• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN DIAGNOSA MEDIS POST CRANIECTOMY DI RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA

N/A
N/A
Intan Kusuma Fabriyani

Academic year: 2023

Membagikan "LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN DIAGNOSA MEDIS POST CRANIECTOMY DI RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA

OLEH:

PIPIK NIM :

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI NERS TAHUN 2022

(2)

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Konsep Dasar Penyakit 1.1.1 Definisi Craniectomy

Craniectomy merupakan sebuah prosedur bedah saraf yang mengangkat suatu bagian tengkorak, untuk memungkinkan otak yang membengkak mendapat ruang untuk mengembang, sehingga terjadi pengurangan tekanan di dalam tengkorak (dekompresi). Prosedur ini sering dilakukan pada korban cedera otak traumatik dan stroke, yang tidak responsif terhadap terapi lain. Ada yang menganggap penggunaan operasi ini sebagai prosedur yang kontroversial. Dalam kasus ini, flap tulang tidak dikembalikan ke lokasinya setelah prosedur selesai. Ini mungkin karena trauma pada tulang itu sendiri, karena otak terlalu bengkak untuk memungkinkan kembalinya flap tulang, atau karena ahli bedah merasa itu adalah demi kepentingan terbaik pasien. Jika ada infeksi di daerah tersebut, misalnya, flap tulang dapat dibuang.

Craniectomy merupakan prosedur operasi yang telah menarik perhatian para peneliti dalam tatalakasana cedera kepala berat (CKB). Craniectomy dikategorikan menjadi primer dan sekunder. Craniectomy primer dilakukan pada fase akut setelah CKB, dimana pada operasi ini meninggalkan flap tulang yang sangat besar pasca evakuasi lesi di intrakranial. Craniectomy dekompresif sekunder masih merupakan hal kontroversial dan diperlukan penelitian lanjutan (Rahmanian A, Seifzadeh B, 2014).

1.1.2 Anatomi dan Fisiologi

Otak dibagi menjadi tiga bagian besar: serebrum, batang otak, dan serebelum. Semua berada dalam satu bagian struktur tulang yang disebut sebagai tengkorak, yang juga melindungi otak dari cedera. Empat tulang yang berhubungan membentuk tulang tengkorak; tulang frontal, parietal, temporal dan oksipital (A.K. Muda, Ahmad, 2013).

1. Serebrum

Serebrum terdiri dari dua hemisfer dan empat lobus. Keempat lobus tersebut adalah:

1

(3)

1) Lobus frontal

Merupakan lobus terbesar, terletak pada fosa anterior. Fungsinya untuk mengontrol prilaku individu, membuat keputusan, kepribadian dan menahan diri.

2) Lobus parietal: lobus sensasi.

Fungsinya : Menginterpretasikan sensasi. Mengatur individu mampu mengetahui posisi dan letak bagian tubuhnya.

3) Lobus temporal

Fungsinya : Mengintegrasikan sensasi kecap, bau dan pendengaran.

Ingatan jangka pendek sangat berpengaruh dengan daerah ini.

4) Lobus oksipital : Terletak pada lobus posterior hemisfer serebri.

Fungsinya : Bertanggung jawab menginterpretasikan penglihatan.

2. Batang otak

Batang terletak pada fosa anterior. Bagian-bagian batang otak ini terdiri dari otak tengah, pons, dan medula oblongata, otak tengah (midbrasia) menghubungkan pons dan sereblum dengan hemisfer cerebrum, bagian ini berisi jalus sensorik dan motorik dan sebagai pusat refleks pendengaran dan penglihatan.

3. Serebelum

Terletak pada fosa posterior dan terpisah dari hemisfer cerebral, lipatan dura meter tentorium serebelum. Serebelum mempunyai dua aksi yaitu merangsang dan menghambat dan tanggung jawab yang luas terhadap koordinasi dan gerakan halus. Ditambah mengontrol gerakan yang benar, keseimbangan, posisi dan mengintegrasikan input sensorik.

1.1.3 Indikasi Craniectomy

Craniectomy dilakukan jika terjadi edema serebri atau hipertensi intrakranial dengan berbagai macam kondisi seperti perdarahan subarachnoid, perdarahan intraserebral, subdural hematom akut, dan sinus trombosis (Dorfer et al. 2010).

