LAPORAN PRAKTIKUM UJI STABILITAS
Dosen Pengampu:
1. apt. Dhadhang Wahyu Kurniawan, M.Sc., Ph. D 2. apt. Rehana., M. Si
3. Dr. Muhamad Salman Fareza., M. Si
Disusun Oleh:
Kelompok B2-4
1. Nabila Shafa Rizkitha Ayu (I1C023091)
2. Rizqi Amalia (I1C023092)
3. Aulia Hasna Putri Arulan (I1C023093) 4. Melly Anggraeni (I1C023094) 5. Fahira Baya Urbaningrum (I1C023095)
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO 2023
A. JUDUL PRAKTIKUM
Praktikum yang telah kami lakukan berjudul “Uji Stabilitas”.
B. TANGGAL DAN JAM PELAKSANAAN Hari, tanggal : Senin, 30 Oktober 2023 Jam Pelaksanaan : 13.00-16.00 WIB
C. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui prinsip uji stabilitas dipercepat (accelerated study) dan uji stabilitas jangka panjang (real-time study).
2. Mampu menjelaskan intepretasi data studi stabilitas obat jadi.
3. Memahami faktor yang mempengaruhi stabilitas suatu produk obat jadi.
D. ALAT DAN BAHAN 1. Alat
a. Labu ukur 10 mL b. Gelas kimia 50 mL c. Gelas ukur 1 L d. Gelas ukur 25 mL e. Bulb
f. Pipet ukur g. Pipet tetes
h. Timbangan analitik i. Digital vortex mixer j. Spektrofotometer UV-Vis k. Kuvet
l. Vial 10 mL 2. Bahan
a. Amoksisilin b. NaOH 0,1 N c. Aquadest d. Etanol
E. CARA KERJA
1. Pembuatan larutan NaOH 0,1 N NaOH padat
• Ditimbang menggunakan timbangan analitik sebanyak 4 gr.
• Diletakkan di gelas ukur 1 L.
• Dilarutkan dengan menambahkan aquadest sampai garis batas.
Larutan NaOH 0,1 N
2. Pembuatan larutan stok Serbuk amoksisilin
• Ditimbang menggunakan timbangan analitik sebanyak 10 mg.
• Diletakkan di gelas ukur 25 mL.
• Ditambahkan dengan NaOH 0,1 N sampai garis batas hingga diperoleh larutan amoksisilin 400 ppm.
Larutan amoksisilin 400 ppm
• Diambil 0,5 mL, 1 mL, 2 mL, 2,5 mL, dan 3 mL.
• Diletakkan di labu ukur 10 mL.
• Diencerkan dengan NaOH 0,1 N hingga diperoleh 20, 40, 80, 100, 120 ppm dan dihomogenisasi dengan menggunakan digital vortex mixer.
Larutan amoksisilin 20, 40, 80, 100, 120
ppm
3. Pembuatan larutan sampel Sirup kering
amoksisilin
• Diencerkan dengan 51 mL aquadest.
Sirup basah amoksisilin
• Diambil 1 mL dan diencerkan dengan NaOH 0,1 N hingga diperoleh 25 mL.
Sirup basah amoksisilin pengenceran ke-1
• Diambil 1 mL dan diencerkan dengan NaOH 0,1 N hingga diperoleh 10 mL.
• Dihomogenisasi dengan menggunakan digital vortex mixer.
• Dimasukkan ke dalam vial 10 mL.
Sampel hari ke-0
4. Uji larutan stok Silica gel
• Diambil dari dalam spektrofotometer UV- Vis dan diletakkan kembali setelah spektrofotometer UV-Vis digunakan.
Spektrofotometer UV-Vis
• Dinyalakan dengan menekan tombol on.
• Ditekan tombol mode.
• Dipilih mode 1 photometric.
• Ditekan tombol go to Wavelength (WL).
• Diketik panjang gelombang 291 nm.
Kuvet
• Direndam selama 5-10 menit di dalam etanol.
• Dimasukkan dengan larutan NaOH 0,1 N sebanyak ¼ bagian
• Dikocok secara perlahan dan larutan NaOH 0,1 N dibuang ke limbah.
Larutan amoksisilin 20, 40, 80, 100, 120
ppm
• Dimasukkan masing-masing hingga memenuhi ¾ bagian kuvet.
• Dimasukkan ke dalam spektrofotometer UV-Vis dengan bagian bening menghadap ke samping.
• Dicatat masing-masing absorbansi yang tertera di layar.
• Diambil dari spektrofotometer UV-Vis dan dibuang ke dalam limbah.
Kurva kalibrasi amoksisilin
5. Uji larutan sampel Silica gel
• Diambil dari dalam spektrofotometer UV- Vis dan diletakkan kembali setelah spektrofotometer UV-Vis digunakan.
Spektrofotometer UV-Vis
• Dinyalakan dengan menekan tombol on.
• Ditekan tombol mode.
• Dipilih mode 1 photometric.
• Ditekan tombol go to Wavelength (WL).
• Diketik panjang gelombang 291 nm.
Kuvet
• Direndam selama 5-10 menit di dalam etanol.
• Dimasukkan dengan larutan NaOH 0,1 N sebanyak ¼ bagian
• Dikocok secara perlahan dan larutan NaOH 0,1 N dibuang ke limbah.
Sampel hari ke-0
• Dimasukkan hingga memenuhi ¾ bagian kuvet.
• Dimasukkan ke dalam spektrofotometer UV-Vis dengan bagian bening menghadap ke samping.
• Dicatat absorbansi yang tertera di layar.
• Diambil dari dalam spektrofotometer UV- Vis dan dibuang ke dalam limbah.
• Dimasukkan sebagian yang lain ke dalam vial dan disimpan selama 3 hari dalam suhu ruang (25C).
Sampel hari ke-3
• Dimasukkan hingga memenuhi ¾ bagian kuvet.
• Dimasukkan ke dalam spektrofotometer UV-Vis dengan bagian bening menghadap ke samping.
• Dicatat absorbansi yang tertera di layar.
• Diambil dari dalam spektrofotometer UV- Vis dan dibuang ke dalam limbah.
