LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM VERTEBRATA HAMA
OLEH
NAMA : PUJA JHOHANA NIM
: 2110251012 KELOMPOK : 4 (EMPAT) ANGGOTA
KELOMPOK : 1. MAULANI SYAHIDA (2110251013) 2. ANGGRA FEBRIA (2110252004) 3. FADHIL MALIKIE (2110252005) 4.
YESIKA APRIYENI (2110252015) KELAS : PROTEKSI B ASISTEN : 1. NUR FAJRIATI (2010251014) 2. JAMES RINALDI (2010253023)
DOSEN PENGAMPU : 1. Dr. HASMIANDY HAMID, SP. Si.
2. Dr. MY SYAHRAWATI, SP. M. Si
DEPARTEMENT PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Berkatrahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyusun laporan akhir praktikum Vetebrata
Hama. Penulisan laporan akhir ini dilakukan guna untuk memenuhi tugas akhir praktikum pada mata kuliah vertebrata hama. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Hasmiandy Hamid, SP. Si. dan Ibuk Dr. My Syahrawati, SP. M.
Si selaku dosen penanggung jawab padapraktikum ini dan juga penulis ucapkkan terima kasih kepada asisten yang telah bersedia untuk membimbing penulis pada praktikum kali ini. Penulis tentu menyadari bahwa laporan ini masih perlu banyak penyempurnaan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk laporan ini. Apabila terdapat banyak kesalahan pada laporan ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Padang, 1 Desember 2023
P.J
DAFTAR ISI
ii
Halaman KATA PENGANTAR ... ii DAFTAR ISI ... iii DAFTAR TABEL ... v DAFTAR GAMBAR ... vi DAFTAR LAMPIRAN ... vii BAB I.
PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 3
C. Tujuan ... 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4
A. Padi (Oryza sativa L.) ... 4
B. Tikus ... 7
C. Burung ... 10
D. Perangkap Tikus ... 13
BAB III. METODE PRAKTIKUM ... 14
A. Waktu dan Tempat ... 14
B. Alat dan Bahan ... 14
C. Cara Kerja... 14
1. Pembuatan Perangkap ... 15
2. Identifikasi Tikus ... 15
3. Pengamatan di Lapangan ... 15
4. Hama Burung pada Tanaman Padi... 16
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17
A. Hasil ... 17
1. Pembuatan Perangkap ... 17
2. Identifikasi Tikus ... 17
3. Pengamatan di Lapangan ... 18
4. Hama Burung pada Tanaman Padi... 19
B. Pembahasan ... 20
1. Pembuatan Perangkap ... 20
2. Identifikasi Tikuus ... 21 iii
3. Pengamatan di Lapangan ... 22
4. Hama Burung pada Tanaman Padi... 26
BAB V. PENUTUP ... 28
A. Kesimpulan ... 28
B. Saran ... 29
DAFTAR PUSTAKA ... 30
LAMPIRAN ... 34
DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Pengukuran Data Kuantitatif ... 15
2. Pengukuran Data Kualitatif ... 15
3. Pembuatan Perangkap ... 17
4. Data Kualitatif ... 17
5. Data Kuantitatif ... 17
6. Presentase Serangan Hama Burung Pada Padi... 18
7. Perbedaan Malai Sehat dan Malai Terserang ... 19
DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Tanda Keberadaan Tikus ... 18
2. Gejala Serangan Burung ... 18
3. Pengendalian Hama Burung ... 19
4. Pengamatan Hama Burung Dilapangan ... 19
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman a. Pembuatan Perangkap ... 34
b. Pengamatan lapangan ... 34
c. Perhitungan Persentase Serangan Hama Burung ... 35 iv
d. Identifikasi Tikus ... 35 e. Pengamatan Lapangan ... 36 f. Hama burung Pada Tanaman Padi ... 36
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Padi (Oryza sativa L) merupakan bahan makanan pokok bagi rakyat Indonesia. Konsumsi masyarakat Indonesia akan beras dari tahun ke tahun semakin meningkat sejalan dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk. Oleh karena itu, perluasan areal pertanian dan pemanfaatan teknologi pertanian sangat diperlukan untuk meningkatkan jumlah produksi padi di Indonesia (Sumarno, 2014).
Satria (2017) menyatakan bahwa Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan penting yang menjadi makanan pokok lebih dari setengah penduduk dunia karena mengandung nutrisi yang diperlukan tubuh.
Kandungan karbohidrat padi giling sebesar 78,9 %, protein 6,8 %, lemak 0,7 % dan lain-lain 0,6 %. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan dalam memenuhi kebutuhan pangan tersebut.
Masalah yang diakibatkan hama tanaman sudah tidak asing bagi para petani baik tanaman pangan, hortikultura, maupun perkebunan. Hama diartikan sebagai organisme baik mikroba, tanaman, dan atau binatang yang menyebabkan luka pada manusia, hewan ternak, tanaman budidaya, bahan simpanan, gedung, dan lainnya.
Hama pada tanaman pertanian meliputi mikroba patogen penyebab penyakit (virus, mikroplasma, bakteri, fungi), nematoda parasit tanaman, gulma, vertebrata (rodensia, burung, mamalia), artropoda (serangga, tungau, dan millipedes), serta moluska (Purnomo, 2013).
Hama dan penyakit tanaman bersifat dinamis dan perkembangannya dipengaruhi oleh lingkungan biotik (fase pertumbuhan tanaman, populasi organisme) dan abiotik (iklim, musim, agroekosistem). Pada dasarnya semua organisme dalam keadaan seimbang (terkendali) jika tidak terganggu keseimbangan ekologinya. Di lokasi tertentu, hama dan penyakit tertentu sudah ada sebelumnya atau datang (migrasi) dari tempat lain karena tertarik pada tanaman padi yang baru tumbuh. Perubahan iklim, stadia tanaman, budidaya, pola tanam, keberadaan musuh alami, dan cara pengendalian mempengaruhi dinamika perkembangan hama dan
1
penyakit. Hal penting yang perlu diketahui dalam pengendalian hama dan penyakit adalah: jenis, kapan keberadaannya di lokasi tersebut, dan apa yang mengganggu keseimbangannya sehingga perkembangannya dapat diantisipasi sesuai dengan tahapan pertumbuhan tanaman (Makarim, et al., 2013).
Hama menjadi masalah penting bagi petani dalam melangsungkan proses budidaya tanaman. Karena dapat mengakibatkan kerugian yang cukup besar baik berupa kehilangan hasil, penurunan kualitas dan penurunan pendapatan petani.
Hama adalah organisme yang menginfeksi tanaman dan merusaknya sehingga mengakibatkan penurunan hasil pertanian. Istilah hama merupakan istilah yang Antroposentris artinya lebih berpusat pada kepentingan manusia. Herbivora dianggap sebagai hama karena memakan tumbuhan yang diusahakan oleh manusia baik secara ekonomis maupun subsisten. Hama dikelompokkan menjadi dua, yakni hama invertebrata dan hama vertebrata. Hama invertebrata (tidak bertulang belakang) terdiri dari tungau, nematoda, mollusca, dan insecta. Untuk vertebrata (bertulang belakang), yang termasuk dalam golongan hama tanaman adalah kelas aves dan mamalia, seperti tupai, musang, burung, babi hutan, tikus, kelelawar dan lainnya (Trizelia, 2018).
Keberhasilan usaha perkebunan kelapa sawit ditentukan oleh beberapa aspek baik pengelolaan yang benar dan cara penerapan manajemen yang baik.
Keberhasilan usaha perkebunan kelapa sawit juga ditentukan oleh faktor lingkungan (iklim, tanah dan tofografi), bahan tanam, tindakan kultur teknis dan faktor pendukung lainya. Dengan pengelolaan yang benar penerapan manajemen serta keadaan lahan yang sangat mendukung maka akan memperoleh hasil yang maksimal. Namun disamping itu, ada masalah yang tidak dapat di hindari yaitu berkaitan dengan organisme pengganggu tanaman atau sering di sebut dengan OPT khususnya hama. Hama adalah hewan yang mengganggu atau merusak tanaman sehingga tumbuh kembang tanaman terganggu. Ada banyak hama yang tergolong hama utama pada perkebunan kelapa sawit. Salah satu nya adalah tikus. Tikus merupakan hama penting di perkebunan kelapa sawit karena habitatnya mudah hidup dimana saja dan populasinya sangat banyak sehingga hama ini sangat sulit untuk dikendalikan (Iskarlia, 2018).
2
B. Rumusan masalah
1. Spesies tikus apa yang berperan sebagai hama pada tanaman?
2. Bagaimana morfologi, habitat, dan perilaku tikus yang didapatkan?
3. Apa gejala dan tanda serangan hama tikus pada tanaman?
4. Spesies burung apa yang berperan sebagai hama tanaman?
5. Bagaimana morfologi, habitat, dan perilaku burung yang didapatkan?
6. Apa gejala dan tanda serangan hama burung pada tanaman?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui spesies tikus dan burung yang berperan sebagai hama pada tanaman dengan mengetahui morfologi, habitat dan perilakunya serta gejala dan tanda serangannya pada tanaman.
3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Padi
Padi merupakan komoditas tanaman pangan yang penting di Indonesia.
Penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok. Sembilan puluh lima persen penduduk Indonesia mengkonsumsi bahan makanan ini. Tanaman padi mempunyai nilai spiritual, budaya, ekonomi, maupun politik bagi bangsa Indonesia karena dapat mempengaruhi hajat hidup banyak orang. Beras mampu mencukupi 63% total kecukupan energi dan 37% protein (Norsalis, 2013 dalam Sitohag, et al., 2014).
Tanaman Padi dengan nama latin Oryza Sativa merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun, tanaman pertanian kuno ini berasal dari dua benua yaitu Asia dan Afrika Barat tropis dan subtropis. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa penanaman padi di Zhejiang (Cina) sudah dimulai pada 3.000 tahun SM. Fosil butir padi dan gabah ditemukan di Hastinapur Uttar Pradesh India sekitar 100-800 SM.
Selain Cina dan India, beberapa wilayah asal padi adalah, Bangladesh Utara, Burma, Thailand, Laos, Vietnam. Tanaman padi memiliki morfologi berbatang bulat dan berongga yang disebut jerami. Daunnya memanjang dengan ruas searah batang daun. Pada batang utama dan anakan membentuk rumpun pada fase vegetatif dan membentuk malai pada fase generatif dan membentuk malai pada fase produktif. Akarnya serabut yang terletak pada kedalaman 20-30 cm. Malai padi terdiri dari sekumpulan bunga padi yang timbul dari buku paling atas. Bunga padi terdiri dari tangkai bunga, kelopak bunga lemma (gabah padi yang besar), palae (gabah padi yang kecil, putik, kepala putik, tangkai sari, kepala sari, dan Bulu (awu) pada ujung lemma (Humaerah, 2013).
Petani pada umumnya membudidayakan tanamannya secara turun-temurun dari orangtua atau pendahulunya. Hal tersebut apabila dilakukan tanpa adanya bimbingan serta pelatihan yang intensif akan membuat petani terjebak pada pola 7 budidaya konvensional sehingga produksi padi tergolong minim bahkan dapat menurun. Budidaya padi terdiri dari persiapan lahan, pemilihan benih, penyemaian,
4
penanaman, pemupukan, pemeliharaan tanaman, hingga panen dan pascapanen (Utama, 2015).
Tanaman padi biasanya memerlukan waktu 3-4 bulan untuk tumbuh mulai dari pembenihan sampai dengan panen, tergantung dari jenis varietas padi dan kondisi tempat tanaman padi tumbuh. Pada periode tumbuh tersebut tanaman padi melalui beberapa tahap pertumbuhan. Pertumbuhan tanaman padi dibagi ke dalam tiga fase (Sujiwo, 2017). Bagian-bagian tanaman dalam garis besarnya dalam dua bagian besar, yaitu bagian vegetatif yang meliputi akar, batang dan daun serta bagian generatif yang meliputi malai yang terdiri dari bulir-bulir, bunga dan buah.
Akar tanaman padi termasuk golongan akar serabut. Pada benih yang sedang berkecambah timbul calon akar yang disebut dengan radikula. Bagian akar yang telah dewasa (lebih tua) dan telah mengalami perkembangan akan berwarna coklat, sedangkan akar yang baru atau bagian akar yang masih muda berwarna putih (Norsalis, 2013).
Batang tanaman padi berfungsi sama dengan batang tanaman yang lainnya dimana batang tanaman padi ini akan menopang tanaman secara keseluruhan dan sebagai penghubung untuk mengalirkan zat makanan ke seluruh bagian tanaman.
Pada tanaman padi ini memiliki ciri khas tersendiri yaitu batang tanaman padi memiliki rongga dan ruas. Daun padi terdiri dari helai daun yang berbentuk memanjang seperti pipa dan pelepah daun yang menyelubungi batang. Pada perbatasan antara helai daun dan upih terdapat lidah daun. Panjang dan lebar dari helai daun tergantung kepada varietas padi yang ditanam dan letaknya pada batang.
Daun ketiga dari atas biasanya merupakan daun terpanjang. Daun bendera mempunyai panjang daun terpendek dan dengan lebar daun yang terbesar. Banyak daun dan besar sudut yang dibentuk antara daun bendera dengan malai, tergantung kepada varietas-varietas padi yang ditanam. Besar sudut yang dibentuk dapat kurang dari 900 atau lebih dari 900 (Norsalis, 2013).
Jarak tanam yang terlalu lebar berpotensi menjadi tidak produktif.Banyak bagian lahan menjadi tidak termanfaatkan oleh tanaman, terutama apabila tanaman tidak mempunyai cukup banyak jumlah anakan sehingga tersisa banyak ruang kosong. Banyaknya ruang kosong ini pada akhirnya menyebabkan berkurangnya
5
hasil padi yang dihasilkan persatuan luas lahan. Dengan kata lain, produktivitas lahan menjadi rendah. Jarak tanam yang umum dianjurkan pada sistem tanam legowo 2:1 adalah 25 cm (jarak antar barisan) x 12,5 cm (jarak dalam barisan) x 50 (jarak lorong) (Hatta, 2013).
Menurut Hatta (2013) jarak tanam yang tepat tidak hanya menghasilkan pertumbuhan dan jumlah anakan yang maksimum, tetapi juga akan memberikan hasil yang maksimum. Jarak tanam yang optimum akan memberikan perumbuhan bagian atas tanaman yang baik sehingga dapat memanfaatkan lebih banyak cahaya matahari dan pertumbuhan bagian bawah tanaman yang juga baik sehingga dapat memanfaatkan lebih banyak unsur hara. Akibatnya pertumbuhan tanaman terhambat dan hasil tanaman rendah.
Produksi padi di Indonesia dalam pada tahun 2013-2015 ini mengalami fluktuasi. Pada tahun 2013 Indonesia mampu memproduksi padi sebesar 71,28 juta ton gabah kering giling (GKG) dengan produktivitas sebesar 51,52 ku/ha. Pada tahun 2014 mengalami penurunan yaitu hanya mampu memproduksi sebesar 70,85 juta ton GKG dengan produktivitas sebesar 51,35 ku/ha. Sedangkan pada tahun 2015 mengalami peningkatan dengan produksi padi yaitu sebesar 75,36 juta ton GKG dengan jumlah peningkatannya sebesar 4,52 juta ton, dan produktivitasnya sebesar 53,39 ku/ha (Badan Pusat Statistik, 2016).
Hama dan penyakit tanaman dapat menimbulkan kerugian antara lain mengurangi hasil produksi tanaman, mengurangi kualitas panen, dan menambah biaya produksi karena diperlukan biaya pemberantasan. Hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi pada umumnya adalah penggerek batang (stem borer), wereng hijau (green leafhopper), walang sangit (leptocorisa oratorius), wereng cokelat (nilaparvata lugens), hawar daun bakteri (xanthomonas campestris pv.
oryzae), busuk batang (stem rot), bercak cercospora (narrow brown leaf spot), dan blas (pyicularia grisea) (Jumin, 2013).
Upaya pemeliharaan tanaman melalui pengendalian hama dan penyakit dapat dilaksanakan dengan terpadu meliputi strategi pengendalian dari berbagai komponen yang saling mendukung dengan petunjuk teknis yang tepat. Penggunaan pestisida dapat menimbulkan dampak negatif terhadap hama utama dan organisme
6
bukan sasaran. Dampak tersebut berupa munculnya resistensi dan resurjensi serangga hama serta terancamnya populasi musuh alami dan organisme bukan sasaran (Syahri dan Somantri, 2016).
B. Hama Tikus
Tikus merupakan salah satu hama utama pada kegiatan pertanian. Kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan hama tikus ini dapat terjadi mulai dari lapangan sampai ke tempat penyimpanan. Selain itu, tikus sering membawa berbagai macam patogen yang dapat ditularkan kepada manusia, yaitu diantaranya yersiniosis, leptospirosis, salmonellosis dan lymphochytis choriomeningitis.
Berikut adalah urutan taksonomi tikus sawah adalah sebagai berikut: Kingdom:
Animalia Phylum: Chordata Subphylum: Vertebrata Class: Mamalia Ordo:
Rodentia Family: Muridae Genus: Ratus (Bari, 2017).
Familia rodent di dunia ada 29 suku, tiga diantaranya ada di Indonesia. Salah satu diantaranya adalah suku Muridae (tikus) berjumlah 171 spesies. Anggota Muridae atau tikus di Jawa terdiri dari 22 spesies. Tikus merupakan hama penting di Asia Tenggara yang dapat menyebabkan kehilangan ekonomi dan dapat menularkan penyakit pada manusia. Spesies tikus tersebut antara lain Rattus norvegicus tikus riul), R. tanezumi (tikus rumah). R argentiventer (tikus sawah), R. exulans (tikus ladang), R. tiomanicus (tikus pohon) dan Bandicota indica (tikus wirok) (Widayani, 2014).
Tikus dan mencit adalah hewan mengerat (rodensia) yang lebih dikenal sebagai hama tanaman pertanian, perusak barang di gudang, dan hewan pengganggu yang menjijikkan di perumahan. Belum banyak diketahui dan disadari bahwa kelompok hewan ini juga membawa, menyebarkan, dan menularkan
berbagai penyakit kepada manusia, ternak, dan hewan peliharaan (Widayani, 2014).
