• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lafal Umum dan Lafal Khusus

N/A
N/A
Abdul Malik Ibrahim

Academic year: 2024

Membagikan "Lafal Umum dan Lafal Khusus"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Nama : Abdul Malik Ibrohim

NIM : 2381130902

Kelas : B24

Semester : Gasal 2024/2025 Mata Kuliah : Ushul Fiqh

Tutor : Bapak Asep Machsus, S.Th.I, M.Pd

REEKSPLANASI MATERI

هُتُاكَرَبَوَ هُللا ةُمَحْرَوَ مْكُيْلعَ مُلَاسَّلا

Sebelumnya, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ustadz Asep yang telah memberikan materi beserta penjelasannya melalui pertemuan virtual Zoom pada kesempatan kali ini. Izinkan saya menjelaskan kembali materi yang telah disampaikan, dengan menambahkan contoh yang berbeda untuk setiap subpembahasannya. Penjelasan ulang yang saya lakukan didasarkan pada apa yang pernah saya pelajari dari kitab Tashilut Turuqoh, syarah nadzom Waroqot. Saya mohon maaf apabila terdapat kekeliruan dalam penjelasan ulang ini, Ustadz.

. ١ امَهُمُاسَّقْأَوَ صُّاخَلاوَ مُاعَلا

‘ Amm dan Khash Serta Macam-Macam Keduanya

:

تُمَمَعَوَ ،ءِاطَعَلابَ ا(رَمَعَوَ ا(دًيْزَ تُمَمَعَ هُلوْقْ نْمُ ،ا(دًعَاصَفَ نْيْئَيْشَ مْعَ امُ وْهُفَ مُاعَلا امُأَوَ

. سِانَّلا عَيْمَجَ

:

ءِامَسْلْأَاوَ ،مُلَالابَ فُرَعَمَلا عَمَجَلا مْسْاوَ ،مُلَالابَ فُرَعَمَلا دًحْاوْلا مْسْلِاا ;ةُعَبَرَأَ هُظُافَلأَوَ

ىتَمُوَ ،نِاكُمَلا يفَ نْيْأَوَ ،عَمَجَلا يفَ يُّأَوَ ،لُقِعَيْ لِا امَيْفَ امُوَ ،لُقِعَيْ امَيْفَ نْمَكَ ،ةُمَهُبْمَلا

.

تِافَصِ نْمُ مُوْمَعَلاوَ تِارَكُنَّلا يفَ لِاوَ ،هِرَيْغَوَ ءِازَجَلاوَ مُاهُفَتَسْلِاا يفَ امُوَ ،نِامُزَلا يفَ

.قِطَ نَّلا . مُاعَلا لُبَاقِيْ صُّاخَلاوَ هِارَجَمُ يُّرَجَيْ امُوَ لُعَفَلا نْمُ هِرَيْغَ يفَ مُوْمَعَلا ىوْعَدَ زَوْجَتُ لِاوَ . ءِانَّثْتَسْلِاا لُصَتَمَلافَ ،Oلُصَفَنَّمُوَ Oلُصَتَمُ ىلإِ مْسَّقِنَّيْ وْهُوَ ،ةُلمَجَلا ضِعَبَ زَيْيْمَتُ صُيْصَخَتَلاوَ : حُّصَيْ امَنَّإِوَ ،مُلَاكُلا يفَ لُخَدًل هِلِاوْل امُ جُارَخَإِ ءِانَّثْتَسْلِااوَ ،ةُفَXصَلابَ دًيْيْقِتَلاوَ طُرَشَّلاوَ

. مُلَاكُلابَ (لَاصَتَمُ نِوْكُيْ نِأَ هُطِرَشَ نْمُوَ ;ءِيشَ هُنَّمُ ىنَّثْتَسَّمَلا نْمُ ىقِبْيْ نِأَ طُرَشَّبَ . . هِرَيْغَ نْمُوَ سِنَّجَلا نْمُ ءِانَّثْتَسْلِاا زَوْجَيْوَ هُنَّمُ ىنَّثْتَسَّمَلا ىلعَ ءِانَّثْتَسْلِاا مْيْدًقِتُ زَوْجَيْوَ . قِلطَمَلا هُيْلعَ لُمَحْيْ ةُفَXصَلابَ دًيْقِمَلاوَ طُوَرَشَّمَلا ىلعَ مُدًقِتَيْ نِأَ زَوْجَيْ طُرَشَّلاوَ . ىلعَ قِلطَمَلا لُمَحْيْفَ ،Oضِعَبَ يفَ تُقِلطِأَوَ عَضِاوْمَلا ضِعَبَ يفَ نِامَيْلْإِابَ تِدًXيْقْ ةُبْقْرَلاكَ