Nilai konsentrasi larutan sampel
F. TABEL PENGAMATAN 1. Absorbansi larutan stok
Larutan stok (ppm) Absorbansi (= 291 nm)
20 0,2750
40 0,4305
80 0,9605
100 1,1521
120 1,4055
2. Absorbansi larutan sampel a. Sampel hari ke-0
Kelompok Absorbansi (= 291 nm)
1 1,2730
2 1,3345
3 1,3343
4 1,3521
5 1,3393
Rata-rata 1,3266
b. Sampel hari ke-3
Kelompok Absorbansi (= 291 nm)
1 1,2418
2 1,3165
3 1,3170
4 1,3444
5 1,3524
Rata-rata 1,3144
G. PERHITUNGAN
1. Pengenceran larutan stok
Rumus : M1 x V1 = M2 x V2
Keterangan : M1 = Konsentrasi awal (ppm) V1 = Volume awal (mL)
M2 = Konsentrasi setelah pengenceran (ppm) V2 = Volume yang dibuat (mL)
a. Larutan amoksisilin 20 ppm M1 x V1 = M2 x V2
400 x V1 = 20 x 10 V1 = 20 x 10
400 = 0,5 mL b. Larutan amoksisilin 40 ppm
M1 x V1 = M2 x V2 400 x V1 = 40 x 10
V1 = 40 x 10
400 = 1 mL c. Larutan amoksisilin 80 ppm
M1 x V1 = M2 x V2 400 x V1 = 80 x 10
V1 = 80 x 10
400 = 2 mL d. Larutan amoksisilin 100 ppm
M1 x V1 = M2 x V2 400 x V1 = 100 x 10 V1 = 100 x 10
400 = 2,5 mL e. Larutan amoksisilin 120 ppm
M1 x V1 = M2 x V2 400 x V1 = 120 x 10 V1 = 120 x 10
400 = 3 mL
2. Grafik hubungan absorbansi dan konsentrasi larutan stok
3. Rata-rata larutan sampel hari ke-0
1,2730 + 1,3345 + 1,3343 + 1,3521 + 1,3393
5 = 1,3266
4. Rata-rata larutan sampel hari ke-3
1,2418 + 1,3165 + 1,3170 + 1,3444 + 1,3524
5 = 1,3144
5. Konsentrasi larutan sampel suhu ruang (25C) y = 0,0115x + 0,0145
Keterangan:
x = konsentrasi (ppm) y = absorbansi
Sampel hari ke-0 y = 0,0115x + 0,0145 1,3266 = 0,0115x + 0,0145
x = 𝑦 − 0,0145
0,0115
x = 1,3266 − 0,0145
0,0115 = 114,0956 ppm
y = 0.0115x + 0.0145 R² = 0.9959
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6
0 20 40 60 80 100 120 140
Absorbansi
Konsentrasi (ppm)
Kurva kalibrasi amoksisilin
Sampel hari ke-3 y = 0,0115x + 0,0145 1,3144 = 0,0115x + 0,0145
x = 𝑦 − 0,0145
0,0115
x = 1,3144 − 0,0145
0,0115 = 113,0347 ppm
6. Kadar konsentrasi larutan sampel
% kadar larutan sampel hari ke-0 = 114,0956 x 100%
= 114,0956%
% kadar larutan sampel hari ke-3 = 113,0347 x 100%
= 113,0347%
H. PEMBAHASAN
Stabilitas obat adalah kemampuan obat atau produk untuk mempertahankan sifat dan karakteristiknya agar sama dengan yang dimilikinya pada saat dibuat atau diproduksi. Identitas, kekuatan, kualitas, dan kemurnian dalam batasan yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan (Joshita, 2008).
Kestabilan merupakan suatu faktor yang harus diperhatikan dalam membuat formulasi suatu sediaan farmasi. Hal ini penting mengingat suatu sediaan biasanya diproduksi dalam jumlah besar dan memerlukan waktu yang lama untuk sampai ke tangan pasien yang membutuhkan. Obat yang disimpan dalam jangka waktu lama dapat mengalami penguraian dan mengakibatkan dosis yang diterima pasien berkurang. Adanya hasil uraian zat tersebut bersifat toksik sehingga dapat membahayakan jiwa pasien (Anonym, 2015).
Tujuan uji stabilitas yaitu mengembangkan formulasi obat, menentukan jangka waktu obat, memenuhi persyaratan registrasi, menetapkan waktu pengujian ulang, dan mengantisipasi perlakuan stres yang ekstrem. Selain itu, stabilitas obat juga dapat menentukan umur simpan dari suatu sediaan obat dan obat yang beredar tersebut stabil dalam jangka waktu yang lama (ICH Guidelines, 2003).
Uji stabilitas obat dapat dilakukan dengan 4 metode, yaitu uji stabilitas jangka pendek (dipercepat), uji stabilitas jangka panjang (real time study), uji stabilitas retained sample, dan uji cyclic temperature stress. Uji stabilitas jangka pendek dilakukan selama 6 bulan dengan kondisi ekstrem (suhu 40 ± 20°C dan RH 75 ± 5%), uji stabilitas jangka panjang dilakukan sampai dengan waktu kedaluwarsa produk seperti yang tertera pada kemasan (Rismana et al., 2015). Uji stabilitas retained sample adalah perlakuan biasa untuk setiap produk yang dipasarkan yang memerlukan data stabilitas. Dalam penelitian ini, setidaknya dipilih satu batch sampel uji stabilitas yang disimpan dalam setahun. Jika jumlah batch yang dipasarkan melebihi 50, direkomendasikan untuk mengambil dua batch sampel stabilitas. Dalam penelitian ini, sampel stabilitas diuji pada interval yang telah ditentukan yaitu jika suatu produk memiliki umur simpan 5 tahun, maka dilakukan pengujian sampel pada 3, 6, 9, 12, 18, 24, 36, 48, dan 60 bulan. Metode konvensional untuk memperoleh data stabilitas pada sampel penyimpanan ini dikenal sebagai metode interval konstan (Kommanaboyina et al., 1999; Carstensen et al., 1993). Uji cyclic temperature stress bukan pengujian rutin untuk produk yang dipasarkan.
Periode siklus yang paling dipertimbangkan adalah 24 jam. Suhu minimum dan maksimum untuk pengujian cyclic temperature stress direkomendasikan untuk dipilih berdasarkan produk sampingan dan mempertimbangkan faktor-faktor seperti suhu penyimpanan yang direkomendasikan untuk produk dan bahan kimia dan fisik tertentu. Biasanya tes memiliki 20 siklus (Kommanaboyina et al., 1999; Carstensen et al., 2000).
Metode uji stabilitas jangka panjang dan uji stabilitas dipercepat memiliki beberapa perbedaan, diantaranya pada uji stabilitas jangka panjang dilakukan untuk durasi di mana k1 dan k2 (konstanta laju) pada suhu T1 dan T2 yang lebih lama dari periode pengujian untuk memungkinkan degradasi produk yang signifikan di bawah kondisi penyimpanan yang disarankan. Periode pengujian tergantung pada stabilitas produk yang harus cukup lama untuk menunjukkan bahwa tidak ada degradasi terukur yang terjadi. Selama pengujian, data dikumpulkan pada frekuensi yang sesuai sehingga analisis mampu membedakan ketidakstabilan dari ambiguitas yang ada. Keabsahan data dapat
ditingkatkan dengan memasukkan satu batch bahan acuan yang telah memiliki karakteristik stabilitasnya. Stabilitas bahan acuan mencakup stabilitas reagen serta konsistensi kinerja instrumen yang akan digunakan selama periode pengujian stabilitas (Anderson et al., 1991). Sedangkan dalam pengujian stabilitas yang dipercepat, suatu produk diamati pada beberapa temperatur tinggi yang menyebabkan kegagalan produk. Hal ini dilakukan untuk membuat produk berada pada kondisi yang mempercepat degradasi. Informasi ini kemudian diproyeksikan untuk memprediksi umur simpan atau digunakan untuk membandingkan stabilitas relatif dari formulasi alternatif. Selain suhu, kondisi tekanan yang diterapkan selama pengujian stabilitas dipercepat adalah kelembapan, cahaya, gravitasi, dan pH (Kommanaboyina et al., 1999). Dalam pengujian stabilitas yang dipercepat, sampel diberikan tekanan, didinginkan, dan kemudian diuji secara bersamaan. Durasi analisisnya pendek memungkinan ketidakstabilan dalam sistem pengukuran berkurang dibandingkan dengan pengujian stabilitas jangka panjang (Anderson et al., 1991).