Tikus sawah (Rattus argentiventer) adalah hama utama pada budidaya tanaman padi. Tikus sawah memiliki ciri-ciri panjang dari ujung kepala sampai ekor 270370 mm, panjang ekornya 130-192 mm dan panjang kaki belakang 32-39 mm dan panjang telinga 18-21 mm. Tikus ini memiliki kemampuan memyusui karena memiliki puting sebanyak 12 dengan rumus mamae 3 + 3 = 12. Warna rambut badan atas coklat muda, rambut bagian perut putih atau coklat pucat. Tikus jenis ini banyak
7
di jumpai di sawah dan padang alang-alangHama ini dapat menimbulkan kerusakan mulai dari fase persemaian, fase generatif dan fase penyimpanan di gudang-gudang penyimpanan produk pertanian. Kerusakan yang ditimbulkan oleh hama ini dapat berupa kerusakan kuantitatif, yaitu berkurangnya bobot produksi akibat dikonsumsi seraca langsungdan juga dapat berupa kerusakan kualitatif akibat penurunan mutu produk akibat kontaminasi (Buckle & Eason, 2015).
Tanaman padi akan mengalami kerusakan parah apabila terserang oleh 13 hama tikus dan menyebabkan penurunan produksi padi yang cukup besar. Menyerang batang muda (1-2 bulan) dan buah.Gejalanya, yaitu adanya tanaman padi yang roboh pada petak sawah, pada serangan hebat ditengah petak tidak ada tanaman.
Pengendalian yang dapat dilakukan, yaitu pergiliran tanaman, sanitasi, gropyokan, melepas musuh alami seperti ular dan burung hantu, penggunaan pestisida dengan tepat, intensif dan teratur, memberikan umpan beracun seperti seng fosfat yang dicampur dengan jagung atau beras (Nagara et al., 2015).
Berdasarkan karakter dan ciri morfologi yang dimiliki, tikus rumah (Rattus rattus diardii) digolongkan ke dalam kelas Mammalia, ordo Rodentia, dan famili Muridae. Ciri morfologi tikus rumah (R. rattus diardii) adalah panjang tubuh 100 – 190 mm, dan memiliki panjang ekor lebih panjang atau sama dengan panjang tubuh.
Panjang kaki belakang 35 mm dan telinga 20 mm. Bentuk hidung kerucut, bentuk badan silindris, ekor tidak ditumbuhi rambut, serta memiliki bobot tubuh berkisar antara 70 – 300 g. Memiliki rambut bertekstur agak kasar berwarna cokelat kehitaman pada bagian dorsal dan warna pada bagian ventral hampir sama dengan warna rambut pada bagian dorsal. Tikus betina memiliki puting susu 2 pasang di dada dan 3 pasang di perut (10 buah) (Mulyono & Farida, 2013).
Tikus pohon (Rattus tiomanicus) termasuk ke dalam Kelas Mammalia, Ordo rodentia, Subordo Myomorpha, Famili Muridae, dan Subfamili Murinae. Tikus ini memiliki warna putih pada bagian bawah, punggung dan kepala berwarna kuning coklat, memiliki ekor yang lebih panjang dari badan dan kepala, ukuran telapak kaki belakang dan telinga hampir sama dengan tikus rumah (Rattus rattus diardii).
Hewan betina memiliki lima pasang puting susu yaitu dua pasang pektoral dan tiga
8
pasang inguinal, tekstur rambut agak kasar, bentuk hidung kerucut, bentuk badan silindris, serta warna ekor bagian atas dan bawah coklat hitam (Bari, 2017).
Tikus memiliki kemampuan bereproduksi tinggi, dengan tingkat kelahiran anak sebanyak 5 – 8 ekor anak tahun tanpa mengenal musim. Hal ini lah yang membuat hewan tikus termasuk hewan poliestrus. Faktor habitat pun menjadi salah satu faktor penting untuk perkembangan tikus itu sendiri. Masa bunting tikus selama 21 hari dan pada saat dilahirkan, anak tikus tidak memiliki rambut dan matanya tertutup. Rambut tumbuh pada umur 1 minggu setelah dilahirkan dan mata akan terbuka pada umur 9 – 14 hari, kemudian tikus mulai mencari makan di sekitar sarang. Pada umur 4 - 5 minggu tikus mulai mencari makan sendiri, terpisah dari induknya. Pada usia tersebut tikus dapat dengan mudah diperangkap. Tikus mencapai umur dewasa setelah berumur 45 – 65 hari (Sudarmaji, et al., 2017).
Habitat masing-masing tikus pun dipengaruhi oleh ketersediaan makanan. Selain itu dipengaruhi juga dengan jenis makanan yang disukai tiap tikus. Pada umumnya tikus menyukai makanan yang dimakan manusia karena tikus merupakan hewan omnivora (pemakan segala) (Sudarmaji, et al., 2017).
Pengendalian tikus di gudang-gudang tempat penyimpanan produk pertanian umumnya mengandalkan cara pengendalian kimiawi dengan menggunakan rodentisida. Cara pengendalian ini menjadi pilihan utama karena dikenal oleh masyarakat dan petani sebagai cara pengendalian yang paling mudah, murah, efektif dan efisien. Namun, disisi lain, penggunaan rodentisida memiliki beberapa potensi yang merugikan. Rodentisida dapat mengontaminasi produk simpanan secara langsung. Selain itu, rodentisida dimungkinkan terkonsumsi oleh organisme bukan sasaran, termasuk oleh hewan peliharaan dan juga manusia. Sisa- sisa repihan rodentisida dapat pula mengontaminasi lingkungan termasuk tanah dan air (Buckle & Eason, 2015).
Bagi petani yang melakukan pengendalian tikus pengunaan rodentisida ini mudah didapat dipasaran, harganya terjangkau, sangat mudah aplikasi sehingga membantu pengguna dalam teknik pengendalian. Rodentisida ini aman bagi manusia karena aroma bahan aktifnya tidak menganggu fungsi pernafasan. Bahan aktif racun ini tidak mudah terdeteksi dan dicurigai oleh tikus. Rodentisida baiknya
9
dipasang atau ditempatkan pada jalur mobilitas tikus (runway). Pendeteksian jejak tikus menurut Sudarmaji et al., 2017, mudah diketahui lewat bau urin dan peletakan feses, yang sering dilepaskan sebagai tanda jejak tikus saat memilih habitat dan bahan pakannya. Rodentisida diletakan berdekatan dengan sumber pakan tikus dan jauh dari bahan pangan yang dikonsumsi manusia, terutama jangkauan anak-anak.
C. Hama Burung
Burung yang menjadi hama tanaman pertanian, terutama pada komoditas serealia (padi, jagung dan sorgum) sebagian besar adalah jenis pipit, yang termasuk ke dalam Kelas Aves, Ordo Passeriformes, Famili Ploceidae. Ciri morfologi secara umum dari jenis-jenis burung pipit adalah: ukuran tubuh relatif kecil, paruh pendek dan kokoh sesuai dengan pakannya yaitu biji-bijian, dan tungkai diadaptasikan untuk bertengger, misalnya bertengger pada malai, batang tanaman, dan sebagainya.
Dari famili ini terdapat beberapa spesies penting yang dapat dianggap sebagai hama, yaitu: burung gereja (Passer montanus), burung manyar (Ploceus manyar), burung manyar raja (Ploceus philippinus), burung gelatik (Padda oryzivora), burung pipit/emprit (Lonchura leucogastroides), burung peking (Lonchura punctulata), burung bondol (Lonchura ferruginosa), dan burung bondol uban/haji (Lonchura maja) (MacKinnon, et al., 2013).
Berdasarkan tipe makanannya, burung dikelompokkan ke dalam tiga kelompok: pemakan biji, buah, dan serangga. Di alam, pembagian tersebut sesungguhnya lebih luas lagi dengan adanya burung pemakan ikan, pemakan mamalia kecil, pengisap nektar bunga, dan lain-lain. Kekhususan burung terhadap makanannya ini tidak berlaku mutlak karena hanya berdasarkan pada jenis makanan utamanya. Hampir seluruh burung pemakan biji-bijian tersebar di wilayah Indonesia. Burung seperti ini biasanya bertubuh kecil dan bergerak cukup gesit serta lincah sehingga dalam keadaan liar sukar ditangkap. Burung tersebut antara lain parkit, gelatik, dan pipit/bondol. Beberapa jenis burung pemakan biji antara lain jenis bondol seperti bondol jawa (Lonchura leucogastroides), cerukcuk (Pycnonotus goiaver), dan burung cabe (Dicaeum trochileum) (Suaskara, et al., 2013). Adapun yang termasuk hama burung pada padi adalah dari ordo
10
Passeriformes antara lain: burung pipit pinang/bondol peking (Lonchura punctulata ), pipit/bondol haji (Lonchura maja), burung manyar (Ploceus manyar), burung gelatik (Padda oryzivora) dari Famili Estrildidae, dan burung gereja (Passer montanus) dari Famili Ploceidae (Kuswanda, 2014).