Prinsip penanganan intrakranial meningkat secara berurutan adalah (Grandhi dan Okonkwo, 2010):

1. Meninggikan tempat tidur pasien bagian kepala setinggi 300.

2. Menjaga tetap normokapnea (PCO2 35-40 mmHg).

3. Berikan sedasi yang adekuat (propofol, midazolam, morphine).

(4)

3

4. Drainase cairan serebrospinal dengan ventrikulostomi.

5. Berikan cairan hiperosmolar (manitol atau NaCl 3%).

6. Berikan muscle relaxant (atracurium, vecuronium).

7. Jika refrakter berikan barbiturat dosis tinggi, hiperventilasi dengan target PCO2 30-35 mmHg, dan yang terakhir dilakukan Craniectomy dekompresi.

Craniectomy dilakukan pada tekanan intrakranial yang refrakter setelah diberikan penanganan yang diuraikan di atas.

1.1.4 Etiologi Craniectomy

TBI (Traumatic Brain Injury) umumnya disebabkan oleh (Tscheschlog &

Jauch, 2015):

1. Kecelakaan kendaraan bermotor (Penyebab paling umum yang menyebabkan cedera serius). Cedera otak juga dapat menyebabkan penumpukan darah atau cairan dalam rongga kepala yang berpotensi meningkatkan tekanan intrakranial, tekanan di dalam rongga kepala.

2. Infark serebral, trauma/jatuh, perdarahan sub-arachnoid.

3. Cedera akibat berolahraga.

4. Perilaku kekerasan.

1.1.5 Patofisiologi Craniectomy

Trauma kepala (trauma eraniocerebral) dapat terjadi karena cedera kulit kepala, tulang kepala, jaringan otak, baik terpisah maupun seluruhnya. Beberapa variabel yang mempengaruhi luasnya cedera kepala adalah sebagai berikut:

1. Lokasi dan arah dari penyebab benturan.

2. Kecepatan kekuatan yang datang

3. Permukaan dari kekuatan yang menimpa

4. Kondisi kepala ketika mendapat penyebab benturan

Cedera bervariasi dari luka kulit yang sederhana sampai geger otak. Luka terbuka dari tengkorak ditandai kerusakan otak. Luasnya luka bukan merupakan indikasi berat ringannya gangguan. Pengaruh umum cedera kepala dari tingkat ringan sampai tingkat berat adalah edema otak, defisit sensori dan motorik, peningkatan intra kranial. Kerusakan selanjutnya timbul herniasi otak, isoheni otak dan hipoxia.

(5)

Cedera pada otak bisa berasal dari trauma langsung atau tidak langsung pada kepala. Trauma tidak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau keluaran yang merobek terkena pada kepala akibat menarik leher. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua ini berakibat terjadinya akselerasi- deselerasi dan pembentukan rongga (dilepasnya gas, dari cairan lumbal, darah, dan jaringan otak). Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya, rusaknya otak oleh kompresi, goresan atau tekanan.

Cedera akselerasi terjadi bila kepala kena benturan dari objek yang bergerak dari objek yang bergerak dan menimbulkan gerakan. Akibat dari kekuatan akselerasi, kikiran atau kontusi pada lobus oksipital dan frontal, batang, otak dan cerebelum dapat terjadi.

Perdarahan akibat trauma cranio cerebral dapat terjadi pada lokasi-lokasi tersebut: kulit kepala, epidural, subdural, intracerebral, intraventricular. Hematom subdural dapat diklasifikasi sebagai berikut:

1. Akut: terjadi dalam 24 jam sampai 48 jam.

2. Subakut: terjadi dalam 48 jam sampai 2 minggu.

3. Kronis: terjadi setelah beberapa minggu atau bulan dari terjadinya cedera.

Perdarahan intracerebral biasanya timbul pada daerah frontal atau temporal.

Kebanyakan kematian cedera kepala akibat edema yang disebabkan oleh kerusakan dan disertai destruksi primer pusat vital. Edema otak merupakan penyebab utama peningkatan TIC. Klasifikasi cedera kepala:

1. Conscussion/comosio/memar

Merupakan cedera kepala tertutup yang ditandai oleh hilangnya kesadaran, perubahan persepsi sensori, karakteristik gejala: sakit kepala, pusing, disorientasi.

2. Contusio cerebri

Termasuk didalamnya adalah luka memar, perdarahan dan edema. Dapat terlihat pada lobus frontal jika dilakukan lumbal pungkri maka lumbal berdarah.

