Laporan Praktikum Polarisasi Cahaya
I Putu Wesa Angga Jaya, 2108521010
Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Indonesia 80361
Email: [email protected] 1. Pendahuluan
Suatu benda dapat terlihat akibat adanya pemantulan cahaya terhadap benda tersebut. Di mana cahaya itu sendiri merupakan salah satu gelombang transversal yang dapat mengalami pemantulan, pembiasan, interverensi serta polarisasi.
Polarisasi cahaya adalah salah satu sifat cahaya yang bergerak secara osilasi dan menuju arah tertentu. Cahaya terpolarisasi apabila cahaya itu bergerak merambat kearah vector bidang magnetnya. Cahaya itu dapa tmengalami polarisasi karena berbagai cara antara lain karena peristiwa pemantulan, pembiasan maupun hamburan
2. Landasan Teori
Polarisasi cahaya adalah pembatasan atau pengutuban dua arah getar menjadi satu arah getar. Sebagai gelombang transversal, cahaya dapat mengalami polarisasi. Polarisasi cahaya dapat terjadi karena reflaksi, absorbsi, pembiasan ganda, dan hamburan. Polarisasi karena absorbsi selektif dapat terjadi dengan bantuan kristal polaroid. Bahan polaroid bersifat meneruskan cahaya dengan arah getar yang lain. Cahaya yang diteruskan adalah cahaya yang arah getarnya sejajar dengan sumbu polarisasi polaroid.
Absorbsi selektif adalah penyerapan intensitas cahaya karena penyerapan yang terseleksi yaitu penyerapan komponen-komponen cahaya tertentu. Bahan yang dapat menyerap secara selektif ini dinamakan polarisator (Giancolli, 2001).
Ilustrasi cahaya tidak terpolarisasi dan cahaya terpolarisasi disajikan pada Gambar 2.1.
Gambar 2. 1 (a) Cahaya tidak terpolarisasi, (b) Cahaya terpolarisasi
Jika cahaya alami tidak terpolarisasi yang jatuh pada polaroid pertama(polarisator) memiliki intensitas I0, maka cahaya terpolarisasi yang melewati polarisator adalah:
𝐼1 =1
2 𝐼0 (2.1)
Cahaya dengan intensitas I1 ini kemudian menuju analisator dan akan keluar dengan intensitas menjadi:
𝐼2 = 𝐼1cos 𝜃 =1
2 𝐼0 (2.2)
Dengan 𝐼0 = intensitas cahaya awal, 𝐼1 = intensitas cahaya terpolarisasi, 𝐼2 = intensitas cahaya setelah melewati analizer, 𝜃 = sudut antara polarisator dengan analizer. Persamaan inilah yang kemudian dikenal sebagai hukum Mallus dalam polarisasi cahaya (Elin, 2018).
Dalam percobaan ini, intensitas cahaya diukur menggunakan elemen solar silicon yang mempunyai arus hubungan pendek sebanding dengan intensitas cahaya datang pada sel. Arus rangkaian pendek ini diukur melalui penurunan tegangan melalui resistor kecil. Bila U0
merupakan tegangan pada sudut α = 0, dan tegangan Uα pada sudut α (Yuliara, 2016) 𝑈𝛼
𝑈0 = 𝐼
𝐼0= 𝐶𝑜𝑠2𝛼 (2.3)
3. Eksperimen
Pada praktikum ini menggunakan alat dan bahan sebagai berikut Tabel 3.1 Alat dan Bahan
No Alat dan Bahan Jumlah 1. Holder lampu Halogen 100
W dan Lampu Halogen, 12 V/100 W
1
2. Iris diafragma 1
3. Lensa, f = 100 mm 1
4. Microvoltmeter 1
5. Filter polarisasi 2
6. Picture slider 1
7. Bangku optis kecil 1 8. Batang statif 25 cm 1
Sebelum melakukan percobaan diperlukan untuk melakukan persiapan alat dengan Langkah-langkah sebagai berikut.
1. Peralatam disusun seperti Gambar 3.1. Microvoltmeter dihidupkan dan diatur pada kisaran pengukuran 10-3 V
2. Kabel Power Supply disambungkan dengan input microvoltmeter, lalu resistor 10 ohm disambungkan.
3. Mengimbangi tegangan yang disetel, dan baru kemudian kabel suplai disambungkan ke fotosel.
4. Housing lampu halogen dengan lampu 100 W digunakan dan cermin pantul (refleksi).
kondensor dan penggeser gambar pasang.
