LAPORAN BUKU
MODEL-MODEL PENGELOLAAN PERGURUAN TINGGI:
PERSPEKTIF SOSIOPOLITIK KARYA Dr. HARSONO
BAB I: TEORI ORGANISASI PENDIDIKAN TINGGI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Perguruan Tinggi
Dosen Pengampu Dr. H. Sardimi, M. Ag.
Disusun Oleh:
Kelompok 10
Abdul Norafnan NIM. 2111160103 Anisa Vira NIM. 2111160119
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM SEMESTER GANJIL
TAHUN 2024 M/1445 H
A. Identitas Buku
Judul Buku: Model-Model Pengelolaan Perguruan Tinggi: Perspektif Sosiopolitik Penulis: Dr. Harsono
Bidang Ilmu: Pendidikan Tinggi ISBN: 978-602-80
Tahun Terbit: 2008
Penerbit: Yogyakarta: Pustaka Pelajar
B. Pembahasan
BAB I: Teori Organisasi Pendidikan Tinggi
Jadi, pada bab ini membahas tentang teori-teori yamg medukung tentang organisasi yang berada di perguruan tinggi adapun pembahasan di bab ini mengenai pendidikan tinggi dan kebudayaan, Teori birokrasi, dan struktur organisasi. Adapun pembahasannya sebagai berikut.
1. Pendidikan tinggi dan kebudayaan
Pendidikan adalah upaya melangsungkan kebudayaan (Meichati, 1976).
Kegiatan pendidikan tinggi melibatkan banyak orang yang memiliki ragam latar belakang suku, agama, dan bahasa daerah sehingga berdampak pada perilaku organisasi secara keseluruh- an. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana un- tuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembe- lajaran agar peserta didik secara aktif mengembang kan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdas- an, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 1). Definisi pendidikan di atas tampaknya tidak sesuai dengan filsafat pendidikan, karena definisi di atas lebih bermakna kontemporer, dan memberikan jawaban atas permasalahan yang berlang- sung ketika Undang-undang tersebut dibentuk.
Pendidikan dapat diberi makna sebagai "usaha melestarikan dan meneruskan nilai-nilai kebudayaan kepada generasi berikutnya" (Hadisusanto, 1779). Untuk melangsungkan suatu kehidupan, perlulah kiranya kebudayaan suatu masyarakat dilestarikan, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan de- mikian maka akan tercipta suatu kondisi keberlang sungan budaya yang ada dalam masyarakat. Kele-
mahan dari pemahaman ini bahwa pada kenyata- annya budaya selalu berubah sesuai dengan perkembangan waktu (Robbins, 1983).
a. Manajemen Perguruan tinggi
Pendidikan tinggi diselenggarakan secara demo- kratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif de- ngan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai ke- agamaan, nilai kultural, dan kemajemukan (UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 4 (1)). Pendidikan tinggi diseleng- garakan untuk memberdayakan semua komponen ma- syarakat. Pada zaman penjajahan, pendidikan diper- untukkan menghasilkan calon pegawai penjajah (Atmodiwirio, 2000). Zaman kemerdekaan, pendidikan diselenggarakan untuk menghasilkan tenaga kerja yang terampil yang dibutuhkan oleh pembangunan. Bah- kan ketika sebuah BUMN menyelenggarakan sebuah program pendidikan tidak lain dimaksudkan untuk menghasilkan tenaga kerja dalam kualifikasi yang di- butuhkan. Penyelenggaraan pendidikan tentu tidak dapat dilepaskan dengan kepentingan stakeholdernya (Dhesi, 2001; Gormon & Corbit, 2002; Hollins, 2002). Kepentingan pihak yang menyelenggarakan dan membiayai sebuah lembaga pendidikan tidak dapat dilepaskan dengan maksud dan tujuan program penyelenggaraan pendidikan.
