• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Instrumen Hak Asasi Manusia da

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kedudukan Instrumen Hak Asasi Manusia da"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Kedudukan Instrumen Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional

Tristam. P. Moeliono (1/6/2016)

Pengantar

Bagaimana sebenarnya status, kekuatan mengikat dan kedudukan (hukum) dari instrumen-instrumen hak asasi manusia, terutama yang bersifat umum, misalnya Universal Declaration of Human Rights 1948 (tidak berbentuk hard law) dan dua konvensi terpenting yang muncul darinya ICCPR & ICESCR serta protokol-protokol yang mengikutinya di hadapan negara berdaulat dan hukum nasionalnya? Apakah kekuatan mengikat instrumen demikian hanya bersifat moral (himbauan moral) atau juga sekaligus legal, dan bila demikian halnya apakah keterikatan negara nasional (dan hakim di peradilan nasional) akan tergantung pada ratifikasi (yang diikuti dengan inkorporasi atapun transformasi ke dalam hukum nasional)?

Bagaimana pula dengan keberlakuan instrumen-instrumen hak asasi manusia lainnya yang muncul setelahnya, seperti Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT), Convention on the Rights of The Child (CRC), Convention on the Elimination of Discrimination Against Women(CEDAW), Convention on the Elimination of All Form of Racial

Discrimination (CERD) atau konvensi di bidang perburuhan seperti Convention on the Protection of the Rights of all Migrant Workers and Their Families (CMW)? Dari sudut pandang hukum internasional, tidak semua konvensi dikatakan memiliki kekuatan sebagai hukum (positif) yang mengikat. Sebagai perjanjian internasional, keberlakuan aturan-aturan di dalam instrumen-instrumen di atas sepenuhnya digantungkan pada penerimaan dan kesepakatan Negara penandatangan dan peratifikasi. Artinya Negara yang tidak meratifikasi selalu dapat berdalih tidak terikat dan tidak perlu tunduk. Namun pada lain pihak, dapat dicermati bahwa banyak dari norma yang termuat di dalamnya merupakan cerminan dari hukum kebiasaan internasional atau bahkan general principles of law as recognized by civilized nations. Artinya keberlakuannya tidak niscaya digantungkan pada penerimaan dan pengakuan Negara berdaulat.

Pertanyaan ini terkait pula dengan pertanggungjawaban hukum dan moral dari penyelenggara Negara (pemerintah yang berkuasa) terhadap pada satu sisi masyarakat internasional, dan, pada sisi lain, terhadap warga (termasuk bukan warga: aliens) yang bersentuhan langsung dengan

kebijakan-kebijkakan yang dikembangkan penyelenggara Negara. Apakah perlu dan mungkin ada satu instrumen atau alat ukur (parameter) untuk mengukur tidak saja keabsahan hukum namun juga moralitas

(2)

bahwa titik tolak untuk menjawab kesemua pertanyaan di atas tidak boleh dan dapat dilakukan dengan mengabaikan pandangan Negara berdaulat atau mereka yang mewakilinya. Namun pada saat sama, suara dari para korban pelanggaran hak asasi manusia (individual atau kelompok) yang kerap tidak terdengar (bahkan dibungkam nararasi sejarah resmi) juga harus turut diperhatikan. Pertanyaan ini dalam tulisan ini akan difokuskan pada situasi Indonesia dan hukum nasional Indonesia

Instrumen hak asasi manusia utama sebagai parameter legalitas dan legitimitas hukum nasional

Bagaimana kita menjawab persoalan kekuatan mengikat dari instrumen-instrumen hak asasi manusia (UDHR, ICCPR dan ICESCR dan perjanjian-perjanjian internasional yang mengatur lebih rinci hak asasi manusia lainnya) akan sangat tergantung pada pandangan yang dianut perihal klaim universality and indivisibility of human right norms. Diyakni bahwa nilai yang diusung dalam ketiga instrumen (hak asasi) tersebut di atas sudah sepantasnya atau sudah dengan sendirinya berlaku dan dianggap mengikat bagi setiap budaya, di setiap Negara maupun masyarakat. Selanjutnya bahwa hak asasi (generasi pertama: hak-hak sipil & politik), generasi kedua (hak sosial ekonomi dan budaya) serta generasi ketiga (hak-hak komunal) saling kait mengait dan tidak dapat dibicarakan terlepas satu dari lainnya. Apakah keberlakuan (universal dan tidak terbagi [indivisibility]) norma-norma internasional tentang perlindungan hak asasi manusia sesederhana itu?

Apa yang menjadi dan masih akan menjadi persoalan besar ialah bahwa instrumen hak asasi manusia (internasional) tidak serta merta dianggap cocok untuk menilai masyarakat negara berkembang yang dipostulatkan secara umum menganut pandangan hidup yang bertolak-belakang (komunal dan religius).1 Juga dinyatakan pada waktu itu bahwa masyarakat berbudaya Timur (dan itu artinya juga kebijakan politik dan hukum di negara-negara berkembang) – berbeda dengan yang terjadi di negara-negara barat - tidak perlu memprioritaskan perlindungan hak-hak sipil-politik yang cenderung liberalis-individualistik (dan sekuler).

Khususnya harus diperhatikan pula tantangan yang muncul dari negara-negara Islam. Mereka memunculkan konsepsi hak asasi manusia yang diturunkan langsung dari Allah (hak asasi yang non-sekuler). Tertulis bahwa:2

“On 5 August 1990, the then 45 member states of the OIC adopted The Cairo Declaration of Human Rights in Islam. In this document all rights are seen as derived from God. The preamble states that "no one as a matter of principle has the right to suspend them in whole or in part or violate or ignore them in as much as they are binding divine commandments". At the 1993 World Conference on Human Rights in Vienna, Iran, supported by several other Islamic States,

1Persoalan serupa: “

what is the source of the rules or standards under which government, inter-governmental and nongovernmental organizations evaluate and criticize a state?” secara khusus di bahas meluas di dalam Henry J. Steiner, Philip Alston & Ryan Goodman, International Human Rights in Context: Law, Politics, Morals. Text and Materials, Third edition, (Oxford University Press, 2007)

2

(3)

pressed for the acceptance of the Cairo Declaration as an alternative to the Universal Declaration of Human Rights. This objective was partly achieved in 1997 when the Cairo Declaration was included by the Office of the High Commissioner for Human Rights as the last document”.

