• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arsitektur Tradisional Bali & Lombok - Paper 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Arsitektur Tradisional Bali & Lombok - Paper 1"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

Judul ………....

i

Kata Pengantar………...

ii

Daftar Isi………

..

iii

Bab I Pendahuluan...

1

1.1

Latar belakang...

1

1.2

Rumusan Masalah...

2

1.3

Tujuan Penulisan...

2

1.4

Metode Penulisan...

2

Bab II Pembahasan...

3

2.1

Filosofi Arsitektur Tradisional Bali...

3

2.1.1 Filosofi Manik Ring Cecupu...

3

2.1.2 Filosofi Tri Hita Karana...

4

2.1.3 Filosofi Bahan Bangunan...

5

2.2 Bentuk bangunan Rumah Tradisional Bali...

6

2.2.1 Geria...

6

2.2.2 Puri...

6

2.2.3 Jero...

8

2.2.4 Umah...

8

2.2.5 Ragam Hias...

19

2.3 Sejarah Lombok...

26

2.4 Bentuk bangunan Rumah tradisional Lombok...

26

Bab III Penutup...

32

3.1 Kesimpulan...

33

Daftar Pustaka

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI & LOMBOK

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Arsitektur Nusantara adalah ilmu yang mempelajari tentang arsitektur bangunan tradisional dari seluruh Indonesia. Namun pada paper ini mengkhususkan pembahasannya pada Bangunan Tradisional Bali Dan Bangunan Tradisional Lombok. Bangunan Tradisional Bali dapat dipandang sebagai Arsitektur yang dilimpahturunkan dari generasi ke generasi, serta tetap dipakai dan diterima masyarakatnya karena masih dianggap baik dan benar.Arsitektur Tradisional Bali telah mengakar dalam masyarakat , dijiwai oleh Agama Hindu , merupakan salah satu puncak kebudayaan Bali yang dapat memberikan identitas dan citra Bali yang cukup kuat.Arsitektur Bali adalah arsitektur yang eksis dan berkembang di Bali terdiri atas arsitektur kuno/ warisan, arsitektur tradisional dan arsitektur yang berkembang di Bali yang tetap memiliki identitas dan gaya Arsitektur Tradisional Bali.

Selain itu hal yang sama terjadi di daerah Lombok, arsitektur Lombok merupakan salah satu warisan budaya yang harus tetap dipertahankan karena merupakan kekeyaan dari Budaya Lombok itu sendiri.

Oleh kerena itu, perlu adanya suatu pembinaan terhadap bentuk-bentuk pengembangan Arsitektur Nusantara dalam hubungannya dengan peningkatan apresiasi budaya, nilai-nilai tradisional dan keserasian lingkungan buatan. Dengan demikian untuk mengimbangi pengaruh-pengaruh dari luar yang dapat merombak serta menghancurkan nilai-nilai budaya tradisional diperlukan suatu penerapan terhadap nilai-nilai hakiki yang terkandung dalam bentuk-bentuk perwujudan Arsitektur Tradisiona di Bali dan Lombok.

(3)

1.2 Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang dijelaskan diatas, maka adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada pembahasan ini antara lain :

1. Apa saja filosofi Arsitektur Tradisional Bali? 2. Bagaimana bentuk dari Bangunan Tradisional Bali? 3. Bagaimana bentuk rumah Tradisional Lombok?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan paper ini antara lain adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui apa saja yang mendasari atau menjadi filososfi dari

Arsitektur Tradisional Bali

2. Untuk mengetahui bentuk dari Bangunan Tradisional Bali

3. Untuk mengetahui bentuk dan pembagian ruang dalam Rumah Tradisional Lombok.

1.4 Metode Penulisan

Adapun metode penulisan yang digunakan dalam penulisan paper ini adalah dengan dua metode antara lain :

1. Metode Observasi

Dalam metode ini kami langsung melakukkan penelitian ke lapangan untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan dalam penyusunan paper ini

2. Metode Kepustakaan

Dalam metode ini kami menggunakan tinjauan kepustakaan untuk menyusun paper ini. Dengan menelaah beberapa pengertian–pengertian untuk menjelaskan isi pokok permasalahan pada bab selanjutnya serta jelajah internet.