Suhu dan waktu penyimpanan termasuk faktor yang mempengaruhi stabilitas obat. Suatu obat dinyatakan stabil apabila kadarnya tidak berubah selama masa penyimpanan. Obat dapat dinyatakan tidak stabil ketika obat tersebut mengalami perubahan warna, bau, bentuk, dan ditemukan adanya mikroba. Pengujian stabilitas produk farmasi terdiri atas seperangkat prosedur yang kompleks yang melibatkan biaya cukup besar, konsumsi waktu, dan keahlian ilmiah untuk membangun kualitas, kemanjuran, dan keamanan dalam formulasi obat. Keberhasilan ilmiah dan komersial produk farmasi hanya dapat dipastikan dengan pemahaman tentang proses pengembangan obat dan hal-hal terkait rencana pengembangan yang komprehensif. Langkah uji kestabilan tersebut yang paling penting yaitu pada tahap pengembangan yang meliputi meliputi analisis farmasi dan studi stabilitas. Tahap tersebut diperlukan untuk menentukan dan memastikan identitas, potensi, kemurnian bahan, serta produk yang diformulasikan. Pengujian stabilitas akan mengevaluasi pengaruh faktor lingkungan pada kualitas zat obat atau produk formulasi yang digunakan untuk memprediksi umur simpannya, menentukan kondisi penyimpanan yang tepat,
dan menyarankan instruksi pelabelan. Selain itu, data yang dihasilkan selama pengujian stabilitas merupakan persyaratan penting untuk persetujuan peraturan dari setiap obat atau formulasi (Singh et al., 2000).
Alasan dilakukan pengujian stabilitas adalah karena pengujian tersebut sebagai bentuk kepedulian terhadap kesejahteraan pasien yang menderita berbagai macam penyakit dan membutuhkan rancangan produk obat yang sesuai. Terlepas dari degradasi produk yang tidak stabil menjadi produk dekomposisi toksik, hilangnya aktivitas hingga tingkat 85% dari yang diklaim pada label dapat menyebabkan kegagalan terapi yang mengakibatkan kematian. Akibat masalah tersebut, maka telah menjadi persyaratan resmi untuk menyediakan data yang ditujukan untuk tipe-tipe uji stabilitas khusus bagi badan regulasi sebelum persetujuan suatu produk baru. Alasan kedua adalah untuk melindungi reputasi produsen dengan memastikan bahwa produknya bisa mempertahankan kesesuaiannya untuk digunakan secara fungsional selama masih ada di pasar. Manfaat lain dari studi stabilitas pada tahap pengembangan atau produk dipasarkan adalah untuk menyediakan database yang mungkin bernilai dalam pemilihan formulasi, eksipien, dan sistem wadah untuk pengembangan produk baru (Singh et al., 2000;
Carstensen et al., 2000).
Faktor-faktor yang dapat memengaruhi kestabilan suatu zat antara lain adalah panas, cahaya, kelembapan, oksigen, pH, mikroorganisme, dan lain-lain yang digunakan dalam formula sediaan obat tersebut (Lachman, 1994).
Stabilitas sediaan farmasi tergantung pada profil sifat fisika dan kimia pada sediaan yang dibuat (termasuk eksipien dan sistem kemasan yang digunakan untuk formulasi sediaan) (Joshita, 2008). Stabilitas fisika meliputi penampilan, konsistensi, warna, aroma, rasa, kekerasan, kelarutan, pengendapan, perubahan berat, adanya uap, bentuk, dan ukuran partikel. Stabilitas kimia meliputi degradasi formulasi obat, kehilangan potensi (bahan aktif), kehilangan bahan- bahan tambahan (pengawet, antioksidan, dan lainnya). Stabilitas mikrobiologi meliputi perkembangiakan mikroorganisme pada sediaan non steril, sterilisasi, dan perubahan fektivitas pengawet (Jenkins, 1957). Selain itu, stabilitas sediaan farmasi bisa dipengaruhi dari aspek bahan aktifnya, aspek area, dan
faktor perumusan. Aspek yang memengaruhi tersebut bisa berbentuk stabilitas bahan aktif, interaksi antara bahan aktif dengan bahan bonus, proses pembuatan bentuk sediaan, kemasan, metode pengemasan, keadaan area yang dirasakan selama pengiriman, penyimpanan, penindakan serta jarak waktu antara pembuatan dan pemakaian (Umar et al., 2014).
Stabilitas obat dalam sediaan farmasi memiliki manfaat untuk membangun keamanan obat, khasiat obat, dan bioavailabilitas obat. Pengujian stabilitas penting untuk memastikan bahwa obat akan tetap efektif dan aman selama penyimpanan maupun penggunaannya. Pengujian stabilitas dirancang untuk mendapatkan informasi mengenai stabilitas farmasi dalam rangka menetapkan masa edar dan periode penggunaan dalam kondisi penyimpanan tertentu sehingga tidak terjadi efek-efek yang tidak diinginkan berupa hilangnya zat aktif, naiknya konsentrasi zat aktif, bahan obat berubah, hilangnya keragaman kandungan, menurunnya status mikrobiologi, hilangnya kekedapan kemasan, modifikasi faktor hubungan fungsional, serta faktor lingkungan seperti suhu, kelembapan, dan cahaya (Joshita, 2008).
Bentuk ketidakstabilan pada obat dapat terjadi ketika mengalami perubahan struktur kristal, keadaan distribusi, konsistensi dan agregat, perbandingan kelarutan, dan perbandingan hidratasi. Perubahan struktur kristal umumnya menyebabkan perubahan dalam sikap pelepasan dan sikap reabsorbsinya. Perubahan keadaan distribusi terjadi pada cairan sistem berfase banyak memungkinkan terjadi munculnya pemisahan. Perubahan konsistensi dan agregat contohnya pada sediaan obat yang selama penyimpanan seringkali mengeras. Bentuk perubahan perbandingan kelarutan dapat terlihat dari terjadi pengendapan dari bahan terlarut melampaui perubahan konsentrasi. Terakhir yaitu perubahan perbandingan hidratasi contohnya pencairan sediaan yang disebabkan oleh sifat higroskopisitas yang besar dari sediaan (Tri, 2016).
Perlu dilakukan pengujian stabilitas terhadap produk seperti sediaan farmasi. Produsen hendaknya melakukan pengujian stabilitas sebelum produk tersebut diproduksi skala industri bahkan sampai sebelum pengajuan izin edar.
Uji stabilitas dan studi profil disolusinya dilakukan terhadap produk baru atau ada perubahan pada proses produksi (menggunakan alat baru atau metode
pengolahan), perubahan formula, perubahan bahan awal, dan bahan pengemas.
Pada produk yang sudah tervalidasi, apabila produk tidak mengalami perubahan selama masa produksi maka dilakukan post marketing stability test dengan mengambil sampel dari salah satu batch per tahun dan dilakukan pengujian setiap 12 bulan sekali sampai masa kedaluwarsanya (ICH Guidelines, 2003; ASEAN Guidelines, 2013). Umumnya pengujian stabilitas merujuk pada prosedur yang dikeluarkan oleh lembaga resmi obat yang ada di negara masing-masing, namun pengujian juga bisa merujuk sesuai dengan pedoman ICH (International Conference on Harmonisation) (Narayan et al., 2017).