ةُنَّ سَّلا صُيْصَخَتُوَ ،ةُنَّ سَّلابَ بِاتَكُلا صُيْصَخَتُوَ ،بِاتَكُلابَ بِاتَكُلا صُيْصَخَتُ زَوْجَيْوَ دًيْقِمَلا . لَوْقْ قِطَ نَّلابَ ينَّعَنَّوَ ،سِايْقِلابَ قِطَ نَّلا صُيْصَخَتُوَ ،ةُنَّ سَّلابَ ةُنَّ سَّلا صُيْصَخَتُوَ ،بِاتَكُلابَ

. مْلسْوَ هُلآوَ هُيْلعَ هُللا ىلصِ لَوْسْرَلا لَوْقْوَ ىلاعَتُ هُللا

(2)

1. Definisi Lafadz ‘Amm (

مُاعَلا

)

Al-‘Amm dalam bahasa Arab berarti “lafadz atau kata yang mencakup dua hal atau lebih tanpa ada pengecualian”. Secara terminologi, al-‘Amm diartikan sebagai “lafadz yang meliputi seluruh individu dari satu kelompok secara menyeluruh tanpa membedakan satu pun”.

Ini dapat dipahami melalui contoh:

ءِاطَعَلابَ ا(رَمَعَوَ ا(دًيْزَ تُمَمَعَ

Aku memberikan secara merata Zaid dan ‘Amr hadiah (pemberian).” Kalimat ini tidak bermakna membatasi pemberian hanya kepada Zaid atau ‘Amr saja, melainkan kepada keduanya tanpa pengecualian.

Dalam kajian hukum Islam (ushul fiqh), lafadz ‘amm ini bersifat menyeluruh, meliputi semua subjek atau objek yang termasuk dalam cakupan makna lafadz tersebut. Misalnya, dalam perintah shalat:

ةَلَاصَلا اوْمَيْقْأَ

Dirikanlah shalat”, mencakup semua orang yang beriman tanpa pengecualian, dan semua shalat yang diwajibkan.

Bentuk Kata Umum dalam Bahasa Arab Memiliki Empat Jenis Utama:

1). Isim mufrad (kata tunggal) yang dima’rifahkan dengan tambahan alif dan lam (لَا).

Misalnya, dalam firman Allah: “

عَيْبْلا هُللا لُحْأَوَ

”, yang berarti “

Allah telah menghalalkan

jual beli” (QS. Al-Baqarah: 275).

Kata “

عَيْبْلا

” dalam ayat dima’rifahkan dengan alif dan lam, yang berfungsi mencakup semua jenis transaksi jual beli (listighraqi jinsil bai’), sehingga menunjukkan bahwa hukum asal segala jenis jual beli adalah halal, kecuali yang dilarang secara eksplisit seperti riba’.

2). Isim jama’ (kata plural) yang juga dima’rifahkan dengan tambahan alif dan lam (لَا).

Sebagai contoh, dalam firman Allah: “

ا(عَيْمَجَ بِوْنَّ ذُّلا رَفَغْيْ هُللا نِإِ

”, yang berarti

Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa” (QS. Az-Zumar: 53).

Pada ayat tersebut, kata “

بِوْنَّ ذُّلا

” dima’rifahkan dengan alif dan lam yang mencakup semua jenis dosa, baik yang kecil maupun yang besar. Hal ini memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki kuasa untuk mengampuni semua jenis dosa, sesuai dengan kehendak-Nya.