Tuntutan yang diajukan, sebagaimana terbaca di atas adalah “the acceptance of the Cairo Declaration as an alternative to the Universal Declaration of Human Rights” dengan penekanan pada kata “as an alternative”dan bukan sebagai pelengkap atau tambahan. Dalam bahasa lebih sederhana, Negara-negara Islam (anggota OKI?) menuntut dibebaskan dari keberlakuan instrumen-instrumen hak asasi manusia (universal) karena hanya akan mengakui nilai-nilai hak asasi manusia berbasis pada Q’uran. Ini memunculkan sejumlah persoalan lain: apakah mereka yang tidak beragama Islam, bahkan yang ateis dan agnostic (yang kebetulan bermukim di wilayah Negara Islam atau Dar’ Al Salam), akan diakui dan dilindungi hak asasi-nya oleh penyelenggara Negara (teokrasi) Islam? Satu dan lain karena titik tolak keanggotaan dalam masyarakat muslim jelas bukan kewarganegaraan (citizenship) melainkan kesatuan dan persaudaraan dalam satu iman (brotherhood atau ummah). Tidakkah hal ini otomatis

menempatkan warga Negara non-muslim di luar perlindungan Negara Islam atau setidak-tidaknya menempatkannya sebagai warga kelas dua?3

3Di sini kita bersentuhan dengan konsep dhimmitude yang secara sederhana dirumuskan sebagai: “the Islamic system of governing populations conquered by jihad wars, encompassing all of the demographic, ethnic, and religious aspects of the political system. (…) The word "dhimmitude" as a historical concept, was coined by Bat Ye'or in 1983 to describe the legal and social conditions of Jews and Christians subjected to Islamic rule. The word "dhimmitude" comes from dhimmi, an Arabic word meaning "protected". Dhimmi was the name applied by the Arab-Muslim conquerors to indigenous non-Muslim populations who surrendered by a treaty (dhimma) to Muslim domination (…).encompasses the relationship of Muslims and non-Muslims at the theological, social, political and economical levels. It also incorporates the relationship between the numerous ethno-religious dhimmi groups and the type of mentality that they have developed out of their particular historical condition which lasted for

(4)

Jelas di sini ada titik tolak berbeda antara Negara bangsa (sekuler-modern) dan Negara teokrasi (Islam)-modern dalam memandang tujuan bernegara bahkan juga peran hukum dalam penyelenggaraan Negara serta kedudukan warga negara atau kaula di dalam negara. Namun demikian, di luar persoalan ini ditengarai pula penolakan terhadap gagasan universalisme hak asasi muncul sangat kuat justru di Negara yang terindikasikan melanggar hak asasi warganya sendiri.

Pada 1984, wakil Iran di PBB, Said Raja’i Khorasani, menyatakan, sebagai reaksi atas indikasi pelanggaran hak asasi manusia di Iran bahwa:4

“*Iran+ recognized no authority … apart from Islamic law (…) conventions, declarations and resolutions or decisions of international organizations, which were contrary to Islam, had no validity in the Islamic Republic of Iran ( …) The Universal Declaration of Human Rights, which represented secular understanding of the Judaeo-Christian tradition, could not be implemented by Muslims and did not accord with the system of values recognized by the Islamic Republic of Iran; [t]his country would therefore not hesitate to violate its provisions”.

Pandangan ini dapat diperbandingkan dengan sikap Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Najib Razak, yang pada 2014 menyatakan: 5

“Islam must be defended as human rights, if not defined according to the religion, could be used for other purposes which might cause deviation from the religion's teaching”, (…) This is what we must defend. Although in terms of definition, human rights have been defined universally, in this country [Malaysia] we still define human rights according to the Islamic context and its principles (syariat)”.

Dalam kedua pandangan di atas hak asasi manusia dibenturkan dan sengaja dikontraskan dengan nilai-nilai Islam. Seolah-olah ketika kita membela hak asasi manusia, otomatis (masyarakat dan agama) Islam diserang. Di balik itu, muncul kembali kesan kuat bahwa apa yang menjadi masalah adalah

ketidaksukaan pimpinan Negara-negara (berkembang dan/atau Muslim) untuk dikritik-dikecam oleh Negara-negara (Barat/maju) yang memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda, termasuk ke dalamnya adalah cara pandang terhadap hak asasi manusia. Cara suatu pemerintah menyelenggarakan urusan Negara dikaitkan dengan kedaulatan penuh-kewibawaan Negara (atau dominasi atas suatu pandangan kebenaran Ilahi) dan itu artinya Negara-negara lain (apalagi Negara-negara Barat) tidak layak atau pantas turut mengomentari. Terkesan Negara-negara muslim tidak sudi dan terima harus dinilai oleh nilai-nilai (sekuler dan asing?). Perdebatannya bergeser menjadi apakah Negara-negara lain

diperkenankan turut campurtangan dalam urusan dalam negeri atau penyelenggaraan pemerintah dari Negara lain? Bilamana diperkenankan apakah alat ukurnya hanya boleh yang disepakati Negara yang sedang dinilai?

4

Dikutip dari Ibid. (Austin Dacey & Colin Korproske) 5

(5)

Apakah seseorang atau bahkan suatu Negara bisa menjadi hakim bagi dirinya sendiri? Lagipula dari sudut pandang korban (individu atau kelompok), bisa jadi minoritas yang terpinggirkan dan sebab itu suaranya dibungkam oleh mayoritas atau sekadar diabaikan oleh pemerintah Negara yang tidak peduli, jelas ada kebutuhan alat ukur yang tidak digantungkan pada penerimaan atau kesetujuan pemerintah Negara yang perilakunya diukur. Itu pula sebabnya, keberlakuan nilai-nilai yang dikandung instrumen hak asasi manusia tidak boleh diserahkan pada adanya persetujuan atau penerimaan pihak yang perilakunya sedang ditimbang dan dinilai.

Beranjak dari semangat universalisme dan humanism itulah tidak mengherankan apabila tidak semua penulis Islam sepaham. Setidak-tidaknya dari pustaka dapat ditemukan pandangan berbeda juga dari penulis Malaysia lainnya. Di dalam suatu abstrak tulisan6 dengan tegas dinyatakan:

“ (…) Human rights, despite being a basic tenet of Islam, have frequently and widely been misunderstood by many Muslims. Indeed, the protection of human rights is consistent with the very objective of the coming of Islam i.e. as a mercy to the whole universe and for safeguarding the sacred values of humanity. As such, it is not an exaggeration to consider that Islam is a strong proponent of human rights and violations of human rights may be tantamount to disregarding Islamic principles.”

Berbeda dengan titik tolak di awal, penulis ini justru menegaskan keselarasan antara hak asasi manusia dengan tujuan kedatangan Islam, yaitu sebaga: “a mercy to the whole universe and for safeguarding the sacred values of humanity”.

Terlepas dari itu di sini hanya dapat disimpulkan bahwa perdebatan masih (akan) terus berlangsung dan nuansanya kemungkinan besar bukan kepedulian nyata pada persoalan penegakan hak asasi manusia, namun lebih pada nilai-nilai manakah (barat-timur-islam) yang harus jadi acuan perilaku Negara.

Pandangan yang menentang universalitas hak asasi dilandaskan pula pada pandangan keliru bahwa masyarakat timur (sebagian rusia, cina, india, timur tengah, asia minor sampai dengan asia tenggara) sesungguhnya tidak mengenal konsep hak asasi manusia. Gagasan hak asasi manusia dianggap sepenuhnya merupakan produk perkembangan budaya Barat. Satu penulis (Islam) menyebutkan dengan tegas:7

Though the Universal declaration of Human Rights is called "Universal", it "was articulated along the lines of historical trends of the Western world during the last three centuries, and a certain philosophical anthropology of individualistic humanism which helped justify them". The basic

6

Mohamed Azam Mohamed Adil, Nisar Mohammad Ahmad, Islamic Law and Human Rights in Malaysia, Islam and Civilisational Renewal, Vol. 5 no. 1, Januari 2014. Cf. Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam, Islamic Law and the Dilemma of Cultural Legitimacy for Universal Human Rights, artikel.pdf dapat diperoleh di

w18.american.edu/~dfagel/islam&universalrights.pd (12/22/2015). Lihat juga dari pengarang sama: Abdullahi A. An-Na'im ”The Synergy and Interdependence of Human Rights, Religion and Secularism” polylog: Forum for Intercultural Philosophy 3 (2001). Online: http://them.polylog.org/3/faa-en.htm ISSN 1616-2943. (12/22/2015). 7

(6)

assumptions underlying the Declaration were a) of a universal human nature common to all the peoples, b) of the dignity of the individual, and c) of a democratic social order.