Burung gereja (Passer montanus) bertelur sekali setahun. Telurnya sebesar biji salak berbentuk lonjong, berwarna putih kehijau-hijauan. Jumlah telur 3 – 6 butir dalam satu sarang yang terbuat dari alang-alang, batang padi (jerami) dan ranting-ranting kecil. Di Jawa Barat, burung gereja bertelur sepanjang tahun, kecuali pada bulan Februari, sedang di Jawa Tengah burung ini bertelur pada masa dari Maret sampai Agustus. Sampai kini burung gereja tercatat tersebar dari India sampai Kalimantan, mencapai ketinggian penyebaran dari tempat-tempat setinggi permukaan laut sampai 1800 m dpl (Hidayat, 2013).
Berdasarkan kondisi jarak bertelur seperti itu maka dalam keadaan normal burung Murai Batu dalam penangkaran dapat bertelur setiap bulannya, tetapi ada waktu tertentu burung Murai Batu tidak berproduksi. Ketika burung Murai Batu mengalami rontok bulu atau mabung, burung Murai Batu dipisah dari pejantan sehingga tidak menghasilkan telur. Penanganan ini berbeda dengan kebiasaannya di habitat in situ yang cenderung dipengaruhi oleh iklim sehingga bertelur pada bulan- bulan tertentu (Zulkarnain et al. 2015)
Makanan burung gereja ialah biji rumput-rumputan, termasuk padi. Burung ini meningkat menjadi hama padi jika biji-biji rumput yang di sekitar sarangnya habis dan burung gereja ini datang ke persawahan dalam jumlah yang banyak.
Gerombolan burung gereja dapat mencapai 50 – 100 ekor tiap gerombol dan mendatangi sawah yang sama berkali-kali (Hidayat, 2013).
Bondol adalah jenis burung kecil yang tergolong ke dalam ordo Passeriformes, famili Estrildidae. Sebelumnya burung yang termasuk dalam genus Lonchura ini dimasukkan ke dalam famili manyar-manyaran, Ploceidae. Genus atau marga ini hidup menyebar luas di Afrika dan Asia bagian selatan, mulai dari India dan Sri Lanka ke timur hingga Indonesia dan Filipina. Secara umum, bondol juga dikenal luas sebagai burung pipit. Yang termasuk ke dalam golongan bondol ini
11
yaitu bondol jawa (Lonchura leucogastroides) dan bondol peking (Lonchura punctulata) (MacKinnon et al., 2013).
Bondol jawa (L. leucogastrioides) adalah sejenis burung kecil pemakan padi dan biji-bijian. Burung ini juga disebut dengan nama lain seperti pipit bondol, piit bondol, emprit bondol dan lain-lain, mengikuti suara yang dihasilkannya. Burung ini berbadan kecil, dari paruh hingga ujung ekor sekitar 11 cm. Burung dewasa dominan coklat tua di punggung, sayap dan sisi atas tubuhnya, tanpa coretancoretan.
Muka, leher dan dada atas berwarna hitam, dada bawah, perut dan sisi tubuh putih bersih, tampak kontras dengan bagian atasnya. Sisi bawah ekor kecoklatan. Burung muda dengan dada dan perut coklat kekuningan kotor (Suaskara, et al,.2013).
Penyebaran burung ini tercatat di Sumatera, Jawa, Bali, dan Lombok.
Kemungkinan kini burung ini sudah meluas mengikuti penyebaran pertanaman padi di kepulauan lainnya. Ketinggian penyebaran belum diketahui. Membuat sarang dari alang-alang, batang padi atau rerumputan lainnya. Hidupnya selalu bergerombol sampai dalam satu pohon terdapat beberapa sarang. Dalam satu sarang terdapat 5 ekor burung. Masa bertelur sepanjang tahun dengan bentuknya lonjong berwarna putih kelabu. Dalam satu kali masa telur seekor induk dapat menghasilkan 4 – 5 butir telur, kadang-kadang sampai 6 butir telur. Menyukai lingkungan yang bersemak-semak, hutan sekunder, persawahan atau pekarangan, terutama yang berdekatan dengan pertanaman padi. Di jawa, burung ini pernah merupakan hama padi yang gawat, walaupun demikian, secara terperinci kerugian yang ditimbulkan oleh serangan bondol jawa ini belum diperhitungkan. Pada saat padi menguning, burung ini dating bergerombol berkali-kali untuk mendapatkan makanan yang berupa padi masak (Kuswanda, 2014).
Bondol peking atau pipit peking (L. punctulata) adalah sejenis burung kecil pemakan padi dan biji-bijian. Nama punctulata berarti berbintik-bintik, menunjuk 7 kepada warna bulu-bulu di dadanya. Orang Jawa menyebutnya emprit peking, prit peking; orang Sunda menamainya piit peking atau manuk peking, meniru bunyi suaranya. Burung yang berukuran kecil, dari paruh hingga ujung ekor sekitar 11 cm.
Burung dewasa berwarna coklat kemerahan di leher dan sisi atas tubuhnya, dengan coretan-coretan agak samar berwarna muda. Sisi bawah putih, dengan lukisan
12
serupa sisik berwarna coklat pada dada dan sisi tubuh. Makanan utama burung ini adalah biji rerumputan, di antaranya yang paling disukai yaitu padi (Ayat, 2013).
Salah satu jenis burung hama lainya yaitu burung tempua yang berukuran kecil. Tempua termasuk jenis burung pemakan biji-bijian. Biji padi adalah kesukaannya. Jadi, keberadaannya tentu menjadi musuh bagi petani (Nagara et al., 2015). Gejala yang dapat terlihat, yaitu menyerang padi menjelang panen, tangkai 15 buah patah, biji berserakan. Pengendalian yang dapat dilakukan, yaitu Mengusir dengan bunyibunyian atau orang-orangan (Nagara et al., 2015)
D. Perangkap Tikus
Saat ini sektor pertanian di berbagai daerah di Indonesia sering mengalami kegagalan dari awal tanam hingga pasca panen yang disebabkan berbagai faktor seperti perubahan cuaca, iklim, suhu, kelembaban dan OPT (virus, cendawan, bakteri, nematoda, hama dan gulma). Hama yang sering mengakibatkan kerugian pada petani adalah tikus sawah Rattus Argentiventer pada lahan pertanian. Asia Tenggara termasuk di dalamnya adalah Indonesia, kehilangan produksi tanaman padi akibat serangan tikus sawah mencapai 5-10% per tahun (Sudarmaji dan Herawati, 2017).
Upaya pengendalian kebanyakan para petani biasanya menggunakan pengendalian secara biologi, kultur teknis, fisik mekanik dengan memasang perangkap ataupun kimia. Akan tetapi pengendalian secara kimiwia masih menjadi pilihan utama para petani, karena dengan menggunakan bahan kimia dapat membunuh dan mengganggu aktivitas tikus, seperti aktivitas makan, minum, mencari pasangan serta reproduksi. Pengendalian kimiawi dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu umpan racun (rodentisida), fumigant dan refellent. Sampai saat ini rodentisida paling banyak digunakan petani karena lebih praktis dan mudah didapatkan, dipasarkan dalam bentuk siap pakai atau dicampur dengan umpan sehingga menjadi racun akut atau kronis (antikoagulan) (Buckle dan Eason, 2015).
Pemasangan perangkap tidak hanya dipasang dibiarkan begitu saja, akan tetapi harus menggunakan umpan yang sangat disukai untuk memikat masuknya tikus sawah ke dalam perangkap yang dibuat. Untuk memikat masuknya tikus ke dalam perangkap, biasanya dipasang umpan berupa ikan asin dan kelapa bakar, mentega
13
kacang dan jenis umpan apa saja (Mamudah et al., 2022). Faktor yang mempengaruhi berhasilnya penangkapan tikus adalah pemasangan umpan.
Pemasangan umpan harus disesuaikan dengan wilayah atau tempat pemasangan.
Pengendalian menggunakan umpan pakan relatif lebih aman karena tidak bersifat racun tetapi dapat mempengaruhi indra penciuman bagi tikus. Hasil dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh (Saragih et al., 2019) dan (Nasir et al., 2013) mengatakan bahwa kelapa bakar memiliki daya tarik yang kuat, bau yang harum sehingga mampu memikat tikus masuk dalam perangkap. Adanya umpan dalam perangkap menarik perhatian tikus dari aroma umpan.
BAB III METODE PRAKTIKUM
A. Waktu dan tempat
Praktikum vetebrata hama dilakukan setiap hari selasa pada pukul 11.0012.50 WIB bertempat di Laboratorium Pengendalian Hayati Departemen Proteksi Tanaman, Falkutas Pertanian, Universitas Andalas. Pemasangan perangkap tikus dilakukan pada hari Rabu, 4 Oktober 2023 di daerah Batu Busuk, Limau Manis. Praktikum lapangan dilakukan hari minggu, 26 November 2023 di Ambacang. Pengamatan pribadi dilakukan sekitar area tanaman padi hari kamis 2 November 2023 di daerah Batu Busuk, Limau Manis.
B. Alat dan bahan
Untuk pembuatan perangkap diperlukan alat toples, kawat ram, dan kawat besi, pisau dan gunting. Praktikum dilaboratorium alat yang digunakan adalah perangkap tikus, timbangan, suntikan, sarung tangan, gelas beaker, kawat penjepit, pinset, penggaris, buku, dan kamera. Pembuatan perangkap tikus diperlukan bahan umpan tikus. Bahan yang digunakan adalah tikus, formalin 70%, makanan tikus, dan tissue. Praktikum lapangan alat yang digunakan adalah kamera dan buku tulis, bahan yang digunakan adalah area persawahan. Pada pengamatan pribadi alat yang digunakan adalah kamera, dan buku tulis, dan bahan yang digunakan adalah tanaman padi yang terserang vetebrata hama.