3). Isim-isim mubham (kata-kata yang tidak jelas siapa yang ditunjuk), yang mencakup kata- kata seperti:

نْمُ

: digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang berakal, seperti dalam firman Allah: “

هُمَصَيْلفَ رَهُشَّلا مْكُنَّمُ دًهُشَ نْمَفَ

”, yang berarti “Barangsiapa di antara kalian hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa” (QS. Al-Baqarah: 185). Ayat ini menegaskan bahwa siapa saja yang memenuhi syarat, tanpa terkecuali, harus menjalankan kewajiban berpuasa.

امُ

: digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang tidak berakal, seperti dalam firman Allah: “

مْكُسَّفَنَّلِأَفَ Oرَيْخَ نْمُ اوْقِفَنَّتُ امُوَ

”, yang berarti “Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka (pahalanya) itu untuk kamu sendiri” (QS.

Al-Baqarah: 272). Ayat ini menunjukkan bahwa segala bentuk nafkah yang dikeluarkan oleh seseorang sebenarnya akan kembali kepada dirinya sendiri dalam bentuk pahala dari Allah.

(3)

gيُّأَ

: digunakan untuk menunjukkan keseluruhan, seperti dalam firman Allah: “

لُقْ

ىنَّسَّحْلا ءِامَسْلْأَا هُلفَ اوْعَدًتُ امُ اhيْأَ نْمَحْرَلا اوْعَدَا وَأَ هُللا اوْعَدَا

”, yang berarti

Katakanlah: Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama mana saja kamu seru, Dia mempunyai Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik)” (QS. Al-Isra: 110). Ini menunjukkan bahwa semua nama yang digunakan untuk menyebut Allah mengacu pada satu entitas, yaitu Allah.

نْيْأَ

: digunakan untuk menunjukkan tempat, seperti dalam firman Allah: “

امَنَّيْأَ

تِوْمَلا مْكُكَرَدًيْ اوْنَّوْكُتُ

”, yang berarti “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendatangi kamu, sekalipun kamu berada di dalam benteng yang kokoh” (QS. An- Nisa: 78). Ayat ini memberikan pengertian bahwa kematian tidak dapat dihindari, di mana pun seseorang berada.

ىتَمُ

: digunakan untuk menunjukkan waktu, seperti dalam firman Allah: “

رَصَنَّ ىتَمُ

هُللا

”, yang berarti “Kapankah datangnya pertolongan Allah?” (QS. Al-Baqarah: 214).

Ayat ini menunjukkan bahwa pertolongan dari Allah pasti akan datang, meskipun waktu kedatangannya tidak dapat dipastikan.

امُ

: digunakan untuk menunjukkan pertanyaan atau balasan, seperti dalam firman Allah:

(لَاثْمُ اذُّهُبَ هُللا دَارَأَ اذَامُ

”, yang berarti “Apakah maksud Allah menjadikan ini sebagai perumpamaan?” (QS. Al-Baqarah: 26). Ayat ini menggambarkan perbedaan sikap antara orang beriman yang memahami hikmah di balik perumpamaan-perumpamaan Allah dan orang kafir yang mempertanyakan maksud Allah dengan sikap meragukan.

 Isim Maushul seperti

نْيْذُّلا

, dan masih banyak lainnya seperti lafadz

ا(عَيْمَجَ ،jلُكَ

امَهُوْحْنَّوَ

.

4).

لِا

Nafi lil jinsi yang masuk pada isim nakiroh (kata umum), seperti dalam firman Allah: “

نْيْXدًلا يفَ هِارَكَإِ لِا

”, yang berarti “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Al-Baqarah:

256). Ayat ini menggunakan kata “

هِارَكَإِ

” (paksaan), yang merupakan isim nakiroh, dan menunjukkan bahwa agama Islam tidak dapat dipaksakan kepada siapa pun, bahkan kepada orang kafir dzimmi yang hidup di negara Islam.

Tambahan penjelasan:

1). Adanya penjelasan “tanpa batasan” dalam definisi ‘Amm bertujuan untuk mengecualikan 1). isim ‘adad (kata bilangan), karena meskipun isim ‘adad mencakup lebih dari dua hal, cakupannya tetap terbatas pada jumlah tertentu. Misalnya, kata (100)

;ةُئَامُ

atau )

;فٌلأَ

1000

( , meskipun cakupan jumlahnya lebih dari dua, tetapi batasannya tetap terbatas pada angka-angka tersebut (100 dan 1000 saja) dan tidak mencakup jumlah yang lebih dari itu.