Peranan manajemen pendidikan dalam penye- lenggaraan pendidikan di universitas adalah meng- atur bagaimana proses kerja sama antara pimpinan, dosen, dan staf dapat berjalan dengan baik agar tujuan perguruan tinggi tersebut dapat diwujudkan (Mantja, 1979; Allen & Helms, 2002;
Atmodiwiria, 2000). Para pemikir manajemen pendidikan dalam aliran ilmu sosial, memahami "manajemen sebagai proses satu kelompok kooperatif menggerakkan tindakan orang lain (dosen dan staf) untuk mencapai tujuan umum" (Atmodiwirio, 2000). Pengertian itu menempatkan dua subjek yaitu antara pimpinan dengan bawahan. Para pakar perilaku menetapkan "tujuan partisipatif untuk pasangan pimpinan dan bawahan" (Atmodiwirio, 2000).
Manajemen pendidikan mengatur kerja sama antara individu dan kelompok agar bekerja sama dan dapat menyatukan langkah dan budaya kerja agar memudahkan pencapaian tujuan bersama sekalipun disadari bahwa individu satu dengan individu lain sangat mungkin memiliki latar budaya yang berbeda.
Jika dibiarkan mereka tercerai-berai dalam berbagai perilaku dan budaya maka sekolah akan sulit dikoordinasikan.
b. Organisasi Penyelenggara Pendidikan Tinggi
Fungsi manajemen adalah pengorganisasian yang merupakan susunan, prosedur, tata kerja, tata laksa- na, dan hal-hal lain yang mengatur organisasi itu agar dapat berjalan lancar (Atmodirio, 2000). Melalui or- ganisasi itu dapat diatur pembagian kerja, hubung- an kerja, struktur kerja, dan pendelegasian wewenang. Organisasi dapat dilihat dari sisi susunan, proses, dan sistem (Sutarto, 2002; Thoha, 2003). Dari sisi susunan, organisasi merupakan keseluruhan proses pengelom- pokan orang-orang, alat-alat, tugas-tugas, tanggung jawab, dan wewenang. Pimpinan harus dapat menggerakan organisasi dengan baik agar dapat mencapai tujuan bersama.
Dari sisi proses, organisasi adalah proses peng- gabungan pekerjaan yang para individu atau kelom pok harus melakukan dengan bakat-bakat yang di- perlukan untuk melakukan tugas, sedemikian rupa, memberikan saluran terbaik untuk pemakaian yang efisien, sistematis, positif, dan terkoordinasi dari usaha yang tersedia. Dari sisi sistem, organisasi adalah suatu sistem tentang aktivitas-aktivitas kerja sama dari dua orang atau lebih dari sesuatu yang tak berwujud dan tak bersifat pribadi, terutama mengenai hubungan-hu- bungan. Secara sederhana organisasi merupakan se- tiap bentuk perserikatan manusia untuk mencapai suatu tujuan bersama.
Pihak-pihak yang bekerja sama di perguruan tinggi adalah dosen dan staf. Mereka terlibat dalam organisasi baik dari sisi susunan, proses, maupun sis- tem. Dari susunan dosen dan staf tersebut akan dipi- lih siapa yang menjadi pimpinan, dan siapa yang men- jadi bawahan. Mereka sebagai personal organisasi terlibat dalam sistem di mana mereka saling meme- ngaruhi antarpimpinan dan bawahan, antardosen dan staf dalam kelompok yang bekerja sama untuk mencapai tujuan perguruan tinggi. Secara singkat da- patlah ditarik kesimpulan bahwa organisasi perguruan tinggi adalah sistem saling pengaruh antarpim- pinan, dosen, dan staf dalam kelompok yang bekerja sama untuk menyelenggarakan kegiatan akademik.
