari tujuan tersebut, sehingga timbul bentuk kehidupan rumah tangga (kuren), banjar dan desa seperti sekarang ini.
Salah satu wujud pengaruh kepercayaan agama Hindu yang begitu meresap dalam kehidupan masyarakat Bali dapat dilihat pada konsepsi dan aktivitas upacara keagamaan
yang dilakukan oleh kelompok kerabat ataupun komunitas (banjar). Seluruh jenis upacara keagamaan di Bali dapat digolongkan ke dalam lima macam yang disebut Panca Yadnya, yaitu :
1. Manusa Yadnya
Suatu rangkaian upacara untuk memperingati daur hidup mulai dari masa anak- anak sampai dewasa.
2. Pitra Yadnya
Upacara yang ditujukan bagi roh-roh leluhur, meliputi upacara kematian sampai upacara penyucian roh leluhur.
3. Dewa Yadnya
Meruapakan upacara pada pura besar maupun pura keluarga.
4. Rsi Yadnya
Merupakan upacara yang berhubungan dengan pentahbisan. Pedanda sebagai pemimpin keagamaan.
5. Butha Yadnya
Merupakan upacara yang ditujukan bagi bhuta atau kala, yaitu roh-roh disekitar manusia yang dapat menganggu dan menghalangi dalam proses kehidupan manusia.
Secara ringkas paham dasar agama Hindu yang begitu meresap dalam kehidupan masyarakat Bali dapat digambarkan dalam bentuk diagram yang menjelaskan tentang tujuan kehidupan untuk mencapai Moksha yang diwujudkan dalam beberapa bentuk kegiatan upacara (yadnya) dan fase-fase kehidupan mulai dari fase Brahmacari (saat mencari dan mengembangkan kebenaran / dharma), fase Gryhasta (saat berumah tangga dan membina keluarga yang dilandasi ajaran kebenaran, fase Wanaprasta (saat untuk merefleksikan / meditasi terkait dengan segala amal perbuatan yang telah dilakukan) dan fase Bhiksuka (saat manusia kembali kepada Sang Hyang Widhi).
Gambar 1 Paham Dasar Agaman Hindu A. Rwa Bhineda
Konsep perpaduan antara dua kekuatan di sekitar manusia. Hal ini yang mendasari terjadinya pembagian menjadi dua, seperti: baik & buruk, laki-laki & perempuan, siang & malam, dan sebagainya. Menciptakan keselarasan dengan cara menyatukan antara unsur purusha (akasa) dan pradhana (pertiwi) dapat mewujudkan bibit kehidupan. Dalam kaitannya dengan wujud arsitektur adalah tercapainya suatu wujud bawa (benda) maurip (hidup).
B. Tri Hita Karana
Tri Hita Karana memiliki makna tiga unsur sebagai penyebab kebaikan yang terdiri dari atma (roh/jiwa), prana (tenaga) dan angga (jasad/fisik). Konsepsi Tri Hita Karana melandasi terwujudnya susunan kosmos yang besar (bhuana agung) sampai yang paling kecil (bhuana alit). Dalam alam semesta jiwa adalah Paramaatma (Tuhan Yang Maha Esa), tenaga adalah kekuatan alam dan jasad adalah Panca Maha bhuta. Dalam lingkup permukiman desa, jiwa adalah parahyangan (pura desa), tenaga adalah pawongan (warga desa) dan jasad adalah palemahan (wilayah teritorial desa). Pada rumah tinggal, jiwa adalah sanggah/pamerajan (area suci/pura keluarga), tenaga adalah penghuni (anggota keluarga) dan jasad adalah pekarangan, sedangkan dalam konteks manusia, jiwa adalah atman, tenaga adalah sabda bayu idep dan jasad adalah stula sarira (tubuh manusia).
Tabel 1 Konsep Tri Hita Karana dalam susunan kosmos
UNSUR ATMA (JIWA) PRANA (TENAGA) ANGGA (FISIK) Alam Semesta
(Bhuwana Agung)
Paramaatman (Tuhan Yang Maha Esa)
Kekuatan yang menggerakan alam
Unsur-unsur Panca Mahabhuta
Desa Kahyangan Tiga
(Pura Desa, Puseh dan Dalem
Pawongan (warga desa)
Palemahan (wilayah desa) Banjar Parahyangan (Pura
Banjar)
Pawongan (warga banjar)
Palemahan (wilayah banjar)
Rumah Pamerajan/sangga
h
Anggota keluarga Pekarangan Rumah Manusia
(Bhuwana Alit)
Atman (jiwa
manusia)
Sabda Bayu Idep Badan/tubuh manusia.