Salah satu bahan yang dapat diuji kestabilannya adalah amoksisilin.
Amoksisilin merupakan salah satu antibiotik yang paling umum digunakan sebagai pilihan pengobatan. Amoksisilin termasuk ke dalam golongan penisilin yang dibuat dengan menambahkan gugus amino ekstra ke penisilin untuk melawani resistensi antibiotik. Struktur amoksisilin memiliki kemiripan dengan ampisilin, yang membedakan yaitu terdapat gugus hidroksil pada posisi para cincin benzena. Amoksisilin lebih efektif melawan bakteri gram positif dan beberapa bakteri gram negatif dibandingkan penisilin. Seperti penisilin, amoksisilin aktif melawan spesies Streptococcus, Listeria monocytogenes, dan Enterococcus spp. Selain itu, Escherichia coli, Actinomycetes, Clostridium, Salmonella, Shigella, dan Corynebacterium sp (Akhavan, Khanna and Vijhani, 2021).
Amoksisilin diindikasikan untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh isolat bakteri yang rentan (hanya beta-laktamase). Amoksisilin digunakan untuk pengobatan infeksi telinga, hidung, tenggorokan, pemberantasan Helicobacter pylori, infeksi saluran pernapasan bawah, sinusitis bakteri akut, dan infeksi saluran kemih. Beberapa keunggulan amoksisilin dibandingkan dengan ampisilin adalah kadar plasma yang lebih tinggi karena penyerapan obat lebih sempurna pada saluran pencernaan. Kadar puncak darah dicapai dalam waktu 1 jam setelah pemberian oral. Namun, mirip dengan hasil ampisilin, amoksisilin tidak efektif terhadap Pseudomonas aeruginosa (T.D.
Kusumowati et al., 2012).
Amoksisilin adalah antibiotik dari penisilin semisintetik yang stabil dalam suasana asam, kerja bakterisida, atau pembunuh bakteri seperti ampisilin.
Amoksisilin dapat dirusak oleh beta-laktamase sehingga amoksisilin tidak efektif untuk melawan bakteri yang memproduksi beta-laktamase. Amoksisilin diabsorbsi dengan cepat dan baik di saluran pencernaan, tidak tergantung adanya makanan dalam lambung dan setelah 1 jam konsentrasinya dalam darah sangat tinggi sehingga efektivitasnya tinggi. Amoksisilin dieksresikan atau dibuang melalui ginjal, dalam air kemih dalam bentuk aktif. Amoksisilin sangat efektif terhadap organisme gram positif dan organisme gram negatif.
Penggunaan amoksisilin seringkali dikombinasikan dengan asam klavulanat untuk meningkatkan potensi dalam membunuh bakteri. Beberapa faktor yang mempengaruhi kestabilan amoksisilin seperti pH, suhu, dan lamanya penyimpanan akan mempengaruhi persentase kadar obat tersebut selama proses terapi. Suhu kulkas lebih stabil dalam mepertahankan kadar amoksisilin dibandingkan dengan suhu kamar. Hal tersebut terjadi karena adanya reaksi kimia selama penyimpanan yaitu reaksi hidrolisis. Setelah amoksisilin mengalami hidrolisis, memungkinkan terjadi reaksi kesetimbangan karena cincin beta-laktam terbuka. Maka dari itu, lamanya penyimpanan juga memengaruhi kestabilan, semakin lama amoksisilin disimpan makan semakin menurun pula kestabilannya (Unal, 2008). Amoksisilin substituen/
auksokromnya pada posisi 6 cincin penam adalah gugus 2-amino-2- (4- hidroksifenil) asetamido. Terdapat gugus p-hidroksifenil-asetil-amino yang terikat pada rantai amida (senyawa yang memiliki gugus karbonil yang berikatan langsung dengan atom nitrogen) dan gugus karbonil, karboksilat, amino pada cincin β-laktam, serta cincin tiazolidin. Rantai samping amida tidak mengalami perubahan struktur setelah amoksisilin disuspensikan dalam media berair karena hidrolisis yang terjadi hanya menyebabkan terbukanya cincin β-laktam sehingga produk hidrolisis amoksisilin juga menyerap radiasi elektromagnetik pada panjang gelombang 291 nm (National Center for Biotechnology Information, 2023).
Amoksisilin memiliki gugus kromofor dan gugus auksokrom yang menyebabkan amoksisilin dapat menyerap radiasi pada daerah ultraviolet.
Kromofor merupakan gugus molekul yang mengabsorbsi sinar di daerah UV- Vis, misalnya heksana, aseton, asetilen, benzena, karbonil, karbondioksida, karbonmonoksida, gas nitrogen. Sedangkan auksokrom merupakan gugus fungsi yang mengandung pasangan elektron bebas berikatan kovalen tunggal, yang terikat pada kromofor yang mengintensifkan absorbsi sinar UV-Vis pada kromofor tersebut (Suhartati, 2017).
Terdapat alat yang digunakan untuk menghitung absorbansi dalam uji stabilitas, yaitu spektrofotometri. Spektrofotometri merupakan salah satu metode pengukuran kuantitatif dalam kimia analisis terhadap sifat refleksi atau transmisi cahaya suatu materi sebagai fungsi dari panjang gelombang. Metode ini lebih spesifik dibandingkan istilah umum spektroskopi elektromagnetik, karena spektrofotometri berurusan dengan sinar tampak, dekat-ultraungu, dan dekat-inframerah, tetapi tidak meliputi teknik time-resolved spectroscopy.
Spektrofotometri digunakan untuk menentukan kadar suatu zat dalam jumlah kecil berdasarkan daya absorbsi zat tersebut terhadap sinar UV atau sinar visible. Hal ini dalam farmasi bertujuan untuk melihat aktivitas suatu bahan obat terhadap kemampuannya dalam menangkap radikal bebas. Hasil akhir dari uji ini adalah kebanyakan cikal bakal pembuatan bahan obat untuk whitening cream serta penelitian awal untuk obat anti kanker (antioksidan) (Anonym, 2013).
Salah satu jenis alat dari spektrofotometri adalah spektrofotometer UV-vis.
Spektrofotometer UV-Vis adalah instrumen analitik yang digunakan untuk mengukur daya absorbansi suatu cairan yang memiliki gugus kromofor terhadap panjang gelombang cahaya tertentu. Spektrofotometer UV-Vis bekerja dengan cara mengirimkan cahaya dari sumber cahaya melalui sampel cairan dan kemudian mendeteksi cahaya yang muncul di sisi lain. Perangkat ini memungkinkan kita untuk mengukur seberapa banyak cahaya yang diserap oleh sampel pada panjang gelombang tertentu, sehingga memberikan informasi tentang keberadaan atau konsentrasi senyawa tertentu dalam sampel. Cairan yang memiliki gugus kromofor, seperti senyawa aromatik, senyawa dengan ikatan rangkap, atau senyawa yang mengandung gugus -OH atau -NH, dapat menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu. Spektrofotometer UV-Vis
digunakan untuk mengukur seberapa banyak cahaya yang diserap oleh sampel pada panjang gelombang tersebut. Dengan demikian, spektrofotometer UV-Vis sering digunakan dalam analisis kualitatif dan kuantitatif senyawa organik dalam berbagai bidang seperti kimia, biokimia, dan farmasi (Rudy, 2023).