antara pimpinan perguruan tinggi, dosen, dan staf dalam organisasi
wewenang, tugas, dan fungsi itu diatur dalam struktur organisasi. Organisasi yang memiliki struktur yang kuat akan dapat mengoptimalkan sumber daya manusia yang dimiliki (Anonim, 2004a). Sebuah bagan organisasi yang tersusun dengan jelas, yang mana para anggota mendapatkan tugas sendiri- sendiri, adalah suatu ke- harusan. Setiap anggota organisasi harus dapat mem- pertanggungjawabkan tugas yang diembannya. Sutarto (2002) juga merangkum beberapa batas- an struktur organisasi, yaitu (a) struktur organisasi adalah hubungan antarfungsi-fungsi tertentu, faktor- faktor fisik, dan orang; (b) struktur organisasi adalah hubungan para pegawai dan aktivitas- aktivitas me- reka satu sama lain serta terhadap keseluruhan, bagian- bagiannya, adalah tugas-tugas, pekerjaan-pekerjaan, atau fungsi-fungsi dari masing-masing anggota kelompok pegawai yang melakukannya; (c) struktur organisasi adalah bagan hubungan dan tugas-tugas dari orang-orang yang digunakan oleh organisasi ter- utama pada pelaksanaan fungsi-fungsi manajerial; (d) struktur organisasi adalah seperangkat formal hu- bungan- hubungan yang direncanakan antara penge- lompokan fungsi-fungsi yang sama, dan antara fak- tor-faktor fisik dan orang-orang yang diperlukan un- tuk melakukan fungsi-fungsi tersebut; (e) struktur organisasi adalah susunan hubungan-hubungan, per- tanggungjawaban, dan wewenang melalui tujuan perusahaan pada pencapaian sasaran; (f) struktur organi- sasi adalah hubungan antara macam-macam fungsi atau aktivitas di dalam organisasi.
Pada hakikatnya struktur organisasi adalah hu- bungan antara macam- macam fungsi, aktivitas, dan orang-orang yang ada dalam organisasi baik yang ber- sifat vertikal maupun horizontal. Struktur organisasi perguruan tinggi adalah hubungan antara berbagai fungsi, aktivitas para pimpinan, dosen, dan staf dalam organisasi baik yang bersifat vertikal maupun horizontal.
2. Teori Birokrasi
Hubungan antara pimpinan, dosen, dan karyawan dapat dikaji dengan teori Weber. Beberapa ciri teori biro- krasi yang dikemukakan oleh Weber yaitu:
pembagian kerja dan spesialisasi, orientasi kerja, susunan otoritas, aturan dan pengaturan, dan orientasi pada karier (Hoy & Miskel, 2001; Rice & Bishoprick, 1971). Atmodiwirio (2000;4) mem- berikan ciri organisasi klasik dengan kekuasaan
individual, ketentuan hukum, rentang kendali, rantai komando, per- kembangan dan spesialisasi.
Teori birokrasi yang dikembangkan Weber memandang organisasi sebagai suatu sistem. Permasalahan yang nyata dalam praktik kerja, khususnya pada organisasi per- guruan tinggi adalah kesulitan untuk menghindari sinergitas antarsubsistem yang tidak berjalan sempurna. Oleh karena itu, sangatlah sulit memberikan jaminan agar sis- tem organisasi perguruan tinggi dapat berjalan dengan baik (Sutarto, 1993). Disadari bahwa sistem organisasi perguruan tinggi bekerja dalam kondisi yang sangat kompleks, dan dimungkinkan adanya sub-subsistem yang berfungsi tidak sebagaimana yang diharapkan (Scmid, 2002; Suf- yarman, 2003;
Suryadi & Tilaar, 1993). Ada subsistem atau kelompok kecil personal kampus yang tidak bekerja sebagaimana diharapkan oleh sistem. Oleh karena itu, disim- pulkan bahwa teori birokrasi sangatlah sulit untuk diterap- kan di kampus. Kesalahan mendasar dari teori Birokrasi Weber adalah pengabaian terhadap organisasi informal dalam organi- sasi (Hoy & Miskel, 2001). Setiap organisasi formal secara spontan akan melahirkan organisasi informal (Blau & Scot, 1962). Kondisi itu menyebabkan keberadaan organisasi informal sangat sulit untuk dihindarkan.