C. Tri Angga dan Tri loka
Tri Hita Karana memiliki makna tiga unsur sebagai penyebab kebaikan yang terdiri dari atma (roh/jiwa), prana (tenaga) dan angga (jasad/fisik). Konsepsi Tri Hita Karana melandasi terwujudnya susunan kosmos yang besar (bhuana agung) sampai yang paling kecil (bhuana alit). Dalam alam semesta jiwa adalah Paramaatma (Tuhan Yang Maha Esa), tenaga adalah kekuatan alam dan jasad adalah Panca Maha bhuta. Dalam lingkup permukiman desa, jiwa adalah parahyangan (pura desa), tenaga adalah pawongan (warga desa) dan jasad adalah palemahan (wilayah teritorial desa). Pada rumah tinggal, jiwa adalah sanggah/pamerajan (area suci/pura keluarga), tenaga adalah penghuni (anggota keluarga) dan jasad adalah pekarangan, sedangkan dalam konteks manusia, jiwa adalah atman, tenaga adalah sabda bayu idep dan jasad adalah stula sarira (tubuh manusia).
Tabel 2 Konsep Tri Angga/Tri loka dalam susuna kosmos
UNSUR UTAMA ANGGA MADYA ANGGA NISTA ANGGA
Alam Semesta (Bhuwana
Agung)
Swah loka Bhuah loka Bhur loka
Wilayah Gunung Dataran Laut
Desa
(Perumahan)
Kahyangan tiga Permukiman Setra/kuburan Rumah tinggal Sanggah/pamerajan Tegak umah Tebe
Bangunan Atap Tiang/dinding Lantai/bebatuan
Manusia Kepala Badan Kaki
(Bhuwana Alit)
Masa/waktu Masa yang akan dating (wartamana)
Masa sekarang (nagata)
Masa lalu (Atita)
Gambar 2 Tri Angga pada Ruang Makro dan Mikro D. Nawa Sanga/Sanga Mandala
Nawa Sanga / Sanga Mandala menjadi pertimbangan dalam penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan pada arsitektur Bali. Konsep Nawa Sanga adalah merupakan penggabungan dari konsep orientasi sumbu bumi dan sumbu ritual / sumbu matahari. Orientasi berdasarkan sumbu bumi membagi tiga zona yang terdiri dari : daerah tinggi / gunung (utama) disebut dengan Kaja, daratan (madya) dan laut (nista) disebut dengan Kelod. Sedangkan orientasi sumbu ritual/matahari membagi menjadi tiga zona yang terdiri dari : arah terbitnya matahari di timur (utama) disebut dengan Kangin, transisi arah timur – barat (madya) dan arah terbenamnya matahari di Barat (nista) disebut dengan Kauh.
Penggabungan konsep sumbu bumi (kaja-kelod) dengan konsep sumbu rituak/matahari (kangin-kauh) inilah menghasilkan konsep Sanga Mandala. Konsep tata ruang Sanga Mandala juga merupakan konsep yang lahir dari Sembilan manifestasi Tuhan, yaitu Dewata Nawa Sanga yang menyebar pada delapan arah angina dengan satu pada bagian tengah yang menjaga keseimbangan alam semesta.
Gambar 3 Konsepsi Nawa Sanga/Sanga Mandala
Konsep Sanga Mandala menjadi pertimbangan dalam tata letak bangunan dan alokasi kegiatannya, seperti kegiatan utama yang memerlukan ketenangan diletakkan pada daerah Utama ning Utama, kegiatan yang dianggap kotor diletakkan di daerah Nista ning Nista, sedangkan kegiatan diantara ke-duanya diletakkan di tengah atau dikenal dengan daerah Madya ning Madya.
Filosofi Rumah Bali
Filosofi dari desain arsitektur Bali berpusat pada agama Hindu, organisasi ruang, dan hubungan social yang bersifat komunal. Sebuah rumah atau villa di Bali dibangun dan di rancang dengan 7 filosofi berikut:
1. Tri Hata Karana
Menciptakan harmoni dan keeimbangan antara 3 unsur kehidupan, yaitu atma (manusia), angga (alam), dan zonasi berdasarkan arah.
2. Tri Mandala
Aturan Pembagian zonasi 3. Sanga Mandala
Seperangkat aturan pembagian ruang dan zonasi berdasarkan arah.
4. Tri Angga
Konsep atau hierarki antara alam yang berbeda.
5. Tri Loka
Mirip dengan Tri Angga tetapi alam yang berbeda.
6. Asta Kosala.kosali
8 pedoman desain arsitektur tentang symbol, kuil, tahapan dan satuan pengukuran.