Meski demikian perlu disadari pula penelitian sejarah kemunculan UDHR yang justru menunjukkan bahwa:8

(…) that almost all of these (Islamic ) nations were not only signatories to the UDHR and later agreements such as the ICCPR and ICESCR, but also active contributors in their formulation (….). Further, the universality of human rights was not an object of great concern for Muslim states during the drafting process; most showed general support for the motivations and prescriptions therein, and none cast a vote against the resulting document (Saudi Arabia was alone among Muslim states in abstaining, joining South Africa and various Eastern Bloc states). Contemporary leaders who would denounce the UDHR as an exclusively “Western project” therefore fail to acknowledge the important contributions of Islamic states to its creation. In their ignorance of history, they reveal the harmful political dimension of their cause—the appropriation,

rigidification, and politicization of Islam as an obstacle to international human rights law

Faktual harus diakui bahwa pemikiran gagasan tentang hak asasi (modern) bermula dari pemikir-pemikir filsafat Barat (antara lain, T. Hobbes, J.J. Roueseau, John Locke dll.) dan menjadi bagian dari hukum publik internasional pasca Perang Dunia ke II berkat upaya pemikir-pemikir hukum dari negara-negara barat. Namun sejarah kemunculan UDHR sebagaimana disebutkan di atas tidak dapat dan boleh dilupakan melibatkan pula Negara-negara Islam yang ada saat itu (1948).

Keberatan lain terhadap universalisme dari instrumen hak asasi manusia muncul dari mereka yang bertitik tolak dari kesejajaran dari ‘nilai-nilai yang dikandung oleh ragam budaya masyarakat’

(relativisme (nilai-nilai) budaya) dan sebab itu tidak mungkin dan boleh ada satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai keabsahan dan moralitas dari semua masyarakat (atau Negara) di dunia. Disebutkan bahwa:9

Cultural relativism is the position to which local cultural traditions (religious, political and legal practices included) properly determine the existence and scope of civil and political rights enjoyed by individuals in a given society. It is premised on the idea that all cultures are equally valid and that standards of evaluation are internal to traditions. It sees that values emerge in the context of particular social, cultural, economic and political conditions and therefore vary enormously between different communities

Beranjak dari pandangan ini, maka sama seperti yang terjadi dalam hal dibenturkannya nilai Islam dengan nilai hak asasi manusia kembali lagi nilai-nilai hak asasi manusia yang dianggap universal dikecam sebagai hanya mewakili pandangan Negara (masyarakat) barat. Pandangan masyarakat (atau

8

Op. cit. Austin Dacey & Colin Korproske), p. 10. 9

Patrick Chin-Dahler, ANU, “Universal human rights, cultural relativism and the Asian values debate”

(7)

budaya) Barat ini dikontraskan dengan pandangan atau nilai-nilai ketimuran (Asian values) yang dianggap lebih luhung (luhur). Maka:10

Within this construct, values such as privileging the community over the individual, respect for authority and filial duty are dichotomised against Western values such as individualism and materialism. (….) The dichotomy between Asian values and Western values therefore frames Asian values in a positive light and perpetuates the idea that a distinct set of Asian values is important. By implication, this means that Asian societies have their own way of doing things and that Western ideas are invalid and illegitimate within Asian societies. Moreover, because a binary logic exists where Asia is dichotomised against the West, many of the values associated with the West are also demonised. This establishes a precedent for legitimising repressive policies and actions that can be passed off under the guise of Asian values.

Pemikir (filsuf) lainnya dari Asia, Amartya Sen, justru mengkritik dikotomi antara nilai/budaya Barat versus Timur.11 Ia menyatakan pertama-tama ketidakmungkinan adanya Asian values atau culture sebagai satu kesatuan utuh. Sebaliknya ada keragaman budaya dan tata nilai yang begitu besar di dalam dan di antara Negara-negara di benua Asia (Cina, Jepang, Korea, Negara-negara Arab/Timur Tengah) dan Negara-negara di Asia Tenggara. Selain itu ia juga merujuk pada sejarah kerajaan Hindu Budha (Ashoka) maupun kesultanan Islam (Moghul Emperor Akbar) di India yang memerintah dengan memajukan nilai-nilai kemanusiaan (setidaknya berkenaan dengan religious tolerance) yang sekarang ini kita pandang sebagai kewajaran dan bahkan harus dianut. Sebab itu Sen kemudian menyimpulkan dua hal. Pertama:12

In the most general form, the notion of human rights builds on our shared humanity. These rights are not derived from the citizenship of any country, or the membership of any nation, but taken as entitlements of every human being. They differ, thus, from constitutionally created rights guaranteed for specified people (such as, say, American or French citizens).

Dan kedua:13

The so-called Asian values that are invoked to justify authoritarianism are not especially Asian in any significant sense. Nor is it easy to how they could be made into an Asian cause against the West, by the mere force of rhetoric. The people whose rights are being disputed are Asians, and no matter what the West’s guilt may be (there are many skeletons in many cupboards across the world), the rights of the Asian can scarcely be compromised on those grounds.

10 Ibidem

11Amartya Sen, “Human Rights and Asian Values”, paper presented at the Sixteenth Morg

enthau Memorial Lecture on Ethics & Foreign Policy, sponsored by the Carnegie Council on Ethics and International Affairs, in New York City on May 1, 1997. Di muat dalam

http://www.carnegiecouncil.org/publications/archive/morgenthau/254.html (1/4/2016). 12

Ibid, 13

(8)

Selain, sebagaimana juga diargumentasikan Sen di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan masyarakat di budaya non-barat ternyata juga mengembangkan pemikiran tentang perlu dan

pentingnya Negara menghormati, menjaga dan melindungi harkat-martabat manusia dan artinya juga pengakuan adanya kewajiban penguasa terhadap kaula untuk memerintah dengan bijak dan baik.

Nihal Jayawickrama,14 antara lain, dengan mempelajari naskah-naskah kuno budaya India (termasuk Ramayana, Mahabrata, dll) menunjukkan berlaku dan ditaatinya norma-norma yang nyata

mengedepankan atau dibangun di atas prinsip penghormatan atas harkat-martabat manusia. Kesimpula akhir yang dapat ditarik ialah bahwa sekalipun kita tidak dapat begitu saja mengabaikan kenyataan empiri adanya heterogenitas atau pluralism budaya dan tata nilai, pada akhirnya keberagaman ini tidak dapat dan boleh di(salah-)gunakan untuk melestarikan praktik penindasan manusia atau kelompok manusia oleh negara atau masyarakat lainnya. Pelanggaran hak asasi manusia, sekalipun mungkin dapat dimengerti dalam konteks budaya tertentu, tidak sekaligus dapat dibenarkan oleh cultural relativism.