3. Lacertio cerebri

Adanya sobekan pada jaringan otak sehingga dapat terjadi tidak sarah/pingsan, hemiphagia, dilatasi pupil.

(6)

1.1.6 WOC Craniectomy (Post Craniectomy)

Pembedahan Craniectomy

5 5

(7)

1.1.7 Manifestasi Craniectomy

1. Manifestasi klinik lokal (akibat kompresi tumor pada bagian yang spesifik dari otak):

1) Perubahan penglihatan, misalnya: hemianopsia, nistagmus, diplopia, kebutaan, tanda-tanda papil edema.

2) Perubahan bicara, misalnya: aphasia.

3) Perubahan sensorik, misalnya: hilangnya sensasi nyeri, halusinasi sensorik.

4) Perubahan motorik, misalnya: ataksia, jatuh, kelemahan, dan paralisis.

5) Perubahan bowel atau bladder, misalnya: inkontinensia, retensia urin, dan konstipasi.

6) Perubahan dalam pendengaran, misalnya : tinnitus.

7) Perubahan dalam seksual.

2. Manifestasi klinik umum (akibat dari peningkatan TIK, obstruksi dari CSF):

1) Sakit kepala.

2) Nausea atau muntah proyektil.

3) Pusing.

4) Perubahan mental.

5) Kejang.

1.1.8 Komplikasi Craniectomy

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien pascabedah intrakranial atau kraniotomi adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan tekanan intrakranial.

2. Perdarahan dan syok hipovolemik.

3. Ketidakseimbangan cairan dan elekrolit.

4. Infeksi.

5. Kejang.

6. Edema cerebral.

7. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral.

8. Hipovolemik syok.

9. Hidrocephalus.

10. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes Insipidus).

(8)

7

11. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.

12. Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7 – 14 hari setelah operasi.

13. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding 14. Pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli keparu-paru, hati

dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif (Brunner & Suddarth, 2012).

1.1.9 Pemeriksaan Penunjang

Prosedur diagnostik praoperasi dapat meliputi : 1. Tomografi komputer (pemindaian CT)

2. Untuk menunjukkan lesi dan memperlihatkan derajat edema otak sekitarnya, ukuran ventrikel, dan perubahan posisinya/pergeseran jaringan otak, hemoragik. Catatan : pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pasca trauma.

3. Pencitraan resonans magnetik (MRI)

4. Sama dengan scan CT, dengan tambahan keuntungan pemeriksaan lesi dipotongan lain.

5. Electroencephalogram (EEG)

6. Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis 7. Angiografy Serebral

8. Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan trauma

9. Sinar-X

10. Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan,edema), adanya fragmen tulang

11. Brain Auditory Evoked Respon (BAER) : menentukan fungsi korteks dan batang otak

12. Positron Emission Tomography (PET) : menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak

13. Fungsi lumbal, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid

14. Gas Darah Arteri (GDA) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK

(9)

15. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam meningkatkan TIK/perubahan mental

16. Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran

17. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.

1.1.10 Penatalaksanaan Keperawatan 1. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan 2. Mempercepat penyembuhan

3. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi.

4. Mempertahankan konsep diri pasien 5. Mempersiapkan pasien pulang

Perawatan pasca pembedahan 1. Tindakan keperawatan post operasi

a. Monitor kesadaran, tanda – tanda vital, CVP, intake dan out put b. Observasi dan catat sifat drain (warna, jumlah) drainage.

c. Dalam mengatur dan menggerakkan posisi pasien harus hati – hati jangan sampai drain tercabut.

d. Perawatan luka operasi secara steril 2. Makanan

Pada pasien pasca pembedahan biasanya tidak diperkenankan menelan makanan sesudah pembedahan, makanan yang dianjurkan pada pasien post operasi adalah makanan tinggi protein dan vitamin C. Protein sangat diperlukan pada proses penyembuhan luka, sedangkan vitamin C yang mengandung antioksidan membantu meningkatkan daya tahan tubuh untuk pencegahan infeksi.