Metode spektrofotometer UV-Vis sendiri memiliki beberapa kelebihan, yaitu memiliki sensitivitas dan selektivitas yang tinggi sehingga menghasilkan hasil yang akurat, panjang gelombang dari sinar putih dapat lebih terseleksi, cara kerja dan penggunaanya sangat mudah dan sederhana, dapat menganalisis solusi dengan konsentrasi atau kuantitas yang sangat kecil, dan biaya yang diperlukan relatif murah. Namun, spektrofotometer UV-Vis juga memiliki kekurangan di antaranya senyawa yang akan dianalisis harus memiliki gugus kromofor (gugus pembawa warna) dan memiliki ikatan rangkap terkonjugasi serta mempunyai panjang gelombang yang terletak pada daerah ultraviolet atau visible (dengan panjang gelombang >185 nm) (Tetha & Sugiarso, 2016).
Selain spektrofotometer UV-Vis, terdapat beberapa metode lain yang dapat digunakan dalam menentukan kadar atau nilai absorbansi amoksisilin. Di antaranya yaitu:
1. Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Pada pengujian kadar amoksisilin dengan metode KCKT atau HPLC (High Performance Liquid Chromatography), parameter yang digunakan adalah akurasi, linieritas, presisi, robustness, dan uji kesesuaian sistem yang meliputi presisi luas area, waktu retensi, dan resolusi dari sistem KCKT yang digunakan (Setyawati dan Sambodo, 2009). Analisa kuantitatif pada KCKT dilakukan dengan cara membandingkan luas puncak standar senyawa murni dengan sampel, sedangkan analisa kualitatif pada KCKT dilakukan dengan cara mencari kesamaan komponen kapsaisin sampel dengan standar (Saksit et al., 2012).
Keuntungan menggunakan metode KCKT untuk analisis adalah memerlukan ukuran sampel yang kecil, pengujian dapat dimodifikasi tergantung pada tingkat kuantifikasi yang diperlukan, dan menghasilkan hasil yang akurat. Kekurangan KCKT adalah memerlukan analis/SDM
khusus untuk mengoperasikannya karena pengoperasiannya membutuhkan keterampilan khusus, diperlukan komposisi fasa gerak yang tepat agar menghasilkan resolusi yang baik, dan peralatan yang berhubungan dengan KCKT juga relatif mahal, seperti reagen, sparepart, dan kolom (Sofyani, Taofik, dan Chaerunnisa, 2018).
2. Metode Iodometri (Titrasi Tidak Langsung)
Penentuan kadar amoksisilin dilakukan dengan menggunakan metode titrasi iodometri yang didasarkan sifat oksidator amoksisilin yang direduksi dengan (KI) Kalium Iodida berlebih dan akan menghasilkan larutan iodium yang kemudian dititrasi dengan natrium tiosulfat dengan indikator amilum. Amoksisilin dalam bentuk murni tidak dapat bereaksi dengan iodium, sehingga sebelum dilakukan titrasi, sampel dihidrolisis terlebih dahulu menggunakan NaOH sehingga cincin beta-laktam terbuka dan dapat bereaksi dengan iodium. Golongan penisilin ini akan terhidrolisis dengan basa menghasilkan asam penisiloat. Asam penisiloat inilah yang akan ditetapkan kadarnya karena dapat mengikat iodium (Sudjadi, 2008).
Kelebihan dari metode iodometri dapat digunakan untuk mengukur konsentrasi oksidator dengan ketelitian yang sangat baik. Namun, tidak semua zat oksidator dapat dititrasi dengan menggunakan metode ini. Zat yang mudah melepaskan oksigen atau yang sangat kuat oksidator dapat mengganggu hasil titrasi iodometri. Selain itu, ketidakmurnian dalam lingkungan titrat atau larutan iodium dapat memengaruhi hasil akhir titrasi, sehingga perlu dilakukan pengendalian kualitas yang sangat ketat (Syafii, 2023).
Dalam praktikum ini, metode spektrofotometer UV-Vis digunakan karena sangat cocok dengan objek atau bahan yang diuji, yaitu amoksisilin.
Amoksisilin sendiri merupakan senyawa yang memiliki gugus kromofor, memiliki ikatan rangkap terkonjugasi serta mempunyai panjang gelombang yang terletak pada daerah ultraviolet atau visible (dengan panjang gelombang
>185 nm). Jadi, beberapa kekurangan yang ada di metode spektrofotometer UV-Vis ini tidak berlaku pada amoksisilin. Apabila dibandingkan dengan
metode lain, metode spektrofotometer UV-Vis penggunaannya lebih sederhana dan biayanya relatif lebih murah.
Analisis kualitatif dengan metode spektrofotometer UV-Vis hanya dipakai untuk data pendukung. Analisis kualitatifnya dapat dilakukan dengan pemeriksaan kemiripan spektrum UV-Vis dan penentuan panjang gelombang serapan maksimum (λmaks). Adapun analisis kuantitatifnya, yaitu dengan membandingkan serapan atau persen transmitan zat yang dianalisis dengan senyawa baku pada λmaks, menggunakan kurva baku larutan senyawa baku dengan pelarut tertentu pada λmaks, menghitung nilai absorbansi pada larutan sampel pada pelarut tertentu dan dibandingkan dengan nilai absorbansi zat yang dianalisis yang tertera pada buku resmi, dan menghitung nilai ε sampel dan dibandingkan dengan nilai ε zat yang dianalisis yang tertera di buku resmi (Mulja dan Suharman, 1995).
Pada percobaan uji stabilitas menggunakan spektrofotometer UV-Vis terdapat kuvet yang digunakan untuk menaruh larutan stok dan larutan sampel.
Kuvet berasal dari Bahasa Prancis ‘cuvette’ yang memiliki arti “bejana kecil”
yang berarti tabung kecil berbentuk persegi panjang dengan salah satu ujungnya ditutup (Anonym, 2021). Ada beberapa jenis kuvet yang umum digunakan. Setiap tipe memiliki panjang gelombang berbeda yang dapat digunakan, di mana transparansi melebihi 80%, di antaranya yaitu:
1) Kaca optis, memiliki jangkauan panjang gelombang optik 340-2500 nm yang mentransmisikan lebih dari 80% cahaya bersama dengan toleransi pencocokan 1% pada 350 nm.
2) Plastik, dengan panjang gelombang yang dapat digunakan pada 380 hingga 780 nm (spektrum tampak).
3) Kuarsa leburan, dengan panjang gelombang di bawah 380 nm (spectrum ultraviolet).
4) Kuarsa UV, dengan panjang gelombang yang dapat digunakan pada 190- 2500 nm, dan toleransi pencocokan 1% pada 220 nm.
5) Kuarsa ES, dengan panjang gelombang yang dapat digunakan pada 190 hingga 2000 nm, dan toleransi pencocokan 1% pada 220 nm.
6) Kuarsa IR, dengan panjang gelombang yang dapat digunakan pada 220 hingga 3500 nm, dan toleransi pencocokan 1% pada 2730 nm (Sastrohamidjojo, 2007).
