Laporan Praktikum
Keteknikan dan Pembukaan Wilayah Hutan
PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN DAN BANGUNAN AIR
NAMA : SYAHBINA NUR AZ ZAHRA NIM : M011231227
KELAS : KPWH (C) KELOMPOK : 8
ASISTEN : 1. NUR HIKMAH 2. ILDA KUMALASARI
LABORATORIUM KETEKNIKAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH PEMANENAN HUTAN
PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2025
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangInfrastruktur transportasi dan sumber daya air sebagai elemen vital dalam mendukung pembangunan wilayah dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu aspek penting dalam infrastruktur tersebut adalah perencanaan geometrik jalan dan bangunan air yang efisien, aman, dan sesuai dengan kondisi lingkungan. Perencanaan geometrik jalan tidak hanya bertujuan untuk menjamin kelancaran lalu lintas, tetapi juga mempertimbangkan kenyamanan dan keselamatan pengguna jalan, serta keterpaduannya dengan sistem drainase dan bangunan air lainnya (Karyawan, 2024).
Perencanaan geometrik jalan dan bangunan air disebut sebagai aspek krusial dalam pengembangan infrastruktur transportasi dan pengelolaan sumber daya air.
Perencanaan ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi lalu lintas, keselamatan pengguna jalan, serta keberlanjutan lingkungan melalui sistem drainase yang optimal.
Dalam perencanaan geometrik jalan, faktor-faktor seperti alinyemen horizontal dan vertikal, lebar jalur, serta spesifikasi perkerasan harus diperhitungkan agar memenuhi standar teknis dan kenyamanan pengguna. Bangunan air, seperti drainase jalan, saluran irigasi, dan sistem pengendalian banjir, juga memiliki peran penting dalam menjaga kualitas dan daya tahan infrastruktur jalan. Air yang tidak terkelola dengan baik dapat menyebabkan kerusakan jalan, erosi tanah, dan gangguan terhadap ekosistem sekitar (Karyawan, 2024).
Perencanaan geometrik jalan mencakup elemen-elemen seperti alinyemen horizontal dan vertikal, penampang melintang, serta elemen-elemen keselamatan.
Perencanaan ini harus disesuaikan dengan topografi, jenis tanah, dan kondisi lalu lintas yang ada. Sebuah studi tentang perencanaan jalan di Papua menunjukkan pentingnya standar teknis seperti SKBI dan SNI dalam menentukan tebal perkerasan dan sistem drainase permukaan yang optimal. Di sisi lain, bangunan air seperti spillway, embung, dan saluran air dirancang untuk mengatur dan mengendalikan aliran air, mencegah banjir, serta menjamin pasokan air bersih dan irigasi. Rehabilitasi bangunan pelimpah, misalnya, membutuhkan analisis debit banjir, kestabilan struktur, dan perencanaan peredam energi untuk menjamin keandalan bangunan dalam jangka panjang (Budiarti, 2023).
Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan metode perencanaan geometrik jalan dan bangunan air. Studi terbaru menunjukkan bahwa penerapan teknologi modern, seperti pemodelan hidrologi dan simulasi lalu lintas, dapat meningkatkan efisiensi dan ketahanan infrastruktur. Oleh karena itu Infrastruktur transportasi dan sumber daya air merupakan elemen vital dalam mendukung pembangunan wilayah dan kesejahteraan masyarakat. Perencanaan geometric sangat penting dalam membangun jalan dan bangunan air yang efisien, aman, dan sesuai dengan kondisi lingkungan. Perencanaan geometrik jalan tidak hanya bertujuan untuk menjamin kelancaran lalu lintas, tetapi juga mempertimbangkan kenyamanan dan keselamatan pengguna jalan, serta keterpaduannya dengan sistem drainase dan bangunan air lainnya panjang (Budiarto, 2023).
1.2 Landasan Teori 1.2.1 Geometrik jalan
Geometrik jalan merupakan aspek penting dalam perencanaan dan desain jalan yang mencakup elemen-elemen fisik seperti alinyemen horizontal dan vertikal, lebar jalan, tikungan, dan kemiringan. Tujuan utama dari perencanaan geometrik adalah untuk memastikan keselamatan, kenyamanan, dan efisiensi bagi pengguna jalan. Alinyemen horizontal mengacu pada jalur jalan dalam pandangan atas, termasuk tikungan dan lengkungan. Desain alinyemen horizontal harus mempertimbangkan kecepatan rencana, radius tikungan, dan super elevasi untuk memastikan kendaraan dapat melaju dengan aman dan nyaman. Geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang berfokus pada bentuk fisik jalan agar dapat memenuhi fungsinya secara optimal.
Perencanaan ini mencakup berbagai aspek seperti alinyemen horizontal dan vertikal, lebar jalur, serta elemen-elemen lain yang berkontribusi terhadap keamanan dan kenyamanan pengguna jalan. Tujuan utama dari perencanaan geometrik jalan adalah menciptakan infrastruktur yang efisien, aman, dan sesuai dengan kebutuhan lalu lintas (Helmi et al., 2016).
Geometrik jalan merupakan salah satu komponen penting dalam perencanaan dan perancangan infrastruktur transportasi. Aspek ini mencakup berbagai elemen seperti lebar jalan, tikungan horizontal dan vertikal, jarak pandang, dan kemiringan jalan, yang semuanya dirancang untuk menjamin keselamatan, kenyamanan, serta efisiensi lalu lintas. Setelah tahun 2015, perkembangan kajian terhadap geometrik jalan semakin mengarah pada pendekatan berbasis keselamatan pengguna jalan dan efisiensi transportasi multimoda. Geometrik jalan harus memenuhi standar teknis dan memperhatikan karakteristik pengguna jalan yang beragam, seperti pejalan kaki, pengendara sepeda motor, mobil pribadi, hingga kendaraan berat. Pemilihan elemen geometrik yang tepat dapat mengurangi risiko kecelakaan dan mendukung kelancaran arus lalu lintas (Setiawan & Kurniawan, 2018).