Pembatasan diit yang dilakukan adalah NPO (nothing peroral) Biasanya makanan baru diberikan jika:

a. Perut tidak kembung b. Peristaltik usus normal c. Flatus positif

d. Bowel movement positif

(10)

9

3. Mobilisasi

Biasanya pasien diposisikan untuk berbaring ditempat tidur agar keadaanya stabil. Biasanya posisi awal adalah terlentang, tapi juga harus tetap dilakukan perubahan posisi agar tidak terjadi dekubitus. Pasien yang menjalani pembedahan abdomen dianjurkan untuk melakukan ambulasi dini 4. Pemenuhan kebutuhan eliminasi

a. Sistem Perkemihan

1) Control volunteer fungsi perkemihan kembali setelah 6 – 8 jam post anesthesia inhalasi, IV, spinal Anesthesia, infus IV, manipulasi operasi

→ retensio urine.

2) Pencegahan : inpeksi, palpasi, perkusi → abdomen bawah (distensi buli – buli)

3) Dower catheter → kaji warna, jumlah urine, out put urine <30 ml/jam

→ komplikasi ginjal b. System Gastrointestinal

1) Mual muntah → 40 % klien dengan GA selama 24 jam pertama dapat menyebabkan stress dan iritasi luka GI dan dapat meningkatkan TIK pada bedah kepala dan leher serta TIO meningkat

2) Kaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus

3) Kaji paralitik ileus → suara usus (-), distensi abdomen, tidak flatus 4) Jumlah warna, konsistensi isi lambung tiap 6 – 8 jam

5) Insersi NGT intra operatif mencegah komplikasi post operatif dengan decompresi dan drainase lambung

6) Meningkatkan istirahat.

7) Memberi kesempatan penyembuhan pada GI trac bawah.

8) Memonitor perdarahan.

9) Mencegah obstruksi usus.

10) Irigasi atau pemberian obat.

Teknik Operasi

Teknik operasi Craniectomy, pasien dalam posisi supine dengan bahu ipsilateral dielevasi, kepala dirotasi 450 -600, kepala diletakan pada donut atau horseshoe headholder. Kemudian lapangan operasi didraping sampai lapang

(11)

pandang satu hemisfer ipsilateral terekspos semua. Dilakukan insisi dari atas arkus zigoma, berjalan ke atas kemudian membentuk kurva ke arah posterior terhadap protuberensia oksipitalis eksterna, naik ke atas ke lateral dari garis tengah dengan jarak 2-3 cm dari garis tengah, ke depan sampai batas garis rambut (insisi question mark) (Sabbagh et al. 2014).

Gambar Insisi question mark untuk melakukan kraniektomi dekompresi

Dilakukan flap kulit direfleksikan ke arah otot inferior dan anterior difiksasi dengan silk atau fish hook, dibuat burr hole di tulang temporal (bagian tulang skuamosa), keyhole, minimal dilakukan tiga burr hole untuk memudahkan flap tulang. Agar kraniektomi dekompresi efektif dan dapat menurunkan tekanan intrakranial flap tulang minimal berukuran 10x15 cm (Sughrue et al. 2011).

Gambar Flap otot dan kulit

Setelah dilakukan flap tulang, tulang temporal harus dipotong dengan menggunakan rongeur sampai dasar fossa media agar dekompresi bagian lateral batang otak maksimal. Setelah flap tulang, dilakukan durotomi, agar dekompresi maksimal, dilakukan durotomi stelata. Setelah durotomi dilakukan duraplasti dengan jahitan watertight (Sughrue et al. 2011).

(12)

11

Gambar Durotomi stelata

Flap Tulang

Jika flap tulang diangkat, tetapi tidak bisa dikembalikan selama prosedur, itu masih bisa dipasang kembali di lain waktu. Dalam situasi ini, ahli bedah akan menempatkan flap tulang di lokasi lain. Dalam kebanyakan kasus, dokter bedah akan membuat sayatan di perut, cukup besar untuk menyelipkan bagian tulang di dalamnya seperti sebuah amplop di bawah jaringan lemak perut. Di sana dilindungi dan diawetkan oleh tubuh pasien sendiri. Flap tulang juga dapat ditempatkan di dalam freezer khusus di laboratorium rumah sakit untuk penyimpanan sampai dapat diganti.

1.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan 1.2.1 Pengkajian Keperawatan

Pengkajian merupakan tindakan awal dari proses keperawatan yang dilakukan dengan mengumpulakan data dan informasi tentang pasien, agar dapat Digital Repository Universitas Jember 12 dan kesehatan, menilai keadaan kesehatan, dan membuat keputusan yang tepat untuk menentukan langkah- langkah berikutnya (Dermawan, 2012).