Tantangan dan penerimaan nilai-nilai universal dari hak asasi manusia di Indonesia

Bagi Indonesia sebagai Negara berdaulat persoalan di atas tidak sekadar diskursus di tataran abstrak melainkan menyentuh aspek yang lebih konkrit. Ketika perilaku kita sebagai penyelenggara Negara atau sebagai anggota masyarakat diukur berdasarkan instrumen hak asasi manusia dan dinilai tidak

memenuhi, maka kadang persoalannya berkaitan dengan urusan harga diri dan ketersinggungan. Mungkin bukan sesuatu hal penting dari kacamata Negara maju yang mengajukan kritikan. Juga terjadi bahwa apa yang sebenarnya ditolak bukanlah nilai-nilai hak asasi manusia, namun tekanan politik dan ekonomi yang dilakukan Negara-negara maju.

Ilustrasi dari persoalan ini muncul dari pengalaman sejarah. Presiden Soekarno dalam satu pidato (25 maret 1964) yang dihadiri dutabesar Amerika. Ia menyatakan: go to hell with your aid!. Namun

bersamaan dengan itu sebenarnya ia mengindikasikan bahwa bantuan yang ditolak adalah bantuan yang dikaitkan pada “kewajiban Indonesia berpihak pada blok Barat dan mengadopsi nilai-nilai yang diusung oleh blok Barat”. Sikap politik yang sebenarnya sudah ditegaskan 1955 dalam KKT Non-Blok di Bandung dan muncul dalam upaya mengedepankan pembangunan ekonomi yang berdiri di atas kaki sendiri.

Kemarahan atau ketersinggungan serupa ditunjukkan pula oleh Presiden Soeharto. Ihwalnya, ialah kecaman negara-negara donor (negara maju) yang tergabung dalam IGGI terhadap kinerja pemerintah Indonesia di bidang penghormatan dan penegakan hak asasi manusia.15 Reaksi pemerintah Indonesia

14 Nihal Jayawickrama, The Judicial Application of Human Rights Law: National, Regional and International Jurisprudence, (Cambridge University Press, 2002).

15John Jansen van Galen, “”Het Belang van Mensenrechten” 14/05/2012 dalam

http://www.twenteuitdekunst.nl/boeken/het-belang-van-mensenrechten (21/11/2012) yang merupakan

(9)

http://www.michr.net/the-dutch---indonesia-pada masa pemerintahan Pres. Soeharto sangat keras. Semua program bantuan yang berjalan dalam kerangka IGGI dihentikan sepihak. Dijelaskan bahwa keputusan Soeharto untuk menghentikan program bantuan dari IGGI dilandaskan sejumlah faktor: kritik pemerintah Belanda terhadap keputusan untuk mengeksekusi sejumlah orang yang dituduh terlibat kudeta 1965, penghentian bantuan Belanda terhadap program keluarga berencana karena dugaan digunakannya paksaan dan sikap politik Belanda terhadap pertumpahan darah di Dilli, Timor-Timur. Padahal dalam kasus terakhir Soeharto di luar dugaan banyak pihak bertindak sangat keras: memerintahkan penyelidikan dan penindakan (pemberhentian) perwira-perwira militer yang dianggap paling bertanggungjawab.16 Ia sangat

tersinggung bahwa pemerintah Belanda setelah itu masih menuntut dilakukan penyelidikan ulang dan penjatuhan sanksi yang lebih keras. Namun titik baliknya ialah kekerasan sikap Belanda untuk

mengaitkan program bantuan dengan penegakan hak asasi manusia. Pentingnya hal ini tidak disangkal oleh Jakarta, namun yang dikritik adalah landasan hak Belanda dan negara-negara Barat untuk duduk sebagai wasit atau penguji dengan pundi-pundi uang sebagai hadiah bagi perilaku baik. Apa hak Negara-negara maju untuk menilai, mengukur, dan kemudian memberikan catatan merah atas kinerja

pemerintahan Negara berdaulat?

Uraian di atas jelas menunjukkan bahwa hak asasi manusia sudah dan dapat di (salah-)gunakan oleh Negara-negara maju untuk menekan Negara-negara berkembang. Instrumen hukum (internasional) menjadi sekadar alat dalam hubungan-politik-ekonomi internasional dan sebab itu mudah dilupakan normativitasnya. Pada satu pihak tidak dapat dipungkiri tidak ada yang keliru dengan tuntutan Negara maju bahwa bantuan (apapun) yang mereka berikan tidak disalahgunakan untuk mendukung rezim pemerintahan yang mengembangkan banyak kebijakan yang justru menyengsarakan rakyat. Pada lain pihak yang mungkin tidak terbaca atau luput dari perhatian pimpinan Negara maju adalah

“ketersinggungan” dan “perasaan tidak dihormati-dihargai sebagai mitra-sejajar” yang dirasakan pimpinan (atau mungkin) rakyat Negara-negara berkembang (penerima bantuan).

Penggunaan atau penyalahgunaan tuntutan Negara maju untuk memenuhi standar (universal) hak asasi manusia kemudian bergeser – dari sudut pandang Negara yang menerima kritikan - menjadi persoalan berbeda (kesopanan dalam pergaulan internasional) dengan “collateral damage” terlupakannya mereka (individu atau kelompok) yang hak-hak asasinya betul dilanggar. Maka pertanyaannya adalah apakah

corporate-connection.html (21/11/2012). Ia menulis: “(…) ironically, while opposing any cricism from then IGGI chairperson, Jan Pieter Pronk on the violations of the East Timorese people's human rights and the violation of Indonesian women's reproductive rights, Suharto himself unshamefully used a Dutch subsidiary of the Indonesian central bank to launder around one billion US dollars of his ill-gotten wealth, as has been charged by the Indonesian Attorney General in the trial which the former dictator is currently facing in Jakarta.

16Untuk ulasan tentang peristiwa ‘pembantaian” Santa Cruz dalam kont

eks yang lebih luas baca baca: Douglas Kammen, “The Trouble with Normal: The Indonesian Military, Paramilitaries, and the Final Solution in East Timor” dalam Benedict R.O’G Anderson (eds), Violence and the State in Suharto’s Indonesia, (Ithaca, NY, Central Southeast Asia Program Publications, second printing 2002), pp 156-188 . Ia mencermati bahwa: “in the face of fierce

(10)

betul nilai-nilai hak asasi manusia merupakan nilai universal dan bukan nilai particular yang berkembang dalam ranah sejarah dan budaya politik Negara-negara maju (barat) dan sebab itu tidak cocok dengan Negara-negara yang menggusung ideologi berbeda?