14
C. Cara kerja 1. Pembuatan Perangkap
Cara kerja pembuatan perangkap tikus, pertama siapkan alat dan bahan yang diperlukan, potong kawat ram dengan panjang 40 x 20 bentuk seperti persegi panjang dan ikat dengan tali kawat. Potong bagian bawah toples, tutupi bagian toples dengan kaawat ram yang telah dibentuk tadi dan ikat menggunakan tali kawat. Agar tikus tidak melubangi tutup toples, lapisi dengan kawat ram dan ikat menggunakan tali kawat. Bagian bawah toples yang dipotong tadi diikatkan pada sisi ujung kawat satu bagian saja agar bisa dibuka tutup, Perangkap siap digunakan.
2. Identifikasi Tikus a. Pemasangan Perangkap
Cara kerja dalam pemasangan perangkap ini adalah pertama disiapakan perangkap tikus yang sudah diberikan umpan makan. Perangkap diletakkan di lahan sawah daerah Batu Busuk yang terdapat gejala serangan tikus atau lubang tikus disekitar tanaman. Perangkap ditutupi dengan dedaunan atau reranting pohon.
Diamati setiap hari apakah tikus sudah teperangkap atau tidak.
b. Identifikasi Laboratorium
Cara kerja dalam identifikasi tikus adalah siapkan tikus yang sudah terperangkap, lalu disuntikan formalin dan tunggu sampai tikus mati. Keluarkan tikus dari perangkap dan di identifikasi morfologi tikus meliputi karakter kuantitatif:
Dalam identifikasi tikus dilakukan pengukuran kuantitatif dan kualitatif dari tikus dan mengetahui jenis kelamin dari tikus yang diidentifikasi:
Tabel 1. Tabel pengukuran data kuantitatif No Aspek Pengamatan 1. Berat badan tikus 2. Panjang kepala
3. Panjang kepala dan badan 4. Panjang ekor
5 Panjang telinga 6. Panjang gigi seri 7. Panjang gigi bawah
15
8. Panjang telapak kaki 9. Jenis kelamin
Tabel 2. Tabel pengukuran data kualitatif
No. Aspek Pengamatan 1. Warna punggung 2. Warna perut 3. Warna ekor 4. Jenis kelamin
3. Pengamatan dilapangan
Cara kerja pengamatan dilapangan adalah, melakukan pengamatan langsung diarea persawahan, dengan pengamatan yang dilakukan adalah gejal serangan hama burung pada padi, pengendalian hama burung yang dilakukan oleh para petani, mengitung presentase serangan malai terserang dalam 1 rumpun sampel, mendokumentasikan malai sehat dan malai terserang hama burung, dan melakukan pencarian lubang tikus disekitar area persawahan dan mendokumentasikannya.
4. Hama burung pada tanaman padi
Cara kerja melihat gejala serangan burung di tanaman padi yaitu mengamati malai sehat dan malai yang terserang pada tanaman padi yang sedang berbuah dan melihat serangan dari burung berkurangnya bulir padi pada malai dan mendokumentasikan kerusakan yang diakibatkan dari serangan burung.
16
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Dari pelaksanaan praktikum diperoleh hasil pada tabel dibawah ini, 1. Pembuatan perangkap tikus
Tabel 3. Pembuatan perangkap
Nama Perangkap Gambar
Perangkap semi otomatis
2. Identifikasi Tikus a. Data Kualitatif
Tabel 4. Hasil data kualitatif
No. Aspek Pengamatan Keterangan
1. Warna punggung Coklat pirang
2. Warna perut Putih kekuningan
3. Bentuk ekor Lurus
17
4. Jenis kelamin Jantan
5. Bentuk moncong Kerucut terpotong
6. Tekstur rambut Agak kasar dan agak panjang
b. Data Kuantitatif
Tabel 5. Hasil data kuantitatif
No Aspek Pengamatan Keterangan
1. Berat badan tikus 76, 39 gram
2. Panjang total 30 cm
3. Panjang kepala 4 cm
4. Panjang kepala dan badan 14 cm
5. Panjang ekor 16 cm
6. Panjang telinga 1,5 cm
6. Lebar sepasang gigi seri 1 cm
7. Panjang dan lebar testis 1 cm
8. Panjang telapak kaki 3 cm
3. Pengamatan di Lapangan a. Gejala Serangan Hama tikus
Gambar 6. Tanda keberadaan tikus a. Gejala serangan tikus dan b. Lubang tikus
b. Persentase Serangan Hama Burung
Tabel 6. Presentase serangan hama burung pada padi Ulangan Jumlah Malai Jumlah Malai
Terserang
Persentase Tanaman Terserang
1. 23 11 47,82%
2. 15 9 60%
18 b
a
3. 13 5 38,46%
4. 26 13 50%
c. Gejala Serangan Hama Burung
Gambar 7. Gejala serangan burung
d. Perbedaan Malai Sehat dan Malai Terserang Tabel 7. Perbedaan malai sehat dan malai terserang
Perbedaan
Malai Sehat Malai Tersearang
e. Pengendalian Hama di Lapangan
19
Gambar 8. Cara pengendalian hama burung a.
Menggunakan plastik mengkilat dan b. Menggunakan orang sawah, jaring dan kantong plastik
Gambar 9. Pengamatan hama burung di tanaman padi a.Gejala serangan burung dan b. Pengendalian hama burung
A. Pembahasan 1. Pembuatan perangkap
Teknik pengendalian tikus terdiri dari empat tahapan yaitu monitoring, sanitasi, pemerangkapan dan pengunaan bahan kimia (insektisida). Metode pengendalian pengunaan perangkap adalah teknik pengendalian yang sangatsering digunakan oleh masyarakat karena dapat menghindari sifatresistensi tikus, mengurangi pencemaran lingkungan, menghemat biaya pengendalian serta merupakan cara yang efektif, aman, dan ekonomis.
Kelebihan perangkap dapat digunakan beberapa kali dan pemasangan umpan pada perangkap dapat mengintensifkan jumlah tenaga kerja. Perangkap mati, jenis perangkap yang lebih sering digunakan oleh para petani dan keluarga adalah perangkap mati. Perangkap mati dianggap sangat praktis dalam proses
20 b
a
a b
Hama pada tanaman padi 4.
pengendalian. Dimana saat tikus terperangkap, orang tidak lagi harus menambah waktu dan tenaga untuk mematikan tikus, sebelum dibakar atau ditanam.
Pengendalian menggunakan perangkap merupakan pengendalian yang paling awal dilakukan. Perangkap ini terbuat dari bahan kawat yang berukuran panjang 40 cm, lebar 20 cm dan tinggi 20 cm. Alat yang digunakan untuk pembuatan perangkap yaitu kawat, ram kawat, gunting, pisau cutter, dan toples.
Kemudian bahan yang digunakan yaitu umpan. Perangkap ini terdapat pintu masuk yang dapat menutup sendiri ketika tikus itu masuk ke dalam perangkap (Mamudah, 2022).
Saat melakukan pemerangkapan tikus dilapangan menggunakan perangkap semi otomatis. Perangkap ini cukup efektif karena kelompok 4 berhasil menangkap satu ekor tikus. Keefektifan dari alat pemerangkapan ini akan baik jika, saat penggunaan dilapangan harus tetap menjaga kebersihan perangkap. Saat pemasangan perangkap dilakukan dan terdapat tikus yang tertangkap maka setelah tikus dikeluarkan dan ketika perangkap akan digunakan kembali, perangkap terlebih dahulu harus dibersihkan dari sisa-sisa urine, fases atau darah tikus yang menempel. Upaya pengendalian tikus sawah dengan menggunakan perangkap harus dilakukan terus menerus sehingga dapat menimbulkan faktor jera perangkap.
2. Identifikasi Tikus
Tikus sawah merupakan hewan nocturnal dan menyerang tanaman padi di malam hari.Tikus mempunyai kemampuan untuk mengenali benda dalam cahaya redup pada jarak 10 m. Siang hari tikus sawah bersembunyi di dalam lubang yang berada di tanggul irigasi, pematang, dan daerah perkampungan dekat sawah. Pada periode sawah bera, sebagian besar tikus sawah bermigrasi ke daerah perkampungan terdekat dan kembali lagi ke sawah setelah tanaman padi menjelang fase generatif. Tikus sawah termasuk hama yang sulit dikendalikan.
Menurut Siregar et al., (2020) Tikus sawah adalah salah satu hama utama tanaman padi yang sangat merugikan bagi petani karena dapat merusak pada semua stadia pertumbuhan tanaman.
21
Cara perkembangbiakan, mobilitas cepat serta daya merusak tanaman padi yang cukup tinggi menyebabkan hama tikus sawah selalu menjadi ancaman di pertanaman padi. Aktivitas harian tikus sawah berkaitan dengan kebutuhan untuk mencari pakan dan berkembang biak. Tikus sawah cenderung memilih atau tertarik tanaman padi pada stadium yang lebih tua.