2). Isim nakiroh yang di tastniyah-kan. Contoh

نْيْلجَرَ

meskipun maknanya mencakup lebih dari satu, akan tetapi tetap ada batasannya yaitu dua orang laki-laki, tidak lebih dari itu.

2). konsep ‘Amm merupakan salah satu sifat dari kalimat atau perkataan, tidak bisa diklaim pada selain kalimat atau ungkapan verbal, seperti tindakan atau hal-hal yang mirip dengannya. Jadi, dalam konteks ini, hanya kalimat yang bisa bersifat umum, sementara

(4)

perbuatan tidak bisa diperlakukan sama. Ini adalah dasar yang penting dalam memahami teks atau ucapan, di mana makna umum hanya dapat diterapkan pada ungkapan verbal.

2. Definisi Lafadz Khash (

صُّاخَلا )

Kebalikan dari ‘amm adalah khash (

صُّاخَلا

), dan proses penentuan sesuatu yang khusus disebut dengan “takhshish” (

صُيْصَخَتَلا

). Takhshish adalah penentuan sebagian dari keseluruhan, di mana suatu pernyataan umum kemudian dipersempit untuk hanya mencakup sebagian dari objek atau situasi yang dimaksud. Contohnya adalah pengecualian, syarat, atau batasan berdasarkan sifat. Dalam konteks pengecualian (

ءِانَّثْتَسْلِاا

), sesuatu yang seharusnya termasuk dalam makna umum dikeluarkan. Namun, pengecualian ini hanya sah jika masih ada bagian dari yang dikecualikan. Pengecualian juga harus langsung berkaitan dengan kalimat yang sedang dibahas.

 Pengecualian (

ءِانَّثْتَسْلِاا

) dan Penerapannya

Dalam aturan pengecualian (

ءِانَّثْتَسْلِاا

), pengecualian bisa didahulukan sebelum pernyataan umum (

هُنَّمُ ىنَّثْتَسَّمَلا

berbeda. Artinya, kita bisa membuat pengecualian dari kategori yang sama atau dari kategori yang berbeda dalam pernyataan umum. Selain itu, syarat dalam suatu kalimat dapat ditempatkan sebelum pernyataan utama (

طُوَرَشَّمَلا

). Ini memberikan fleksibilitas dalam penggunaan bahasa untuk membuat makna yang lebih spesifik.

Selain pengecualian dengan syarat, pembatasan berdasarkan sifat juga merupakan bagian dari takhshish. Sebagai contoh, pernyataan tentang “budak” dapat dibatasi dengan sifat “iman”

dalam beberapa konteks, dan dalam konteks lain bisa disebutkan secara mutlak tanpa batasan.

Dalam hal ini, makna yang mutlak harus ditafsirkan sesuai dengan makna yang sudah dibatasi.

Dengan kata lain, konsep yang umum dapat dipersempit dengan sifat tertentu yang diungkapkan dalam kalimat.

 Proses Takhshish Berdasarkan Sumber Hukum

Sumber hukum Islam seperti Al-Qur’an dan Sunnah dapat saling mentakhshish makna satu sama lain. Artinya, satu ayat dalam Al-Qur’an bisa membatasi makna ayat lain, atau Sunnah bisa membatasi makna Al-Qur’an, dan sebaliknya. Bahkan, takhshish juga dapat dilakukan dengan menggunakan qiyas (analogi) berdasarkan nash yang bersifat verbal. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan nash (

قِطَ نَّلا

) adalah firman Allah (Al-Qur’an) dan sabda Rasulullah (Sunnah).

. ٢ قِلطَمَلاوَ Xمُاعَلا نْيْبَ قُرَفَلا

Perbedaan Antara ‘Amm dan Muthlaq

‘Amm dan muthlaq adalah dua istilah yang digunakan dalam Ilmu Ushul Fiqh untuk menunjukkan sesuatu yang bersifat umum, namun keduanya memiliki perbedaan dalam cakupan dan penerapannya.