Dalam perencanaan geometrik jalan, klasifikasi jalan didasarkan pada fungsi dan kondisi medan. Menurut Direktorat Jenderal Bina Marga, jalan dapat dikategorikan menjadi jalan arteri, kolektor, dan lokal, yang masing-masing memiliki standar perencanaan berbeda. Selain itu, kondisi medan seperti datar, berbukit, dan pegunungan juga mempengaruhi desain geometrik jalan, terutama dalam menentukan lebar jalur dan kecepatan rencana. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi perencanaan geometrik jalan meliputi volume lalu lintas, kecepatan rencana, serta karakteristik kendaraan yang melintas. Kecepatan rencana ditentukan berdasarkan fungsi jalan dan kondisi medan, dengan standar yang telah ditetapkan. Selain itu, aspek lingkungan dan sosial juga menjadi pertimbangan dalam desain geometrik jalan agar tidak mengganggu ekosistem sekitar. Perencanaan geometrik jalan harus mengikuti standar yang telah ditetapkan oleh berbagai regulasi, seperti Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (TPGJAK) dan Pedoman Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan. Standar ini mencakup aspek teknis seperti radius tikungan, kemiringan jalan, serta jarak pandang yang diperlukan untuk keselamatan pengguna jalan. Dengan mengikuti pedoman ini, perencanaan jalan dapat menghasilkan infrastruktur yang lebih efektif dan berkelanjutan (Helmi et al., 2016).
Agar hasil perencanaan geometrik sesuai dengan standar keselamatan dan efisiensi, para perencana wajib mengacu pada regulasi teknis seperti Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (TPGJAK) dan Pedoman Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan yang dikeluarkan oleh Bina Marga. Standar ini mencakup aspek seperti jarak pandang henti, radius tikungan minimum, dan kelandaian maksimum. Dengan mengikuti pedoman ini, jalan yang dibangun tidak hanya berfungsi secara optimal tetapi juga menjamin keselamatan pengguna jalan serta mendukung konektivitas wilayah secara berkelanjutan. Perencanaan geometrik jalan juga sebagai proses penting dalam pembangunan infrastruktur transportasi yang aman, nyaman, dan efisien. Klasifikasi jalan menjadi arteri, kolektor, dan lokal sangat berpengaruh dalam penentuan parameter geometrik. Menurut Direktorat Jenderal Bina Marga, masing-masing kelas jalan memiliki standar tersendiri yang disesuaikan dengan fungsi jalan tersebut. Jalan arteri, misalnya, dirancang untuk mengakomodasi volume lalu lintas tinggi dan kecepatan tinggi, sedangkan jalan lokal lebih difokuskan pada aksesibilitas lingkungan sekitar dengan kecepatan rendah dan volume lalu lintas yang lebih kecil (Kementerian PUPR, 2020).
Kondisi medan seperti datar, berbukit, dan pegunungan turut memengaruhi desain jalan secara signifikan. Jalan di daerah datar memungkinkan penggunaan desain kecepatan lebih tinggi dan radius tikungan lebih besar, sedangkan di daerah berbukit dan pegunungan diperlukan penyesuaian geometri seperti penambahan tikungan dan kelandaian jalan agar kendaraan tetap bisa bermanuver dengan aman.
Menurut penelitian, kondisi topografi memerlukan perhatian khusus dalam desain untuk menghindari bahaya seperti kehilangan kendali kendaraan di tanjakan atau turunan curam (Handayani, 2015).
Seiring dengan perkembangan teknologi, metode perencanaan geometrik jalan semakin canggih dengan adanya perangkat lunak simulasi dan pemodelan lalu lintas.
Teknologi ini memungkinkan perencana jalan untuk mengoptimalkan desain berdasarkan data real-time dan prediksi kebutuhan masa depan. Dengan demikian, perencanaan geometrik jalan dapat lebih adaptif terhadap perubahan kondisi lalu lintas dan lingkungan. Beberapa faktor utama yang harus diperhitungkan dalam perencanaan geometrik jalan adalah volume lalu lintas, kecepatan rencana, dan karakteristik kendaraan. Volume lalu lintas menentukan kapasitas dan jumlah lajur yang dibutuhkan, sementara kecepatan rencana bergantung pada kelas jalan dan kondisi geografis.
Kendaraan berat dan panjang juga membutuhkan radius tikungan dan lebar lajur yang lebih besar. Aspek lingkungan seperti kondisi geografis lokal dan keterbatasan ruang juga dapat mempengaruhi pemilihan desain geometrik (Novitasari, 2016).
Tikungan horizontal dan vertikal juga menjadi aspek krusial seperti tikungan yang dirancang dengan radius tidak sesuai akan meningkatkan kemungkinan kendaraan tergelincir atau mengalami kehilangan kontrol, terutama saat kecepatan kendaraan tinggi atau kondisi permukaan jalan licin. Oleh karena itu, desain geometrik harus disesuaikan dengan kecepatan rencana dan topografi wilayah. Selanjutnya, jarak pandang henti (stopping sight distance) dan jarak pandang menyalip (passing sight distance) sangat penting dalam mendukung keselamatan pengemudi. Kurangnya jarak pandang yang memadai dapat menyebabkan keterlambatan dalam pengambilan keputusan oleh pengemudi, yang berpotensi menimbulkan kecelakaan. Desain
geometrik yang memperhitungkan aspek ini dapat secara signifikan menurunkan angka kecelakaan lalu lintas (Litman, 2021).
Dalam konteks modern, pendekatan jalan lengkap (complete street) mulai banyak diterapkan pasca 2015. Pendekatan ini mengintegrasikan elemen geometrik jalan untuk semua pengguna, tidak hanya kendaraan bermotor, tetapi juga pejalan kaki dan pesepeda. Dengan mempertimbangkan semua jenis pengguna, perencanaan geometrik menjadi lebih inklusif dan berkelanjutan. Kerangka teori geometrik jalan setelah 2015 lebih menekankan pada keselamatan, efisiensi, dan integrasi dengan pengguna non-motorisasi. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam terhadap elemen-elemen dasar serta penerapan pendekatan baru dalam desain jalan sangat diperlukan dalam pembangunan infrastruktur yang modern dan aman (Litman, 2021).
1.2.2 Tipe Tikungan Dan Belokan
Tikungan atau belokan (horizontal alignment) merupakan bagian penting untuk menjaga keselamatan dan kenyamanan pengemudi. Tikungan digunakan untuk mengubah arah jalan sesuai dengan kondisi topografi dan kebutuhan rute. Tikungan horizontal dirancang berdasarkan kecepatan rencana, jari-jari lengkung minimum, dan gaya sentrifugal yang dihasilkan oleh kendaraan saat melaju. Standar seperti Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota oleh Bina Marga menetapkan bahwa jari-jari minimum tikungan harus disesuaikan dengan kecepatan kendaraan agar risiko kecelakaan dapat ditekan (Ayuningtyas & Triana, 2017).