3. Struktur Organisasi Formal
Struktur organisasi formal organisasi perguruan tinggi merupakan struktur yang legal. Disebut struktur legal karena memiliki berbagai ciri: otoritas, struktur formal, atur- an, peranan, kewenangan pengendalian, prosedur kerja baku, pembagian kerja, jaringan komunikasi, dan rantai koman- do (Hanson, 1996). Secara sederhana, ciri organisasi for- mal adalah pernyataan tujuan dengan tertulis, kebijakan dan prosedur, dan pembagian tugas (Ubbens & Hughes, 1992.) Semua ciri yang sebagaimana dikemukakan di atas, di ling- kungan perguruan tinggi diatur dalam suatu surat keputusan yang ditetapkan oleh pimpinan perguruan tinggi atau oleh pejabat yang berwenang. Pejabat yang berwe nang itu bisa oleh rektor perguruan tinggi atau oleh pejabat yang lebih tinggi.
Organisasi perguruan tinggi yang terdiri dari pimpinan, dosen, dan staf, atau yang disebut tim. (Gorton, 1976).Jadi tim terdiri dari para profesional dan dibantu para staf yang terampil. Staf harus dapat memberikan bantuan agar para dosen dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Para ahli birokrasi selalu memandang bahwa
tidak dikhawatirkan adanya pihak yang memisahkan diri dari tata kerja organisasi.
Namun, pada kenyataannya keutuhan itu tidak selalu dapat diken- dalikan dengan baik. Munculnya klik bukan sesuatu yang mustahil dalam organisasi yang mapan sekalipun.
Pada gilirannya, kelahiran klik, kelompok khusus, gugus tugas di luar tugas resmi tak dapat dihindarkan. Ke- beradaan kelompok informal bagi manajer merupakan hal yang sangat dilematis dan sedapat mungkin dihindari karena dapat mengganggu (Pfeffer, dalam Staw, 1991). Kelompok-kelompok seperti itulah yang disebut sebagai organisasi informal. Organisasi informal di kampus tidak selalu kecil, tetapi bisa menjadi sangat besar dan kompleks bahkan melebihi organisasi formal, misalnya adanya demonstrasi yang menentang organisasi formal. Kondisi yang tidak terkendali akan menimbulkan upaya pengganti- an pejabat dalam organisasi formal, perubahan aturan for- mal, atau perubahan tata cara kerja. Jika struktur formal tidak bisa bekerja secara akomodatif maka keinginan or- ganisasi informal akan tercapai, yaitu melahirkan struktur organisasi formal yang baru, melakukan perombakan-pe- rombakan, dan seterusnya. Dinamika organisasi yang sangat besar dapat mengganggu upaya pencapaian organisasi, karena itu para pakar organisasi klasik perlu mencari jalan keluar.
Rangkaian teori yang membahas karakteristik struk- tur organisasi formal meliputi: (1) organisasi formal me- rupakan pernyataan tujuan dengan tertulis, kebijakan dan prosedur, dan pembagian tugas (Ubbens & Hughes, 1992); (2) otoritas, struktur organisasi formal, aturan, peranan, kewenangan pengendalian, prosedur operasi organisasi baku, pembagian kerja, jaringan komunikasi, dan rantai komando (Hanson, 1996), dan (3) peraturan yang saling meng- untungkan, pengawasan langsung, standardisasi proses kerja, standardisasi hasil kerja, dan standardisasi kenam- puan kerja (Mintzberg, 1983A).
Struktur organisasi formal organisasi perguruan ting- gi merupakan susunan yang menunjukkan jenjang otoritas dan tanggung jawab, yang bercirikan: otoritas dan pem- bagian kerja, aturan saling menguntungkan, peranan ma- sing-masing substruktur, kewenangan pengendalian, pro- sedur kerja baku, baku hasil kerja, baku kemampuan kerja, jaringan komunikasi, dan rantai komando serta disahkan oleh pejabat yang berwenang.
C. Kesimpulan
Teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks teks.