1. ‘Amm (

Xمُاعَلا

)
(5)

‘Amm adalah lafadz yang menunjukkan makna umum dan mencakup semua bagian dari apa yang ditunjukkan tanpa pengecualian. Sifat umum pada ‘amm berarti bahwa lafadz tersebut berlaku untuk seluruh unsur yang termasuk dalam maknanya, tanpa terkecuali. Contoh dari lafadz ‘amm seperti dalam firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 29:

ۗمْكُنَّXمُOضٍارَتُ نْعَ (ةَرَاجَتُ نِوْكُتُ نِا لَّآا لُطِابْلابَ مْكُنَّيْبَ مْكُلاوْمُا اrوْلكَأْتُ لِا اوْنَّمُtا نْيْذُّلا اهُ يْاrtيْ

ۗ . ا(مَيْحْرَ مْكُبَ نِاكَ هُtgللا نِا ۗمْكُسَّفَنَّااrوْلتَقِتُ لِاوَ ۗ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

Dalam ayat tersebut, kata orang-orang bersifat umum, mencakup seluruh umat Islam tanpa kecuali. Artinya, larangan memakan harta dengan cara yang batil berlaku bagi semua orang yang beriman.

2. Muthlaq (

قِلطَمَلا

)

Muthlaq adalah lafadz yang bersifat umum dalam arti mencakup segala sesuatu yang sesuai dengan maknanya, tetapi tanpa pembatasan atau spesifikasi tambahan. Makna umum pada muthlaq menunjukkan bahwa lafadz tersebut dapat diterapkan pada siapa saja atau apa saja yang sesuai dengan sifat yang disebutkan. Namun, ia tidak mencakup keseluruhan dalam pengertian yang eksplisit seperti pada ‘amm.

Salah satu contoh dari lafadz muthlaq adalah lafadz “yadd” (

مْكُيْدًيْاوَ

) dalam Surat Al- Maidah ayat 6 tentang tayammum, yaitu:

قِفَارَمَلا ىلا مْكُيْدًيْاوَ مْكُهُوْجَوَ اوْلسَّغَافَ ةَوْtلصَلا ىلا مْتَمَقْ اذَا اrوْنَّمُtا نْيْذُّلا اهُ يْاrtيْ

نْيْبْعَكُلاىلا مْكُلجَرَاوَ مْكُسْوَءِرَبَ اوْحْسَّمُاوَ

ۗ

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki…

Lafadz

مْكُيْدًيْاوَ

(tangan) dalam ayat ini bersifat muthlaq karena tidak ada lafadz lain yang mengikat atau membatasi makna tangan tersebut secara spesifik dalam konteks tayammum.

Oleh karena itu, makna lafadz yadd dapat dipahami secara umum, apakah itu berarti menyapu tangan hingga pergelangan tangan atau sampai siku. Hal ini tidak menimbulkan masalah secara tekstual, mengingat ayat tersebut tidak menyebutkan batasan khusus untuk tayammum.

3. Perbedaan Antara ‘Am dan Muthlaq

Meskipun keduanya sama-sama menunjukkan keumuman, ada perbedaan mendasar antara keduanya:

 Pada ‘amm, keumuman lafadz berlaku secara menyeluruh tanpa pengecualian.

 Pada muthlaq, keumuman berlaku dengan sifat atau karakteristik yang disebutkan dalam lafadz, namun tidak mencakup keseluruhan secara tegas dan eksplisit. Sifat umum muthlaq bersifat fleksibel dan dapat disesuaikan dengan konteks tanpa pembatasan yang ketat.

Contoh lain untuk memperjelas perbedaan ini, dalam lafadz ‘amm, jika dikatakan “semua manusia”, maka ini mencakup seluruh manusia tanpa terkecuali. Sedangkan dalam muthlaq,

(6)

jika dikatakan “manusia”, maka yang dimaksud bisa siapa saja yang termasuk dalam kategori manusia, tetapi tergantung pada konteks.

: . ٣

؟بِبْسَّلا صُّوْصَخَ مُأَ ظِفَللا مُوْمَعَ نِآرَقِلا مُاكُحْأَ مْهُفَل لَوَزَ نَّلا بِابْسْأَ يفَ نِاهُجَوَ

Dua Pendekatan dalam Asbabun Nuzul untuk Memahami Hukum Al- Qur’an: Keumuman Lafadz atau Kekhususan Sebab?