7. Arga segara
Axis suci antara gunung dan laut.
Denah Rumah Bali
Rumah bali dibangun diatas tanah yang luas bersifat seperti rumah komplek, tapi sebenarnya itu adalah rumah keluarga, setiap bangunan dipisah-pisah sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Keterangan:
a. Bale Meten: Bale Meten terletak di bagian Utara (dajannatahumah) atau di sebelah barat tempat suci/Sanggah. Bale Meten ini juga sering disebut dengan Bale Daja, karena tempatnya di zona utara (kaja). Fasilitas desain interiornya adalah 2 buah bale yang terletak di kiri dan kanan ruang. Bentuk bangunan Bale Meten adalah
persegi panjang, dapat menggunakan saka/tiang yang terbuat dari kayu yang berjumlah 8 (sakutus), dan 12 (saka roras). Fungsi Bale Meten adalah untuk tempat tidur orang tua atau Kepala Keluarga di bale sebelah kiri. Sedangkan di bale sebelah kanan difungsikan untuk ruang suci, tempat sembahyang dan tempat menyimpan alat-alat upacara.
b. Tempat Suci: Tempat untuk sembahyang c. Bale Dangin
Bale Dangin terletak di bagian Timur atau danginnatahumah, sering pula disebut dengan Bale Gede apabila bertiang 12. Fungsi Bale Dangin ini adalah untuk tempat upacara dan bias difungsikan sebagai tempat tidur. Fasilitas pada bangunan Bale Dangin ini menggunakan 1 bale-bale dan kalua Bale Gede menggunakan 2 buah bale-bale yang terletak di bagian kiri dan kanan. Bentuk Bangunan Bale Dangin adalah segi empat ataupun persegi panjang, dan dapat menggunakan saka/tiang yang terbuat dari kayu yang dapat berjumlah 6 (sakenem), 8 (sakutus/astasari), 9 (sangasari) dan 12 (saka roras/Bale Gede). BangunanBale Dangin adalah rumah tinggal yang memakai
Bebaturan dengan lantai yang cukup tinggi dari tanah halaman namun lebih rendah dari Bale Meten.
d. Lumbung Padi/Jineng
Tempat untuk menyimpan persediaan padi e. Ternak
Tempat untuk hewan ternak f. Paon/dapur
Tempat untuk memasak g. Bale Dauh
Bale Dauh ini terletak di bagian Barat (Dauhnatahumah), dan sering pula disebut dengan Bale Loji, sertaTiang Sanga. Fungsi Bale Dauh ini adalah untuk tempat menerima tamu dan juga digunakan sebagai tempat tidur anak remaja atau anak muda. Fasilitas pada bangunan Bale Dauh ini adalah 1 buah bale-bale yang terletak di bagian dalam. Bentuk Bangunan Bale Dauh adalah persegi panjang, dan menggunakan saka atau tiang yang terbuat dari kayu. Bila tiangnya berjumlah 6 disebut sakenem, bila berjumlah 8 disebut sakutus/astasari, dan bila tiangnya bejumlah 9 disebut sangasari. Bangunan Bale Dauh adalah rumah tinggal yang memakai bebaturan dengan lantai yang lebih rendah dari Bale Dangin serta Bale Meten.
Sistem konstruksi pada arsitektur rumah tradisional Bali mempertimbangkan konsep penting yang dinamakan tri angga, yaitu sebuah konsep hirarki dari mulai nista, madya dan utama.
Bentuk segi empat dan segi empat panjang adalah bentuk yang paling banyak digunakan sebagai bangunan induk rumah tinggalnya. Sebahagian besar bentuk atap bangunannya menggunakan bentuk limasan dan beberapa menggunakan bentuk atap pelana seperti untuk bangunan paon/dapur.
Struktur badan bangunan tradisional Bali sebagian besar menggunakan tiang (sesaka) yang terbuat dari kayu. Kerangka tiang menggunakan kayu dengan konstruksi rangka dan sunduk serta pasak (lait).
Daftar Pustaka
Mentayani, Ira, & Ikaputra. 2012. Menggali Makna Arsitektur Vernakular: Ranah, unsur dan aspek-aspek vernakularitas. Lanting Journal of Architecture, 1(2), 68-82.
https://www.theayoma.com/news/2017/12/18/mengenal-ciri-khas-arsitektur-rumah- tradisional-indonesia
https://ilmuseni.com/seni-budaya/macam-macam-kebudayaan-di-indonesia
https://indah611.wordpress.com/2016/04/13/kondisi-geografis-dan-penduduk-indonesia/
https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Indonesia