LAPORAN KASUS TINEA KORPORIS
Disusun oleh:
dr. Caroline Sugiharto
Pembimbing:
dr. Ni Komang Yulia Restu Ayu Ningsih
PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA PUSKESMAS I MELAYA
JEMBRANA
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Tinea Korporis” dengan baik. Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan dalam Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) di Puskesmas I Melaya.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis dibantu oleh banyak pihak. Oleh sebab itu, melalui kesempatan ini penulis hendak menyampaikan banyak terima kasih kepada:
1. dr. Ni Komang Yulia Restu Ayu Ningsih, selaku kepala Puskesmas I Melaya dan pembimbing dokter internsip di Puskesmas I Melaya
2. Dokter jaga di Puskesmas I Melaya yang telah memberikan kesempatan dan pendampingan dalam mengevaluasi dan menatalaksana kasus ini
3. Segenap staf Puskesmas I Melaya yang telah mendukung dan memberikan dorongan dalam pelayanan pasien
4. Rekan sejawat dokter internsip yang memberikan dukungan moral dalam pelaksanaan pelayanan dan penyusunan laporan kasus
5. Semua pihak yang telah membantu dalam pelayanan pasien dan penyusunan laporan kasus yang tidak dapat penulis sebutkan satu per Saturday
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sangat penulis harapkan dan apresiasi agar dapat lebih baik di kemudian hari. Penulis berharap laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, dan bagi bidang ilmu pengetahuan kedokteran.
Melaya, 26 April 2023
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... 2
DAFTAR ISI ... 3
BAB I PENDAHULUAN ... 4
BAB II LAPORAN KASUS ... 5
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ... 11
BAB IV ANALISIS KASUS ... 25
BAB V PENUTUP ... 29
DAFTAR PUSTAKA ... 30
BAB I
PENDAHULUAN
Tinea korporis adalah infeksi jamur kulit superfisial yang berlokasi di kulit tubuh, yang disebabkan oleh kelompok jamur dermatofita. Dermatofita terbagi dalam tiga genus, yaitu genus Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Dermatofita juga diklasifikasikan berdasarkan habitat naturalnya, yaitu manusia (anthrophilic), binatang (zoophilic), dan tanah (geophilic).1
Kasus tinea korporis dapat ditemukan di seluruh dunia, dengan prevalensi lebih tinggi di daerah yang lebih panas dan lembab. Indonesia sebagai negara tropis dengan iklim panas dan lembab adalah daerah dengan prevalensi infeksi jamur kulit, atau dermatomikosis, yang tinggi.
Pada tahun 2016, data yang dihimpun oleh Divisi Mikologi RSUP Dr. Soetomo Surabaya menunjukkan bahwa dermatofitosis mencakup 46% kasus yang ditemukan di poliklinik rawat jalan kulit dan kelamin.2
Tinea korporis digolongkan dan disebut secara spesifik berdasarkan lokasi munculnya lesi, seperti pada kepala (tinea capitis), wajah (tinea faciei), tangan (tinea manuum), tungkai (tinea kruris), kaki (tinea pedis), kuku (tinea unguium), dan lokasi pada tubuh atau trunkus yang tidak termasuk pada daerah yang disebutkan di atas disebut sebagai tinea korporis.3
Diagnosis tinea korporis dapat ditegakkan melalui manifestasi klinis, yaitu temuan yang didapat melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pasien umumnya datang dengan keluhan gatal dengan lesi khas berupa tepi lesi aktif dengan central healing. Pemeriksaan penunjang dapat membantu mengkonfirmasi diagnosis dan mengidentifikasi secara spesifik spesies dermatofita yang menginfeksi kulit. Diagnosis yang tepat perlu ditegakkan, karena infeksi jamur kulit superfisial dapat memiliki presentasi klinis yang mirip dengan penyakit kulit lainnya. Ketepatan diagnosis penting agar dapat memberikan tatalaksana yang tepat. Tatalaksana dapat diberikan dengan pemberian obat antifungal secara topikal tanpa atau dengan obat antifungal sistemik, bergantung pada tingkat keparahan dan luas lesi.4
BAB II
LAPORAN KASUS
II.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. WR
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir/Usia : 31 Desember 1971/51 tahun Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Tukadaya
Tanggal Masuk : 14 Desember 2022 Tanggal Pemeriksaan : 14 Desember 2022
II.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Ruang Pelayanan Umum (RPU) Puskesmas I Melaya pada hari Rabu, 14 Desember 2022 pukul 11.15 WITA.
II.2.1 Keluhan Utama
Gatal di lipatan bawah payudara sejak 1 minggu sebelum datang ke Puskesmas.
II.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan gatal di lipatan bawah payudara kiri dan kanan sejak 1 minggu sebelum datang ke Puskesmas. Gatal disertai ruam berwarna merah. Gatal dan ruam awalnya muncul bersamaan, sebesar koin, dan lama-kelamaan meluas hingga meliputi seluruh daerah lipatan bawah payudara. Lesi tidak menjalar ke bagian kulit tubuh yang lain. Pasien menyangkal rasa nyeri, terbakar, luka, koreng, lepuh, nanah, atau baal pada lesi. Pasien menyangkal demam, sesak napas, bengkak. Gatal dirasakan terus-menerus, bertambah parah terutama pada kondisi lembab dan saat pasien berkeringat. Pasien menyangkal riwayat trauma pada daerah lesi.
II.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya, yaitu gatal dan merah di lengan dan ketiak kanan +- 1 tahun yang lalu. Keluhan membaik dengan pemberian obat oles berupa salep. Pasien menyangkal riwayat darah tinggi, kencing manis, penyakit sistem kekebalan tubuh (imunodefisiensi), dan penyakit kronis lainnya.
II.2.4 Riwayat Keluarga
Pasien menyangkal ada anggota keluarga yang mengalami riwayat keluhan serupa saat ini.
Riwayat atopi atau alergi dalam keluarga disangkal.
II.2.5 Riwayat Alergi
Pasien menyangkal memiliki riwayat atopi, alergi makanan, obat-obatan, atau zat lainnya.
II.2.6 Riwayat Pengobatan
Pasien sudah menggunakan salep antibiotik sejak 1 minggu yang lalu, namun tidak ada perbaikan, dan lesi meluas. Pasien menyangkal menggunakan obat-obatan rutin lainnya.