Tipe tikungan dapat dibedakan menjadi tiga: tikungan sederhana (simple curve), tikungan gabungan (compound curve), dan tikungan balik (reverse curve). Tikungan sederhana adalah lengkung tunggal dengan jari-jari tetap, sementara tikungan gabungan terdiri dari dua atau lebih lengkung berbeda yang digabungkan. Tikungan balik terdiri dari dua lengkung dengan arah berlawanan yang langsung terhubung tanpa ruas lurus di antaranya. Penggunaan jenis tikungan sangat dipengaruhi oleh kondisi medan dan ruang yang tersedia. Dalam studi kasus ruas Cipanas–Warung Banten, penggunaan tikungan sederhana dikombinasikan dengan tikungan balik dan compound untuk mengoptimalkan efisiensi trase (Ayuningtyas & Triana, 2017).
Dalam perencanaan jalan raya, tikungan atau lengkung horizontal merupakan elemen penting yang mengatur perubahan arah jalur lalu lintas. Tikungan dibedakan menjadi tiga jenis utama berdasarkan bentuk geometri dan fungsinya, yaitu tikungan sederhana (simple curve), tikungan gabungan (compound curve), dan tikungan balik (reverse curve). Tikungan sederhana merupakan lengkung tunggal dengan satu jari-jari tetap sepanjang lintasannya, sehingga bentuknya relatif stabil dan mudah direncanakan. Tikungan gabungan terdiri dari dua atau lebih lengkung yang memiliki jari-jari berbeda dan disambungkan secara halus. Tikungan ini digunakan pada medan dengan keterbatasan ruang atau saat transisi antara tikungan tajam dan landai diperlukan. Perubahan jari-jari pada tikungan gabungan memungkinkan adaptasi geometri jalan terhadap topografi dan meminimalkan gangguan terhadap lingkungan sekitar. Selain itu, dengan penyesuaian radius secara bertahap, kenyamanan dan keamanan berkendara dapat ditingkatkan, terutama pada jalan-jalan dengan kecepatan tinggi atau volume lalu lintas besar (Ayuningtyas & Triana, 2017).
Tikungan balik memiliki ciri khas berupa dua lengkung yang arah lengkungannya berlawanan dan langsung terhubung tanpa ruas lurus di antara keduanya. Desain ini umumnya diterapkan pada area dengan keterbatasan ruang ekstrem, seperti di daerah pegunungan atau perbukitan yang memerlukan perubahan arah tajam dalam jarak pendek. Meskipun efektif dalam mengatasi keterbatasan medan, tikungan balik menimbulkan tantangan teknis dalam hal stabilitas kendaraan dan kenyamanan pengemudi, sehingga perlu dirancang dengan hati-hati terutama terkait dengan kecepatan desain dan superelevasi. Dalam studi kasus ruas Cipanas–Warung Banten, kombinasi penggunaan tikungan sederhana, gabungan, dan balik menjadi solusi optimal untuk menyesuaikan trase jalan dengan kondisi geografis yang menantang.
Medan berbukit dan ruang terbatas mendorong perancang jalan untuk memadukan ketiga jenis tikungan guna menjaga keseimbangan antara efisiensi trase, keselamatan, dan biaya konstruksi. Pemilihan tipe tikungan yang tepat tidak hanya mempertimbangkan aspek teknis, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan agar pembangunan jalan berkelanjutan dapat terwujud. Pentingnya memilih jenis tikungan yang tepat juga berkaitan dengan kebutuhan jarak pandang (sight distance) dan pelebaran tikungan (widening), khususnya untuk kendaraan berat dan panjang. Tikungan dengan radius kecil memerlukan pelebaran tambahan agar kendaraan bisa berbelok tanpa keluar jalur. Dalam penelitian geometri jalan di Universitas Katolik Santu Paulus Ruteng, ditemukan bahwa beberapa tikungan eksisting harus diperlebar untuk memenuhi standar geometrik dan menghindari kejenuhan lalu lintas (Wijanarko & Megandari, 2023).
Selain itu, kemiringan melintang (superelevasi) digunakan pada tikungan untuk menyeimbangkan gaya sentrifugal dengan gaya gesek antara ban dan permukaan jalan. Tikungan pada jalan dengan kecepatan tinggi seperti jalan tol harus dirancang dengan superelevasi yang sesuai untuk menghindari tergelincirnya kendaraan.
Perencanaan pada ruas Jalan Tol Mojokerto–Kertosono menyebutkan bahwa kelandaian dan radius tikungan minimum menjadi parameter krusial dalam merancang alinyemen horizontal yang aman (Muqoddam & Indriani, 2017).
Penting untuk menyesuaikan tipe tikungan dengan kondisi lingkungan dan sosial.
Jalan yang melewati daerah permukiman, pegunungan, atau wilayah konservasi harus memperhatikan dampak terhadap masyarakat dan ekosistem. Pemilihan tikungan tidak hanya harus efisien secara teknis, tapi juga mempertimbangkan keamanan dan keberlanjutan. Perancangan jalan yang memperhatikan konteks lokal seperti di ruas jalan Gudang–Cijambu menunjukkan bahwa efisiensi trase dan pengurangan jumlah tikungan dapat menekan volume galian dan timbunan, serta mengurangi dampak lingkungan (Elkhasnet & Sabillah, 2021).
Dalam perencanaan geometrik jalan, salah satu elemen penting yang sangat mempengaruhi kenyamanan dan keselamatan pengguna jalan adalah tikungan dan belokan. Tikungan merupakan bagian dari jalan yang mengalami perubahan arah horizontal atau vertikal. Tikungan horizontal secara khusus memerlukan perhatian dalam desain karena berkaitan langsung dengan kecepatan kendaraan, visibilitas, dan gaya sentrifugal yang dialami oleh kendaraan saat berbelok. Tikungan horizontal dapat dibagi menjadi dua tipe utama, yaitu tikungan lingkaran sederhana (simple circular curve) dan tikungan peralihan (transition curve). Tikungan lingkaran sederhana memiliki
radius tetap dan biasa digunakan pada jalan dengan kecepatan rendah hingga menengah. Sedangkan tikungan peralihan didesain dengan radius yang berubah secara bertahap dari garis lurus menuju kurva utama, bertujuan untuk meningkatkan kenyamanan pengemudi serta mengurangi kejutan gaya lateral (Bethary et al.,2016).