Pertanyaan ini menjadi titik tolak disertasi Adnan Buyung Nasution di Univ. Utrecht pada 2000. Ia berhasil menunjukkan bagaimana para anggota konstituante (dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada 1959 dengan suatu dekrit) tatkala merancang konstitusi baru (untuk mengganti UUD 1945, dari awal dirancang untuk berlaku sementara, berdebat panjang lebar tentang pentingnya hak asasi manusia dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia.17 Apa yang perlu dicatat ialah bahwa para anggota Konstituante tersebut berasal dari ragam golongan dan mewakili kebhinekaan pandangan hidup masyarakat Indonesia (dari sekuler-modern, Islam-non Islam bahkan komunis). Mereka yang berdebat di dalam konstituante pada masa 1955 sd. 1959 juga dipersatukan oleh semangat anti kolonialisme maupun kapitalisme liberalis (yang dianggap memunculkan kolonialisme). Artinya tidak tepat pula gagasan bahwa masyarakat komunal yang anti individualism dipandang niscaya menafikan pentingnya pengakuan atas hak asasi manusia di bumi Indonesia.

Betul pula bahwa konsep Negara integralistik yang dikembangkan Soepomo (perancang UUD 1945 asli) sangat menentang individualisme dalam penyelenggaraan kehidupan Negara. Adalah individualisme yang diyakini sebagai akar dari imperialisme-kolonialisme Negara-negara Eropa. Sebaliknya Soepomo dengan konsep negara yang bersandar atas kekeluargaan merujuk pada sistem pemerintahan

totalitarian NAZI maupun Jepang (sebelum perang dunia II). Keduanya mengidealisasi persatuan antara pimpinan dan rakyat dalam Negara.18 Beranjak dari pemikiran ini pula Soepomo menyatakan yang diperlukan oleh individu karenanya bukanlah jaminan hak-hak perorangan (perlindungan hak asasi oleh negara), tapi pelaksanaan kewajiban kepada negara, pengabdian dan disiplin. Di samping itu pula, dapat dimengerti mengapa Soepomo menyatakan pula bahwa Negara harus berkuasa secara total (berdiri mengatasi semua golongan dan pada saat sama juga tidak memihak kepentingan perseorangan) karena kekuasaan dipahami sebagai bersumber dari satu kesatuan tunggal antara rakyat dan pemimpin (manunggaling kawulo lan gusti). Beranjak dari itu Soepomo menolak teori Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan (separation power), dan menganjurkan pembagian-penyebaran kekuasaan (distribution of power) antara legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Dengan kata lain, dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia tidak diperlukan adanya perhatian pada perlindungan hak asasi manusia dari negara. Kemungkinan besar pemahaman negara integralistik dengan penekanan pada tanggungjawab warga untuk menjaga wibawa hukum (negara) dan pemerintahan (dalam kerangka pemeliharaan stabilitas politik) menginspirasi rezim pemerintahan Orde Baru. Paham itu pula yang mewarnai sikap-pandangan rezim ini terhadap perlindungan dan penegakan hak asasi manusia, termasuk ke dalamnya persoalan kedudukan serta kekuatan mengikat instrumen-instrumen hak asasi manusia (legal-non legal).

17 Adnan Buyung Nasution, The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia; A socio-legal study of the Indonesian Konstituante, 1956-1959 (dissertation, Univ. Utrecht, 1992).

18

(11)

Sebaliknya perlu dicatat bahwa Penjelasan Umum KUHAP (UU 8/1981) dibuat untuk menggantikan R.I.B (Het Herziene Inlandsch Reglement" (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dan Undang-undang Nomor 1 Drt/1951 (Lembaran Negara 1951/ 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81), menyatakan bahwa alasan untuk mencabut dan mengganti peraturan perundang-undangan lama adalah karena di dalamnya ternyata belum memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara hukum. Maka sebagai Negara hukum jelas:

”bahwa penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warganegara untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warganegara, setiap penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan dan lembaga

kemasyarakatan baik di pusat maupun di daerah yang perlu terwujud pula dalam dan dengan adanya hukum acara pidana ini.”

Kutipan di atas sejatinya menunjukkan bahwa setidak-tidaknya secara formal pemerintahan Orde Baru yang mengacu pada konsep Negara kekeluargaan dan dalam praktiknya sangat otoriter sudah mengakui dan menerima keberlakuan hak asasi sebagai tolok ukur untuk menguji keabsahan suatu undang-undang dan menjadikannya sebagai landasan untuk meng-amanden.

Pada saat sama harus diakui pula sebenarnya UUD 1945 asli memuat ketentuan-ketentuan yang sumir tentang hak asasi manusia dan menyatakan akan mengaturnya lebih lanjut. Ketentuan yang membuka peluang bagi pemerintah otoriter (Orde Lama maupun Orde Baru) untuk sama sekali tidak mengaturnya lebih lanjut atau justru mengatur dalam rangka mengendalikan, membatasi, mengurangi bahkan meniadakan hak asasi tersebut. Baru setelah kejatuhan rezim Orde Baru (pasca 1999) pengakuan akan pentingnya perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia lebih dieksplisitkan. Hal mana ternyata dari Amandemen ke-II UUD 1945, diterbitkannya TAP MPR No XVII/MPR/1998 tentang Piagam HAM, UU 39/1999 tentang HAM, dan UU 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Bahkan pada 2003 dibentuk pula Mahkamah Konstitusi dengan mandat menguji peraturan perundang-undangan terhadap UUD (atau tepatnya terhadap hak-hak dasar/konstitusional- termasuk hak asasi yang ditetapkan dalam UUD 1945).19 Berkaitan dengan ini, menarik untuk kemudian

mencermati konsiderans UU 39/1999:

(d) bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung- jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen hukum internasional lainnnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia;

(12)

(e) bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c dan d dalam rangka melaksanakan TAP MPR XVI/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, perlu membentuk UU tentang Hak Asasi Manusia.

Berangkat dari UU 39/1999 di atas, Damos menyimpulkan adanya karakter monism dari kebijakan hukum di Indonesia.20 Kendati demikian, terlepas dari penerimaan tanggungjawab moral dan hukum untuk menegakkan norma-norma dasar yang termuat dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia, perlu dicermati bahwa pertimbangan di atas sekaligus menyiratkan sikap pemerintah Indonesia: hanya akan secara selektif menghormati dan menegakkan norma-norma hak asasi manusia yang telah (secara eksplisit) diterima oleh Negara. Lagipula instrumen-instrumen tersebut hanya dapat diberlakukan di tataran nasional bila telah dibuat peraturan pelaksananya, in casu, UU tentang hak asasi manusia (inkorporasi) atau telah diubah (transformasi) dan melandasi hukum acara pidana nasional (KUHAP). Pertanyaan menarik di sini ialah apakah pengadilan Indonesia (yang wajib menemukan hukum

bersumberkan pada hukum nasional dan melakukan judicial review) akan berwenang langsung merujuk pada ketentuan-ketentuan yang termuat dalam UDHR, termasuk instrumen-instrumen hak asasi manusia lainnya yang kerap memuat kewajiban negara untuk secara umum memajukan perlindungan dan penegakan hak asasi tertentu?

Kemungkinan ini secara nyata digunakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Ad Hoc HAM ketika memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang diduga dilakukan oleh (jend.) Adam Damiri sebagai komandan.21 Langkah yang sekalipun dipuji oleh pengamat asing tetap memunculkan pertanyaan seberapa jauhkah hakim Indonesia dapat mencari dan menemukan hukum? Apakah semua sumber hukum (nasional dan internasional) dapat didayagunakan untuk mengungkap kebenaran dan

memutuskan apa yang seharusnya berlaku sebagai hukum dan dalam kerangka itu memutus terdakwa bersalah (beyond reasonable doubt: berdasarkan dua alat bukti yang sah serta keyakinan hakim) atau justru tidak bersalah?