5. Lampu di dalam housing digerakan, gambar kumparan lampu dibentuk di tengah lensa.
lensa digerakkan sehingga gambar yang tajam dari bukaan diafragma iris terbentuk pada fotosel.
6. Kedua filter polarisasi diatur ke 0o Diafragma iris ditutup, sehingga 10 mV ditampilkan pada mikrovoltmeter
Gambar 3. 1 Susunan Peralatan Percobaan Polarisasi
Setelah melakukan kalibrasi dilanjukan dengan melakukan percobaan dengan langkah langkah sebagai berikut.
a. Pengukuran dimulai bila lampu sudah dinyalakan paling tidak selama 5 menit (fluks cahaya memancar konstan). Ruangan digelapkan.
b. Sudut analyzer diubah (filter polarisasi yang berada disebelah fotosel) sebesar 10o dan nilai tegangan dicatat yang ditunjukkan multimeter pada Tabel 1.
c. Langkah (b) diulangi dengan sudut analyzer dinaikkan 10º dan sampai terakhir pada sudut 90o
4. Hasil dan Pembahasan
Dari hasil percobaan didapatkan data sebagai berikut
Tabel 4.1 Data Tegangan Hasil Pengamatan SUDUT
𝜶 (º) 𝑼̅ (volt) 𝑼̅/𝑼̅𝒎𝒂𝒙 (volt) 𝑼̅𝒄𝒐𝒓 (volt) 𝑼̅𝒄𝒐𝒓/𝑼̅𝒄𝒐𝒓.𝒎𝒂𝒙 (volt)
0 0,108 1,000 0,103 1,000
10 0,092 0,847 0,087 0,839
20 0,087 0,802 0,082 0,793
30 0,069 0,636 0,064 0,619
40 0,054 0,497 0,049 0,474
50 0,041 0,381 0,036 0,352
60 0,027 0,248 0,022 0,213
70 0,022 0,201 0,017 0,164
80 0,014 0,128 0,009 0,087
90 0,005 0,044 0,000 0,000
Berdasarkan data Tabel 4.1 didapatkan grafik tegangan U sebagai fungsi sudut ɑ sebagai berikut.
Gambar 4. 1 Grafik Tegangan U sebagai Fungsi Sudut ɑ
Dilihat pada grafik Gambar 4.1, hubunagan tegangan U terhadap sudut ɑ, semakun besar sudut (0° ≤ 𝛼 ≤ 90°) semakin kecil tegangan U yang terbaca pada multimeter. Itu diakibatkan intensitas cahaya yang semakin menurun seiring dengan besarnya nilai sudut antara polarisator dengan anailzer. Fenomena ini sesuai dengan persamaan (2.2).
Dari Tabel 4.1 didapatkan juga grafik hubungan Ucor/Ucor.max sebagai fungsi cos2 ɑ sebagai berikut
Gambar 4. 2 Grafik Ucor/Ucor.max Sebagai Fungsi cos2 ɑ
Dapat dilihat pada grafik Gambar 4.2, hubungan Ucor/Ucor.max sebagai fungsi cos2 ɑ berbanding lurus dan berkorelasi linear. Semakin besar nilai sudut (0° ≤ 𝛼 ≤ 90°) semakin kecil nilai cos2 ɑ dan semakin nilai besar sudut (0° ≤ 𝛼 ≤ 90°) semakin kecil nilai Ucor/Ucor.max. Fenomena ini sesuai dengan persamaan (2.3) yang diungkapkan Malus.
5. Simpulan
0,000 0,020 0,040 0,060 0,080 0,100 0,120
0 20 40 60 80 100
U (volt)
Sudut
Grafik Tegangan U sebagai fungsi Sudut ɑ
0,000 0,200 0,400 0,600 0,800 1,000 1,200
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Grafik U
cor/U
cor.maxSebagai Fungsi cos
2ɑ
Ucor/Ucormax Cos^2(a)
Berdasarkan dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa hubungan antara besar nilai sudut yang dibentuk oleh polarisator dengan analizer terhadap intensitas cahaya yang diterima fotocell yaitu semakin besar nilai sudut (0° ≤ 𝛼 ≤ 90°) semakin kecil intensitas cahaya yang dibaca voltmeter. Ini sesuai dengan hukum Malus
Pustaka
Elin, T. L. 2018. Modul Praktikum Getaran Gelombang dan Optik. Malang: Fisika Universitas Kanjuruhan.
Giancolli. 2001. Fisika Jilid 1. Jakarta: Airlangga.
Yuliara, I Made. 2016. Petunjuk Eksperimen Fisika Lanjut 1. Jimbaran: Prodi Fisika Universitas Udayana