II.2.7 Riwayat Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan
Pasien bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga, dengan aktivitas sehari-hari seperti melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengurus 2 orang anak yang masih kecil. Pasien sering berkeringat dan mengganti pakaian +- 2 hari sekali. Pasien berobat menggunakan BPJS non-PBI. Pasien tinggal di rumah bersama suami dan 2 orang anak. Pasien memiliki seekor anjing peliharaan.
Pasien tinggal di rumah dengan penerangan, sirkulasi udara yang baik, dan jamban yang bersih.
II.3 Pemeriksaan Fisik II.3.1 Status Generalis Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15 (E4 V5 M6)
Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,3 oC
Bagian Tubuh Hasil Pemeriksaan
Kepala - Normocephalic, simetris, tidak ada deformitas
- Rambut berwarna hitam, tersebar merata, alopecia (-) Mata - Konjungtiva anemis (-/-)
- Sklera ikterik (-/-)
- Pupil bulat isokor (2 mm/2 mm) - Refleks cahaya langsung (+/+) - Refleks cahaya tidak langsung (+/+) - Edema palpebra (-/-)
- Sekret (-/-)
- Gerak bola mata tidak terbatas ke segala arah
THT - Telinga: simetris, hiperemis (-), edema auricula (-/-), nyeri tekan pre- auricula (-/-), nyeri tekan post-auricula (-/-), otorrhea (-)
- Hidung: pernapasan cuping hidung (-), deviasi septum (-), rhinorrhea (-)
- Tenggorokan: faring hiperemis (-), tonsil T1/T1, deviasi uvula (-) Mulut - Bibir: lembab, pucat (-), sianosis (-)
- Lidah: lidah kotor (-), mukosa kering (-), deviasi lidah (-) - Gigi: lengkap
Leher - Deviasi trakea (-), pembesaran tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening (-)
Toraks - Inspeksi: bentuk dada simetris, pergerakan dinding dada simetris, retraksi dada (-), bekas luka (-), bekas operasi (-), iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi: taktil fokal fremitus simetris, massa (-), iktus kordis tidak teraba
- Perkusi: sonor di seluruh lapang paru, batas jantung melebar (-) - Auskultasi: vesikuler di seluruh lapang paru, ronki (-/-), wheezing (-/-
), stridor (-), bunyi jantung S1/S2 reguler, murmur (-), gallop (-) Abdomen - Inspeksi: bentuk abdomen datar, warna kulit sawo matang, bekas luka
(-), bekas operasi (-), massa (-) - Auskultasi: BU (+) normal
- Perkusi: timpani di seluruh regio abdomen, shifting dullness (-) - Palpasi: supel, nyeri tekan (-), massa (-), pembesaran hepar (-),
pembesaran limpa (-), ginjal tidak teraba Ekstremitas - Akral hangat pada keempat ekstremitas
- CRT < 2 detik - Edema (-/-)
II.3.2 Status Dermatologis
Ad regio : infra mammae bilateral
Deskripsi lesi : plak eritematosa multipel berbatas tegas yang berkonfluens dengan ukuran plakat disertai tepi lesi aktif dan central healing.
II.4 Resume
Pasien datang dengan keluhan gatal di lipatan bawah payudara kiri dan kanan sejak 1 minggu sebelum datang ke Puskesmas. Gatal disertai ruam berwarna merah. Gatal dan ruam awalnya muncul bersamaan, sebesar koin, dan lama-kelamaan meluas hingga meliputi seluruh daerah
lipatan bawah payudara. Gatal dirasakan terus-menerus, bertambah parah terutama pada kondisi lembab dan saat pasien berkeringat.
Pasien sudah menggunakan salep antibiotik sejak 1 minggu yang lalu, namun tidak ada perbaikan, dan lesi meluas.
Pasien bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga, dengan aktivitas sehari-hari seperti melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengurus 2 orang anak yang masih kecil. Pasien sering berkeringat dan mengganti pakaian +- 2 hari sekali.
Pada pemeriksaan fisik ad regio infra mammae bilateral tampak lesi plak eritematosa multipel berbatas tegas yang berkonfluens dengan ukuran plakat disertai tepi lesi aktif dan central healing.
II.5 Diagnosis
II.5.1 Diagnosis Kerja Tinea korporis
II.5.2 Diagnosis Banding Dermatitis numularis Psoriasis vulgaris Pitiriasis rosea Kandidiasis kutis
II.6 Tatalaksana
II.6.1 Non-medikamentosa/Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
- Mengedukasi pasien durasi pengobatan infeksi jamur kulit memerlukan waktu lama (+- 2- 4 minggu) tergantung pada tingkat keparahan lesi dan kedisiplinan pasien dalam pengobatan.
- Infeksi jamur kulit dinyatakan sembuh jika secara klinis lesi sudah hilang.
- Mengedukasi cara mengoleskan salep antijamur, dengan dioleskan tipis secara merata di atas lesi sampai +- 1 cm di sekitar lesi, supaya tidak ada bagian yang tidak terjangkau olesan salep.
- Mengedukasi pasien agar kembali jika tidak membaik atau lesi meluas.
- Mengedukasi agar pasien menjaga kulit tetap bersih dan kering, dengan mandi setidaknya dua kali sehari, menjaga area tubuh tetap kering setelah mandi dan berganti pakaian dan pakaian dalam jika banyak berkeringat.
II.6.2 Medikamentosa
- Mikonazole 2% cream tube No. I S ue 2x sehari
- CTM 4 mg tab No. X S 3 dd tab 1
II.7 Prognosis
Quo ad vitam : bonam Quo ad functionam : bonam Quo ad sanationam : bonam Quo ad cosmeticum : bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1 Definisi
Tinea/ringworm merupakan kelompok infeksi kulit yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita – disebut dermatofitosis. Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku.