Berkaitan dengan ini dapat pula disinggung peran dari lembaga-lembaga lain yang secara langsung/tidak langsung berurusan dengan pemantauan penghormatan/penegakan hak asasi manusia oleh negara cq pemerintah: misalnya KomNas HAM,22 Ombudsman23 (merujuk pada asas-asas pemerintahan yang baik

20

Agusman Damos Damoli, Perjanjian Internasional dalam teori dan praktik di Indonesia: kompilasi permasalahan (international treaty in theory and practice in Indonesia: compilation of problems), (Jakarta: Directorate of Treaties for Economic and Socio-Cultural Affairs, Ministry of Foreign Affairs of Republic of Indonesia, 2008).

21

Sejumlah putusan pengadilan ham internasional (jean paul akayesu (ict ruanda) dan timohir blaskic (ict yugoslavia)) digunakan untuk menjelaskan unsur serangan yang sistematis-meluas dari ketentuan pidana yang didakwakan. Baca lebih lanjut: Raimondus Arwalembun, Pengadilan Setengah Hati: Eksaminasi Publik atas Putusan Pengadilan HAM Kasus Timor-Timur (Jakarta: Elsam dengan bantuan The Asia Foundation dan Kedutaan Besar Kerajaan Denmark, 2008). Putusan lengkap (di tingkat pertama) (no.09/PID>HAM/AD.HOC/2002/PH.JKT/PST (dalam bahasa Inggris) dapat diperoleh di wcsc.berkeley.edu/wp-content/.../Indonesia_Damiri_Judgement.htm (accessed 11/08/2013).

(13)

sebagai bagian dari upaya membentuk negara hukum) dan lembaga-lembaga bantuan hukum. Bila mereka berhadapan dengan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia apakah lembaga-lembaga in kemudian dibenarkan untuk langsung merujuk pada norma-norma hukum internasional, termasuk juga yang tidak diratifikasi Indonesia? Misalnya norma tentang kebebasan beragama atau hak masyarakat adat untuk mempertahankan adat/istiadat, keduanya memberikan landasan hak komunal untuk menjalankan ibadah menurut agama/kepercayaan yang ‘tidak diakui kementerian agama’?

Kekuatan mengikat instrumen-instrumen hak asasi manusia khusus

Dalam kurun waktu panjang yang sama Indonesia juga meratifikasi kovenan-kovenan hak asasi manusia khusus, seperti Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT/diratifikasi UU 5/1998); International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD/diratifikasi UU 29/1999); Covention on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW, diratifikasi dengan UU 7/1984), Convention on theRights of the Child 1989 (CRC/diratifikasi dengan KepPres 36/1990, dan dua optional protocol yang mengikutinya: Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution (enter into force 18 january 2002) dan Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Involvement of Children in Armed Conflict (enter into force 12 february 2002); kedua protocol diratifikasi Indonesia pada 26 juni 2012). Masih berkaitan dengan anak, pemerintah Indonesia juga meratifikasi"ILO Convention no. 138/1973" on the minimum Age for Admission to Employment and "ILO Convention no. 182/1999 on Immediate Action to Eliminate the Worst Forms of Child Labor. dll.24

Bahkan juga Indonesia meratifikasi instrumen-instrumen internasional yang berbicara tentang hak-hak buruh pada umumnya seperti International Convention on the Protection of all migrant workers and members of their families (UU 6/2012). Di sini perlu diperhatikan bahwa kebanyakan konvensi (kovenan) di atas pada prinsipnya mewajibkan negara, dalam rangka memenuhi kewajiban di bawah perjanjian internasional untuk melakukan tindakan positif (membuat kebijakan, peraturan perundang-undangan, program). Artinya norma-norma hukum internasional baru terwujud nyata bagi warganegara tatkala ditransformasikan oleh negara ke dalam kebijakan dan tindakan nyata di tataran nasional

(termasuk mengejewantahkannya ke dalam hukum nasional).

Convention on the Right of the Child

Sebagai ilustrasi konkrit, Convention on the Right of the Child maupun kedua protocol yang disebut di atas pada prinsipnya mendorong proses transformasi kewajiban Negara di bawah perjanjian

23

Dibentuk pertama kali berdasarkan KepPres 44/2000 (komisi ombudsman nasional). Pada 2008, KepPres ini diganti oleh UU 37/2008 (tentang ombudsman).

24 Untuk daftar dari semua instrumen hak asasi manusia (khusus), serta daftar negara-negara yang sudah

(14)

(internasional) menjadi langkah-langkah konkrit di tataran hukum nasional. Hal ini tercermin dari tabel di bawah yang memuat kewajiban utama Negara pihak (yang telah meratifikasi) dalam rangka

memenuhi tujuan pembentukan konvensi. Reformasi legislasi merupakan elemen utama kewajiban yang dimandatkan oleh Pasal 4 Convention on the Right of the Child agar tidak terjadi perbenturan dengan hukum nasional dan seluruh legislasi domestik secara penuh berkesesuaian dengannya. Reformasi hukum merupakan langkah pertama ke arah implementasi yang efektif dan berkelanjutan hak-hak anak.25 Kewajiban untuk menyeleraskan hukum nasional muncul dalam frasa: shall undertake, shall take maupun shall adopt or strenghten.

Convention on the right of the

Each state party shall take all necessary legal, administrative

Sudah jelas bahwa Indonesia dengan meratifikasi Conventionon the Rights of the Child (dan hal ini secara umum berlaku untuk konvensi-konvensi hak asasi khusus lainnya) diwajibkan di bawah hukum internasional untuk menyelaraskan kebijakan nasional termasuk di dalamnya sistem hukum nasional (terutama yang berkaitan dengan perlindungan anak) dengan ukuran atau standar yang ditetapkan di

25Yayasan Pemantau Hak Anak, “Implikasi Lebih Lanjut Setelah Mengundangkan 2 Protokol Opsional KHA”,

(15)

dalam konvensi. Juga diharapkan bahwa Indonesia mengembangkan program-program sosial dalam rangka pemajuan (kesadaran) tentang hak-hak anak.

Konsekuensi dari ratifikasi Child Convention ialah bahwa Indonesia menyatakan setuju dengan norma-norma yang hendak diusung: perlunya anak (laki-laki maupun perempuan) karena posisi rentan kelompok ini dalam struktur masyarakat yang ada menikmati perlakuan khusus. Misalnya berkenaan dengan kewajiban orangtua (atau negara) untuk mendidik, merawat, memelihara anak, mengatur batas usia menikah, dll. Dalam pada itu negara seyogianya tidak lagi menenggang sikap tindak masyarakat yang dilandaskan pada norma yang berbeda: yaitu bahwa sudah kewajiban anak untuk turut bekerja meringankan ekonomi keluarga, hak orang tua untuk menikahkan anak pada jodoh yang ditentukan keluarga dll.). Pada tataran lebih praktikal, organ-organ negara (legislatif-eksekutif) di bawah Child Convention wajib membuat implementing policy dan regulation di tingkat nasional bahkan lokal. Salah satu wujud pemenuhan kewajiban demikian ialah pembentukanKomisi Perlindungan Anak (KPA). Berkaitan dengan ini perlu pula diperhatikan sistem peradilan pidana anak yang memaksa kekuasaan kehakiman untuk lebih peka terhadap posisi rentan anak baik sebagai pelaku maupun korban.