Berdasarkan hasil praktikum yang telah didapatkan, jenis tikus yang identifikasi yaitu tikus sawah Rattus rargentiventer. R. argentiventer yang didapatkan pada perangkap disawah sebanyak 1 ekor tikus yang berjenis kelamin jantan. Hal ini dapat dilihat pada habitatnya yang ditemukan disawah dengan warna rambut badan atas coklat pirang, rambut bagian bawah perut putih kekuningan, panjang ujung kepala sampai ekor 30 cm, dan panjang ekor 16 cm.
Hasil perangkap tikus yang didapat dilapangan kemudian diidentifikasi dilabor. Identifikasi tikus tidak jauh berbeda dengan literatur mengenai tikus sawah. Dengan hasil identifikasi bentuk bulu agak kasar, mulut kerucut terpotong, ekor agak silindris, warna badan bagian atas coklat pirang, badan bagian bawah putih kekuningan, kemudian warna ekor coklat. Untuk panjang badan tambah kelapa 14cm, panjang ekor 16 cm, panjang tengkorak 4 cm, panjang telinga 1,5 cm, panjang gigi penggerat rahang atas 1 cm, panjang telapak kaki belakang 3 cm, bobot tubuh sekitar 76,39 gram dan jenis kelamin yang didapat yaitu jantan.
3. Pengamatan Lapangan a. Gejala Serangan Hama Tikus
Dari hasil pengamatan dilapangan yang dilakukan diarea persawahan didapatkan, bahwa adanya lubang tikus yang terdapat di area persawahan, hal ini menandakan adanya tikus di lahan tersebut. Di area persawahan adanya bagian petakan yang bolong yang menandakan bahwa batang padi dimakan oleh tikus sawah.
Pada umumnya intensitas kerusakan tanaman padi akibat serangan tikus sangat dipengaruhi oleh kelimpahan populasi tikus. Semakin tinggi populasi tikus, maka semakin tinggi pula kemungkinan intensitas kerusakan yang terjadi. Hal ini
22
terlihat dari pengamatan dilapangan yang dilakukan bahwa hanya sedikit bagian petakan sawah kosong atau bergejala serangan dari tikus sawah.
Seluruh bagian tanaman padi pada berbagai stadia pertumbuhan dapat dirusak oleh tikus. Walaupun demikian, tikus paling senang memakan bagian malai atau bulir tanaman padi pada stadia generatif. Pada stadia persemaian , tikus mencabut benih yang sudah mulai tumbuh (bibit) untuk memakan bagian biji yang masih tersisa (endosperm). Pada stadia vegetatif, tikus memotong bagian pangkal batang untuk memakan bagian batangnya. Adapun pada stadia generatif, tikus memotong pangkal batang untuk memakan bagian malai atau bulirnya
Ketersediaan sumber makanan yang melimpah dengan kualitas baik merupakan faktor pendukung bagi tikus untuk berkembangbiak secara optimal dan padi stadia stadia bunting merupakan pakan yang paling disukai oleh tikus. Hal ini sejalan dengan proses perkembangbiakan tikus yang juga dimulai pada saat tanaman padi memasuki stadia generatif. Oleh karena itu, untuk mendukung proses perkembangbiakannya tikus membutuhkan pakan yang berkualitas sebagaimana yang terkandung pada padi stadia bunting. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan aktivitas pergerakan tikus lebih banyak terjadi pada stadia awal generatif dan salah satu tanda aktivitasnya adalah adanya gejala serangan berupa kerusakan pada tanaman padi (Siregar et al., 2020).
Selain itu, tingginya intensitas kerusakan tanaman padi akibat serangan tikus terjadi karena tikus memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan kelompok hama lainnya, diantaranya adalah memiliki mobilitas tinggi, merusak pada semua stadia pertumbuhan tanaman, merusak dalam waktu singkat, dan pada tingkat serangan yang tinggi tikus dapat merusak semua rumpun padi dan hanya menyisakan 1-2 baris rumpun pada bagian pinggir. Kondisi ini bahkan semakin berbahaya karena daya rusak tikus terhadap terhadap tanaman padi 5 kali lebih besar dari jumlah yang dikonsumsi (Siregar et al., 2020).
Terdapat beberapa metode untuk mengendalikan tikus yang dapat dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat, secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok yaitu. Pengendalian secara kultur teknis dengan membuat lingkungan yang tidak menguntungkan bagi kehidupan dan
23
perkembangan populasi tikus yakni dengan cara pengaturan pola tanam, pengaturan waktu tanam, pengaturan jarak tanam. Pengendalian secara fisik dan mekanis yakni dengan membunuh tikus dengan bantuan alat seperti senapan angin dan perangkap.
Perangkap tikus merupakan metode pengendalian yang paling tua. Pengendalian secara biologi (Pengendalian hayati) yakni dengan pemanfaatan musuh alami tikus seperti kucing, ular sawah, elang, dan burung hantu (Isnani, 2016). b. Presentase Serangan Burung
Salah satu jenis hama yang biasanya menyulitkan para petani pada tanaman padi adalah terjadinya serangan hama Burung pada masa padi mulai menjelang panen. Jumlahnya bisa mencapai ribuan ekor dan menghabiskan bulir padi siap panen dalam waktu singkat. Banyak para petani yang gagal panen atau mengalami kerugian besar saat panen terjadi.
Burung akan memakan tanaman padi ketika berbuah, yaitu memakan bulirnya. Semakin banyak jumlah burung pipit yang menyerang semakin banyak juga bulir padi yang dimakan. Serangannya menyebabkan biji hampa, bulir padi mengering, dan banyak biji yang hilang karena rontok (Ziyadah, 2014). Pada pengamatan presentase serangan hama burung disawah, didapatkan data presentase serangan yang berbeda beda setiap rumpun padi yang ada, dengan intensitas seranagn paling tinggi pada 42,10% dan paling rendah 20%.
Dari hasil data yang didapatkan dapat membuktikan bahwa serangan hama burung disawah dapat mengakibatkan kerugian pasca panen akibat berkurangnya berat padi yang didapatkan, dikarnakan telah dimakan oleh burung. Apabila tidak ada pengendalian sama sekali yang dilakukan petani dalam menegendaliakn hama burung disawah akan menurunkan hasil padi yang didapat. c. Gejala Serangan Burung
Pengamatan dilapangan juga mengamati bagaimana gejala serangan hama burung diarea persawahan. Hama burung merupakan salah satu musuh utama bagi petani yang dapat menurunkan produksi tanaman. Meningkatnya populasi burung menyebabkan menurunya hasil panen. Gejala serangan hama burung dilapangan yang ditemukan adalah burung memakan biji yang menyebabkan biji hilang atau
24
hampa. Selain itu tangkai buah padi mengalami kerusakan, tangkai patah, dan sisa biji berjatuhan.
Pada pengamatan yang dilakukan burung yang menyrang di area persawahan adalah burung pipit. Gejala serangan yang ditimbulkan dari serangan burung pipit yaitu bulir padi yang baru masak telah hilang atau kosong karena taelah termakan oleh burung pipit dan biasanya burung pipit ini mrnyerang bulir padi yang baru masak sampai memasuki masa panen dari padi tersebut.
Menurut (Modjo, 2014) Pengendalian burung pipit dapat dilakukan dengan cara mekanis, biologis, dan kimia. Pengendalian mekanis dapat dilakukan dengan pita kaset, cd/dvd bekas, atau cara paling sering digunakan yaitu dengan menggunakan orang orangan sawah “Bebegig” atau dengan kaleng bekas yang di hubungkan dengan seutas tali mengelilingi petak pesawahan yang di gerakan dari saung sehingga menimbulkan bunyi bunyian untuk mengusir hama burung pipit.
Pengendalian secara biologis, dilakukan dengan menggunakan rendaman buah jengkol dan buah serut. Pengandalian secara kimiawi dapat dengan menggunakan fungisida tiflo 80wp untuk pengendalian burung. d. Perbedaan Malai Sehat dan Terserang
Potensi hasil tanaman padi ditentukan oleh salah satu karakter utamanya yaitu arsitektur malai padi. Ukuran dan struktur malai merupakan faktor penting yang berkontribusi terhadap hasil dan kualitas padi. Beberapa karakter malai lainnya yang berkontribusi terhadap hasil antara lain ukuran malai, densitas malai per m2 dan percabangan malai (Rahayu et al., 2018).
Pada pengamatan dilapangan kita melihat bagaimana malai yang sehat dan bagaimana malai yang terserang hama. Malai yang sehat pada pengamatan dilapangan adalah malai yang tumbuh dengan baik, dan tidak terserang hama atau penyakit, ataupun mengalamai pertumbuhan terhambat, dan adanya bulir padi terdapat. Sedangkan malai yang terserang hama dilapangan yang ditemukan adalah adanya malai yang patah, atau membengkok kebawah, adanya bulir padi yang hilang akibat diserang oleh hama. Dari pengamatan ini juga kita dapat membedakan malai yang sehat dan malai yang terserang burung. e. Cara Pengendalian Hama Burung
25
Hama burung merupakan salah satu penyebab turunnya produksi padi di Indonesia. Hama burung menjadi hama lansung yang memakan bulir padi. Serangan hama burung sangat berdampak pada bobot hasil padi pada saat panen. Hama burung menyerang malai padi yang masi hijau kekuningan karena hama burung menyukuai padi yang belum terlalu matang. Gejala yang ditimbulkan oleh hama burung yaitu rusaknya malai dan berkurangnya bulir pada malai, kemudian pada kerusakan parah bisa menyebabkan patahnya malai akibat terlalu banyaknya burung yang menyerang pada tanaman padi.