1. Identitas

Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, suku bangsa, status perkawinan, alamat, diagnosa medis, No RM, tanggal masuk, tanggal pengkajian, dan ruangan tempat pasien dirawat.

2. Primary Survey 1) Airway

a. Periksa jalan nafas dari sumbatan benda asing (padat, cair) setelah dilakukan pembedahan akibat pemberian anestesi.

b. Potensi jalan nafas, meletakan tangan di atas mulut atau hidung.

c. Auscultasi paru keadekuatan expansi paru, kesimetrisan.

(13)

2) Breathing

a. Compresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxiabreathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing (kemungkinan karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.

b. Perubahan pada pernafasan (rata-rata, pola, dan kedalaman). RR < 10 x/menit depresi narcotic, respirasi cepat, dangkal gangguan kardiovascular atau rata-rata metabolisme yang meningkat.

c. Inspeksi: Pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu pernafasan diafragma, retraksi sternal efek anathesi yang berlebihan, obstruksi.

3) Circulating:

a. Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).

b. Inspeksi membran mukosa: warna dan kelembaban, turgor kulit, balutan.

4) Disability : berfokus pada status neurologi

a. Kaji tingkat kesadaran pasien, tanda-tanda respon mata, respon motorik dan tanda-tanda vital.

b. Inspeksi respon terhadap rangsang, masalah bicara, kesulitan menelan, kelemahan atau paralisis ekstremitas, perubahan visual dan gelisah 5) Exposure

Kaji balutan bedah pasien terhadap adanya perdarahan 3. Secondary Survey : Pemeriksaan fisik

1) Abdomen.

Inspeksi tidak ada asites, palpasi hati teraba 2 jari bawah iga, dan limpa tidak membesar, perkusi bunyi redup, bising usus 14 X/menit.

(14)

13

Distensi abdominal dan peristaltic usus adalah pengkajian yang harus dilakukan pada gastrointestinal.

2) Ekstremitas

Mampu mengangkat tangan dan kaki. Kekuatan otot ekstremitas atas 4-4 dan ekstremitas bawah 4-4, akral dingin dan pucat.

3) Integumen. Kulit keriput, pucat, turgor sedang 4) Pemeriksaan neurologis

5) Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi:

a. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku danmemori).

b. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.

c. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.

d. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.

e. Sering timbul cegukan oleh karena kompresi pada nervusvagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.

f. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.

1.2.2 Diagnosis Keperawatan

SDKI (2018) diagnosis yang mungkin muncul dengan masalah keperawatan Nefrolithiasis:

1. Nyeri berhubungan dengan luka insisi.

2. Resiko infeksi berhubungan dengan hygiene luka yang buruk, infeksi bakteri 3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan kerusakan neomoskular

4. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan tonus otot 5. Resiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan perdarahan, odema

otak

6. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan secret, penurunan suplai O2

(15)

1.2.3 Intervensi Keperawatan No. Diagnosis

Keperawatan (SDKI) Tujuan dan Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi Keperawatan (SIKI) 1. D.0078 Nyeri kronis L.08066 Tingkat Nyeri

Tujuan : Setelah dilakukan Asuhan Keperawatan selama 1x24 jam diharapkan tingkat nyeri menurun.

Kriteria hasil :

1. Keluhan nyeri menurun 2. Meringis menurun 3. Kesulitan tidur menurun 4. Frekuensi nadi membaik 5. Pola napas membaik 6. Tekanan darah membaik 7. Fungsi berkemih membaik 8. Pola tidur membaik

I.08238 Manajemen nyeri Observasi

1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, kualitas, intensitas nyeri

2. Identifikasi skala nyeri

3. Identifikasi respons nyeri non verbal 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan

memperingan nyeri

5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri

6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri

7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup 8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang

sudah diberikan

9. Monitor efek samping penggunaan analgetik Terapeutik

1. Berikan teknik nonfarmakoloki untuk mengurangi rasa nyeri (misal tens, hipnosis, akupresur, terapi musik, terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)

2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa myeri (misal suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan) 3. Fasilitasi istirahat dan tidur

14

(16)

15

4. Pertimbangan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredekan nyeri

Edukasi

1. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri 2. Jelaskan strategi meredakan nyeri

3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri 4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat 5. Anjurkan teknik nonfarmakologi untuk

mengurangi rasa nyeri Kaloborasi

1. Kaloborasi pemberian analgetik, jika perlu 2. D.0142 Resiko

infeksi

L.14137 Tingkat Infeksi

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam, maka resiko infeksi menurun dengan Kriteria Hasil :

1. Demam menurun 2. Kemerahan menurun 3. Nyeri menurun 4. Bengkak menurun

5. Kadar sel darah putih membaik 6. Kerusakan jaringan menurun

I.14539 Pencegahan Infeksi Observasi

1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik

Terapeutik

1. Batasi jumlah pengunjung

2. Berikan perawatan kulit pada area edema

3. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien

4. Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko tinggi

Edukasi

1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi

2. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar 3. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka

operasi

4. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi

15

(17)

Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian terapi antibiotik 3. D.0054 Gangguan

mobilitas fisik L.05042 Mobilitas Fisik

Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan kemampuan dalam gerakan fisik membaik dengan kriteria hasil : 1. Pergerakan ekstremitas meningkat 2. Kekuatan otot meningkat

3. Rentang gerak (ROM) meningkat 4. Kelemahan fisik menurun

I.05173 Dukungan Mobilisasi Observasi

1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya

2. Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan 3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah

sebelum memulai mobilisasi

4. Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi

Terapeutik

1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis. Pagar tempat tidur)

2. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan pergerakan

Edukasi

1. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi

2. Anjurkan melakukan mobilisasi dini, jika perlu 4. D.0085 Gangguan

persepsi sensori

L.09083

Persepsi Sensori

Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapakan persepsi realita terhadap stimulus membaik dengan kriteria hasil : 1. Verbalisasi mendengar bisikan meningkat 2. Verbalisasi melihat bayangan meningkat 3. Verbalisasi merasakan sesuatu melalui indra

perabaan meningkat

I.08241 Minimalisasi Rangsangan Observasi

1. Periksa status mental, status sensori, dan tingkat kenyamanan (mis. Nyeri, kelelahan)

Terapeutik

1. Diskusikan tingkat toleransi terhadap beban sensori (mis. Bising, terlalu terang)

2. Batasi stimulus lingkungan (mis. Cahaya, suara, aktvitas)

(18)

17

4. Vebalisasi merasakan sesuatu melalui indra perabaan meningkat

5. Respons sesuai stimulus membaik

3. Jadwalkan aktivitas harian dan waktu istirahat Edukasi

1. Ajarkan cara meminimalisasi stimulus (mis.

Mengatur pencahayaan ruangan, mengurangi kebisingan, membatasi kunjungan)

Kolaborasi

1. Kolaborasi dalam meminimalkan prosedur/tindakan

2. Kolaborasi pemberian obat yang mempengaruhi persepsi stimulus

5. D.0017 Resiko perfusi serebral

tidak efektif

L.02014 Resiko perfusi serebral tidak efektif Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapakan keadekuatan aliran darah sereblal dengan kriteria hasil :

1. Tingkat kesadaran meningkat 2. Tekanan intra kranial menurun 3. Sakit kepala menurun

4. Gelisah menurun

5. Nilai rata-rata tekanan darah membaik 6. Kesadaran membaik

I.06198 Pemantauan Tekanan Intrakranial Observasi

1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis. Lesi menempati ruang, gangguan metabolisme, edema serebral, peningkatan tekanan vena, obstruksi aliran cairan serebrospinal, hipertensi intrakranial idiopatik)

2. Monitor peningkatan TD

3. Monitor pelebaran tekanan nadi (selisih TDS dan TDD)

4. Monitor penurunan frekuensi jantung 5. Monitor ireguleritas irama napas 6. Monitor penurunan tingkat kesadaran

7. Monitor jumlah, kecepatan, dan karakteristik drainase cairan serebrospinal

Terapeutik

1. Ambil sampel drainase cairan serebrospinal 2. Kalibrasi transduser

16

(19)

3. Pertahankan sterilitas sistem pemantauan 4. Pertahankan posisi kepala dan leher netral 5. Dokumentasi hasil pemantauan

Edukasi

1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan 2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

6 D.0001

Ketidakefektifan bersihan jalan nafas

L.01001 Bersihan Jalan Napas

Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapakan kemampuan obstruksi jalan napas tetap paten dengan kriteria hasil :

1. Produksi sputum menurun 2. Mengi menurun

3. Sianosis membaik 4. Gelisah membaik

5. Frekuensi napas membaik 6. Pola napas membaik

I.01014 Manajemen Jalan Napas Observasi

1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)

2. Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, wheezing, ronkhi kering)

3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma) Terapeutik

1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head- tilt dan chin-lift (jaw-thrust jika curiga trauma servikal)

2. Posisikan semi fowler atau fowler 3. Berikan minum hangat

4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu

5. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik 6. Keluarkan sumbatan beda padat dengan forsep

McGill

7. Berikan oksigen, jika perlu Edukasi

1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi

Kolaborasi

17

(20)

19

1. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran

18

(21)

1.2.4 Implementasi Keperawatan

Pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan dalam proses keperawatan dalam proses keperawatan dan sangat menuntut kemampuan intelektual, keterampilan dan tekhnik keperawatan. Pelaksanaan keperawatan sesuai dengan rencana keperawatan yang didasari kebutuhan pasien untuk mengurangi atau mencegah masalah serta merupakan pengelolaan atau perwujudan rencana keperawatan pada seorang pasien. Ada 2 syarat hasil yang diharapkan dalam pelaksanaan keperawatan menurut (Moorhead S, 2016) yaitu:

1. Merencanakan perawatan, segala informasi yang tercakup dalam rangka keperawatan, merupakan dasar atau pedoman dalam tindakan.

2. Mengidentifikasi reaksi pasien, dituntut usaha yang tidak tergesah-gesah dan teliti agar dapat menemukan reaksi pasien sebagai akibat tindakan keperawatan.

1.2.5 Evaluasi keperawatan

Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan. Pada pasien dapat dinilai hasil pelaksanaannya perawatan dengan melihat catatan perkembangan, hasil pemeriksaan pasien, melihat langsung keadaan dan keluhan pasien, yang timbul sebagai masalah berat. Evaluasi harus berdasarkan pada tujuan yang ingin dicapai (Moorhead S, 2016).

Evaluasi dapat dilihat 4 kemungkinan yang menentukan tindakan-tindakan perawatan selanjutnya antara lain :

1. Apakah pelayanan keperawatan sudah tercapai atau belum.

2. Apakah masalah yang ada telah terpecahkan/teratasi atau belum.

3. Apakah masalah sebagian terpecahkan/tidak dapat dipecahkan.

4. Apakah tindakan dilanjutkan atau perlu pengkajian ulang.

(22)

i

DAFTAR PUSTAKA

A.K. Muda, Ahmad.(2013).Kamus Lengkap Kedokteran Edisi Revisi.Jakarta:

Gitamedia Press

Brunner & Suddarth.(2012).Keperawatan Medikal Bedah.(edisi 8).Jakarta : EGC Dermawan, D.(2012).Proses Keperawatan: Penerapan Konsep dan Kerangka

Kerja. Yogyakarta: Gosyen Publishing

Dorfer C, Frick A, Knosp E dan Gruber A.(2010).Decompressive hemicraniectomy after aneurysmal subarachnoid hemorrhage.World Neurosurg. 74: 465–71.

Grandhi R dan Okonkwo DO.(2012).Perioperative Management of Severe Traumatic Brain Injury in Adult. Operative Neurosurgical Techniques.

Edisi keenam.Volume 2.Philadelphia: Elsevier. hlm. 1495-512.

Rahmanian A, Seifzadeh B, Razmkon A, Petramfar P, Kivelev J, Hernesniemi J.

Outcome of decompressive craniectomy in comparison to nonsurgical treatment in patients with malignant MCA infarction. Springerplus 2014; 3 (1): 115-21

Sabbagh AJ, Ahmari AA, Otaibi FAA, dan Senani FA.(2014).Decompressive Craniectomy. Neurosurgery Trick of the Trade Cranial. New York: Thieme.

Hlm. 505-11.

Sughrue ME, Potts MB, Stiver SI, dan Manley GT.(2011).Trauma Flap Decompressive Hemicraniectomy. Core Technique in Operative Neurosurgery. Philadelphia: Elsevier. hlm. 70-4.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI.(2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), Edisi 1. Jakarta : Persatuan Perawat Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi 1. Jakarta : Persatuan Perawat Indonesia.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi 1. Jakarta : Persatuan Perawat Indonesia.

Tscheschlog, B. A., & Jauch, A.(2015).Emergency Nursing made Incredibly Easy (Second Edi).Philadelphia: Wolters Kluwer.

Referensi

Dokumen terkait