Tikungan dan belokan juga sangat berkaitan dengan super elevasi, yaitu kemiringan melintang jalan yang diberikan pada tikungan untuk menyeimbangkan gaya sentrifugal. Pemberian super elevasi yang sesuai mampu meningkatkan stabilitas kendaraan dan mengurangi risiko tergelincir, terutama saat kondisi jalan basah atau saat kecepatan tinggi. Selain itu, menyoroti bahwa desain tikungan harus mempertimbangkan radius minimum sesuai kecepatan rencana dan jenis kendaraan yang melintas. Radius yang terlalu kecil dapat meningkatkan risiko kecelakaan, terutama pada kendaraan besar seperti truk atau bus yang memiliki pusat gravitasi lebih tinggi (Nugroho & Iskandar, 2021).
Tipe-tipe belokan dalam desain jalan umumnya dibedakan berdasarkan fungsinya, seperti belokan pada jalan perkotaan, jalan bebas hambatan, maupun jalan perdesaan. Berdasarkan klasifikasi dari Direktorat Jenderal Bina Marga (2017), jalan arteri primer memerlukan radius tikungan yang lebih besar dibandingkan jalan kolektor atau lokal, karena kecepatan desain yang lebih tinggi. Maka dari itu, penting bagi perencana jalan untuk memahami karakteristik tikungan yang sesuai dengan kelas jalan yang dirancang. Secara umum, aspek teknis dalam perencanaan tikungan dan belokan harus memenuhi standar desain geometrik yang berlaku, seperti dalam Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (Pd T-14-2003-B) yang masih dijadikan acuan meskipun beberapa prinsip desain telah dikembangkan lebih lanjut dalam literatur dan praktik terbaru pasca-2015. Dengan mempertimbangkan berbagai aspek tersebut, desain tikungan dan belokan harus selaras dengan prinsip keselamatan, kenyamanan, serta efisiensi lahan dan biaya konstruksi. Penelitian dan literatur terkini menunjukkan pentingnya pengembangan desain tikungan yang adaptif terhadap perkembangan volume lalu lintas, teknologi kendaraan, dan kondisi lingkungan sekitar (Nugroho & Iskandar, 2021).
1.2.3 Bangunan air
Bangunan air digunakan sebagai struktur teknik sipil yang dibangun untuk mengatur, menyimpan, atau mengalirkan air guna memenuhi kebutuhan manusia, seperti irigasi, pengendalian banjir, penyediaan air baku, dan pembangkit tenaga listrik. Badan air memiliki fungsi penting dalam pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan, terutama dalam mendukung kegiatan pertanian, pemukiman, dan industri.
Menurut Suripin (2016), bangunan air dapat diklasifikasikan berdasarkan fungsinya menjadi beberapa jenis, antara lain:
1. Bangunan pengambilan air (intake structures) seperti bendung dan bendungan kecil (weir)
2. Bangunan penyalur air seperti saluran irigasi atau kanal, 3. Bangunan pengatur aliran seperti pintu air dan bendung gerak, 4. Bangunan pelindung seperti tanggul dan bronjong.
Klasifikasi ini penting untuk menentukan desain teknis yang sesuai dengan
kondisi hidrologi dan geomorfologi wilayah setempat. Dalam perencanaan bangunan air, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan seperti topografi lahan, debit air, kondisi tanah, dan aspek lingkungan. Salah satu metode yang digunakan dalam perencanaan adalah analisis hidrologi dan hidraulika untuk mengetahui besaran aliran maksimum, kebutuhan air, dan daya dukung lingkungan. Bangunan air juga harus dirancang agar tahan terhadap beban hidrostatis dan hidrodinamis, serta mempertimbangkan faktor keamanan dan umur layan. Oleh karena itu, analisis struktural dan uji material menjadi bagian penting dalam proses desain bangunan air.
Setelah tahun 2015, teknologi dalam perencanaan dan pembangunan bangunan air mengalami perkembangan, termasuk penggunaan GIS (Geographic Information System), model simulasi hidrologi digital, serta penerapan sistem pemantauan otomatis berbasis sensor. Teknologi ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam pengelolaan air (Vipriyanti, 2017).
Menurut Edijatno & Soekibat (2018) desain suatu jaringan irigasi, khususnya bangunan air diperlukan cabang ilmu air yang berkaitan dengan hidrolika. Selain itu pula dalam perencanaan desain bangunan serta jaringan irigasi tersebut disesuaikan dengan kriteria-kriteria yang berlaku. Untuk mempermudah dalam pengistilahan nantinya maka diberikan beberapa pendefinisian mengenai istilah tersebut seperti berikut:
a. Bangunan bagi/bagi-sadap/sadap pada jaringan irigasi teknis dilengkapi dengan pintu dan alat ukur debit untuk memenuhi kebutuhan air irigasi sesuai jumlah debit yang direncanakan.titik cabang dan berfungsi untuk membagi aliran antara dua saluran atau lebih.
b. Bangunan-bangunan Pengukur dan Pengatur adalah aliran akan diukur pada bagian hulu (udik) saluran primer, di cabang saluran jaringan primer dan di bangunan sadap sekunder maupun tersier
c. Bangunan-bangunan pengatur muka air berfungsi untuk mengatur/mengontrol muka air di jaringan irigasi utama sampai batas-batas yang diperlukan agar dapat memberikan debit yang konstan kepada bangunan sadap tersier.
Bangunan pengatur mempunyai potongan pengontrol aliran yang dapat disetel/diatur atau tetap. Untuk bangunan-bangunan pengatur yang dapat disetel/diatur dianjurkan untuk menggunakan pintu (sorong) radial atau yang lainnya
d. Bangunan-bangunan pembawa membawa air dari ruas hulu ke ruas hilir saluran.