Dilahan sawah yang dilakukan pengamatan, vetebrata hama yang di jumpai yaitu hama burung yang memakan bulir padi, sehingga mengurangi hasil panen padi nantinya, akibat kehilangan bulir padi. Para petani sekitar dalam mengendalikan burung dilakukan dengan menggunakan plastik mengkilap berukuran panjang yang dipasang di sawah. Plastik ini dipasang untuk memantulkan sinar matahari yang dapat membuat silau, sehingga burung tidak jadi mendekati pertanaman padi.
Plastik dapat diikat pada tiang disesuaikan dengan lokasi, para petani memasang nya berdasarkan perpetakan sawah. Cara yang digunakan petani memasang kantong plastik pada sebuah tiang dari kayu, untuk mengusir burung dari area persawahan.
Hama burung dapat dikendalikan dengan menggunakan plastik mengkilap berukuran panjang yang dipasang di sawah.Plastik ini dipasang untuk memantulkan sinar matahari yang dapat membuat silau, sehingga burung tidak jadi mendekati pertanaman padi.Plastik dapat diikat pada tiang per 6 Meter atau disesuaikan dengan lokasi. Pemasangan plastik mengkilap mempunyai kelemahan, karena pada jam pukul 05.00 – 07.00 pagi dan pukul 17.00 – 18.00 sore cahaya matahari tidak nampak apalagi pas cuaca mendung dan hujan. Padahal waktu-waktu tersebut merupakan waktu yang kritis bagi tanaman diserang burung.
5. Hama burung pada tanaman padi
Salah satu dampak serangan burung sebagai hama di pertanian di Indonesia adalah kegagalan panen. maka perlunya untuk mengantisipasi sejak dini permasalahan yang timbul dalam proses budidaya padi. Salah satunya ialah sulitnya mengendalikan hama burung pemakan padi. Hama burung merupakan salah satu musuh utama bagi petani yang dapat menurunkan produksi tanaman.
26
Meningkatnya populasi burung menyebabkan menurunya hasil panen. Menurut Salsabila (2013), hama burung dapat memakan padi rata-rata sebanyak 5 g sehari.
Serangan kelompok burung telah banyak meresahkan para petani.
Terdapat beberapa jenis burung bondol dari suku Ploceidae, yaitu bondol peking (L. punctulata), bondol jawa (L. leucogastroides) dan bondol haji (L.
maja). Jenis burung dari suku Ploceidae memiliki ciri-ciri ukuran kecil, ekor pendek, paruh tebalpendek yang biasa digunakan untuk memakan biji. Burung jenis ini senang berkelompok dan membentuk kelompok yang besar. Akibat dari kebiasaan dan kesukaan burung memakan biji-bijian, kelompok burung dari suku ini menjadi hama yang sangat merugikan bagi para petani (MacKinnon et al., 2013).
Pengamatan gejala serangan hama burung pipit (Lonchura punctulata) di lahan pertanaman sawah berlokasi di Batu Busuk, Limau Manis. Gejala serangan burung yang ditemukan dilapangan yaitu gejala yang disebabkan oleh serangan oleh hama burung rusaknya malai dan berkurangnya bulir pada malai, kemudian pada kerusakan parah bisa menyebabkan patahnya malai akibat terlalu banyaknya burung yang menyerang pada tanaman padi. Sama halnya dengan penelitian terdahulu menjelakan bahwa gejala dan kerusakan yang diakibatkan oleh burung tidak jauh berbeda dengan apa yang ditemukan di lapangan malai padi yang kehilangan bulirnya akibat dimakan oleh hama burung. Burung menyerang pada padi matang susu yang masi berbentuk hijau muda karena padi tersebut lebih lunak sehingga burung mudah untuk memakannya. Serangan yang dilakukan oleh hama burung berupa memakan bulir pada malai padi yang sudah memasuki masa masak susu atau padi dengan masa tanam 70 hari. Akibat dari serangan burung produksi padi mengalami penurunan sebanyak 30-50%.
Serangan terjadi saat kondisi cuaca teduh dan burung menyerang secara bergerombol. Serangan hama burung terjadi pada fase vegetatif yaitu pada saat bulir padi sudah hampir matang/masak sanpai siap panen, bahkan sampai pasca panen.
Serangan hama pada fase generatif dari golongan burung yang beragam jenis, diantaranya yang sering ditemui adalah burung pipit L. Atricapilla dan L
27
punctulata merupakan spesies burung pipit yang paling penting dalam menghambat produksi padi. Fase generatif dari tanaman padi dan memasuki tahapan masak susu hingga panen merupakan stadia yang sangat di sukai oleh golongan hama burung. Hama tersebut memakan langsung bulir padi yang sedang menguning hingga mengalami patah malai. Kondisi tersebut mengakibatkan kehilangan hasil panen. Salah satu cara pengelolaan hama ini dapat dilakukan dengan menghasilkan suara sebagai upaya untuk mengusir burung dari tanaman padi sawah. Hal ini sesuai dengan laporan dari Heinrichs (2015) bahwa sejak pembibitan hingga panen tanaman padi sawah diserang oleh beberapa hama burung (Passer spp.), dan hama lain.
Banyak metode yang dipraktekan dalam upaya pengusiran serangan hama burung tersebut. Di antaranya penggunaan jaring-jaring atau pemanfaatan orang- orang sawah. Namun demikian, metode yang dipergunakan tersebut dipandang kurang efesien dan efektif. Selain membutuhkan waktu yang tidak sedikit, juga keaneka ragaman serangan tersebut sangat variatif.
Berdasarkan hasil pengamatan, upaya pengendalian di Sawah yang diamati adalah menggoyangkan tali yang diikat pada kayu yang terdapat disisi tepi sawah untuk mengusir burung pipit. Cara yang dapat dilakukan para petani untuk mengendalikan serangan kelompok burung bondol, seperti pemasangan orangorangan sawah, pemasangan tali berwarna metalik, pemasangan jaring dan lainnya.
Menurut Zulfiadi (2014), dalam mengendalikan hama burung dengan memasang rumbairumbai dirasa petani kurang efisien dalam hal kelelahan fisik dan mahalnya upah buruh untuk menghalau burung dengan rumbai-rumbai tersebut. Hal itu terbukti dari sedikitnya upaya yang dilakukan petani pengendalian hama burung di Desa Ciherang. Pada lokasi ini juga ada upaya pengendalian untuk membasmi hama serangga yang menyerang tanaman padi.
BAB V. PENUTUP
28
A. Kesimpulan
Memerangkap tikus meggunakan perangkap semi otomatis dapat efektif menagkap tikus karena berhasil menangkap satu ekor tikus sawah. Perangkap ini cukup efektif digunakan jika, saat penggunaan dilapangan harus tetap menjaga kebersihan perangkap. Saat pemasangan perangkap dilakukan dan terdapat tikus yang tertangkap maka setelah tikus dikeluarkan dan ketika perangkap akan digunakan kembali, perangkap terlebih dahulu harus dibersihkan dari sisa-sisa urine, fases atau darah tikus yang menempel.
Kesimpulan dari pratikum identifikasi tikus yang dilakukan kita dapat mengetahui data pengamatan kualitatif dan kuantatif dari tikus yang diperoleh dari lapangan. Dari identifikasi tikus kita juga balajar bagaimana cara mengakap dan mematikan tikus untuk diidentifikasi sehingga dapat diketahui apa spesies tikus yang di dapat.
Kesimpulan dari pengamatan dilapangan, yang bertempat di Ambacang yaitu, adanya lubang tikus yang ditemukan diarea persawahan, serta adanya bagian area perswahan yang kosong akibat diamakan oleh tikus. Serangan hama burung memiliki data presentase yang berbeda beda setiap rumpun padi yang ada, dengan intensitas serangan paling tinggi pada 60% dan paling rendah 38,46%. Malai yang diserang oleh hama burung terlihat bulir padinya habis atau tak bersisa dalam satu rumpun padi, sedangkan malai yang sehat adalah malai yang tidak terserang oleh hama atau penyakit tanaman padi. Gejala serangan hama burung dilapangan yang ditemukan adalah burung memakan biji yang menyebabkan biji hilang atau hampa.
Selain itu tangkai buah padi mengalami kerusakan, tangkai patah, dan sisa biji berjatuhan.
Kesimpulan dari pengamatan dilapangan yang dilakukan disawah tanaman padi yang terserang hama burung adanya gejala serangan burung pada tanaman padi yaitu, burung memakan bulir padi sehingga dapat menurunkan produksi. Petani mengendalikan hama burung menggunakan tali yang diikatkan pada ujung ke ujung sawah sehingga ketika tali ditarik akan dapat menghalau burung yang hinggap pada tanaman padi
29
B. Saran
Saran untuk pratikum vetebrata hama selanjutnya agar pratikum dilakukan dengan labih serius, dan melakukan pengamatan atau melakukan pengendalian dilapangan secara langsung.