Dalam dunia Ilmu Tafsir, pembahasan tentang Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) telah menjadi bagian penting dalam memahami konteks dan makna al-Qur’an. Para ulama klasik telah memberikan sumbangan besar dalam menguraikan kajian ini, mulai dari definisi hingga kaidah yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Salah satu diskusi yang kerap mencuat adalah mengenai ayat yang memiliki sebab khusus tetapi menggunakan redaksi umum. Bagaimana kita seharusnya memahami ayat tersebut: melalui keumuman lafal atau kekhususan sebab?

1. Kaidah Pertama: Keumuman Lafadz, Bukan Kekhususan Sebab

Sebagian besar ulama, atau yang dikenal sebagai Jumhur ‘Ulama, lebih mengedepankan keumuman redaksi (lafadz) daripada kekhususan sebab. Kaidah yang mereka gunakan adalah:

. بِبْسَّلا صُّوْصَخَبَ لِا ظِفَللا مُوْمَعَبَ ةَرَبْعَلا

“Yang dijadikan pegangan adalah keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab.”

Pendekatan ini diterapkan dalam banyak kasus, salah satunya adalah dalam QS. Al- Mujadilah ayat 2-4 yang membahas hukum dzhihar:

مْهُنَّاوَ مْهُنَّدًلوَيyـِٔtgلا لِاا مْهُتَtهُمُا نِا مْهُتَtهُمُانْهُ امُ مْهُ{ىِٕاسَّXنَّ نْXمُ مْكُنَّمُ نِوَرَهُtظٰيْ نْيْذُّلا ۗ لّٰۤ ۗ لّٰۤ

( . ;رَوْفَغَ jوْفَعَل هُtgللا نِاوَ ا(رَوَزَوَلَوْقِلا نْXمُ ا(رَكُنَّمُ نِوْلوْقِيْل ۗ ) ٢

مْهُ{ىِٕاسَّXنَّ نْمُ نِوَرَهُtظٰيْ نْيْذُّلاوَ لّٰۤ

امَبَ هُtgللاوَ هُبَ نِوْظٰعَوْتُ مْكُلtذَ اسْامَتَيْ نِا لُبْقْ نْXمُ Oةُبْقْرَ رَيْرَحْتَفَ اوْلاقْ امَل نِوَدَوْعَيْ مْثُ ۗ ۗلّٰۤ

( . ;رَيْبْخَ نِوْلمَعَتُ

) ٣

مْل نْمَفَ اسْامَتَيْ نِا لُبْقْ نْمُ نْيْعَبَاتَتَمُ نْيْرَهُشَ مُايْصَفَ دًجَيْ مْل نْمَفَ ۗ لّٰۤ

نْيْرَفَtكُللوَ ۗهُtgللا دَوَدًحْ كَلتُوَ هُلوْسْرَوَهُtgللابَ اوْنَّمُؤْتَل كَلtذَ ا(نَّيْكُسَّمُ نْيْXتَسْ مُاعَطِافَ عَطَتَسَّيْ ۗ ۗ ۗ ( . ;مْيْلا ;بِاذُّعَ

) ٤

Ayat-ayat di atas diturunkan dalam konteks khusus, yaitu tentang Khaulah binti Tsa’labah yang disamakan oleh suaminya, Aus Ibnu al-Shamit, dengan punggung ibunya.

Meski sebab turunnya ayat ini berhubungan dengan Khaulah, lafadz yang digunakan, yakni “

ا نْيْذُّل

,” merupakan bentuk umum (Isim Maushul) yang menjadikan hukum dalam ayat ini berlaku bagi setiap kasus dhihar yang serupa, bukan hanya terbatas pada Khaulah dan suaminya.

Dalil ini menunjukkan bahwa Isim Maushul termasuk dalam bentuk redaksi umum yang memperluas keberlakuan ayat tersebut, sehingga bisa diterapkan pada seluruh perempuan yang mengalami situasi serupa.

2. Kaidah Kedua: Kekhususan Sebab, Bukan Keumuman Lafadz

Berbeda dengan pandangan Jumhur ‘Ulama, sebagian ulama lain lebih mengedepankan pendekatan kekhususan sebab dalam menafsirkan hukum al-Qur’an. Kaidah yang mereka pegang adalah:

(7)

. ظِفَللا مُوْمَعَبَ لِا بِبْسَّلا صُّوْصَخَبَ ةَرَبْعَلا

“Yang dijadikan pedoman adalah kekhususan sebab, bukan keumuman lafadz.”

Menurut pendekatan ini, hukum yang terkandung dalam sebuah ayat hanya berlaku untuk sebab khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut. Misalnya, dalam kasus dzhihar yang telah disebutkan di atas, ulama yang memegang kaidah ini berpendapat bahwa hukum tersebut berlaku khusus bagi Khaulah binti Tsa’labah dan suaminya saja, tidak untuk kasus lainnya. Begitu pula dengan hukum li’an yang tercantum dalam QS. An-Nur ayat 6-9:

Oتِtدًtهُشَ عَبَرَا مْهُدًحْا ةَدَاهُشَّفَ مْهُسَّفَنَّا لَّآا ءِادًهُشَ مْهُل نْكُيْ مْلوَ مْهُجَاوَزَا نِوْمُرَيْ نْيْذُّلاوَ

تٍۢ لّٰۤ

( . نْيْقْدًtgصَلا نْمَل ‚هُنَّا ۗهُtgللابَ ۙ ( . نْيْبَذُّtكُلا نْمُ نِاكَ نِا هُيْلعَ هُtgللا تُنَّعَل نِا ةُسَّمُاخَلاوَ ) ٦

) ٧

( . نْيْبَذُّtكُلا نْمُ نِاكَ نِا هُيْلعَ هُtgللا تُنَّعَل نِا ةُسَّمُاخَلاوَ

) ٨

آهُيْلعَ هُtgللا بِضَغَ نِا ةُسَّمُاخَلاوَ

( . نْيْقْدًtgصَلا نْمُ نِاكَ نِا ) ٩

Menurut mereka yang menggunakan pendekatan kedua ini, ayat-ayat di atas khithob hukumnya hanya berlaku khusus bagi Hilal Ibnu Umayyah dan istrinya saja. Namun, untuk kasus yang serupa tetapi terjadi pada individu lainnya, mereka berpendapat bahwa hukum tersebut tidak langsung diambil dari lafadz ayat-ayat di atas, melainkan melalui metode qiyas ( analogi) atau ijtihad, berdasarkan prinsip kaidah “Hukmiy ‘ala al-Wahid Hukmiy ‘ala al- Jama’ah” (hukum yang diterapkan kepada satu individu juga berlaku untuk kelompok).

...بِاوْصَلابَ ۗمْلعَأَ ۗهُللاوَ

Referensi

Dokumen terkait

Rumah Sakit Bersalin Permata Sarana Husada akan berupaya memberi orientasi umum yang di perlukan sesuai kebutuhan masing-masing unit kerja dalam

Mencakup kegiatan memeriksa seluruh kelengkapan berkas yang dikirim oleh peserta. Tujuannya untuk memilah dan memilih kelengkapan berkas calon peserta sesuai dengan persyaratan

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan penerimaan kas pada Rumah Sakit Umum Daerah Andi Makkasau telah dilakukan sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor

Pekerjaan Lapis penutup bubur aspal emulsi (emulsified asphalt slurry seal) ini diterapkan pada jalan dengan perkerasan beraspal dalam kondisi pelayanan mantap

Analisis Makna Lafadz Musytarak D alam Alquran Surat Al-Fath D an Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Arab.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Analisis Makna Lafadz Musytarak D alam Alquran Surat Al-Fath D an Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Arab.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

The expediency principle, dapat diterapkan oleh penuntut umum apabila terdapat alasan-alasan tertentu seperti (Rachman, 2012): a) Sifat kejahatan minor; b)

Sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Rencana Bisnis Bank, Rencana Bisnis Bank Umum paling sedikit mencakup ringkasan eksekutif, kebijakan dan strategi manajemen,