Filsafat Manusia
Dosen Pengampu : DR. Hastangka M.Phil Nama : Fratiwi Rachmaningtyas / 215110022
Layangan Putus, dan Eksistensi Moral Manusia
Serial layangan putus menjadi trending di twitter sepanjang Desember 2021.
Tayangan yang dirilis dalam 10 bahasa ini bahkan menjadi tayangan terlaris di IFlix. Setiap episode baru daru layangan putus selalu dinanti oleh penggemarnya. Bahkan publik seakan ikut larut dalam kehidupan pada serial ini dengan memberikan beragam komentar dan kecaman terhadap tokoh-tokoh antagonis dalam serial. Layangan putus diangkat dari sebuah novel yang didasarkan pada pengalaman nyata seorang wanita yang mengeluhkan kondisi rumah tangganya pada 2019. Pada unggahan facebook dalam nama samaran, wanita dengan empat anak tersebut merasa dirinya cukup baik sebagai seorang istri. Namun sayangnya ia justru diselingkuhi oleh suaminya pada saat ia sedang hamil. Unggahan ini mendapatkan ribuan respon dari pengguna facebook kala itu. Hingga kini diangkat menjadi serial Webtv, layangan putus kembali mendapatkan respon viral dari masyarakat.
Melihat fakta viralnya isu ini kalangan penonton dunia nyata dan dunia maya, penulis melihat ada sisi yang harus diangkat terkait moral yang menentukan eksistensi nilai kemanusiaan manusia. Moral merupakan standar perilaku yang memungkinkan setiap orang untuk dapat hidup secara kooperatif dalam suatu kelompok. Moral secara ekplisit adalah hal- hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu. Tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Immanuel Kant mendefinisikan moral adalah sesuatu urusan keyakinan serta sikap batin dan tidak saja hal sebatas penyesuaian dengan sejumlah aturan dari luar, entah tersebut aturan berupa hukum negara, hukum agama atau hukum adat-istiadat.
Tanpa moral kehidupan manusia dapat berjalan kacau, memperturutkan nafsunya, tidak mengindahkan aturan, maka jika nilai kemanusiaan tak lagi eksis pada diri manusia, apa bedanya manusia dengan makhluk lain?.
Tulisan ini akan melihat dinamika nilai moral yang terjadi pada fenomena layangan putus yang viral di masyarakat dari sisi filsafat manusia yang secara spesifik mengkaji
mengenai moral, etika, nilai dan budaya yang ada pada manusia dan lingkungan sekitarnya.
Hasil analisis terhadap fenomena ini ditujukan untuk memberikan sudut pandang filsafat manusia ke tengah-tengah publik mengenai masalah inti apa yang sedang dihadapi masyarakat saat ini. Dengan sudut pandang ini, masyarakat dapat kembali mengenali esensinya sebagai entitas yang berbudi. Mengembalikan keberadaan moral, etika, nilai kemanusiaan dalam kehidupan budaya Timur. Miris ketika melihat fakta bahwa Indonesia menempati urutan kedua se Asia tenggara dalam tren perselingkuhan, mengingat nilai budaya Indonesia menjunjung tinggi norma, etika dan moral kemanusiaan.
Manusia terdiri dari dua substansi fisik dan psikis secara naluri memiliki kesadaran akan tanggung jawab keberadaannya di dunia. Namun melihat fenomena kemanusiaan yang terjadi hari ini, kejahatan, kelaparan, peperangan, bencana alam yang berkolerasi dengan kerakusan manusia mengeruk alam, serta merosotnya nilai moral dalam interaksi Pria- Wanita. Manusia seakan menjadi makhluk yang tidak memiliki akal budi, manusia terlihat rakus, memutar balikkan hukum dengan uang, muncul perilaku manusia yang mengedepankan hawa nafsu bahkan menegasikan moral, sehingga kebahagiaan yang harusnya menjadi tujuan manusia justru membuat manusia merasa mengejar sesuatu di ruang hampa.
Manusia dengan kehendak bebasnya merasa ia dapat melakukan apapun dimuka bumi sesuai yang ia ingin lakukan. Manusia pun seakan kehilangan kontrol atas dirinya, yang sejatinya manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya kini terjebak dalam kebebasan yang ia inginkan. Hal ini membuat rasionalitas dan empati manusia terkikis, ia cenderung menjadi makhluk individualis yang lupa akan nilai humanis. Asalkan ia mendapatkan apa yang diinginkannya, ia melupakan keadaan jiwa manusia lain.