Penaatan atas kewajiban hukum negara tersebut di tataran internasional di atas dipantau melalui proses pelaporan sukarela (voluntary self assesment). Laporan berkala (dua tahun pertama setelah ratifikasi dan kemudian lima tahun sekali) ini harus diajukan kehadapan Committee on the Rigths of the Child (body of independent experts)26 untuk didiskusikan, dievaluasi dan ditindaklanjuti. Tidak boleh dilupakan di sini adalah sistem pemantauan umum oleh masyarakat internasional yang dipercayakan kepada Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights. Country reports yang kemudian

dipublikasikan secara berkala sebagai keluaran sistem pemantauan internasional di atas pada prinsipnya menjadi masukan bagi pemerintah untuk mengembangkan langkah-langkah perbaikan dan tindak lanjut lainnya. Laporan resmi yang sama juga dapat menjadi titik tolak bagi lembaga-lembaga swadaya masyarakat (human rights ngo’s atau defenders) untuk menagih janji pemerintah atau mengajukan laporan tandingan. Maka tidak tepat pula untuk begitu saja memandang laporan-laporan (dan

komentar yang diberikan terkait dengan laporan tersebut) sebagai campurtangan asing ke dalam urusan internal. Pada prinsipnya negara (cq.) pemerintah harus dianggap sudah menerima kemungkinan laporan yang dibuat sukarela dikomentari dan dikritik.

International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination

Selain itu kita juga dapat singgung di sini ICERD (international Convention of the Elimination of All Forms of Racial Discrimination). Perjanjian ini diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan pensyaratan (reservasi) terhadap ketentuan Pasal 22 melalui Undang-Undang 29/ 1999.27

Ketentuan Pasal 2 ICERD menetapkan bahwa:

26 Periksa lebih lanjut OHCHR (www2.ohchr.org/english/bodies/crc/comments.htm). 27

(16)

(b) each state party undertakes not to sponsor, defend or support racial discrimination by any persons or organizations;

(c) each state party shall take effective measures to review governmental, national and local policies, and to amend, rescind or nullify any laws and regulations which have the effect of creating or perpetuating racial discrimination wherever it exists;

(d) each state party shall prohibit and bring to an end, by all appropriate means, including legislations as required by circumstances, racial discrimination by any persons, groups or organizations;

Ketentuan di atas memuat dua bentuk janji. Pertama adalah kesepakatan Negara yang dapat langsung dilaksanakan, tanpa perlu ada implementing legislation, yaitu: (b) not to sponsor dstnya. Kedua adalah kesepakatan yang baru dianggap terpenuhi bila telah diterjemahkan (transformasikan) ke dalam

tindakan konkrit ((c) effective measure to review dstnya) maupun ke dalam legislasi nasional (prohibit by all appropriate means, including legislation dstnya). Kewajiban yang terakhir ini selanjutnya dipertegas dalam ketentuan Pasal 4:

“States parties condem all propaganda and all organizations which are based on ideas or theories of superiority of one race or group of persons of one colour or etnic origin, or which attempt to justify or promote racial hatred and discrimination in any form, and undertake to adopt immediate and positive measures designed to eradicate all incitement to, or acts of, such discrimination and, to this end, with due regard to the principles embodied in the Universal Declaration of Human Rights and the rights expressly set forth in article 5 of this Convention, inter alia:

(a) Shall declare an offence punishable by law all dissemination of ideas based on racial superiority or hatred, incitement to racial discrimination, as well as all acts of violence or incitement to such acts against any race or groups of persons of another colour or ethnic origin, and also the provision of any assistance to racist activities, including the financing thereof;

(b) Shall declare illegal and prohibit organizations, and also organized and all other propaganda activities, which promote and incite racial discrimination, and shall recognize participation in such organization or activities as an offence punishable by law;

(c) Shall not permit public authorities or public institutions, national or local, to promote or incite racial discrimination.”

Dari daftar kewajiban di atas tentunya ada yang langsung dapat dilaksanakan pemerintah (dan organ-organ negara) tanpa perlu adanya national implementing regulation, misalnya yang berkaitan dengan perintah kepada negara untuk “not permit public authorities to promote or incite racial discrimination.” Dengan demikian, ICERD sudah dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah nasional atau lokal yang bersifat atau mendorong perlakuan diskriminatif.

(17)

dalam kasus-kasus konkrit yang dihadapi, satu dan lain, karena dalam sistem hukum pidana berlaku azas legalitas dan bagaimanapun juga mereka itu sebagai penegak hukum (yang bekerja dalam sistem hukum pidana nasional) hanya mungkin menegakan hukum positif.

Sekalipun ketentuan tersebut sudah ada (yang melarang atau mengkriminalisasi perbuatan

diskriminatif), Indonesia akan tetap dianggap lalai memenuhi kewajiban internasional tersebut bila ketentuan tersebut tidak digunakan. Dalam hal ini unable (tidak mampu) harus disandingkan pula dengan konsep unwilling (tidak mau). Khususnya mengenai larangan “dissemination of ideas based on racial superiority or hatred, incitement to racial discrimination, as well as all acts of violence or

incitement to such acts against any race or groups of persons of another colour or ethnic origin”, ternyata hal ini telah diatur dalam ketentuan Pasal 28 (2) Undang-Undang 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Apakah ini cukup? Karena Negara di bawah ICERD juga berkewajiban mengimplementasikan dan menegakan aturan. Bukan sekadar mengatur (mengkriminalisasi) tanpa sungguh-sungguh hendak melaksanakannya (able yet unwilling).

Kesimpulan

Kekuatan mengikat secara hukum dari norma-norma hak asasi tidak sepenuhnya dapat dilandaskan pada “penerimaan dan pengakuan” instrumen hak asasi oleh negara-negara berdaulat. Prinsip-prinsip yang termuat di dalam instrumen tersebut diandaikan mengikat negara-negara, terlepas dari

persetujuan atau ketidaksetujuan pemerintah negara yang bersangkutan. Dalam hal ini pendekatan murni positivistic terhadap (keberlakuan hukum) harus ditolak. 28 Dengan kata lain, keberlakuan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia secara logikal tidak dapat dilepas dan hanya dikaitkan pada penerimaan atau persetujuan negara-negara. Itu juga berarti bahwa persoalan penegakan dan penghormatan hak asasi manusia sejatinya tidak layak dipertentangkan dengan

semangat mempertahankan kedaulatan atau kewibawaan hukum dan pemerintahan nasional. Lagipula kerapkali justru negara-negara yang paling otoriter yang bersikeras menolak keberlakuan norma-norma hak asasi. Sebaliknya, dari sudut pandang warganegara biasa sudah sewajarnya Negara (pemerintah dan organ-organ negara) melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya oleh rakyat dengan melandaskan diri pada penghormatan atas hak asasi warga. Dari sudut pandang ini sudah sewajarnya penghormatan hak asasi manusia terutama dibebankan pada negara sebagai organisasi kekuasaan (yang seharusnya sebagai negara berdaulat menjaga kewibawaannya dihadapan kaula dengan memonopoli penggunaan kekerasan dalam rangka penegakan hukum).

28 Bandingkan dengan imajinasi perdebatan antara Radbruch dengan Hans Kelsen (ajaran hukum murni)

(18)

Maka juga keliru pandangan bahwa karena beban utama penghormatan/penegakan hak asasi ada pada negara (alat-alat kekuasaan negara) otomatis anggota polisi atau tentara tidak memiliki hak asasi. Apa yang diabaikan dalam pandangan ini ialah perlu dan pentingnya pembedaan kedudukan anggota polisi/tentara ketika bertindak sebagai alat kekuasaan negara dan kedudukan mereka sebagai warganegara. Sebagai alat negara mereka bertindak mewakili negara (dan bukan partai politik) dan memiliki privelege tertentu (memegang dan menggunakan senjata api, misalnya) yang karena itu sudah seharusnya tidak dimiliki warganegara biasa. Sebaliknya sebagai warganegara biasa mereka sudah semestinya dianggap berkedudukan setara dihadapan hukum dan pemerintahan (Pasal 27 UUD 1945).

Pentingnya perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia akan sangat terasa dalam penegakan hukum pidana. Sikap tindak polisi atau tentara (yang pada dasarnya sebagai aparat negara sudah berkedudukan lebih kuat) terhadap rakyat harus dapat dinilai dan dievaluasi berdasarkan kriteria hak asasi manusia. Singkat kata penegakan hukum (bahkan yang dilakukan demi menjaga ketertiban-keamanan atau dalam rangka menjaga wibawa hukum dan pemerintahan) tetap harus dilaksanakan dalam batasan-batasan atau berlandaskan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang landasannya tidak mungkin dikaitkan hanya pada penerimaan/persetujuan negara. Lagipula sistem peradilan pidana Indonesia yang dilandaskan KUHAP (UU 1/1981),dikaitkan dengan tujuan sistem penitensier dengan tujuan mulia: pemasyarakatan kembali, kiranya secara ideal sudah menegaskan hal itu.

Dari titik tolak ini pula (hak asasi manusia sebagai norma kritik yang diakui di tataran domestik), kritikan dan kecaman yang diajukan lembaga-lembaga pemantau hak asasi manusia dari luar negeri atau pemerintahan negara asing tidak perlu dipandang sebagai ancaman terhadap kedaulatan maupun kewibawaan pemerintahan.29 Setiap pemerintah (tidak terkecuali Indonesia) mungkin akan merasa jengkel dan kritikan dari pemerintahan asing atau lembaga internasional dirasakan sebagai

campurtangan yang tidak diinginkan dalam urusan domestik. Tidak boleh diabaikan adalah kewajiban moral negara Indonesia terhadap rakyat dan dari segi hukum internasional, kewajiban hukum di bawah instrumen-instrumen hak asasi manusia khusus yang terutama dibebankan pada negara. Kendati begitu, persoalan yang akan terus menggangu (dalam konteks hubungan hukum internasional-hukum nasional) ialah bagaimana dan sejauh mana hakim-hakim pengadilan Indonesia dan para pencari keadilan dapat merujuk secara langsung norma-norma hak asasi manusia (UDHR maupun instrumen-instrumen hak asasi manusia lainnya yang sudah terseleksi) untuk menilai pelanggaran hukum (dan hak asasi) yang terjadi di Indonesia.

(19)

Instrumen-instrumen hak asasi khusus pada prinsipnya menegaskan dan memperjelas apa yang sudah seharusnya atau yang sewajarnya dianggap menjadi kewajiban negara terhadap rakyat. Nilai atau norma yang diusung, misalnya perlunya anak (sebagai anggota kelompok rentan) di lindungi dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang damai-sejahtera atau larangan diskriminasi terhadap perempuan dengan tujuan agar perempuan diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, sebagaimana ditemukan di dalam Konvensi maupun Konstitusi Negara harus diterjemahkan lebih lanjut ke dalam kebijakan resmi pemerintah dan tercermin dalam peraturan perundang-undangan. Affirmative action yang bersumber dari keberpihakan negara (terhadap

kelompok rentan: perempuan dan anak atau minority groups30bahkan indigenous populations31 dalam hal ini menjadi niscaya pertama dalam rangka mewujudkan ketentuan Pasal 27 UUD 1945 (kesetaraan warga dihadapan hukum dan pemerintahan) dan kedua karena tidak selamanya nilai-nilai itu sejalan dengan pandangan hidup masyarakat lokal atau masyarakat hukum adat.

Dalam situasi seperti ini, tidak dapat dipungkiri bahwa konvensi-konvensi internasional menjadi tolok ukur untuk mengukur, menilai, bahkan instrumen untuk melakukan judicial atau administrative review terhadap aturan-aturan lokal yang “menyimpang”. Apakah ini otomatis secara teoretik harus ditafsirkan sebagai supremasi hukum internasional atas kedaulatan masyarakat nasional atau lokal? Keberlakuan instrumen-instrumen hak asasi tersebut (khususnya tentang anak dan perempuan) mungkin tidak perlu dilandaskan pada gagasan adanya superioritas hukum internasional atas hukum nasional/lokal.

Pendekatan ini dalam banyak kasus justru memunculkan perlawanan, terutama ketika masyarakat lokal (atau justru kelompok masyarakat dominan dalam negara) berupaya mempertegas identitas diri yang berhadapan diametral dengan nilai-nilai “imperialisme barat” yang muncul dalam hukum internasional (khususnya berkaitan dengan hak asasi manusia).

30

Adopted by consensus in 1992, the UN Minorities Declaration in its article 1 refers to minorities as based on national or ethnic, cultural, religious and linguistic identity, and provides that states should protect their existence. There is no internationally agreed definition as to which groups constitute minorities. It is often stressed that the existence of a minority is a question of fact and that any definition must include both objective factors (such as the existence of a shared ethnicity, language or religion) and subjective factors (including that individuals must identify themselves as members of a minority). Periksa lebih lanjut “Minorities under International Law” (www.ohchr.org

accessed 07/08/2013). 31Didefinisikan WHO sebagai “

Referensi

Dokumen terkait

Di samping hal tersebut, pembentukan Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia juga mengandung suatu misi mengemban tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan

Dalam DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia), kezaliman seperti ini termasuk jenis pelanggaran terhadap hak personal yakni hak jaminan kebutuhan pribadi. Sedangkan

Pokok- pokok Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan Hak Asasi Manusia serta memberi perlindungan,

Sudah jelas bahwa Indonesia dengan meratifikasi Convention on the Rights of the Child (dan hal ini secara umum berlaku untuk konvensi-konvensi hak asasi khusus lainnya) diwajibkan

• Pemerintah wajib dan bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, memenuhi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun

Memproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai suatu standar umum untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar setiap orang

Pengaturan hak asasi manusia di Indo- nesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, yang menegaskan bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai

PENULISAN SKRIPSI PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DAN ASAS NON- REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI SURIAH OLEH YUNANI DITINJAU DARI KONVENSI JENEWA 1951 DAN DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI