BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis atau yang biasa disebut dengan (TBC) merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis yang umumnya menyerang bagian paru-paru. Tuberkulosis dapat disembuhkan dan dapat dicegah. Tuberkulosis dapat menular melalui udara, ketika seseorang yang terinfeksi tuberkulosis batuk atau bersin tanpa menutup mulutnya, sehingga bakteri menyebar melalui percikan droplet (WHO,2021).
Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan merupakan penyebab kematian terbanyak kedua di dunia. Menurut WHO, sekitar 10,6 juta orang terinfeksi dan 1,3 juta orang meninggal akibat tuberkulosis (WHO 2023). Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus tuberkulosis tertinggi kedua di dunia setelah India, menyumbang sekitar 10% dari total kasus global.
Pada tahun 2022, lebih dari 724.000 kasus TBC baru terdeteksi, dan angkanya meningkat menjadi 809.000 kasus pada tahun 2023 (Kemenkes RI,2021).
Pada tahun 2020, jumlah kasus tuberkulosis yang terdeteksi di Indonesia mencapai 351.936 kasus, mengalami penurunan dibandingkan dengan jumlah kasus yang ditemukan pada tahun 2019, yaitu 568.987 kasus. Provinsi dengan populasi besar seperti Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah melaporkan jumlah kasus tertinggi, di mana ketiga provinsi ini menyumbang hampir setengah dari total kasus tuberkulosis di Indonesia (46%). Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus pada laki-laki secara nasional maupun di setiap provinsi lebih tinggi dibandingkan perempuan. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor risiko TBC yang lebih sering dihadapi oleh laki-laki, seperti kebiasaan merokok dan kurangnya kepatuhan dalam minum obat (Dinkes, 2019).
Pada tahun 2019, terdapat 42.513 orang di Kota Bekasi yang teridentifikasi sebagai terduga tuberkulosis. Dari jumlah tersebut, sekitar 42,2%
atau sebanyak 17.947 orang telah menerima layanan tuberkulosis sesuai dengan standar yang berlaku. Layanan kesehatan tersebut disediakan oleh Puskesmas dan Rumah Sakit yang ada di Kota Bekasi (Dinkes, 2019).
Sebagai upaya untuk menanggulangi penyebaran penyakit tuberkulosis (TB) di Indonesia, pemerintah menerapkan strategi Program Directly Observed
Treatment Short-course (DOTS). Program ini menyediakan obat anti-TB secara teratur, lengkap, dan tepat waktu sesuai dengan ketentuan pemerintah. Jika tidak diobati, TB dapat menyebabkan penderitaan jangka panjang, kecacatan, dan bahkan kematian. Selain itu, penderita juga berisiko menularkan bakteri TB kepada anggota keluarga, anak-anak, dan mengalami keterbatasan dalam bersosialisasi (Depkes, 2015).
Kepatuhan pasien dalam mengonsumsi obat merupakan faktor kunci dalam keberhasilan pengobatan. Namun, dalam kenyataannya jangka waktu pengobatan yang panjang dan kewajiban untuk mengonsumsi obat secara rutin sering membuat pasien merasa jenuh. Rasa bosan ini menjadi salah satu alasan yang memengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan secara teratur (Andriani et al., 2023).
Dukungan keluarga memainkan peran penting dalam kepatuhan pengobatan tuberkulosis. Dukungan ini mencakup upaya untuk mendorong penderita agar tetap disiplin dalam mengonsumsi obat, menunjukkan simpati dan kepedulian, serta tidak menjauhi penderita karena penyakitnya. Ketika salah satu anggota keluarga menderita TB Paru, keterlibatan dan dukungan dari seluruh anggota keluarga menjadi sangat penting dalam proses penyembuhan dan pemulihan pasien (Wajiman et al., 2022).
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan dukungan keluarga terhadap tingkat kepatuhan penggunaan obat pada pasien tuberkulosis paru, guna mendukung peningkatan keberhasilan pengobatan TB Paru di Puskesmas.
B. Rumusan Masalah C. ANIA