Dermatofitosis merupakan infeksi jamur yang bersifat superfisial. Jamur dermatofita dapat menginvasi seluruh lapisan stratum korneum dan menghasilkan gejala melalui aktivasi respons imun pejamu.1,3
Tinea korporis adalah dermatofitosis pada jaringan kulit glabrosa selain dari telapak tangan, telapak kaki, dan kemaluan. Jaringan kulit glabrosa adalah jaringan kulit yang tidak memiliki banyak folikel rambut.1
III.2 Epidemiologi
Infeksi dermatofitosis dapat ditemukan di seluruh dunia. Prevalensi penyakit ini 20-25%
orang di seluruh dunia, dengan penyebab terbanyak di Asia adalah infeksi tinea corporis dengan prevalensi 35,40%. Data yang dikumpulkan oleh Divisi Mikologi Dermatologi dan Venereologi Klinik Rawat Jalan RSUP Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2014-2016 menemukan bahwa 47,4%, 52,9%, dan 46% kasus di kasus rawat jalan poli adalah infeksi dermatofitosis. Hal ini membuktikan bahwa hampir separuh kasus di Divisi Mikologi merupakan kasus dermatofitosis.2
Pasien dengan immunocompromised yaitu HIV memiliki severitas gejala infeksi jamur superfisial lebih tinggi. Infeksi dermatofita memiliki kemungkinan 5 kali lebih tinggi terjadi pada laki-laki dari pada perempuan.1
III.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Dermatofita juga diklasifikasikan berdasarkan habitat naturalnya, yaitu manusia (anthrophilic), binatang (zoophilic), dan tanah (geophilic). Infeksi tinea korporis dapat ditransmisikan melalui kontak langsung dengan manusia atau binatang yang terinfeksi, secara tidak langsung melalui medium yang terinfeksi jamur dermatofita (fomite), atau melalui
Dermatofita terbagi dalam tiga genus, yaitu genus Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Pada orang dewasa, patogen tersering yang menyebabkan infeksi tinea korporis adalah Trichophyton rubrum. Sementara pada anak-anak, spesies patogen tersering yang menginfeksi adalah Microsporum canis karena lebih sering berkontak langsung dengan hewan peliharaan.1
Faktor predisposisi yang dapat meningkatkan resiko terinfeksi tinea corporis adalah adanya riwayat dermatofitosis (tinea capitis, tinea pedis, tinea cruris, tinea unguium), adanya keluarga yang terinfeksi pada waktu yang sama, hewan peliharaan di rumah, rumah yang ramai, pekerjaan yang meningkatkan resiko paparan (pegulat dan seni bela diri lainnya), hiperhidrosis, kadar beta- defensin 4 yang rendah, defisiensi imun, diabetes melitus, predisposisi genetik (tinea imbrikata), xerosis, dan ichthyosis.6 Faktor risiko lain adalah sosial ekonomi yang rendah, hygiene individu yang tidak dijaga dengan baik, lingkungan yang tidak bersih, perilaku/kebiasaan yang tidak mendukung, pengetahuan yang rendah, aktivitas yang membuat penderita berkeringat secara terus menerus, menggunakan baju yang ketat, menggunakan handuk dan sabun yang sama dengan orang lain, kegemukan yang membuat keringat berlebihan, menggunakan obat imunosupresan (steroid), antibiotik dan pengobatan hormonal dalam waktu yang lama yang dapat mengganggu keseimbangan flora tubuh normal.7,8
III.4 Patofisiologi
Patofisiologi dermatofitosis terdiri dalam 3 tahap, yaitu perlekatan (adherence), invasi, dan respon pejamu (host response). Seluruh proses ini nantinya akan membentuk manifestasi klinis yang khas.1
Dermatofita harus mengatasi beberapa lini pertahanan pejamu (host) sebelum hifa dapat bertumbuh pada jaringan ber-keratin. Infeksi dimulai dengan perlekatan arthroconidia, yaitu spora aseksual yang terbuat dari fragmentasi hifa, pada keratin melalui molekul adhesin yang mengubah ekspresi gen. Dermatofita menggunakan enzim proteolitik secara selektif selama tahap perlekatan dan tahap invasi. Beberapa jam setelah perlekatan berhasil dilakukan, arthroconidia mulai melakukan germinasi sebagai persiapan ke tahap selanjutnya yaitu tahap invasi.1,9,10
Trauma atau perlukaan pada kulit yang merusak integritas kulit memfasilitasi penetrasi dermatofita ke dalam kulit. Invasi arthroconidia lebih lanjut dilakukan melalui sekresi enzim- enzim spesifik yang berperan dalam nutrisi dermatofita, yaitu enzim protease, lipase, dan
ceramidase. Komponen dinding sel jamur – yaitu beta-glucan, galactomannan, dan kitin – memiliki efek inhibitorik terhadap proliferasi keratinosit, yang memudahkan invasi dan deskuamasi, dan efek inhibitorik terhadap cell-mediated immunity. Setelah dermatofita berhasil menembus melalui lapisan epidermis dan dermis, pengikatan adhesin ke elastin mengubah ekspresi gen.1,11
Dermatofita menghadapi respon imun non spesifik (innate immune system) dan respon imun spesifik (adaptive immune system). Respon imun non spesifik yang dimaksud meliputi sawar kulit, protein peptida antimikroba (defensin, cathelicidin, S100 protein, asam lemak di sebum yang memiliki sifat fungistatik), dan bakteri flora normal pada kulit sebagai kompetitor di permukaan kulit. Keratinosit epidermis, selain sebagai penghalang yang pasif, juga berperan aktif dengan mengkespresikan berbagai reseptor, termasuk C-type lectin receptor, dan berbagai Toll-like receptor (TLRs) pada permukaan sel atau endosom keratinosit. Ketika TLR berikatan dengan komponen jamur yaitu mannan (polisakarida yang terdapat pada dinding sel dermatofita), maka keratinosit akan meningkatkan proliferasi keratin untuk meningkatkan peluruhan keratin (shedding), meningkatkan sekresi peptida antimikroba (human beta-defensin, ribonuclease7, Psoriasin) untuk menghambat pertumbuhan dermatofita, dan meningkatkan sekresi sitokin proinflamatorik (interferon-alpha, tumor necrosis factor-alpha, interleukin (IL)-qbeta, IL-8, IL- 16, IL-17) yang akan mengaktivasi sistem imun lebih lanjut. 12,13,14
Respon imun non spesifik berperan sebagai jembatan penghubung antara patogen dengan respon imun spesifik. Komponen respon imun spesifik meliputi produksi sitokin, limfosit T, limfosit B, dan NK (natural killer) cells yang spesifik dan relevan dengan jenis patogen yang dideteksi. Respon imun non spesifik tahap selanjutnya yang dimediasi sel (cell-mediated immunity), adalah hipersensitivas tipe lambat (delayed-type hypersensitivity). Respon inflamatorik ini bergantung pada status imunitas tubuh dan jenis dermatofita yang menginvasi. 15
III.5 Manifestasi Klinis
Tinea korporis adalah dermatofitosis yang berdasarkan lokasi lesinya terdapat pada kulit glabrosa dan bagian lain yang tidak termasuk pada bagian kepala, ekstremitas, dan kuku.3
Berbagai efloresensi kulit dapat muncul – atau disebut sebagai polimorfik – dengan karakteristik tepi lesi aktif dengan central healing, disertai dengan rasa gatal. Manifestasi klinis
serpiginosa dengan tepi aktif, yaitu batas eritematosa yang aktif dengan skuama dan bisa terdapat vesikel. Batas atau tepi lesi aktif ini bergerak secara sentrifugal (dari dalam ke luar). Bagian tengah plak biasanya berskuama, namun dapat juga tampak gambaran yang sudah sembuh (central healing).1
III.6 Diagnosis
Diagnosis tinea korporis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk kepentingan penelitian atau pada kasus khusus yang memerlukan konfirmasi.
III.6.1 Pemeriksaan Klinis
Anamnesis tinea korporis akan ditemukan keluhan ruam yang gatal di badan, mengenai kulit berambut halus (jaringan kulit glabrosa), keluhan gatal terutama bila berkeringat. Pada pemeriksaan fisik, secara klinis tampak lesi berbatas tegas, polisiklik, tepi aktif karena tanda radang lebih jelas, dan polimorfi yang terdiri atas eritema, skuama, dan kadang papul dan vesikel di tepi, normal di tengah (central healing).4,16
III.6.2 Pemeriksaan Penunjang III.6.2.1 Pemeriksaan KOH
Metode dengan pemeriksaan sediaan langsung kerokan kulit. Pengambilan sampel terbaik di bagian tepi lesi aktif. Spesimen diteteskan larutan KOH 20% (dan dapat ditambahkan tinta parker blue black untuk visualisasi, spesifisitas dan sensitivitas yang lebih baik), ditutup dengan kaca preparat dan dipanaskan dengan api kecil untuk memfiksasi preparat. Sediaan kemudian diperiksan menggunakan mikroskop.1
Larutan KOH dan pemanasan dengan api kecil melunakkan keratin dan memperjelas dermatofita. Temuan pemeriksaan KOH akan tampak hifa panjang bersepta dan bercabang, dan/atau artrospora. 1
Gambar 2.1 Pemeriksaan KOH menunjukkan hifa panjang bersepta dan bercabang.
III.6.2.2 Kultur
Metode dengan medium agar Sabouraud, terbuat dari 4% peptone, 1% agar glukosa, dan air. Hasil kultur terbaik menggunakan Modified Sabouraud medium, dengan penambahan kloramfenikol, cycloheximide, dan gentamicin. Medium agar ini memfasilitasi pertumbuhan dermatofita, dan menghambat pertumbuhan bakteri yang dapat merancukan hasil kultur. 1,4
Teknik pengambilan pada suhu 28 oC selama 1-4 minggu.Temuan pemeriksaan kultur akan tampak morfologi mikroskopis makrokonidia dan mikrokonidia, dengan karakteristik topografi dan pigmentasi yang tampak pada hasil kultur. Kultur tidak harus selalu dikerjakan kecuali pada tinea unguium. Karakteristik mikroskopis dermatofita terangkum sebagai berikut:1
Genus Trichophyton: mikrokonidia berdinding halus, makrokonidia non-diagnostik.
Genus Microsporum: mikrokonidia non-diagnostik, makrokonidia berdinding kasar.
Genus Epidermophyton: mikrokonidia absen, makrokonidia berdinding halus.
III.6.2.3 Dermatophyte test medium
Metode dengan pemeriksaan sediaan kerokan kulit yang diambil dari bagian tepi lesi aktif.
Medium ini mengandung indikator pH (tingkat keasaman) phenol red. Dermatofita menggunakan protein yang menimbulkan ion ammonium berlebih yang menghasilkan lingkungan basa (alkaline). Inkubasi pada suhu ruangan selama 5-14 hari akan menghasilkan perubahan warna medium dari kuning menjadi merah cerah jika terdapat dermatofita yang mengubah lingkungan
Gambar 2.2 Dermatophyte Test Medium menunjukkan hasil positif pada vial tengah dan kanan.
Vial kiri tidak digunakan. 17
III.6.2.4 Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi tidak rutin dilakukan pada kasus dermatofitosis. Pemeriksaan histopatologi diambil dari jaringan kulit yang terinfeksi dengan metode biopsi kulit (punch biopsy).
Sediaan kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan penambahan senyawa pewarnaan khusus yaitu periodic acid-Schiff (PAS) stain dan Grocott methenamine silver (GMS) stain. Stain akan mewarnai dinding sel dermatofita untuk mendeteksi elemen jamur pada jaringan stratum korneum yang dibiopsi. Temuan pemeriksaan berupa elemen dermatofita yang berwarna merah muda (PAS) atau hitam (GMS). 17,18
Gambar 2.3. Pemeriksaan histopatologi dengan PAS stain, menunjukkan akantosis (penebalan lapisan epitel dibawahnya) dengan spongiosis (edema intraseslular pada epidermis) minimal, hifa fungal pada stratum korneum
Gambar 2.4 Pemeriksaan histopatologi dengan GMS stain menunjukkan hifa panjang pada lapisan stratum korneum (panah hitam)18
III.6.2.5 Lampu Wood
Kegunaan lampu wood dalam mendiagnosis dermatofitosis terbatas, karena hanya berfluoresensi pada tinea kapitis yang disebabkan oleh Microsporum spp., kecuali M. gypsum, sehingga pemeriksaan lampu wood tidak digunakan kecuali pada tinea kapitis.1
III.7 Diagnosis Banding III.7.1 Dermatitis Numularis
Dermatitis numularis, disebut juga ekzem discoid, adalah dermatitis berupa lesi berbentuk mata uang/koin atau agak lonjong, berbatas tegas dengan efloresensi berupa papulovesikel, yang dapat berkoalesensi membentuk plakat, biasanya mudah pecah sehingga basah (oozing) dan meninggalkan krusta dan skuama. Dermatitis numularis bersifat kronik dan penyebabnya belum diketahui/idiopatik. Lokasi tersering ditemukannya dermatitis numularis adalah pada ekstremitas atas, pada wanita terutama pada dorsum manus, sementara pada pria kebanyakan ditemukan pada ekstremitas bawah. Distribusi klasik lesi terdapat pada sisi ekstensor dari ekstremitas. 19
Gambar 2.5 Dermatitis Numularis
III.7.2 Psoriasis vulgaris
Psoriasis vulgaris adalah penyakit kulit inflamatorik kronik yang disebabkan oleh faktor genetik. Psoriasis vulgaris ditandai dengan alterasi pertumbuhan dan diferensiasi epidermis, abnormalitas berbagai faktor biokimia, imunologis, dan vaskular, serta berkaitan dengan kelainan fungsi sistem saraf. Psoriasis terjadi ketika faktor predisposisi genetik berinteraksi dengan faktor eksternal sebagai pemicu, seperti trauma, infeksi, dan medikasi. Patogenesis psoriasis adalah autoimun, dipengaruhi oleh sistem imun humoral dan seluler, yang diregulasi secara genetik.