Aliran yang melalui bangunan ini bisa superkritis atau subkriti.
e. Dengan bangunan terjun, menurunnya muka air (dan tinggi energi) dipusatkan di satu tempat Bangunan terjun bisa memiliki terjun tegak atau terjun miring. Jika perbedaan tinggi energi mencapai beberapa meter, maka konstruksi got miring perlu dipertimbangkan.
f. Got miring dibuat apabila trase saluran rnelewati ruas medan dengan kemiringan yang tajam dengan jumlah perbedaan tinggi energy yang besar. Got miring berupa potongan saluran yang diberi pasangan (lining) dengan aliran superkritis, dan umurnnya mengikuti kemiringan medan alamiah.
g. Sipon dipakai untuk mengalirkan air irigasi dengan menggunakan gravitasi di bawah saluran pembuang, cekungan, anak sungai atau sungai. Sipon juga
dipakai untuk melewatkan air di bawah jalan, jalan kereta api, atau bangunan- bangunan yang lain. Sipon merupakan saluran tertutup yang direncanakan untuk mengalirkan air secara penuh dan sangat dipengaruhi oleh tinggi tekan.
h. Talang adalah bangunan air yang dibangun dimana air mengalir dengan permukaan bebas yang dibuat melintasi cekungan, saluran, sungai, jalan ataupun sepanjang lereng bukit. Talang dipakai untuk mengalirkan air irigasi lewat di atas saluran lainnya, saluran pembuang alamiah atau cekungan dan lembah-lembah. Aliran di dalam talang adalah aliran bebas
i. Talang Siphon adalah bangunan air yang dibangun apabila suatu talang melintasi lembah yang cukup dalam sehingga tianggnya akan tinggi, Maka dapat dibuat bangunan kombinasi antara talang dan siphon. Dasar bangunan terletak pada permukaan tanah tetapi aliran air tidak bersifat tertekan.
j. Gorong-gorong adalah berupa saluran tertutup yang dibangun untuk membawa air irigasi yang melewati jalan lalu lintas ataupun jalan kereta api. Gorong-gorong dipasang di tempat-tempat di mana saluran lewat di bawah bangunan (jalan, rel kereta api) atau apabila pembuang lewat di bawah saluran. Aliran di dalam gorong gorong umumnya aliran bebas
k. Saluran tertutup dibuat apabila trase saluran terbuka melewati suatu daerah di mana potongan melintang harus dibuat pada galian yang dalam dengan lereng- Iereng tinggi yang tidak stabil. Saluran tertutup juga dibangun di daerah-daerah permukiman dan di daerah-daerah pinggiran sungai yang terkena luapan banjir.
l. Terowongan dibangun apabila keadaan ekonomi/anggaran memungkinkan untuk saluran tertutup guna mengalirkan air melewati bukit-bukit dan medan yang tinggi. Biasanya aliran di dalam terowongan adalah aliran bebas.
1.2.4 Standar Perencanaan Pembuatan Jalan Dan Bangunan Air (Jalan Tani/
Desa Dan Kehutanan
Jalan Usaha Tani (JUT) merupakan salah satu kebijakan publik dari pemerintah untuk membangun infrastruktur transportasi di kawasan pertanian yang mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat, serta peternakan. Fungsi utama JUT adalah mempermudah pengangkutan sarana produksi ke lahan pertanian dan memindahkan hasil panen ke tempat penyimpanan, pengumpulan, pengolahan, pemukiman, atau pasar (Pedoman Teknis Pengembangan Jalan). Sebagai bentuk infrastruktur yang krusial dalam mendukung agribisnis, JUT memainkan peran penting dalam pengembangan wilayah pertanian, khususnya dalam mendukung distribusi hasil pertanian seperti padi sawah. Dampak positif dari penerapan JUT mencakup peningkatan pendapatan masyarakat, pertumbuhan ekonomi, serta perbaikan kualitas hidup. Selain itu, kehadiran JUT dapat meningkatkan nilai lahan di sekitarnya, namun juga berisiko mendorong perubahan fungsi lahan menjadi non-pertanian. Oleh karena itu, diperlukan regulasi dan pengawasan dari pemerintah untuk mengendalikan alih fungsi lahan demi menjaga keberlanjutan sektor pertanian (Mulyaningsih, 2022).
Perencanaan jalan usaha tani melibatkan tiga komponen utama: konstruksi, peningkatan kapasitas, dan rehabilitasi. Pembangunan bisa mencakup pembuatan jalan baru, perluasan kapasitas jalan yang sudah ada untuk mendukung kendaraan
berat, serta perbaikan jalan yang rusak tanpa menambah kapasitas. Tujuan utama pengembangan JUT adalah menciptakan jaringan jalan yang terhubung antara kawasan pertanian dan lingkungan sekitar. Lebar ideal jalan usaha tani adalah 1,5 meter agar alat mesin pertanian bisa melintas. Pedoman Teknis Pembangunan JUT (2018) menyarankan lebar jalan antara 1 hingga 3 meter untuk dapat dilalui kendaraan roda tiga dan pejalan kaki. Distribusi hasil pertanian hanya akan optimal jika jalan usaha tani terintegrasi dengan jaringan jalan desa. Dukungan dana dari pemerintah daerah, petani, dan masyarakat sangat penting untuk mendukung hal ini.
Jika tidak terhubung dengan baik, waktu tempuh meningkat, beberapa wilayah tidak dapat diakses, dan produktivitas terganggu. Selain aspek teknis seperti lebar dan daya dukung jalan, faktor lingkungan dan keberlanjutan juga harus menjadi perhatian dalam perencanaan JUT. Drainase yang baik dan penggunaan material ramah lingkungan sangat penting untuk mencegah kerusakan lahan pertanian, seperti genangan dan erosi. Jalan juga sebaiknya tidak dibangun di area curam atau rawan longsor demi menjaga keselamatan pengguna dan ekosistem. Partisipasi petani sejak tahap awal sangat penting agar jalan yang dibangun sesuai kebutuhan dan kondisi setempat. Keterlibatan masyarakat juga mendorong rasa kepemilikan dan tanggung jawab dalam merawat jalan. Di sisi lain, aspek legal seperti kesesuaian dengan RTRW dan izin resmi dari pihak berwenang tidak boleh diabaikan. Koordinasi antara pemerintah daerah, kelompok tani, dan instansi terkait sangat dibutuhkan untuk mempercepat proses perizinan dan memastikan legalitas pembangunan (Wakit, 2023).
Irigasi sebagai upaya manusia untuk mengalirkan air ke lahan pertanian melalui saluran dan bangunan buatan. Hal ini mencakup infrastruktur, pengelolaan air, kelembagaan pengelola, serta sumber daya manusia. Untuk mendukung produktivitas pertanian, sistem irigasi harus dirancang secara efisien, efektif, dan berkelanjutan.
Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam pembangunan irigasi yang meliputi tahap studi, perencanaan, pelaksanaan, hingga pengelolaan dan pemeliharaan (Sianto, 2024).