30
DAFTAR PUSTAKA
Ayat, A. 2013. Buku Panduan Lapangan Burung-burung Agroforest di Sumatera.
Bogor: ICRAF Asia Tenggara.
Badan Pusat Statistik. 2016. Produksi Padi Menurut Provinsi (ton). 1993- 2015.
Sumatera Barat
Bari IN. 2017. Pengaruh Suara Predator terhadap Metabolisme dan Aktivitas Harian Tikus Sawah (Rattus argentiventter) di Laboratorium. Jurnal Agrikultura. 28(3): 157-160.
Buckle, AP, and CT Eason. 2015. Control methods: Chemical. Pp. 123-154 in Rodent Pest and their Control. 2 nd Ed. (AP Buckle, and RH Smith, Eds.).
CABI, Lincoln.
Hatta, Muhammad. 2013. Pengaruh Tipe Jarak Tanam Terhadap Anakan, Komponen Hasil, Dan Hasil Dua Varietas Padi Pada Metode SRI.J.Floratek 6:104-113. Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh.
Heinrichs, E.A. 2015. Biologi and Management of Rice Insects. IRRI. Wiley Eastern Limited, New Age International Limited. New Delhi. Bangalore.
Bombay. Calcuta. Guwahati. Hyderabad. Lucknow. Madras. Pune.
London. 779 hal.
Hidayat, Oki. 2013. Keanekaragaman Jenis Avifauna di KHDTK Hambala, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea, Vol. 2 No. 1 Humaerah, A. D.2013. Budidaya Padi (Oryza Sativa) Dalam Wadah Dengan
Berbagai Jenis Pupuk Pada Sistem Tanaman Berbeda. Jurnal Agribisnis, Vol. 7 No. 2, 119-210.
Iskarlia, G. R. 2018. Pengendalian Hama Tikus Pada Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Fase Tanaman Menghasilkan (Tm) Di Pt Hasnur Citra Terpadu. Polhasains: jurnal sains dan terapan Politeknik Hasnur, 6(01), 6-12.
Isnani, T. 2016. Perilaku Pengendalian Tikus Di Daerah Berisiko Penularan Leptospirosis. Indonesian Journal of Health Ecology, 15(2), 107-114.
31
Jumin, H.B. 2010. Dasar-dasar Agronomi. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Kuswanda, W. 2014. Pengaruh Komposisi Tumbuhan Terhadap Populasi Burung Di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara (Effect Of Plant Composition On Bird Population In Batang Gadis National Park, North Sumatra). Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, Vol. VII No.2:
193-213.
MacKinnon J., K. Philips dan B. Van Balen. 2013. Burung-burung di sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan. Buku. Puslitbang Biologi-LIPI. Bogor.
Makarim, A. K., Suhartatik, E. 2013. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Hal 295-330.
Mamudah, Mahmudah & Indar Pramudi, Muhammad & Marsuni, Yusriadi. 2022.
Tingkat Kesukaan Tikus Terhadap Berbagai Umpan Pada Perangkap Semi Otomatis. Jurnal Proteksi Tanaman Tropika. 5. 455-462.
Modjo. S.A. 2014. Pengendlian Hama Bulir Pemakan Padi Sawah. Laporan Peneliatian Hasil Pertanian. Universitas Gorontalo.
Mulyono, A., & Farida, D. H. 2013. Histopatologi Hepar Tikus Rumah (Rattus Tanezumi) Infektif Patogenikleptospiraspp. Vektora: Jurnal Vektor dan Reservoir Penyakit, 5(1), 7-11.
Nasir, M., Y, Amira., dan AH. Mahmud. 2013. Keanekaragaman Jenis Mamalia Kecil pada Tiga Habitat yang Berbeda di Lhokseumawe Provinsi Aceh.
BALABA 8 (02), 33-36.
Norsalis, E. 2013. Padi Gogo dan Sawah. Jurnal Online Agroekoteknologi, 1(2):
1-14.
Purnomo H. 2013. Pengantar Pengendalian Hayati. C.V Andi Offset. Yogyakarta.
Rahayu, S., Ghulamahdi, M., Suwarno, W. B., & Aswidinnoor, H. 2018.
Morfologi malai padi (Oryza sativa L.) pada beragam aplikasi pupuk nitrogen. Jurnal Agronomi Indonesia (Indonesian Journal of Agronomy), 46(2), 145-152.
Salsabila A. 2013. Burung-burung pintar dan unik. Universitas Andalas: Padang.
32
Saragih, R. K., Martini, dan U. Tarwtjo. (2019). Jenis dan Kepadatan Tikus di Panti Asuhan "X" Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat 7(1), 260- 270.
Satria, B., & Harahap, E. M. 2017. Peningkatan Produktivitas Padi Sawah (Oryza sativa L.) Melalui Penerapan Beberapa Jarak Tanam dan Sistem Tanam:
The increased productivity of paddy (Oryza sativa L.) by application some distance planting and cropping system. Jurnal Online Agroekoteknologi, 5(3), 629-637.
Siregar, H.M., S. Priyambodo., D. Hindayana. 2020. Preferensi Serangan Tikus Sawah (Rattus argentiventer) terhadap Tanaman Padi. Agrovigor, 13(1):16-21.
Sitohang, F.R.H., L.A.M. Siregar dan L.A. Putri. 2014. Evaluasi Pertumbuhan Dan Produksi Beberapa Varietas Padi Gogo (Oryza sativa L.) Pada Beberapa Jarak Tanam Yang Berbeda. Jurnal Online Agroekoteknologi.
ISSN No. 2337- 6597 Vol.2, No. 2: 661 – 679
Sitohang, F.R.H., L.A.M.Siregar dan L.A.Putri. 2014. Evaluasi Pertumbuhan Dan Produksi Beberapa Varietas Padi Gogo (Oryza sativa L.) Pada Beberapa Jarak Tanam Yang Berbeda. Jurnal Online Agroekoteknologi. ISSN No.
2337- 6597 Vol.2, No.2: 661 – 679
Suaskara IBM, Ginatra IK, Muksin IK. 2013. Keberadaan Jenis-Jenis Burung Di Kawasan Padang Pecatu Kabupaten Bandung. Jurnal Bumi Lestari 10 (1):
69- 74.
Sudarmaji, S., Herawati, N. A., & Pesar, B. 2017. Perkembangan populasi tikus sawah pada lahan sawah irigasi dalam pola indeks pertanaman padi 300.
Sujiwo. 2017. Penentuan Nilai Evapotranspirasi Dan Koefisien Tanaman Beberapa Varietas Padi Unggul Di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Sumarno. 2014. Sistem Produksi Padi Berkelanjutan dengan Penerapan Revolusi Hijau Lestari. Iptek Tanaman Pangan.
33
Syahri dan R.U. Somantri. 2016. Penggunaan varietas unggul tahan hama dan penyakit mendukung peningkatan produksi padi nasional. Jurnal Litbang Pertanian. 35 (1): 25-36.
Trizelia, T., & Reflin, R. 2018. Pemberdayaan kelompok tani melalui pelatihan pengendalian hama dan penyakit tanaman kakao di Kanagarian Campago Kabupaten Padang Pariaman. Buletin Ilmiah Nagari Membangun, 1(4), 88- 95.
Utama, M. Zulman Harja. 2015. Budidaya Padi Lahan Marjinal Kiat Meningkatkan Produksi Padi. Yogyakarta.
Widayani, H. A., & Setiana, S. 2014. Identifikasi tikus dan cecurut di Kelurahan Argasoka dan Kutabanjarnegara Kecamatan Banjarnegara Kabupaten Banjarnegara tahun 2014. Balaba, 10(1), 27-30.
Ziyadah K. 2014. Kemampuan Makan, preferensi pakan, dan pengujian umpan beracun pada bondol peking (Lonchura punctulata L.) dan bondol jawa (Lonchura leucogastroides Horsfield & Moore). [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Zulfiadi YA. 2014. Prototype alat pengusir hama burung berbasis mikrokontroler atmega8 [tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Negeri Yogyakarta.
34
LAMPIRAN
a. Pembuatan Perangkap
No. Gambar Keterangan
1. Rancangan pembuatan
perangkap tikus
2. Alat dan bahan pembuatan
perangkap
3. Perangkap siap digunakan
b. Pengamatan Lapangan
No. Topik Output
1. Survey lahan padi sawah yang terserang tikus.
35
2. Survey lahan padi sawah yang terserang burung
c. Perhitungan Persentase Serangan Hama Burung Rumus P = a x 100%
b
keterangan a : malai terserang b : jumlah malai 1. 11 x 100% = 47,82%
23
2. 9 x 100% = 60%
15
3. 5 x 100% = 38,46%
4. x 100% =50%
d. Identifikasi Tikus
No. Gambar Keterangan
1. Pengukuran panjang kepala tikus
36
2. Pengukuran panjang telinga
3. Pengukuran panjang ekor
4 Pengukuran bobot
5 Pengukuran panjang badan dan
kepala
Pengukuran panjang kaki
37
e. Pengamatan Lapangan
No. Gambar Keterangan
1. Dokumentasi lokasi pengamatan
2. Dokumentasi pengamatan
f. Hama Burung Pada Tanaman Padi
No. Gambar Keterangan
1. Tanaman/lahan yang
diamati
2. Dokumentasi pengamatan
38