Lokasi predileksi terdapat pada kulit kepala, siku, lutut, tangan, kaki, badan, umbilikus, celah intergluteal, hingga kuku. Lesi biasanya timbul secara mendadak dan akut (beberapa hari). Lesi klasik pada psoriasis ditandai dengan plak eritematosa berbatas tegas dengan skuama putih di atasnya. Ukuran lesi dapat bervariasi mulai dari papul hingga plakat. Dasar lesi tampak eritematosa. Psoriasis memiliki beberapa tanda khas, antara lain:
- auspitz sign: timbulnya perdarahan apabila skuama yang melapisi lesi dilepaskan, karena menimbulkan luka pada kapiler di bawahnya yang mengalami dilatasi.
- Fenomena koebner/respon isomorfik: terjadinya lesi psoriasis dengan morfologi menyerupai trauma yang dialami kulit yang semula normal. Fenomena koebner muncul 7- 14 hari setelah trauma. 25% pasien dengan psoriasis mengalami fenomena koebner selama durasi penyakit mereka.
Pada pemeriksaan histopatologis, dapat ditemukan elongasi dari rete ridges, dilatasi pembuluh darah, penipisan suprapapillary plate, dan parakeratosis intermiten. Terkadang dapat ditemukan infiltrat limfosit pada epidermis dan dermis perivaskuler, serta agregasi neutrofil pada epidermis.20
Gambar 2.6 Psoriasis vulgaris
III.7.3 Pitiriasis rosea
Pitiriasis rosea Terutama timbul pada remaja dan dewasa muda yang sehat, kelompok usia 10-35 tahun. Lebih banyak dialami oleh perempuan.Penyebab pityriasis rosea belum diketahui secara pasti, namun kondisi ini diduga disebabkan oleh infeksi virus, terutama golongan virus herpes. Penelitian menyebutkan bahwa orang yang menderita penyakit autoimun juga rentan terkena pityriasis rosea. Gejala subjektif biasanya tidak ditemukan, tetapi dapat disertai gatal ringan maupun sedang. Kelainan kulit diawali dengan lesi primer yang diikuti lesi sekunder.
Dari pemeriksaan fisik, gambaran klinis diawali dengan timbulnya lesi primer berupa makula/plak soliter sewarna kulit/merah muda/salmon-colored/hiperpigmentasi yang berbatas tegas, umumnya berdiameter 2-4 cmdan berbentuk lonjong atau bulat.
Bagian tengah lesi memiliki karakteristik skuama halus, dan pada bagian dalam tepinya terdapat skuama yang lebih jelas membentuk gambaran skuama kolaretatau yang disebut “herald patch”. Biasanya terletak di bagian badan yang tertutup baju, tetapi kadang-kadang ditemukan di leher atau ekstremitas proksimal seperti paha atas atau lengan atas.Lesi primer jarang ditemukan di wajah, penis atau kulit kepala berambut.Erupsi simetris terutama pada badan, leher, dan ekstremitas proksimal.
Timbul lesi sekunder bervariasi antara 2 hari sampai 2 bulan setelah lesi primer, tetapi umumnya dalam waktu 2 minggu. Kadang-kadang lesi primer dan sekunder timbul secara bersamaan.Lesi sekunder berupa makula/plak merah muda, multipel, berukuran lebih kecil dari lesi primer, berbentuk bulat atau lonjong, yang mengikuti Langer lines sehingga pada punggung
membentuk gambaran christmas-tree pattern. Dapat pula ditemukan demam yang tidak terlalu tinggi atau lemah badan.Dapat ditemukan pembesaran kelenjar getah bening.
Untuk penegakan diagnosis tidak perlu pemeriksaan penunjang khusus. Apabila diperlukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang sesuai diagnosis banding. Pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan pada kasus yang tidak dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis. 4
Gambar 2.7 Pitiriasis rosea
III.7.4 Kandidiasis kutis
Kandidiasis (USA) atau kandidosis (Eropa) merupakan kelompok penyakit infeksi akut dan kronik di kulit atau diseminata yang disebabkan oleh ragi atau Candida spp., yang tersering adalah Candida albicans.Organisme tersebut pada umumnya dapat menginfeksi kulit, kuku, membran mukosa, dan saluran cerna, tetapi dapat juga menyebabkan penyakit sistemik.
Kandidiasis kutis dapat ditemukan pada semua usia, mengenai daerah intertriginosa yang lembab dan mudah mengalami maserasi, misalnya sela paha, ketiak, sela jari, infra mamae, atau sekitar kuku, dan juga dapat meluas ke bagian tubuh lainnya.Pada pemeriksaan kulit tampak makula eritematosa berbatas tegas, bersisik, basah, dikelilingi oleh lesi satelit berupa papul, vesikel dan pustul kecil di sekitarnya. 4
III.8 Tatalaksana
Tersedia berbagai sediaan obat antifungal topikal dan sistemik untuk penatalaksanaan dermatofitosis, termasuk tinea korporis. Tatalaksana bertujuan untuk mengurangi rasa gatal, mencegah infeksi sekunder oleh bakteri, mengeradikasi jamur dan mencegah penyebarannya ke bagian tubuh yang lain atau menular ke individu lain.
III.8.1 Non-medikamentosa
Penatalaksanaan non-medikamentosa meliputi perubahan gaya hidup, yaitu dengan melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi kepada pasien untuk menghindari dan mengeliminasi agen penyebab (faktor patogen), modifikasi gaya hidup (faktor pejamu), dan mencegah penularan (faktor lingkungan).