Berbagai jenis bahan kuvet yang sering digunakan di laboratorium yaitu kuvet gelas dan kuvet plastik. Kuvet gelas adalah kuvet yang terbuat dari kaca dan dapat digunakan berulang-ulang, namun pada pengukuran di daerah UV hanya dapat digunakan kuvet yang terbuat dari bahan kuarsa, karena kuvet yang terbuat dari kaca tidak dapat mengabsorbsi sinar UV sehingga tidak dapat digunakan pada saat pengukuran di daerah UV. Bahan kuvet dipilih berdasarkan daerah panjang gelombang yang digunakan. Kuvet plastik adalah kuvet yang terbuat dari bahan plastik dan merupakan disposable/sekali pemakaian. Wadah sampel yang baik terbuat dari bahan gelas dan plastik, dan khusus untuk sampel yang mudah bereaksi dengan palstik, maka harus menggunakan wadah yang terbuat dari bahan gelas. Perbedaan bahan penyusun ini juga menyebabkan adanya perbedaan ketahanan, kemampuan absorbsi, dan nilai ekonomisnya (Sastrohamidjojo, 2007).
Pada praktikum ini menggunakan kuvet berbahan kuarsa UV karena memberikan hasil yang akurat di seluruh kisaran UV dan tidak menyerap sinar sebanyak jenis kuarsa lain. Namun, kuvet bahan kuarsa juga memiliki kekurangan berupa harganya yang cukup mahal dan bahannya lebih rapuh daripada jenis kuvet lainnya (Yusnia, 2022). Umumnya, tebal kuvet adalah 10 mm, tetapi yang lebih kecil ataupun yang lebih besar dapat digunakan. Kuvet yang biasa digunakan berbentuk persegi, tetapi bentuk silinder juga dapat digunakan. Kuvet yang bertutup digunakan untuk pelarut organik. Kuvet yang baik adalah kuarsa atau gelas hasil leburan yang homogen (Alwi, 2017).
Pada praktikum kali ini, dilakukan uji stabilitas obat menggunakan amoksisilin dan NaOH. Langkah pertama yaitu pembuatan larutan NaOH 0,1 N dengan cara NaOH padat ditimbang sebanyak 4 gr menggunakan timbangan analitik. Sebelum menggunakan timbangan, bagian dalam timbangan dibersihkan terlebih dahulu menggunakan kuas yang bersih, begitu pun setelah digunakan. Hal ini dilakukan agar timbangan tersebut terhindar dari debu maupun partikel lain dan data yang dihasilkan lebih akurat. Kemudian, NaOH
padat 4 gr dimasukkan ke gelas ukur 1 L dan dilarutkan dengan menambahkan aquadest hingga garis batas pada gelas ukur.
Langkah kedua yaitu pembuatan larutan stok amoksisilin, untuk membuat larutan stok amoksisilin, serbuk amoksisilin ditimbang sebanyak 10 mg menggunakan timbangan analitik. Kemudian, serbuk amoksisilin dimasukkan ke dalam gelas ukur 25 mL dan dilarutkan dengan menambahkan NaOH 0,1 N ke dalam gelas ukur tersebut hingga diperoleh 25 mL larutan amoksisilin 400 ppm. Selanjutnya, larutan amoksisilin 400 ppm diambil sebanyak 0,5 mL; 1 mL; 2 mL; 2,5 mL; dan 3 mL menggunakan pipet ukur dan bulb kemudian masing-masing dimasukkan ke dalam labu ukur volume 10 mL. Setelah itu, masing-masing larutan amoksisilin tersebut diencerkan dengan NaOH 0,1 N hingga diperoleh 10 mL larutan amoksisilin 20, 40, 80, 100, dan 120 ppm.
Masing-masing larutan amoksisilin tersebut dihomogenisasi menggunakan digital vortex mixer dengan kecepatan 1.300 rpm selama 30 detik. Hal ini dilakukan agar larutan stok tersebut tercampur menjadi satu hingga tidak ada partikel, granul atau butiran kasar di dalamnya.
Langkah ketiga yaitu pembuatan larutan sampel amoksisilin, untuk membuat larutan sampel amoksisilin, sirup kering amoksisilin diencerkan dengan aquadest sebanyak 51 mL, sehingga menjadi sirup basah amoksisilin.
Sirup basah tersebut diambil sebanyak 1 mL kemuadian dimasukkan ke dalam labu ukur volume 25 mL dan diencerkan dengan NaOH hingga diperoleh 25 mL sampel 1. Sampel 1 ini diambil sebanyak 1 mL kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur volume 10 mL hingga diperoleh 10 mL. Larutan sampel tersebut dihomogenisasi menggunakan digital vortex mixer dengan kecepatan 1.300 rpm selama 30 detik. Kemudian, larutan sampel amoksisilin dimasukkan ke dalam vial.
Langkah keempat yaitu uji larutan stok amoksisilin. Larutan blanko dimasukkan ke dalam kuvet sebanyak ¾ bagian. Larutan blanko pada praktikum kali ini adalah NaOH 0,1 N. Larutan blanko merupakan pelarut digunakan untuk melarutkan amoksisilin. Selanjutnya, larutan amoksisilin 20 ppm dimasukkan ke dalam kuvet sebanyak ¾ kuvet. Kuvet berbentuk balok dan berbahan kuarsa, terdapat dua kuarsa persegi panjang buram yang saling
berhadapan dan dua kuarsa persegi panjang bening yang saling berhadapan.
Untuk memegang kuvet, pegang pada kuarsa yang buram. Hal ini dilakukan agar kuarsa yang bening tidak terkontaminasi kotoran, debu atau partikel lain, dan tidak meninggalkan stain sehingga tidak menghalangi cahaya yang akan diserap oleh larutan amoksisilin 20 ppm yang dapat memengaruhi hasil absorbansinya. Sebelum menggunakan kuvet, direndam terlebih dahulu menggunakan etanol selama 5-10 menit agar tidak ada bakteri yang menempel.
Bersihkan bagian dalam kuvet dengan cara memasukkan NaOH 0,1 N sebanyak 1/4 bagian kemudian dikocok perlahan-lahan hingga bersih, begitu pun setelah digunakan. Untuk mengeringkan kuvet, cukup diletakkan di atas tisu dengan posisi terbalik, sehingga larutan yang ada di dalam kuvet dapat keluar, bagian dalamnya tidak perlu dimasukkan tisu atau kain. Hal ini dilakukan agar bagian dalam kuvet tetap bersih. Sebelum memasukkan kuvet berisi larutan, perlu dilakukan pengaturan terhadap spektrofotometer UV-Vis.
Pertama, nyalakan spektrofotometer UV-Vis dengan menekan tombol on.
Kemudian, tekan tombol mode dan pilih nomor 1 photometric. Setelah itu, tekan tombol go to WL dan ketik panjang gelombang 291 nm. Lalu, tekan tombol enter. Jika nilai absorbansi yang tertera di layar tidak bernilai 0, tekan tombol auto zero. Kemudian, buka penutup spektrofotometer UV-Vis dan ambil silica gel yang berfungsi untuk mengeringkan bagian dalam spektrofotometer UV-Vis agar tidak lembap. Letakkan kembali silica gel ke dalam spektrofotometer UV-Vis setelah digunakan. Selanjutnya, kuvet yang berisi larutan NaOH 0,1 N dan larutan amoksisilin 20 ppm dimasukkan ke spektrofotometer UV-Vis sesuai letaknya untuk diukur absorbansinya pada panjang gelombang 291 nm dengan bagian bening menghadap ke samping.