Irigasi juga salah satu aspek fundamental dalam mendukung keberlangsungan kegiatan pertanian, terutama dalam menjamin ketersediaan air yang dibutuhkan oleh tanaman secara tepat waktu dan dalam jumlah yang sesuai. Irigasi didefinisikan sebagai upaya teknis manusia untuk mengalirkan air ke lahan pertanian dengan menggunakan berbagai jenis bangunan dan saluran buatan, seperti saluran primer, sekunder, tersier, serta bangunan pembagi dan pengatur aliran air. Sistem irigasi tidak hanya terbatas pada sarana fisik atau infrastruktur, tetapi juga mencakup pengelolaan air yang efisien dan berkeadilan, kelembagaan pengelola irigasi yang kuat, serta keterlibatan sumber daya manusia seperti petani dan petugas pengelola dalam pelaksanaan dan pemeliharaan sistem irigasi tersebut. Tujuan utama dari sistem irigasi yang baik adalah untuk meningkatkan produktivitas pertanian, menjaga kestabilan hasil panen, serta mendukung ketahanan pangan nasional (Sianto, 2024).
Indonesia sebagai negara agraris memiliki pengalaman panjang dalam pembangunan dan pengelolaan sistem irigasi, yang telah berlangsung lebih dari satu abad. Pengalaman tersebut mencakup seluruh tahapan kegiatan mulai dari studi awal, perencanaan teknis, pembangunan infrastruktur, hingga pengoperasian dan
pemeliharaan jaringan irigasi. Meskipun demikian, tantangan terhadap efektivitas dan keberlanjutan sistem irigasi masih sering ditemukan, terutama terkait dengan kerusakan infrastruktur, kurangnya partisipasi petani, lemahnya kelembagaan pengelola, serta masalah pendanaan dan koordinasi lintas sektor. Oleh karena itu, sistem irigasi modern diharapkan dapat mengintegrasikan aspek teknis, sosial, dan kelembagaan secara menyeluruh agar mampu memberikan kontribusi optimal bagi sektor pertanian. Pendekatan yang berkelanjutan dan berbasis partisipasi menjadi kunci dalam menciptakan sistem irigasi yang adaptif terhadap perubahan iklim dan kebutuhan pertanian yang dinamis (Sianto, 2024).
Parameter perencanaan bangunan irigasi mencakup semua struktur yang dibutuhkan untuk komunikasi, transportasi, eksploitasi, dan pemeliharaan, serta bangunan pelengkap saluran irigasi dan limbah. Penjelasan rinci mengenai struktur irigasi dan drainase, termasuk dasar hidrolik untuk desain, sangat penting. Beberapa struktur memerlukan penjelasan terpisah karena karakteristik hidrauliknya yang unik.
Meski begitu, bagian ini menyediakan penjabaran menyeluruh tentang peraturan dan solusi, meskipun kondisi lapangan di setiap daerah berbeda dan memerlukan pendekatan yang fleksibel. Parameter perencanaan bangunan irigasi merupakan komponen penting dalam mendukung sistem irigasi yang efisien dan berkelanjutan.
Perencanaan ini melibatkan berbagai jenis struktur fisik yang dibutuhkan tidak hanya untuk menyalurkan air, tetapi juga untuk menunjang aspek komunikasi, transportasi operasional, eksploitasi sumber daya air, serta pemeliharaan sistem secara keseluruhan. Di dalamnya termasuk bangunan utama seperti pintu air, saluran pembawa, saluran pembuang, dan bangunan pelengkap seperti jembatan, jalan inspeksi, dan fasilitas pengendali limbah. Struktur-struktur tersebut harus dirancang sesuai dengan fungsi dan kondisi lokasi, agar mampu bekerja secara optimal tanpa merusak lingkungan sekitar (Sianto, 2024).
Penjelasan teknis mengenai struktur-struktur ini harus mencakup dasar-dasar hidrolik yang digunakan dalam perencanaannya, karena setiap jenis bangunan memiliki karakteristik hidraulik tersendiri yang menentukan bentuk, ukuran, dan bahan yang digunakan. Oleh sebab itu, beberapa struktur membutuhkan kajian khusus dan pendekatan desain yang berbeda. Meskipun kondisi geografis dan lingkungan tiap daerah sangat bervariasi, perencanaan tetap harus mengacu pada standar teknis yang berlaku untuk memastikan keselamatan, efisiensi, dan daya tahan bangunan.
Fleksibilitas dalam penerapan peraturan juga sangat penting agar solusi teknis yang diambil tetap relevan dengan karakteristik lokal tanpa mengabaikan prinsip-prinsip teknis yang telah ditetapkan. Air merupakan kebutuhan esensial bagi kehidupan makhluk hidup, termasuk manusia, yang memanfaatkannya untuk kebutuhan rumah tangga, industri, dan produksi. Seiring bertambahnya populasi, permintaan air meningkat, meskipun jumlah air tetap konstan karena siklus hidrologi. Ketimpangan ini menimbulkan risiko krisis air di masa depan. Penyediaan air yang cukup sangat penting di daerah pedesaan dan perkotaan. Jika pasokan air tidak mencukupi, masyarakat akan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari (Sianto, 2024).
Pertumbuhan penduduk mendorong peningkatan kebutuhan primer dan sekunder, serta memperluas dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam perencanaan tata ruang. Akibatnya, daya dukung lingkungan menurun, lahan
digunakan secara tidak terkendali, dan sumber daya alam dieksploitasi secara berlebihan. Aktivitas ini meningkatkan risiko bencana baik secara jumlah maupun skala. Para ahli mencatat adanya paradoks antara pertumbuhan penduduk dan ketersediaan air, di mana genangan meningkat sementara air bersih semakin langka.
Di perkotaan, berkurangnya ruang terbuka hijau karena pembangunan menyebabkan hilangnya daerah resapan, tangkapan air, dan lokasi sumber air (Sianto, 2024).
Kebutuhan dasar dan sekunder akan mengalami peningkatan sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk. Dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan dari kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ini juga akan meningkat dalam perencanaan tata ruang. Selanjutnya, lingkungan mengalami penurunan daya dukung, perubahan tata guna lahan yang tidak diatur, dan eksploitasi alam yang berlebihan. Efek multi- pemain dari aktivitas-aktivitas tersebut pada dasarnya menghasilkan tren peningkatan bencana baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Banyak ahli telah mencatat bahwa ada paradoks antara populasi dan air. Air kebutuhan mendasar bagi semua organisme hidup di Bumi. Manusia bergantung pada air untuk berbagai keperluan, termasuk kebutuhan rumah tangga, kebutuhan industri, dan kebutuhan produksi.