III.8.2 Medikamentosa III.8.2.1 Antifungal Topikal
Obat topikal memiliki farmakokinetik yang lebih baik daripada obat sistemik. Oleh karena itu, kombinasi diharapkan memiliki pembersihkan mikologis yang lebih baik daripada sistemik atau topikal saja. Kombinasi harus dari kelompok yang berbeda untuk mendapatkan cakupan yang luas dan juga untuk mencegah munculnya resistensi. Obat yang diberikan untuk durasi yang lebih pendek dengan dosis yang lebih tinggi memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk mengembangkan resistansi dibandingkan dengan dosis yang lebih rendah untuk durasi yang lebih lama.21
Topikal antifungal biasanya diberikan satu atau dua kali sehari selama 2-4 minggu. Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik antara antifungal yang berkaitan dengan hasil penyembuhan mikologis pada akhir pengobatan. Untuk penyembuhan berkelanjutan, butenafin dan terbinafin masing-masing ditemukan lebih unggul daripada klotrimazol. Antifungal topikal lainnya seperti obat-obatan azoles juga efektif dalam hal angka kesembuhan klinis dan mikologis.21
Berikut beberapa contoh obat-obatan antifungal topikal beserta dosisnya:
Tabel 2.1 Tatalaksana medikamentosa topikal tinea corporis
III.8.2.2 Antifungal Sistemik
Pengobatan sistemik pada dermatofitosis umumnya diberikan jika lesi meliputi kulit berambut dan kuku, karena pada bagian-bagian tersebut sulit dijangkau dan/atau sulit ditembus oleh sediaan topikal. Pada tinea korporis, obat antifungal sistemik diberikan jika lesi bersifat kronik, luas, atau sesuai indikasi. Tidak ada satu pustaka yang menyebutkan batasan waktu untuk dapat mengkategorikan tinea korporis akut maupun kronis, walaupun istilah tersebut banyak digunakan pada beberapa kepustakaan. Secara umum, berdasarkan kamus kedokteran, istilah kronisitas umumnya digunakan pada penyakit yang telah berlangsung selama lebih dari 3 bulan.
Indikasi khusus pemberian obat sistemik apabila pasien memiliki riwayat imunodefisiensi.1
Berikut beberapa contoh obat-obatan antifungal sistemik beserta dosisnya:1 Pada orang dewasa:
Terbinafine 250 mg/hari selama 2-4 minggu Itrakonazole 100 mg/hari selama 1 minggu Flukonazole 150-300 mg/hari selama 4-6 minggu
Griseofulvin 500 mg/hari selama 2-4 minggu. Griseofulvin inhibits fungal mitosis
Pada anak-anak:1
Terbinafine 3-6 mg/kg/hari selama 2 minggu Itrakonazole 5 mg/kg/hari selama 1 minggu Griseofulvin 10-20 mg/kg/hari selama 2-4 minggu
III.9 Komplikasi
Komplikasi jarang terjadi pada infeksi dermatofita. Salah satu komplikasi tersebut termasuk Majocchi granuloma, adalah kondisi langka di mana dermatofita menyerang melalui folikel dan berkembang lebih dalam ke dermis atau jaringan subkutan. Trauma kulit ringan seperti mencukur dapat mempengaruhi pasien terhadap Majocchi granuloma. Lesi melibatkan folikel rambut dan muncul sebagai nodul atau papula eritematosa. Ini bahkan dapat berkembang menjadi abses.1
III.10 Edukasi dan Pencegahan
Menjaga kebersihan diri, mematuhi pengobatan yang diberikan untuk mencegah resistensi obat, menggunakan pakaian yang tidak ketat dan menyerap keringat, memastikan kulit dalam keadaan kering sebelum menutup area yang rentan terinfeksi jamur, menghindari penggunaan handuk atau pakaian bergantian dengan orang lain, mencuci handuk yang kemungkinan terkontaminasi. Selain dari sisi pasien, perlu untuk melakukan skrining terhadap anggota keluarga yang tinggal serumah karena kemungkinan transmisi tidak langsung melalui medium seperti kain yang terkontaminasi, dan menatalaksana linen yang infeksius. Kain yang terkontaminasi tersebut direndam dalam larutan sodium hipoklorit (NaClO) 2% untuk membunuh dermatofita.4
III.11 Prognosis
Prognosis tinea corporis umumnya baik bila imunokompeten. Bila diobati dengan benar, penyakit akan sembuh dan tidak kambuh, kecuali bila terpajan ulang dengan jamur penyebab.
Tinea corporis pada umumnya tidak menyebabkan kematian atau menyebabkan kecacatan yang signifikan, namun dapat menyebabkan ketidaknyamanan yang tinggi sehingga dapat mengganggu kualitas hidup. Tinea korporis dapat sembuh total (70-100%) dengan kepatuhan pasien terhadap edukasi dan konsumsi obat rutin. Secara kosmetikum, tinea dapat meninggalkan perubahan warna kulit hiperpigmentasi atau hipopigmentasi yang dapat mengganggu kosmetikum.3,4
BAB IV
ANALISIS KASUS
Ny. WR, perempuan berusia 51 tahun, datang dengan keluhan gatal di lipatan bawah payudara kiri dan kanan sejak 1 minggu sebelum datang ke Puskesmas. Gatal disertai ruam berwarna merah. Gatal dan ruam awalnya muncul bersamaan, sebesar koin, dan lama-kelamaan meluas hingga meliputi seluruh daerah lipatan bawah payudara. Gatal dirasakan terus-menerus, bertambah parah terutama pada kondisi lembab dan saat pasien berkeringat. Pasien sudah menggunakan salep antibiotik sejak 1 minggu yang lalu, namun tidak ada perbaikan, dan lesi meluas. Pasien bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga, dengan aktivitas sehari-hari seperti melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengurus 2 orang anak yang masih kecil. Pasien sering berkeringat dan mengganti pakaian +- 2 hari sekali. Pada pemeriksaan fisik ad regio infra mammae bilateral tampak lesi plak eritematosa multipel berbatas tegas yang berkonfluens dengan ukuran plakat disertai tepi lesi aktif dan central healing.
Keluhan dan manifestasi klinis yang tampak pada pasien sesuai dengan karakteristik tinea korporis, yaitu rasa gatal dan ruam merah dengan wujud yang khas berupa plak hiperemis dengan tepi aktif dan central healing. Lesi ini terbentuk di daerah kulit yang menutupi bagian-bagian tubuh yang cenderung lembab, dalam hal ini daerah lipatan di bawah payudara bilateral. Daerah lipatan bawah payudara adalah daerah yang rentan terjadi infeksi jamur/dermatofitosis karena merupakan bagian yang mudah berkeringat, saling bergesekan, dan tertutup oleh pakaian. Daerah yang lembab merupakan lingkungan yang ideal dan mudah bagi dermatofita untuk menginfeksi stratum korneum dan berkembang. Hal ini sesuai dengan riwayat pasien yang menyatakan rasa gatal bertambah parah terutama pada kondisi lembab dan saat pasien berkeringat. Pasien juga memiliki kebiasaan berganti pakaian kurang lebih 2 hari sekali disebabkan kesibukan mengurus rumah tangga, sehingga tubuh dan pakaian pasien cenderung selalu dalam kondisi berkeringat dan lembab. Pasien sudah menggunakan salep antibiotik sebelumnya, namun tidak ada perbaikan yang menandakan lesi tidak disebabkan oleh infeksi bakteri dan mendukung ke arah infeksi jamur.