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI & LOMBOK

(4)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Filosofi Arsitektur Tradisional Bali

Dalam Arsitektur Tradisional Bali ada beberapa filosofi yang dapat dipakai sebagai acuan antara lain :

 Filosofi Manik Ring Cecupu  Filosofi Tri Hita Karana

 Filosofi Bahan Bahan Bangunan

2.1.1 Filosofi Manik Ring Cecupu a. Alam sebagi lingkungan hidup

Keharmonisan hubungan alam semesta dengan manusia sebagai penghuni diibaratkan sebagai hubungan antara janin dengan rahim atau antara manik dengan cecupu., dimana rahim memberikan ruang, makanan, kesempatan untuk hidup namun dalam keadaan terbatas karena pada waktunya janin akan meninggalkan rahim. Demikian juga manusia menempati alam sebagai tempat tinggal.

b. Alam sebagai sumberdaya kehidupan dan penghidupan

semua hal, baik itu makan, minuman, udara dan semua yang kita butuhkan untuk bertahan hidup sudah tersedi di alam. Jadi kita tidak dapat lepas dan selalu tergantung akan potensi yang ada di alam ini untuk dapat bertahan hidup.

c. Alam sebagai tujuan hidup

manusia yang sudah meninggal juga dikatakan kembali keasalnya. Alam merupakan sumber keberadaan manusia baik dilihat dari segi fisik (stula sarira), zat penghidup (atma), dan energi (prana). Tujuan akhirat manusia adalah untuk kembali menyatu dengan unsur-unsur alam yaitu, fisik manusia yang terdiri atas unsure-unsur panca maha buta kembali ke unsure panca maha buta alam semesta, atma kenbali

(5)

menyatu dengan tuhan selku parama atma, dan prana manusia kembali menyatu dengan prana alam semesta.

Demikian besar makna alam semesta bagi manusia, maka dalam membangun lingkungan hidup buatan atau dalam membangun arsitektur untuk wadah kehidupannya berkehendak untuk meniru atau meminiaturkan alam semesta. Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana manusia yang serba terbatas dapat meniru alam semesta yang tidak terbatas dan tidak terukur tersebut agar dapat meminiaturkan alam semesta maka dilakukan pendekatan kesempadanan antara manusia dan alam semesta, manusia dan alam semesta memiliki susunan unsur yang sama yaitu unsur-unsur jiwa tenaga dan fisik namun skalanya jauh berbeda. Susunan bagian-bagian fisik manusia dibagi atas 3 bagian yaitu bagian badan, kaki dan kepala (Tri Angga), sepadan dengan unsur fisik alam semesta yang terdiri atas Bhur Loka, Bwah Loka dan Swah Loka (Tri Loka) yang masing-masing memiliki nilai nista madya dan utama. Unsur-unsur pembentuk fisik manusia sama dengan unsur pembangun alam semesta yang terdiri atas unsure-unsur Panca Maha Bhuta yaitu Apah, Pertiwi, Teja, Bayu dan Akasa (zat cair, zat padat, udara, sinar, dan ether)

Menyadari dan meyakini adanya kesepadanan ini maka untuk meniru alam semesta dalam pembangunan arsitektur sebagai lingkungan hidup buatan, sama dengan meniru manusia itu sendiri. Arsitektur sebagai wadah kehidupan manusia adalah pancaran dari diri manusia atau miniature alam semesta. Dengan demikian arsitektur dalam segala aspekny berada dalam dua kutub yaitu kutub manusia dan kutub alam semesta. Menurut aspek fisik menjadi tidak sulit namun menerapkan unsur jiwa, tenaga (energi) dalam arsitektur memerlukan pendekatan khusus terkait dengan proses pembangunan tradisional bali.

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI & LOMBOK

(6)

2.1.2 Filosofi Tri Hita Karana

Istilah Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan yang bersumber pada keharmonisan hubungan antara :

- manusia dengan Tuhannya - manusia dengan alam lingkungan - manusia dengan sesamanya

Unsur-unsur Tri Hita Karana dalam totalitas alam semesta terdiri dari : - Sanghyang Jagatkarana (Tuhan)

- Bhuana (alam semesta) - Manusia

Unsur-unsur Tri Hita Karana dalam satuan lingkungan di Bali : - Parhyangan

- Palemahan - Pawongan

Unsur-unsur Tri Hita Karana dalam diri manusia terdiri atas : - Atma

- Stula sarira - Prana

2.1.3 Filosofi Bahan Bangunan

Bahan utama bangunan tradisional Bali adalah kayu untuk struktur utama bangunan sangat diperhitungkan dalam pembangunannya. Secara etimologis, kata ka berarti budi. Dengan kata lain diartikan bahwa budilah yang menentukan. Penggunaan kayu disesuaikan dengan peruntukkan. Untuk bangunan suci atau parhyangan yang memiliki fungsi tertinggi menggunakan kayu cendana, menengen, cempaka, majagau, dan suren. Untuk fungsi perumahan terdiri atas kayu nangka, jati, sentul, teep,sukun, dan timbul. Sedangkan untuk dapur dan lumbung menggunakan kayu wangkal, kutat, blalu, bentenu, dan andep

(7)

2.2 Bentuk bangunan Rumah Tradisional Bali

2.2.1 Geria

Rumah tempat tinggal untuk kasta Brahmana disebut ”Geria” yang umumnya

menempati bagian utama dari suatu pola longkungan. Sesuai dengan peranan Brahmana selaku pengemban bidang spiritual, maka bentuk dan pola ruang Geria sebagai rumah tempat tinggal Brahmana disesuaikan dengan keperluan-keperluan aktivitasnya.

Griya Batan Poh, Buduk

2.2.2 Puri

Rumah tempat tinggal untuk kasta Ksatria yang memegang pemerintahan disebut

”Puri” yang umumnya menempati bagian kaja-kangin di sudut perempatan agung di pusat desa. Penghuni Puri berperan sebagai pelaksana pemerintahan dan Puri merupakan pusat pemerintahan. Umumya Puri dibangun dengan tata zoning yang berpola Sanga Mandala semacam widegrid/papan catur berpetak sembilan. Adapun fungsi masing-masing bagian antara lain untuk:

 Ancak saji, halaman pertama untuk mempersiapkan diri masuk ke puri, dibagian kelod-kauh.

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI & LOMBOK

(8)

 Semanggen, bagian kelod untuk area upacara pitra yadnya/kematian.

 Rangki, bagian kauh untuk area tamu-tamu paseban/persiapan sidang, pemeriksaan dan pengamanan.

 Pewaregan, bagian kelod-kangin untuk area dapur dan perbekalan.  Lumbung, bagian kaja-kauh untuk area penyimpanan dan

pengolahan bahan perbekalan/padi dan prosesnya.

 Saren kaja, zoning kaja untuk tempat tinggal istri-istri raja.

 Saren kangin, zoning kangin disebut juga saren agung untuk tempat tinggal raja.

 Paseban, bagian tengah untuk area pertemuan atau sidang kerajaan.  Pemerajan agung, bagian kaja-kangin untuk area tempat suci

parhyangan.

Denah Puri

(9)

Kori Agung di Puri Ubud 2.2.3 Jero

Rumah tinggal untuk kasta Ksatria yang tidak memegang pemerintahan secara langsung. Pola ruang dan tata zoning, juga bangunan-bangunannya umumnya lebih sederhana dari Puri. Sesuai fungsinya, pola ruang Jero dirancang dengan Tri Angga : Pemerajan sebagai parhyangan, Jeroan sebagai area rumah tempat tinggal dan jabaan sebagai pelayanan umum atau halaman depan. Sebagaimana Puri, Jero menempati zoning utama kaja, kangin atau kaja-kangin yang umumnya di pusat desa.

2.2.4 Umah

Umah diperuntukkan bagi golongan Waisya dan Sudra. Dalam satu areal umah tradisional Bali terdiri atas beberapa masa bangunan antara lain :

1. Natah (Halaman)

Biasanya diperuntukkan sebagai tempat melakukan kegiatan-kegiatan yadnya yang sering melibatkan orang banyak. Seperti upacara yadnya yang mengundang orang banyak

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI & LOMBOK

(10)

2. Merajan

Merajan diperuntukkan sebagai tempat melakukan kegiatan persembahyangan untuk mempererat hubungan manusia dengan Tuhan. Merajan biasanya terdiri dari sanggah taksu, sanggah kemulan, penglurah, dan bale piasan

Sanggah Kemulan

(11)

Taksu

Tugu Penglura

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI & LOMBOK

(12)

Bale Piasan 3. Bale Daja/Meten

Adalah nama yang didasarkan atas letaknya yang ada di badaja (utara) atau di arah gunung. Nama laina adalah meten atau bale pesarean. Fungsi utama adalah untuk tidur dan fungsi tambahannnya adalah menyimpan benda berharga.. Variasi bentuk bangunan Bale Daja ini dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah tiang sebagai stuktur utama :

1. Meten Sekutus ( Tiang pokok 8 = kutus)

2. Meten Sekutus Bandung (tiang pokok 8 + 4 tiang serambi / amben) 3. Bale Gede / Meten Bandung ( tiang pokok 12 )

4. Meten Gunung Rata ( lantai di kamar lebih tinggi dari di serambi, tiang pokok 12 +4-12 tiang serambi)

Meten sekutus menggunakan atau pelana ( trojan ), sedangkan Meten Bandung menggunakan atap limasan. Seluruh Meten pasti memiliki ruang yang dikelilingi dinding dengan rapat dengan bukaan yang sangat minim.

(13)

Bale Daja Sekutus

Meten Sekutus Bandung (tiang pokok 8 + 4 tiang serambi / amben)

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI & LOMBOK

(14)

4. Bale Dangin

bale dangin letaknya di sisi sebelah timur pada pekarangan sebuah rumah. Bale dangin yang terbuka biasanya difungsikan sebagai tempat persiapan upacara dewa yadnya dan bila tertutup sebagian bisa difungsikan sebagai tempat menyimpan benda pusaka atau untuk tempat tidur. Jumlah tiang pokok biasanya berjumlah 6 dan tidak jarang pula ada yang bersaka 8,9 hingga 12.