Seiring berjalannya waktu, kebutuhan air berbanding lurus dengan pertumbuhan populasi, sedangkan siklus hidrologi menjaga jumlah air yang konstan. Hal ini tentu saja akan menimbulkan masalah di masa depan, khususnya krisis air. Secara khusus, potensi genangan air meningkat sementara ketersediaan air menurun sebagai akibat dari peningkatan pertumbuhan penduduk. air. Berkurangnya ruang terbuka hijau, terutama di daerah perkotaan, telah menjadi konsekuensi yang signifikan dari peningkatan ruang terbangun. Banyak tempat penampungan air, daerah tangkapan air, ruang terbuka hijau, dan situs air telah dihilangkan (Sianto, 2024).
1.3 Tujuan dan Kegunaan 1.3.1 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini yaitu :
1. Mengetahui perencanaan dan penyusunan tabel geometrik jalan.
2. Mengetahui cara penggambaran tikungan dan belokan.
3. Mengetahui dan menentukan rancangan bangunan air.
1.3.2 Kegunaan
Adapun kegunaan dari praktikum ini yaitu :
1. Agar mahasiswa mampu mengetahui perencanaan dan penyusunan tabel geometrik jalan.
2. Agar mahasiswa mampu mengetahui cara penggambaran tikungan dan belokan.
3. Agar mahasiswa mampu mengetahui dan menentukan rancangan bangunan air.
BAB II
METODOLOGI PRAKTIKUM
2.1. Waktu dan TempatPraktikum Perencanaan Geometrik Jalan dan Bangunan Air dilaksanakan pada hari Sabtu, 3 Mei 2025 pukul 08.00 WITA di KHDTK Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kecamatan Cenrana Baru, Kabupaten Maros. Adapun jalur yang kami ukur yaitu jalur 19 berlokasi di desa Limapoccoe.
2.2 Alat dan Bahan 2.2.1 Alat
Adapun alat yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Kompas, digunakan untuk menentukan titik azimuth.
2. Clinometer, digunakan untuk mengukur kelerengan jalan.
3. Roll meter, digunakan untuk menentukan jarak, lebar dan panjang jalan.
4. Pita Meter, digunakan untuk mengukur lebar.
5. Time stamp, digunakan untuk mendokumentasikan kegiatan praktikum.
6. Avenza maps, digunakan untuk menentukan titik koordinat dan ketinggian pada praktikum.
7. Parang, digunakan untuk membuka jalur atau jalan belukar.
8. Alat Tulis Menulis, digunakan untuk mencatat data yang diperoleh.
9. Laptop, digunakan dalam mengelola data excel dari tally sheet.
10. Map plastik, digunakan untuk menyimpan alat alat yang diperlukan.
2.2.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada praktikum ini yaitu sebagai berikut:
1. Tally sheet, Digunakan sebagai tempat mencatat hasil pengukuran
2. Kertas HVS, digunakan untuk membuat bahan dokumentasi pada setiap titik stasiun.
2.3 Prosedur Praktikum 2.3.1 Geometrik jalan
Adapun prosedur kerja yang digunakan untuk praktikum geometrik jalan, yaitu:
1. Setiap kelompok akan dibagikan koordinat lokasi pengukuran secara acak di desa Limapoccoe.
2. Setelah mendapat koordinat lokasi, setiap kelompok mengakses lokasi tersebut melalui aplikasi avenza maps. Setelah itu melakukan navigasi untuk menuju ke lokasi pengukuran
3. Setelah sampai di lokasi pengukuran yang telah ditentukan setiap kelompok, dilanjutkan dengan mengambil koordinat dan membuat patok untuk stasiun 0 4. Setelah itu, menarik JL sepanjang 10 m untuk jalan yang lurus (untuk tikungan
disesuaikan dengan kondisi jalan)
5. Selanjutnya, untuk menghitung belokan tarik roll meter dengan mengambil 3 titik stasiun atau titik bantu.
6. Menentukan arah azimuth pada setiap stasiun untuk mendapatkan arah belokan dari setiap stasiun.
7. Kemudian, menentukan median tiap stasiun, dilanjut dengan mengambil ketinggian
8. Mengukur kelerengan tiap stasiun menggunakan clinometer
9. Mencatat semua hasil pengukuran dan pengamatan pada tally sheet.
2.3.2 Bangunan Air
Adapun prosedur kerja yang digunakan untuk praktikum geometrik jalan, yaitu:
1. Setiap kelompok akan dibagikan koordinat lokasi pengukuran secara acak di desa Limapoccoe.
2. Setelah mendapat koordinat lokasi, setiap kelompok mengakses lokasi tersebut melalui aplikasi avenza maps. Setelah itu melakukan navigasi untuk menuju ke lokasi pengukuran
3. Setelah sampai di lokasi pengukuran yang telah ditentukan setiap kelompok, dilanjutkan dengan mengambil koordinat dan membuat patok untuk stasiun 0 4. Setelah itu, menarik JL sepanjang 10 m untuk jalan yang lurus
5. Selanjutnya, di setiap stasiun hitung jarak antara bahu jalan dengan lebar jalan tani untuk menentukan perencanaan penempatan drainase, irigasi dan bangunan air.
6. Mengukur kelerengan tiap stasiun menggunakan clinometer untuk menghitung kemiringan lereng dari lebar bahu jalan. Pengukuran dilakukan untuk memetakan letak penempatan bangunan air yang tepat.