Diagnosis tinea korporis dipilih karena manifestasi klinis dan wujud lesi yang khas yang tampak pada pasien sesuai dengan tinea korporis, dan keluhan muncul pada bagian tubuh selain kepala,
Diagnosis banding kandidiasis kutis adalah salah satu mikosis superfisial lainnya, yang disebabkan oleh jamur Candida spp. Kandidiasis memiliki karakteristik epidemiologi dan faktor predisposisi yang mirip dengan tinea korporis, yaitu dapat menginfeksi segala usia, terutama banyak dijumpai di kawasan dengan iklim panas hingga lembab, dan banyak mengenai bagian tubuh yang lembab seperti di daerah lipatan-lipatan tubuh. Meski demikian, kandidiasis dapat menyebabkan infeksi sistemik dan keterlibatan membran mukosa terutama pada pasien dengan riwayat immunocompromised. Selain itu, gambaran klinis kandidiasis berbeda dengan tinea korporis. Wujud lesi kandidiasis berupa lesi makula eritematosa berbatas tegas yang dikelilingi oleh lesi satelit, yang tidak tampak pada pasien. Pasien juga tidak memiliki keterlibatan membran mukosa atau infeksi sistemik, dan tidak memiliki riwayat imunodefisiensi sebelumnya, sehingga, diagnosis banding kandidiasis kutis dapat disingkirkan.
Diagnosis banding dermatitis numularis memiliki karakteristik lesi berupa lesi eritematosa berbentuk lingkaran atau lonjong seukuran numular yang dapat berkoalesensi membentuk plakat berbatas tegas. Wujud lesi ini mirip dengan keluhan awal pasien satu minggu yang lalu, yaitu gatal dan ruam yang pertama kali muncul sebesar koin di daerah lipatan bawah payudara. Namun, dermatitis numularis tidak memiliki karakteristik lesi dengan tepi aktif dengan central healing seperti yang tampak pada pasien, didukung oleh kecurigaan etiologi lesi pasien yaitu dermatofitosis akibat kondisi kulit yang lembab, sementara dermatitis numularis tidak diketahui penyebabnya (etiologi idiopatik).
Diagnosis banding psoriasis vulgaris memiliki wujud lesi klasik yang ditandai dengan plak eritematosa berbatas tegas dengan skuama putih di atasnya, dasar lesi eritematosa. Psoriasis vulgaris merupakan penyakit autoimun, yang dipicu oleh faktor eksternal seperti trauma, infeksi, dan medikasi, yang timbul beberapa hari setelah terjadinya faktor pemicu tersebut. Pasien tidak memiliki riwayat trauma pada bagian kulit yang dimaksud atau riwayat medikasi sebelumnya.
Selain itu, psoriasis vulgaris memiliki beberapa tanda khusus seperti auspitz sign, dan fenomena koebner yang semuanya tidak tampak pada pasien.
Diagnosis banding pitiriasis rosea memiliki wujud kelainan kulit yaitu lesi primer yang diikuti dengan lesi sekunder. Lesi primer berupa “herald patch” yaitu plak berbentuk bulat atau lonjong, soliter, berwarna merah muda, berbatas tegas dengan skuama halus yang dapat disertai dengan gatal ringan-sedang. Lesi sekunder berupa plak berbentun bulat atau lonjong, berwarna merah muda, multipel berukuran lebih kecil dari lesi primer, biasanya tampak di punggung membentuk gambaran christmas-tree pattern. Lesi sekunder ini dapat tampak bersamaan, atau berselang dua hari hingga dua bulan dari lesi primer, namun sebagian besar timbul dalam dua minggu setelah lesi primer muncul. Gambaran lesi primer pityriasis rosea mirip dengan tinea korporis, namun secara epidemiologi, pityriasis rosea lebih banyak dialami orang berusia 10-35 tahun dan biasanya memiliki faktor predisposisi yaitu menderita riwayat autoimun, yang mana pasien berusa 51 tahun dan tidak memiliki riwayat autoimun sebelumnya. Letak perbedaan utamanya adalah herald patch, yaitu lesi skuama di bagian tengah lesi dan skuama yang lebih jelas lagi di bagian tepinya yang disebut skuama kolaret. Hal ini berbeda dengan gambaran yang khas pada tinea korporis yaitu central healing dan tepi lesi aktif eritematosa yang menonjol. Pada pasien juga tidak tampak lesi sekunder christmas-tree pattern. Sehingga, diagnosis banding pityriasis rosea dapat disingkirkan.
Dalam mendiagnosis tinea korporis dapat dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan penunjang sederhana yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan KOH dengan sediaan kerokan kulit yang diteteskan dengan larutan KOH 20% dan diteliti di bawah mikroskop. Pemeriksaan sederhana ini tidak dilakukan karena tidak tersedianya larutan KOH di Puskesmas, dan pertimbangan lainnya seperti untuk mempercepat diagnosis dan tatalaksana bagi pasien.
Pemeriksaan penunjang juga tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan tidak mempengaruhi tatalaksana yang diberikan, sehingga tidak mendesak untuk selalu dilakukan.
Pemeriksaan penunjang lainnya seperti kultur, histopatologi, dan lampu wood juga tidak perlu selalu dilakukan, dan pemeriksaan lampu wood sendiri kurang sensitif dalam mendiagnosis tinea korporis.
Penatalaksanaan pada kasus ini terdiri dari non-medikamentosa dan medikamentosa.
berupa tata cara pengobatan dan kepatuhan berobat, durasi pengobatan yang memerlukan waktu relatif lama dengan ketuntasan berobat yang ditandai ketika lesi sembuh. Edukasi juga meliputi perubahan perilaku yaitu menjaga bagian-bagian tubuh tetap bersih dan kering, tidak hanya hingga lesi sembuh namun hingga seterusnya, untuk mencegah kekambuhan. Edukasi juga diberikan agar apabila ada anggota keluarga yang memiliki keluhan serupa agar diobati juga agar tidak terjadi infeksi berulang antar-anggota keluarga.