Panjang gelombang 291 nm merupakan panjang gelombang maksimum amoksisilin dalam NaOH 0,1 N. Hal ini dikarenakan amoksisilin dalam NaOH 0,1 N dapat menyerap cahaya paling tinggi pada panjang gelombang 291 nm.
Amoksisilin memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 247 nm, sedangkan amoksisilin dalam NaOH 0,1 N menyerap radiasi elektromagnetik pada panjang gelombang 291 nm tetapi lebih lemah dibandingkan pada panjang gelombang 247 nm (Rehana et al, 2013). Cara
menentukan panjang gelombang maksimum pada spektrofotometer UV-Vis dapat dilakukan dengan scan stok pada rentang panjang gelombang tertentu, yaitu 280-400 nm. Panjang gelombang maksimum diambil pada nilai panjang gelombang dengan absorbansi stok yang paling tinggi. Setelah diukur, nilai absorbansi yang tertera pada layar dicatat. Kemudian, kuvet yang berisi larutan stok amoksisilin 20 ppm diambil dari spektrofotometer UV-Vis dan larutan tersebut dibuang ke dalam limbah. Lakukan hal yang sama pada larutan amoksisilin 40, 80, 100, dan 120 ppm.
Langkah kelima yaitu uji larutan sampel amoksisilin. Larutan blanko dan larutan sampel yang telah dibuat dimasukkan ke dalam masing-masing kuvet sebanyak ¾ bagian. Kemudian kuvet yang berisi larutan blanko dan larutan sampel dimasukkan ke dalam spektrofotometer UV-Vis sesuai letaknya untuk diukur absorbansinya pada panjang gelombang 291 nm dengan bagian bening menghadap ke samping. Setelah diukur, nilai absorbansi yang tertera pada layar dicatat kemudian larutan sampel tersebut diambil dan dibuang ke dalam limbah. Larutan sampel yang telah dimasukkan ke dalam vial disimpan selama 3 hari dalam suhu ruang (25C). Setelah 3 hari, larutan sampel diukur absorbansinya kembali.
Berdasarkan praktikum uji stabilitas yang telah dilakukan, didapatkan nilai absorbansi dan kadar untuk larutan stok dan larutan sampel pada suhu ruang (25C). Nilai absorbansi larutan stok amoksisilin dengan konsentrasi 20 ppm yaitu 0,2750; larutan stok amoksisilin 40 ppm yaitu 0,4305; larutan stok amoksisilin 80 ppm yaitu 0,9605; larutan stok amoksisilin 100 ppm yaitu 1,1521; dan larutan stok amoksisilin 120 ppm yaitu 1,4055. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar nilai konsentrasi suatu larutan, maka absorbansi yang didapatkan semakin besar pula. Konsentrasi berbanding lurus dengan absorbansinya, semakin tinggi konsentrasi maka absorbansinya semakin besar (Trinovita, et al., 2019).
Nilai rata-rata absorbansi larutan sampel amoksisilin yang disimpan dalam suhu ruang (25C) pada hari ke-0 yaitu 1,3266 dengan konsentrasi 114,0956 ppm. Sedangkan nilai rata-rata absorbansi larutan sampel amoksisilin pada hari ke-3 diperoleh 1,3144 dengan konsentrasi 113,0347 ppm. Hal ini menunjukkan
bahwa nilai rata-rata absorbansi dan konsentrasi sampel amoksisilin pada hari ke-0 dan ke-3 mengalami penurunan. Penurunan ini dipengaruhi oleh suhu dan lama penyimpanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka semakin rendah absorbansi dan konsentrasinya. Semakin lama waktu penyimpanan maka semakin rendah absorbansi dan konsentrasinya. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa suhu penyimpanan dan lama penyimpanan berpengaruh terhadap kadar amoksisilin klavulanat. Amoksisilin klavulanat dan amoksisilin klavulanat sirup kering tingkat rendah lebih stabil dengan umur simpan yang lebih lama bila disimpan pada suhu rendah (2-8ᵒC) (Talogo, 2014). Semakin tinggi suhu maka stabilitas suatu obat menurun (Indrawati, 2010). Semakin bertambahnya waktu penyimpanan maka semakin rendah kadar amoksisilin-asam klavulanat (Talogo, 2014). Meskipun mengalami penurunan, larutan sampel pada praktikum kali ini termasuk stabil di mana didapatkan kadar larutan sampel hari ke-0 sebesar 114,0956% dan kadar larutan sampel hari ke-3 sebesar 113,0347%. Hal ini sesuai dengan persyaratan Farmakope Indonesia edisi V bahwa kadar sediaan oral amoksisilin tidak kurang dari 90% dan tidak lebih dari 120% dari jumlah yang tertera pada etiket (Depkes, 2014).
I. KESIMPULAN
Pengujian stabilitas dapat dilakukan dengan 4 metode, yaitu uji stabilitas dipercepat (accelerated study), uji stabilitas jangka panjang (real time study), uji stabilitas retained sample, dan uji cyclic temperature stress. Uji stabilitas dipercepat dilakukan selama 6 bulan, sedangkan uji stabilitas jangka panjang dilakukan sampai dengan waktu kedaluwarsa produk yang diuji.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa semakin tinggi nilai konsentrasi suatu larutan, maka absorbansi nya akan semakin besar. Selain itu, ditemukan juga adanya penurunan konsentrasi larutan sampel yang disimpan selama 3 hari dalam suhu ruang (25°C).
Penurunan konsentrasi larutan sampel tersebut dipengaruhi oleh suhu dan lama penyimpanan, di mana semakin tinggi suhu penyimpanan dan semakin lama waktu penyimpanan, maka semakin rendah absorbansi dan konsentrasinya sehingga kestabilan obat tersebut semakin menurun.
Selain faktor suhu dan lama penyimpanan, ada faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi kestabilan suatu obat jadi antara lain panas, cahaya, kelembapan, oksigen, pH, dan mikroorganisme yang digunakan dalam formulasi sediaan obat.
DAFTAR PUSTAKA
Akhavan, B.J., Khanna, N.R. and Vijhani, P. (2021) Amoxicillin, in. Statpearls [Internet] Treasure Island: Stat Pearls Publishing. Tersedia di:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482250/ (diakses: 31 Oktober 2023).
Alwi, H. (2017) ‘Validasi Metode Analisis Flavonoid dari Ekstrak Etanol Kasumba Turate (Carthamus tinctorius L.) secara Spektrofotometri UV-VIS’.
Skripsi. Makassar: Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Anderson G., Scott M. (1991) ‘Determination of product shelf life and activation energy for five drugs of abuse’, Clin. Chem, 37, pp. 398-402.
Anonym (2013) ISO 12647-2: Graphic technology — Process control for the production of halftone colour separations, proof and production prints — Part 2: Offset lithographic processes (dalam bahasa English). Geneva:
International Organization for Standardization.
Anonym (2015) Penuntunan Praktikum Farmasi Fisika. Makassar: UMI.
Anonym (2021) Kuvet – Pengertian, Fungsi dan Cara Menggunakan. Tersedia di:
https://analitika.co.id/kuvet/ (diakses: 3 November 2023).