Bale Dangin

(15)

5. Bale Dauh

Bale dauh terletak disisi barat pekarangan umumnya dibiarkan terbuka namun ada pula yang menutup sebagian untuk tambahan ruang tidur. Sesuai dengan jumlah tiang dan variasinya Bale Dauh diberi nama: 1. Bale SakaNem

2. Bale Tiang sanga, bertiang 9 dan bila terdapat hiasan singa sebagai sendi tugeh disebut bale singasari

3. adapula bale dauh yang bertiang sampai 12

Bale Dauh

6. Bale Delod

Disebut Bale Delod karena letaknya disisi selatan (kelod) berdasarkan jumlah tiang dan juga penataan ruang dalamnya bale delod ini diberi nama :

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI & LOMBOK

(16)

1. Bale Saka Nem/Bale Mundak dengan tiang pokok 6 batang 2. Bale Sekutus (Asta Pada) bertiang delapan

3. Bale Gede bertiang 12 7. Paon

Paon berarti perabuhan atau dapur atau pewaregan yang berarti tempat untuk mengenyangkan perut. Dapur biasanya bertiang pokok 4 namun ada juga yang bertiang 6. dinding dapur umumnya dibangun ditiga sisi yaitu diselatan timur dan barat.

8. Jineng

Jineng pada rumah tradisional Bali yang merupakan stana Dewi Sri yang digunakan sebagi tempat menyimpan hasil pertanian berupa padi, yang

diletakkan bersebelahan dengan dapur yang pada umumnya berada pada bagian depan areal umah.

(17)

9. Angkul-angkul

Angkul-angkul merupakan pintu masuk paling sederhana yang digunakan pada rumah tradidional Bali.

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI & LOMBOK

(18)
(19)

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI & LOMBOK

(20)

Perspektif Umah 2.5 Ragam Hias

Arsitektur tradisional Bali merupakan perwujudan keindahan manusia dan alamnya yang mengeras ke dalam bentuk-bentuk bangunan dengan ragam hias yang digunakan. Benda-benda alam yang diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk ragam hias, tumbuh-tumbuhan, bintang unsur alam, nilai-nilai agama dan kepercayaan disarikan ke dalam suatu perwujudan keindahan yang harmonis.

Ciri-ciri hakiki dari benda-benda alam yang dijadikan bentuk-bentuk hiasan masih menampakan identitas walaupun diolah dalam usaha penonjolan nilai-nilai keindahannya.

(21)

Estetika, etika dan logika merupakan dasar-dasar pertimbangan dalam mencari, mengolah dan menempatkan ragam hias yang mengambil tiga kehidupan di bumi, manusia, binatang (fauna) dan tumbuhan (flora).

2.5.1. Flora

Berbagai macam flora yang ditampilkan sebagai hiasan dalam bentuk simbolis atau pendekatan bentuk-bentuk tumbuh-tumbuhan dipolakan dalam bentuk-bentuk pepatran dengan macam-macam ungkapan masing-masing.

Ragam hias yang dikenakan pada bagian-bagian bangunan atau peralatan dan perlengkapan bangunan dari jenis-jenis flora dinamakan sesuai jenis dan keadaannya.

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI & LOMBOK

(22)

a. Keketusan

Mengambil sebagian terpenting dari suatu tumbuh-tumbuhan yang dipolakan berulang dengan pengolahan untuk memperindah penonjolannya.

Keketusan Wangga melukiskan bunga-bunga besar yang mekar dari jenis berdaun lebar dengan lengkung-lengkung keindahan. Keketusan Bunga tuwung, hiasan berpola bunga terung dipolakan dalam bentuk liku-liku segi banyak berulang atau bertumpuk menyerupai bentuk bunga terung. Keketusan Bun-bunan, hiasan berpola tumbuh-tumbuhan jalar atau jalar bersulur, memperlihatkan jajar-jajar jalaran dan sulur-aulur di sela-sela bunga-bunga dan dedaunan.

b. Kekarangan

Menampilkan suatu bentuk hiasan dengan karangan atau rancangan yang berusaha mendekati bentuk-bentuk flora yang ada dengan penekanan pada keindahan.

Karang simbar, dipakai untuk hiasan-hiasan sudut bebaturan di bagian atas pada pasangan batu atau tatahan kertas pada bangunan Bade Wadah, Bukur atau hiasan-hiasan sementara lainnya.

Karang Bunga, digunakan untuk hiasan sudut-sudut bebaturan atau hiasan pononjolan bidang-bidang.