Manusia seakan tunduk pada Appetitive soul sebagaimana teori Aristoteles, dimana manusia dikuasai dorongan perutnya untuk terus mencari kepuasan materi hingga melupakan kontrol nilai yang harusnya berlaku atas disinya. Manusia dengan kuasa yang dimilikinya menjadi mudah menindas manusia lain yang lebih lemah. Naluri agresi yang ada pada manusia tak lagi digunakan untuk mempertahankan diri dari serangan marabahaya, namun disalahgunakan untuk menindas manusia dan makhluk lain.
Berkaca dari fenomena layangan putus, saat manusia yang seakan lupa atribut kemanusiaannya lebih mengutamakan appetitive soulnya. Maka perlu untuk mengenali kembali definisi baik-buruk, benar-salah pada diri kita agar cinta, kasih, ketulusan,
kebermaknaan hidup kembali ada melalui diterapkannya moral, etika, nilai dalam bentuk hukum formal pada manusia. Tentu penerapan hukum formal ini tak akan menjadi solusi jika manusia tidak memiliki kesadaran dari dalam dirinya untuk taat pada nilai-nilai yang terkandung dalam hukum itu sendiri.
Manusia dengan potensi dan insting yang terdapat dalam dirinya perlu untuk kembali pada kesadaran inti bahwa mengarahkan keinginannya dalam kendali norma akan membentuk perilaku yang sesuai dengan moral yang budaya. Manusia dengan kemampuan kognisinya dapat mengurai alasan rasional mengapa ia memiliki tanggung jawab penciptaan untuk menjadi makhluk yang berbudaya. Pemahaman dan pengetahuan bagaimana manusia seharusnya menjalin relasi kehidupan suami-istri, batas interaksi pria-wanita dapat diperolah melalui edukasi nilai moral. Manusia perlu untuk dijauhkan dari stimulus yang memicu insting hewani yang ada dalam dirinya. Sehingga manusia akan menyadari secara penuh bahwa perilakunya dalam relasi Pria-Wanita adalah perilaku yang memenuhi standar norma yang ada, dalam hal ini Budaya Timur pada khususnya.
Norma-norma moral yang membentuk dasar koeksistensi dapat dicapai melalui aktivitas pendidikan, sehingga manusia sebagai peserta didik dapat menjadi entitas yang lebih teratur, bermoral dan taat hukum didasari kesadaran dari dalam dirinya sebagai seorang manusia yang memiliki tanggung jawab atas free willnya, serta kesediaan untuk mengontrol dan mengarahkan naluri yang ada dalam dirinya sesuai dengan etika dan norma yang berlaku.
Imanuel Kant mengatakan, "manusia hanya dapat menjadi manusia karena pendidikan".
Karakteristik relasi antar Pria-Wanita yang ideal dapat kita narasikan pada masyarakat Indonesia, melalui proses edukasi dan pembinaan kepribadian, baik lewat lembaga formal maupun non formal untuk mempengaruhi kesadaran manusia melalui proses kognitif yang benar. Manusia perlu diingatkan kembali pada peta moral eksistensi kemanusiaannya yaitu untuk apa ia berada dimuka bumi, apa saja tanggung jawab kemanusiaan yang dimilikinya, serta bahwa ketenangan dan kebahagiaan jiwa tak semata didapat melalui pemuasan kebutuhan fisik atau sekedar mengikuti insting manusia semata.
Maka dapat disimpulkan bahwa menurunnya ketaatan masyarakat pada standar norma budaya timur yang menghormati institusi pernikahan, menjaga interaksi pria-wanita dalam batas-batas normal adalah cerminan bahwa masyarakat tak lagi dekat dengan nilai kemanusiaan yang ada dalam budayanya. Manusia mendapat banyak stimulus dari luar dirinya sehingga nilai yang dianutnya menjadi luntur. Maka penulis melihat penting untuk
mengembalikan eksistensi nilai kemanusiaan pada masyarakat melalui proses edukasi agar terbangun karakter manusia dengan budaya timur yang dinamis namun memegang teguh nilai moral.