Penatalaksanaan medikamentosa bertujuan untuk mengeradikasi dermatofita dan mengurangi rasa gatal. Pasien diberikan mikonazole dalam sediaan krim yang merupakan antijamur golongan imidazole. Antijamur yang diberikan dalam bentuk topikal karena lesi hanya bersifat lokal, yaitu di daerah intertriginosa infra mammae bilateral, dan tidak terdapat di bagian tubuh lainnya. Apabila diketahui lesi berada di bagian tubuh yang berbeda-beda, lebih dari satu lokasi, terdapat keterlibatan area tubuh yang berambut atau kuku, dapat dipertimbangkan pemberian medikasi dalam sediaan topikal dan oral karena keterlibatan lesi yang luas. Pasien diberikan chlorpheniramin maleate, yaitu obat golongan antagonis reseptor histamine H1 yang bertujuan mengurangi rasa gatal yang dimodulasi oleh histamin.
BAB V PENUTUP
Tinea korporis adalah infeksi jamur kulit superfisial yang berlokasi di kulit tubuh, yang disebabkan oleh kelompok jamur dermatofita. Kasus tinea korporis dapat ditemukan di seluruh dunia, dengan prevalensi lebih tinggi di daerah yang lebih panas dan lembab. Indonesia sebagai negara tropis dengan iklim panas dan lembab adalah daerah dengan prevalensi infeksi jamur kulit, atau dermatomikosis, yang tinggi. Pada tahun 2016, data yang dihimpun oleh Divisi Mikologi RSUP Dr. Soetomo Surabaya menunjukkan bahwa dermatofitosis mencakup 46% kasus yang ditemukan di poliklinik rawat jalan kulit dan kelamin.
Diagnosis tinea korporis dapat ditegakkan melalui manifestasi klinis, yaitu temuan yang didapat melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis yang tepat perlu ditegakkan, karena infeksi jamur kulit superfisial dapat memiliki presentasi klinis yang mirip dengan penyakit kulit lainnya. Ketepatan diagnosis penting agar dapat memberikan tatalaksana yang tepat. Tatalaksana dapat diberikan dengan pemberian obat antifungal secara topikal tanpa atau dengan obat antifungal sistemik, bergantung pada tingkat keparahan dan luas lesi.
Prognosis tinea korporis pada pasien imunokompeten umumnya baik dengan pengobatan yang memadai, baik dari segi ketepatan pemberian obat dan kepatuhan pasien dalam pengobatan dan menjaga kebersihan kulit, sehingga edukasi pasien adalah bagian yang sangat penting dalam penatalaksanaan tinea korporis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Craddock LN, Schieke SM. Superficial Fungal Infection. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, et al., editors. Fitzpatrick's Dermatology 9th Edition. 9th ed. McGraw Hill Education; 2019. p. 2925–51.
2. Sanggarwati SY, Wahyunitisari MR, Astari L, Ervianti E. Profile of tinea corporis and Tinea Cruris in dermatovenereology clinic of Tertiery Hospital: A retrospective study. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 2021;33(1):34.
3. Widaty S. Dermatofitosis. In: Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2018. p. 109-16.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia. Jakarta: Perdoski; 2017.
5. Rebell G, Zaias N. Introducing the syndromes of human dermatophytosis. Cutis. 2001;67:6.
6. Leung AK, Lam JM, Leong KF, Hon KL. Tinea corporis: an updated review. Drugs Context. 2020;9:2020- 5-6. Published 2020 Jul 20. doi:10.7573/dic.2020-5-6
7. Neha Sharma, Uma Tendolkar. Modifiable Risk Factors Associated With Patients of Tinea Corporis.
MedPulse - International Medical Journal. February 2017; 4(2): 165-169.
8. Babu, Venna Ashok, and Gulam Mohamed Shahul Hameed. Dermatological Manifestations in People with Obesity. Journal of Evolution of Medical and Dental Sciences (2019): 3549-3554.
9. Bitencourt TA, Macedo C, Franco ME, et al. Transcription profile of Trichophyton rubrum conidia grown on keratin reveals the induction of an adhesin-like protein gene with a tandem repeat pattern. BMC Genomics.
2016;17:249.
10. Baeza LC, Bailao AM, Borges CL, et al. cDNA representational difference analysis used in the identification of genes expressed by Trichophyton rubrum during contact with keratin. Microbes Infect. 2007;9:1415.
11. Monod M, Capoccia S, Lechenne B, et al. Secreted proteases from pathogenic fungi. Int J Med Microbiol.
2002;292:405.
12. García-Madrid LA, Huizar-López M del R, Flores-Romo L, et al. Trichophyton rubrum manipulates the innate immune functions of human keratinocytes. Cent Eur J Biol. 2011;6:902-910.
13. Firat YH, Simanski M, Rademacher F, et al. Infection of keratinocytes with Trichophytum rubrum induces epi- dermal growth factor-dependent RNase 7 and human beta-defensin-3 expression. PLoS One.
2014;9:e93941.
14. Jensen JM, Pfeiffer S, Akaki T, et al. Barrier function, epidermal differentiation, and human beta-defensin 2 expression in tinea corporis. J Invest Dermatol. 2007;127:1720.
15. Romani L. Immunity to fungal infections. Nat Rev Immunol. 2011;11:275-288.
16. Andrews MD, Burns M. Common tinea infections in children. Am Fam Physician. 2008 May 15;77(10):1415-20.
17. Mesquita JR, Vasconcelos-Nóbrega C, Oliveira J, Coelho C, Vala H, Fratti M, et al. Epizootic and epidemic dermatophytose outbreaks caused by trichophyton mentagrophytes from rabbits in Portugal, 2015. Mycoses.
2016;59(10):668–73.
18. Diep D, Calame A, Cohen PR. Tinea corporis masquerading as a diffuse gyrate erythema: Case report and a review of annular lesions mimicking a dermatophyte skin infection. Cureus. 2020;
19. Fitzpatrick TB, Wolff K, Burgin S. Numular Eczema and Lichen Simplex Chronicus/Prurigo Nodularis. In:
Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 158–60.
20. Fitzpatrick TB, Wolff K, Gudjonsson JE, Elder JT. Psoriasis. In: Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 168–78.
21. Rotta I, Ziegelmann PK, Otuki MF, Riveros BS, Bernardo NL, Correr CJ. Efficacy of topical antifungals in the treatment of dermatophytosis: a mixed-treatment comparison meta-analysis involving 14 treatments.
JAMA dermatology. 2013 Mar 1;149(3):341-9.