ASEAN Guidelines (2013) Asean Guidelines on Stability Study and Shelf-Life of Health Supplements. Yogyakarta: Indonesian.
Carstensen J. T. (2000) Drug Stability, Principles and Practices. Third Edition. New York: Marcel Dekker.
Carstensen J. T., Rhodes C. T. (1993) ‘Clinical Research. Drug Reg’, Affairs, 10, pp. 177-185.
Depkes RI. 2014. Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
ICH Guidelines (2003) ‘Stability testing of new drug substances and products. Q1A (R2)’, FDA, US Federal Register, 68 (225).
Indrawati T.2010. Stabilitas Kaplet Asam Mefenamat Dengan Suhu Dan Kelembaban Ruang Penyimpanan Yang Berbeda. Program Studi Farmasi, FMIPA, Institut Sains dan Teknologi Nasional, Jakarta Selatan Ivashkiv, E. (1973), ‘Amoxicillin’, Analytical Profiles of Drug Substances, 2(1) pp.
38-42.
Jenskin (1957) Farmasi Fisika. Yogyakarta: UGM Press.
Joshita (2008) Obat-obat untuk Paramedis. Jakarta: UI Press.
Kommanaboyina B., Rhodes C. T. (1999) ‘Trends in stability Testing, with Emphasis on Stability During Distribution and Storage’, Drug Dev. Ind.
Pharm, 25, pp. 857-867.
Lachman Leon (1994) Teori dan Praktek Farmasi Industri II. Jakarta: Universitas Indonesia.
Mulja, M. dan Suharman. (1995). Analisis Instrumental. Surabaya: Universitas Airlangga Press.
Narayan, S., & Manupriya, C. A. (2017) ‘Review on Stability Studies of Pharmaceutical Product’, International Journal of Applied Pharmaceutical and Biological Research, 2 (3), pp. 67-75.
National Center for Biotechnology Information (2023) Compound Summary
Amoxicillin. Tersedia di:
https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/Amoxicillin/ (diakses: 1 November 2023)
Rehana, R., Nugroho, H.H.S. & Utami, V.V.F.R. (2013) ‘Development of Analytical Method of Amoxycillin Which is Selective and Not Interferred by Its Degradation Products’, JURNAL ILMU KEFARMASIAN INDONESIA, 12(2), pp.170-175.
Rismana, E., Rosidah, I., Bunga, O., Yunianto, P. & Erna, E. (2015) ‘Pengujian Stabilitas Sediaan Luka Bakar Berbahan Baku Aktif Kitosan/Ekstrak Pegagan (Centella Asiatica)’, Jurnal Kimia Terapan Indonesia (Indonesian Journal of Applied Chemistry), 17 (1), pp. 27-37.
Saksit, C., Jureerat J., dan Suchila, T. (2012) ‘Determination of Capsaicin and Dihydrocapsaicin in Some Chili Varieties using Accelerated Solvent Extraction Associated with Solid-Phase Extraction Methods and RP HPLC Fluorescence’, Coden Ecjhao, 9(1), pp. 1550-1551.
Sastrohamidjojo, H. (2007) Spektroskopi. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Liberty.
Setiawati, M.C.N.H. & Sambodo, B. (2009) ‘Validasi Metode Analisis Penetapan Kadar Amoksisilin 500mg Kaplet Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi’, Media Farmasi Indonesia, 4(1), pp. 366.
Singh S, Bakshi M. (2022) ‘Development of stability-indicating assay methods-A critical review’, J. Pharm. Biomed. Anal. 28, pp. 1011-1040.
Singh S. (1999) ‘Drug Stability Testing and Shelf-life Determination According to International Guidelines’, Pharm. Technol. 23, pp. 68-88.
Singh S., Bakshi M. (2000) ‘Guidance on conduct of stress test to determine inherent stability of drugs. Pharm Technol Asia, Special Issue, pp. 24-36.
Singh S., Bhutani H., Mariappan TT., Kaur H., Bajaj M., Pakhale SP. (2022)
‘Behaviour of Uptake of Moisture by Drugs and Excipients under Accelerated Conditions of Temperature and Humidity in the Absence and the Presence of light. 1. Pure Anti-Tuberculosis Drugs and their Combinations’, Int. J. Pharm, 245, pp. 37-44.
Sofyani, C.M., Taofik, R., dan Chaerunnisa, A.Y. (2018) ‘Validasi Metode Analisis Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Untuk Penetapan Kadar Uji Disolusi Terbanding Tablet Amoksisilin’, Farmaka, 16(1), pp. 324–330.
Sudjadi. (2012) Analisis Farmasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suhartati, T. (2017) Dasar-Dasar Spektrofotometri UV-Vis dan Spektrometri Massa untuk Penentuan Struktur Senyawa Organik. Bandar Lampung: AURA.
Syafii, K. (2023) Perbedaan Titrasi Iodometri dan Iodimetri. Tersedia di:
https://www.perbedaan.co.id/perbedaan-titrasi-iodometri-dan-iodimetri/
(diakses: 3 November 2023)
T.D. Kusumowati, Siswandono, Rudyanto, M.I. (2012) ‘Sintesis N- 3Chlorobenzoylamoxicillin dan Uji Aktivitas Antibakterinya Terhadap Pseudomonasaeruginosa ATCC 27853’, Farmasisains: Jurnal Farmasi dan Ilmu Kesehatan, 1 (2).
Talogo, A. S. M. 2014. Pengaruh Waktu dan Temperatur Penyimpanan Terhadap Tingkat Degradasi Kadar Amoksisilin dalam Sediaan Suspensi AmoksisilinAsam Klavulanat. Jakarta; UIN Syarih Hidayatulloh.
Tetha, D.A.E.S. dan Sugiarso, R.D.K.S. (2016) ‘Pebandingan Metode Analisa Kadar Besi antara Serimetri dan Spektrofotometer UV-Vis dengan Pengompleks 1,10- Fenantrolin’, Akta Kimindo, 1(1), pp.8-13. DOI:
http://dx.doi.org/10.12962/j25 493736.v1i1.14198/
Tri. (2016) Heth: Lama Obat Bisa Digunakan setelah Segel Terbuka. Yogyakarta:
Tribun Yogya.
Trinovita, Yulis., Yayuk Mundriyastutik., Zaenal Fanani., dan Ana Nurul Fitriyani (2019) ‘Evaluasi Kadar Flavonoid Total pada Ekstrak Etanol Daun Sangketan (Achyranthes aspera) dengan Spektrofotometri’, Indonesia Jurnal Farmasi. Kudus: Universitas Muhammadiyah Kudus.
Umar, S., Selfia, M. & Azhar, R. (2014) ‘Studi Kestabilan Fisika dan Kimia Dispersi Padat Ketoprofen-Urea’, Jurnal Farmasi Higea, 6 (2), pp. 162- 73.
Unal, Kemal, Palabiyik, Murat. I., Karacan, Elif, Onur, Feyyaz. (2008)
‘Spectrophotometric Determination of Amoxicillin In Pharmaceutical Formulations’, Turk J.Pharm. Sci, 5, pp. 116.
Yusnia, Sita. (2022). Fungsi Kuvet Spektrofotometer Lab, Jangan Salah Pilih.
Tersedia di: https://lsi.fleischhacker-asia.biz/fungsi-kuvet/ (diakses: 3 November 2023).