Karang Suring, difungsikan untuk sendi alas tiang tugeh yang dalam bentuk lain dipakai singa bersayap atau garuda.

c. Pepatran

Mewujudkan gubahan-gubahan keindahan hiasan dalam patern-patern yang disebut Patra atau Pepatran. Ragam hias yang tergolong pepatran merupakan pola yang berulang yang dapat pula diwujudkan dalam pola berkembang.

Patra Wangga, kembang mekar atau kuncup dengan daun lebar divariasi lengkung-lengkung keserasian yang harmonis.

Patra Sari, bentuknya menyerupai flora dari jenis berbatang jalar melingkar-lingkar timbal balik berulang.

Patra Bun-bunan, dapat divariasikan dalam berbagai jenis flora yang tergolong bun-bunan (tumbuh-tumbuhan berbatang jalar).

(23)

Patra Pidpid, melukiskan flora dari jenis daun bertulang tengah dengan daun-daun simetris yang dapat bervariasi sesuai dengan jenis daun yang dilukiskan penempatannya pada bidang-bidang sempit.

Patra Punggel, mengambil bentuk dasar liking paku, bagian-bagiannya ada yang disebut batun poh, kuping guling, util sebagai identitas Patra Punggel.

Patra Samblung, pohon jalar dengan daun-daun lebar dipolakan dalam bentuk patern yang disebut Patra Samblung.

Patra Sae, mengambil bentuk sejenis kapu-kapu yang dipolakan berulang dalam dereta memanjang.

Patra Ganggong, menyerupai bentuk ganggang air yang dipolakan dalam bentuk berulang berjajar memanjang.

Patra Batun Timun, bentuk dasar serupa biji mentimun yang dipolakan dalam susunan diagonal berulang.

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI & LOMBOK

(24)

Patra Sulur, melukiskan pohon jalar jenis beruas-ruas dengan daun-daun sulur bercabang-cabang tersusun berulang.

2.5.2. Fauna

Dijadikan materi hiasan dalam bentuk-bentuk ukiran, pepulasan atau tatahan. Sebagai materi hiasan, fauna dipahat dalam bentuk-bentuk kekarangan yang merupakan pola tetap, relief yang bervariasi dari berbagai macam binatang dan patung dari beberapa macam binatang.

Fauna sebagai patung hiasan pada bangunan umumnya mengambil dari cerita Ramayana, fauna sebagai hiasan dan juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual ditampilkan dalam bentuk-bentuk patung yang disebut Pratima, patung sebagai bagian dari bangunan berbentuk Bedawang Nala.

Bentuk-bentuk penampilan berupa patung, kekarangan atau relief-relief yang dilengkapi pepatran dari berbagai jenis flora.

a. Kekarangan

Penampilan ekspresionis, meninggalkan bentuk sebenarnya dari fauna yang diekspresikan secara abstrak.

Karang Boma, berbentuk kepala raksasa yang dilukiskan dari leher keatas lengkap dengan hiasan dan mahkota.ditempatkan sebagai hiasan di atas lubang pintu dari kori agung.

(25)

Karang Sae, berbentuk kelelawar raksasa seakan bertanduk dengan gigi runcing. Karang sae ditempatkan di atas pintu kori atau pintu rumah tinggal.

Karang Asti, bentuknya mengambil bentuk gajah yang diabstrakkan sesuai dengan seni hias yang diekspresikan dengan bentuk kekarangan, biasanya ditempatkan sebagai hiasan pada sudut-sudut bebaturan di bagian bawah.

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI & LOMBOK

(26)

Karang Goak, bentuknya menyerupai kepala burung gagak atau goak. Karang manuk yang disebut juga karang goak ditempatkan pada sudut-sudut bebaturan di bagian atas.

b. Patung

Untuk patung-patung hiasan permanen umumnya mengambil bentuk-bentuk dewa-dewa dalam imajinasi manifestasinya, manusia dari dunia pewayangan, raksasa dalam ekspresi wajah dan sifatnya dan binatang dalam berbagai bentuk. Patung-patung dari jenis-jenis fauna yang dijadikan sebagai hiasan atau sebagai elemen bangunan umumnya merupakan patung-patung ekspresionis yang dilengkapi dengan elemen-elemen hiasan dari jenis-jenis pepatran.

Patung Garuda, perwujudannya merupakan garuda dengan sikap tegak siap terbang, sayap dan ekor mengepak melebar. Penempatannya pada bangunan sebagi sendi alas tiang tugeh yang menyangga konstruksi puncak atap.

Patung Singa, wujudnya singa bersayap yang disebut juga Singa Ambara Raja. Patung singa difungsikan juga untuk sendi alas tugeh seperti patung garuda, digunakan pula untuk sendi alas tiang pada tiang-tiang struktur atau tiang-tiang jajar dengan bahan dari batu padas keras, atau batu karang laut yang putih masif dan keras.

Patung Naga, perwujudan ular naga dengan mahkota kebesaran hiasan gelung kepala, bebadong leher, anting-anting telinga, rambut terurai, rahang terbuka, taring gigi runcing, lidah api bercabang. Patung naga sebagai penghias bangunan ditempatkan sebagai pengapit tangga menghadap ke depan, lekuk-lekuk ekor mengikuti tingkat-tingkat tangga ke arah atas.

(27)

2.6 Sejarah Lombok

Mataram, salah satu kota besar di Indonesia , terletak di pantai barat pulau Lombok, di Kepulauan Melayu. Nusatenggara Barat. Mataram adalah ibukota Lombok utama, meliputi kota pelabuhan Ampenan , kota Mataram Dan Cakranegara, dan penyelesaian Sweta. Cakranegara adalah Pusat komersil Mataram sedangkan Ampenan adalah lokasi Universitas Mataram (yang ditemukan 1962) dan sebagai pusat administrasi pemerintah, Mataram mempunyai banyak gedung pemerintah besar dan mengesankan serta rumah substansiil. Mataram juga menjadi pusat transportasi dan perbelanjaan fasilitas yang utama digunakan untuk pameran seni, teater, tarian, dan wayang kulit ( teater boneka). Di sisi lain Mataram, ada berbagai old-style pasar dan lingkungan meliputi craftwork tradisional seperti basketware dan emas dan sarong silver-threaded, atau pakaian pakaian yang dililitkan. Pelabuhan Ampenan merupakan pelabuhan utama Lombok, tetapi sekarang dijadikan persinggahan kapal nelayan dan barang ekspor lembu ke Pulau Jawa. Cakranegara mempunyai populasi orang Cina dan orang Bali. Orang Cina dibawa oleh orang Belanda untuk dijadikan tenaga kerja.

2.7 Rumah Tradisional Lombok

Penduduk asli Lombok adalah suku sasak. Mereka menganut agama Islam dengan dua aliran yaitu Islam Tiga (Pengaruh Bali) dan Islam Lima (Jawa, Makasar dan Sumbawa). Pada masa kekuasaan raja Karangasem-Bali di Lombok banyak peninggalan asrsitektur dengan corak Bali. Arsitektur Bali di Lombok diumpamakan sebagai

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI & LOMBOK

(28)

arsitektur untuk orang atasan (elit). Rumah sebagai media variasi bentuk corak bali dengan Lombok memang tidak jauh berbeda baik dari segi pemakaian ornamen dan bahan.

Peralatan yang harus dipersiapkan untuk membangun rumah, diantaranya adalah: - Kayu-kayu penyangga.

- Bambu.

- Bedek, anyaman dari bambu untuk dinding.

- Jerami dan alang-alang, digunakan untuk membuat atap.

- Kotaran kerbau atau kuda, sebagai bahan campuran untuk mengeraskan lantai. - Getah pohon kayu banten dan bajur.

- Abu jerami, digunakan sebagai bahan campuran untuk mengeraskan lantai. Bagian rumah terdiri atas atap yang umumnya berbentuk gunungan, menukik ke bawah jarak 1,5-2 meter dari permukaan tanah (fondasi). Bangunan yang ada meliputi bale (rumah), berugak (bale-bale bertiang empat disebut sekepat atau bertiang enam atau sekenem), lumbung dan kandang (bare) ternak. Bangunan-bangunan itu mengikuti kontur tanah, khusus bangunan rumah seluas 7 x 6 meter (dihitung dari luar) dan 6 x 5 meter (dihitung dari dalam) per unit.

Atap dan bubungan (bungus)-nya adalah alang-alang yang umumnya menghadap Gunung Rinjani dan berdinding anyaman bambu (kampu). Ruangannya (rong) dibagi menjadi inan bale (ruang induk meliputi bale luar (ruang tidur) dan bale dalem berupa tempat menyimpan harta benda, ruang ibu melahirkan sekaligus ruang disemayamkannya jenazah bila ada penghuninya sebelum dimakamkan. Konstruksi rumah tradisional Sasak agaknya terkait pula dengan perspektif Islam. Anak tangga sebanyak tiga buah tadi adalah simbol daur hidup manusia: lahir, berkembang, dan mati, simbol keluarga batih (ayah, ibu, dan anak), atau berugak bertiang empat simbol syariat Islam: Quran, Hadis,

Ijma’, Qiyas).

Selain tempat berlindung, rumah juga memiliki nilai estetika, filosofi, dan kehidupan sederhana para penduduk di masa lampau yang mengandalkan sumber daya alam sebagai tambang nafkah harian, sekaligus sebagai bahan pembangunan rumah.

(29)

Lantai rumah itu adalah campuran dari tanah, getah pohon kayu banten dan bajur (istilah lokal), dicampur batu bara yang ada dalam batu bateri, abu jerami yang dibakar, kemudian diolesi dengan kotoran sapi di bagian permukaan lantai.

Ruangan bale dalem dilengkapi amben dan dapur, sempare (tempat menyimpan makanan, peralatan rumah tangga lainnya) terbuat dari bambu ukuran 2 x 2 meter persegi atau bisa empat persegi panjang. Kemudian ada sesangkok (ruang tamu) dan pintu masuk dengan sistem sorong (geser). Di antara bale luar dan bale dalem ada pintu dan tangga (tiga anak tangga) tanpa jendela. Lantai rumah umumnya tanah yang dicampur dengan kotoran kuda, getah, dan abu jerami.

Berugak yang ada di depan rumah, di samping merupakan penghormatan terhadap rezeki yang diberikan Tuhan, juga berfungsi sebagai ruang keluarga, menerima tamu, juga menjadi alat kontrol bagi warga.

Sejak proses perencanaan rumah didirikan, peran perempuan atau istri diutamakan. Umpamanya, jarak usuk bambu rangka atap selebar kepala istri, tinggi penyimpanan alat dapur (sempare) harus bisa dicapai lengan istri, bahkan lebar pintu rumah seukuran tubuh istri. Membangun dan merehabilitasi rumah dilakukan secara gotong-royong meski makan-minum, berikut bahan bangunan, disediakan tuan rumah.

Rumah mempunyai fungsi penting dalam kehidupan masyarakat Sasak, oleh karena itu perlu perhitungan yang cermat tentang waktu, hari, tanggal dan bulan yang baik untuk memulai pembangunannya. Untuk mencari waktu yang tepat, mereka berpedoman pada papan warige yang berasal dari Primbon Tapel Adam dan Tajul Muluq. Oleh karena tidak semua orang mempunyai kemampuan untuk menentukan hari baik, biasanya orang yang hendak membangun rumah bertanya kepada pemimpin adat. Bentuk rumah tradisional Lombok berkembang saat pemerintahan Kerajaan Karang Asem (abad 17), di mana arsitektur Lombok dikawinkan dengan arsitektur Bali. Misalnya, ruang tamunya terbuka tanpa dinding, tiang penyangga bangunan bagian atas diberi ukiran.

Orang Sasak di Lombok meyakini bahwa waktu yang baik untuk memulai membangun rumah adalah pada bulan ketiga dan bulan kedua belas penanggalan Sasak,

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI & LOMBOK

(30)

yaitu bulan Rabiul Awal dan bulan Zulhijjah pada kalender Islam. Ada juga yang menentukan hari baik berdasarkan nama orang yang akan membangun rumah. Sedangkan bulan yang paling dihindari (pantangan) untuk membangun rumah adalah pada bulan Muharram dan bulan Ramadlan. Pada kedua bulan ini, menurut kepercayaan masyarakat setempat, rumah yang dibangun cenderung mengundang malapetaka, seperti penyakit, kebakaran, sulit rizqi, dan sebagainya.

Selain persoalan waktu baik untuk memulai pembangunan, orang Sasak juga selektif dalam menentukan lokasi tempat pendirian rumah. Mereka meyakini bahwa lokasi yang tidak tepat dapat berakibat kurang baik kepada yang menempatinya. Misalnya, mereka tidak akan membangun tumah di atas bekas perapian, bekas tempat pembuangan sampah, bekas sumur, dan pada posisi jalan tusuk sate atau susur gubug. Selain itu, orang Sasak tidak akan membangun rumah berlawanan arah dan ukurannya berbeda dengan rumah yang lebih dahulu ada. Menurut mereka, melanggar konsep tersebut merupakan perbuatan melawan tabu.

Anak yang yunior dan senior dalam usia ditentukan lokasi rumahnya. Rumah orangtua berada di tingkat paling tinggi, disusul anak sulung dan anak bungsu berada di tingkat paling bawah. Ini sebuah ajaran budi pekerti bahwa kakak dalam bersikap dan berperilaku hendaknya menjadi panutan sang adik.

Rumah yang menghadap timur secara simbolis bermakna bahwa yang tua lebih dulu menerima/menikmati kehangatan matahari pagi ketimbang yang muda yang secara fisik lebih kuat. Juga bisa berarti, begitu keluar rumah untuk bekerja dan mencari nafkah, manusia berharap mendapat rida Allah di antaranya melalui shalat, dan hal itu sudah diingatkan bahwa pintu rumahnya menghadap timur atau berlawanan dengan arah matahari terbenam (barat/kiblat). Tamu pun harus merunduk bila memasuki pintu rumah yang relatif pendek. Mungkin posisi membungkuk itu secara tidak langsung mengisyaratkan sebuah etika atau wujud penghormatan kepada tuan rumah dari sang tamu.

(31)

Kemudian lumbung, kecuali mengajarkan warganya untuk hidup hemat dan tidak boros sebab stok logistik yang disimpan di dalamnya, hanya bisa diambil pada waktu tertentu, misalnya sekali sebulan. Bahan logistik (padi dan palawija) itu tidak boleh dikuras habis, melainkan disisakan untuk keperluan mendadak, umpamanya guna mengantisipasi gagal panen akibat cuaca dan serangan binatang yang merusak tanaman atau bahan untuk mengadakan syukuran jika ada salah satu anggota keluarga meninggal.

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI & LOMBOK

(32)
(33)

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Arsitektur tradisional adalah perwujudan ruang untuk menampung perwujudan aktivitas kehidupan manusia dengan pengulangan dari bentuk dari generasi ke generasi berikutnya dengan sedikit atau tanpa perubahan, yang dilatarbelakangi oleh norma-norma agama dan dilandasi oleh adat kebiasaan setempat dijiwai kondisi dan potensi alam lingkungannya. Begitu pula yang terjadi pada arsitektur Bali dan Lombok, arsitekturnya bersumber dari budaya masyarakat setempat.

Meskipun Bali dengan Lombok terpisah, dari segi Arsitektur masih terdapat kaitan antara yang satu dengan yang lain, karena sebagian penduduk daerah Lombok juga menganut agama Hindu. Banyak kebudayaan dan adat istiadat Bali dan Lombok yang sama. Hal ini tercermin dari bentuk-bentuk bangunan yang hampir menyerupai bangunan tradisional di Bali yang menggunakan orientasi gunung. Begitu juga pola perkampungannya memiliki pola yang sama antara yang ada di Bali dengan yang ada di lombok. Akan tetapi terdapat sedikit perbedaan antara arsitektur Bali dengan Lombok, yaitu dari segi bahan sebagai penutup atap dimana pada arsitektur Bali menggunakan bahan yang alami seperti ijuk, alang-alang, sedangkan di Lombok mayoritas menggunakan atap seng.

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI & LOMBOK

(34)

Daftar Pustaka

Gelebet, I Nyoman. 1982. Arsitektur Tradisional Bali. Denpasar. Depdikbud Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

Sularto, Robbi. 1976. Linuh Bali. Denpasar. Pusat Informasi Teknik Pembangunan (BIC) Bali. Dit. Jen. Ciptakarya, Dept. P.U. Sumintardja, Djauhari. 1978. Kompedium Sejarah Arsitektur. Bandung. Microsoft Encarta 2006

Jelajah internet, www.google.com

(35)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena berkat rahmat-Nyalah kami diberikan kesehatan untuk dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan tepat waktu.

Tugas dari Mata Kuliah Arsitektur Nusantara dengan judul yang dipilih pada penyusunan tugas ini yaitu Arsitektur Tradisional Bali dan Lombok.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian tugas ini baik secara moral maupun material. Dengan keterbatasan waktu dan kemampuan maka kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat pada tugas ini, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan untuk menyempurnakan tugas ini. Tidak lupa kami mohon maaf apabila ada hal-hal yang kurang berkenan bagi pembaca.

Demikianlah tugas kami ini, semoga dapat bermanfaat bagi penyusun serta bagi para pembaca.

Denpasar, Oktober 2008 Penyusun

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI & LOMBOK

Referensi

Dokumen terkait

Kuta, 29-30 Oktober 2015 | 1749 Secara umum bentuk serta tata ruang bangunan ini tidak berbeda dengan bangunan Bale Daja pada arsitektur tradisional Bali daratan

thermal bangunan pada arsitektur rumah tradisional Kejang Lako di Jambi. Mengerti bahan-bahan bangunan yang dipakai

bangan teknologi tersebut maka sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan arsitektur tradisional. Oleh karena bangunan-bangunan tradisional telah terdesak oleh

Sedangkan arsitektur tradisional adalah perwujudan ruang untuk menampung aktifitas kehidupan manusia dengan pengulangan bentuk dari generasi ke generasi berikutnya

Tradisi Membangun Arsitektur Tradisional Folajiku Sorabi, Tidore Kepulauan Bahan bangunan sebagian besar menggunakan bambu yang dipakai sebagai dinding, plafon, dan

Dari penelitian dengan pengamatan langsung di lapangan dan di laboratorium, diperoleh keaslian struktur dan konstruksi kayu Arsitektur Tradisional Bali yang “lemuh” pada saat

Selama ini arsitektur tradisional Bali dikenal sangat kental terlihat di perumahan di Bali, dan akan timbul permasalahan menarik untuk bisa dilihat adalah

Grand Hyatt Bali adalah salah satu hotel mewah pendukung kepariwisataan indonesia yang menggunakan perpaduan konsep tradisional bali dan arsitektur