7. Menentukan arah azimuth pada setiap stasiun
8. Mencatat semua hasil pengukuran dan pengamatan pada tally sheet.
2.4 Analisis Data
Adapun analisis data yang digunakan pada praktikum ini, yaitu:
1. Jarak Datar Lapangan (JDL)
JDL = JL × cos 𝜃 Keterangan :
JDL = Jarak datar lapangan (m) JL = Jarak lapangan (m) cos 𝜃 = Cos kemiringan lereng (◦) 2. Perubahan Ketinggian (∆H)
∆H = H(n) – H
Keterangan:
∆H = Perubahan Ketinggian (mdpl) H(n) = Ketinggian Berikutnya (mdpl) H = Ketinggian awal (mdpl)
3. Kemiringan Lereng dalam Persen (S%)
S% =(∆H/JDL) ×100 Keterangan :
S% = Kemiringan lereng dalam persen
∆H = Perubahan ketinggian (m) JDL = Jarak datar lapangan (m) ∆H 4. Kemiringan Lereng dalam Derajat (S°)
S˚= tan-1(∆H/JDL) Keterangan :
S° = Sudut kemiringan lereng dalam derajat tan⁻¹ = Invers tangen (arctan)
∆H = Perubahan ketinggian (m) JDL = Jarak datar lapangan (m)
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Tabel Perencanaan Geometrik JalanTabel 1. Perencanaan geometrik jalan beserta pembahasannya
No Komponen Geometrik
Spesifikasi
Teknis Panjang Ket
1 Lebar badan
jalan m m
(alasan penggunaan
spesifikasi teknis) 2 Lebar bahu
jalan m kiri
(cm)
kanan (cm)
(alasan penggunaan
spesifikasi teknis) 3 Kemiringan
memanjang ° _
(alasan penggunaan
spesifikasi teknis) 4 Kemiringan
melintang ° _
(alasan penggunaan
spesifikasi teknis) 6
Jenis permukaan jalan
_
(alasan penggunaan
spesifikasi teknis) 7 Ketebalan
Jalan cm _
(alasan penggunaan
spesifikasi teknis)
8 Drainase kiri
(cm)
kanan (cm)
(alasan penggunaan
spesifikasi teknis)
3.2 Tikungan dan Belokan
Penggambaran 1 (STA A - STA B - STA C) Tikungan dan belokan beserta penjelasan.
3.3 Bangunan Air
Penggambaran bangunan air ( bentuk drainase pilihan) sesuai standar jalan tani/ desa/
kehutanan beserta penjelasannya.
BAB III PENUTUP
3.1 KesimpulanAdapun kesimpulan dari praktikum ini, yaitu:
1. Perencanaan dan penyusunan tabel geometrik jalan sangat penting untuk memastikan jalan memiliki dimensi yang sesuai standar teknis, aman, dan nyaman dilalui. Tabel geometrik memuat informasi penting seperti panjang lintasan, radius tikungan, lebar jalan, kemiringan, dan elevasi yang dibutuhkan dalam proses konstruksi maupun evaluasi jalan.
2. Penggambaran tikungan dan belokan dalam perencanaan jalan bertujuan untuk menggambarkan jalur kendaraan secara realistis dan akurat. Teknik ini membantu dalam merancang tikungan dengan radius yang sesuai agar kendaraan dapat bermanuver dengan aman, serta memperhatikan kelandaian dan transisi yang halus dalam sistem perkerasan jalan.
3. Pemahaman dan perancangan bangunan air seperti saluran, gorong-gorong, embung, dan dam sangat penting untuk pengelolaan sumber daya air secara efisien. Rancangan yang tepat dapat membantu pengendalian banjir, irigasi pertanian, dan konservasi air, serta memastikan keberlanjutan sistem hidrologi di wilayah sekitar infrastruktur yang dibangun.
3.2 Saran
3.2.1 Saran Untuk Laboratorium
Menurut saya laboratorium sudah sangat nyaman baik dari segi kebersihan maupun suasananya yang sangat sejuk.
1.2.2 Saran Untuk Asisten
Adapun saran yang dapat diberikan untuk asisten yaitu:
1. Saya berharap asisten dapat lebih berbaur terhadap praktikan dan memberikan saran- saran tentang prantikum ini.
2. Semoga kakak bisa memberikan informasi yang lebih jelas serta selalu membimbing praktikan kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ayuningtyas, I., & Triana, S. (2017). Evaluasi Perencanaan Geometri Jalan Ruas Cipanas. Warung Banten.
Budiarto, D.B., Marsudi, S., & Dermawan, V. (2023). Studi Perencanaan Rehabilitasi Bangunan Pelimpah (Spillway) Pada Embung Takisung Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Rehabilitation Design Study Oftakisung Retention Basin Spillway In Tanah Laut Regency South Kalimantan.
Elkhasnet, E., & Sabillah, N. F. (2021). Perancangan Geometri Ruas Jalan Gudang Cijambu Sta 1+400 S/D Sta 3+400. : Jurnal Rekaracana: Jurnal Teknik Sipil, Diterbitkan Oleh Jurusan Teknik Sipil, Universitas Pasundan.
Handayani, P. (2015). Faktor-Faktor Geografis Yang Mempengaruhi Minat Orang Tua Dalam Menyekolahkan Anaknya Di Sekolah Dasar Di Kecamatan Sragen.
Jawa Timur: Journal Kampus.
Helmi, Y., Hasan, M.W. & Rita, E. (2016). Perencanaan Geometrik Jalan Raya, Tebal Perkerasan Lentur Serta Drainase Ruas Jalan Bungo Tanjung – Teluk Tapang (Sta 375+000 - Sta 380+000) Kabupaten Pasaman Barat. Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan, Universitas Bung Hatta Padang.
Karyawan, I. D. M. A. (2024). Karakteristik Jalan Raya Dan Perangkatnya. Purbalingga:
Eureka Media Aksara, Pp. 56-73.
Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat. (2020). Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota. Direktorat Jenderal Bina Marga.
Litman, T. (2021). "Complete Streets: Integrating Transportation And Land Use Planning." Journal Of Urban Transportation, 29(3), 211–225.
Muqoddam, A. F., & Indriani, E. (2017). Perencanaan Ulang Jalan Tol Mojokerto- Kertosono (Moker). Universitas Muhammadiyah Malang.
Novitasari, I. (2016). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Masyarakat Pada Program Konservasi Keanekaragaman Hayati Di Wilayah Pesisir.
Rahajeng, M.A., Hendrarto, B. & Purwanti, F. (2015). Pengetahuan, Persepsi Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Konservasi Di Kawasan Cagar Alam Pulau Sempu Kabupaten Malang. Perceptions And Public Participation In Conservation At The Sempu Island Nature Reserve Malang.
Setiawan, D., & Kurniawan, B. (2018). Perencanaan Geometrik Jalan Menggunakan Autocad Civil 3d Studi Kasus Jalan Duku – Sicincin (Sta 0+000 – Sta 2+700) Provinsi Sumatera Barat. Sumatra Barat: Universitas Andalas.
Vipriyanti, N.U. (2017). Model Penggunan Lahan Berbasis Budaya Di Das Tukad Pakerisan Bali. Denpasar: Universitas Mahasaraswati Denpasar.
Wijanarko, D., & Megandari, H. (2023). Analisis Geometrik Dan Perkerasan Jalan Di Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng. Jurnal Daktilitas, Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng.