MAJAS LOKALITAS DALAM KUMPULAN SAJAK SUSI KARYA GUS TF
Zura Wenda, Mila Kurnia Sari, Samsiarni
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Sumatera Barat [email protected]
ABSTRACT
The locality figure of speech in the qoute are examined because is language style, which is characteristic of a poet to expressed his feelings. This type of research is qualitative with content analysis method. The result of research is six theoretic of Hasanuddin WS (2002), that is first, a comparative locality comparison made by the poet to equate two different things. Second, the personality locality employed by Gus Tf as one of the most important aspects of his poetry. Third, the local metaphorical locality which is the direct comparison proportion, the depiction that Minangkabau is a country full of idioms, to the free poet of using Minangkabau idom in his poems. Fourth, the allegorical locality of majesty found in the form of metaphors, the proverb petitih, pantun adat in Minang language. Fifth, the paraclical parasite masters who take stories in the Qur'anic verses on moral stories. Sixth, the masters of fable locality are the stories of animals in which there are messages and advice.
Keyword : Figure of Speech, Locality, Rhyme
PENDAHULUAN
Pada penelitian ini akan diteliti lebih lanjut tentang majas lokalitas dalam Kumpulan Puisi Susi karya Gus Tf. Lokalitas dalam bahasa menunjukan identitas budaya yang dipakai dalam konteks sebuah komunitas bahasa, dalam hal ini masyakat Minangkabau. Warna lokal dapat dikatakan sebagai lukisan yang cermat mengenai latar, dialek, adat
istiadat, cara berpakaian, cara berpikir, cara merasa, dan sebagainya yang khas dari suatu daerah tertentu yang terdapat dalam cerita. Oleh karena itu, untuk mengenal warna lokal dalam karya sastra, diperlukan pemahaman falsafah kebudayaan dari bangsa atau daerah pelaku cerita.
Lokalitas yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah kebahasaan Minangkabau yang berupa majas,
Melalui penjabaran tersebut, penelitian ini akan diorientasikan pada Majas Lokalitas dalam Kumpulan Sajak Susi Karya Gus Tf dengan menggunakan enam majas menurut Hassanuddin (2002:133) yaitu majas lokalitas perbandingan, majas lokalitas personifikasi, majas lokalitas metafora, majas lokalitas alegori, majas lokalitas parabel, dan majas lokalitas parabel. Melalui majas lokalitas dalam kumpulan sajak Susi karya Gus Tf ini akan terlihat dan tergambar bentuk-bentuk warna lokal Minangkabau.
Berdasarkan fokus dan rumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk, (1) menjelaskan majas lokalitas perbandingan dalam kumpulan sajak Susi karya Gus Tf;
(2) menjelaskan majas lokalitas personifikasi dalam kumpulan sajak Susi karya Gus Tf; (3) menjelaskan majas lokalitas metafora dalam kumpulan sajak Susi karya Gus Tf;(4) menjelaskan majas lokalitas alegori dalam kumpulan sajak Susi karya Gus Tf;(5) menjelaskan majas lokalitas parabel dalam kumpulan sajak Susi karya Gus Tf;(6) Menjelaskan majas lokalitas fabel
dalam kumpulan sajak Susi karya Gus Tf.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2010:4) menyatakan bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yangdapat diamati. Dalam penelitian kualitatif data yang dikumpulkan tidak berupa angka-angka sepertinya penelitian kuantitatif melainkan kata- kata yang merupakan kunci terhadap apa yang akan diteliti. Secara deskriptif laporan penelitian akan memuat kutipan-kutipan data yang memberikan gambaran yang jelas tentang objek penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi. Hasanuddin (2002:40) menjelaskan bahwa konten analisis atau penelitian kajian isi kegiatannya menganalisis karya sastra dipandang sebagai produk komunikasi antara pengarang dan lingkungannya.
Data dalam penelitian ini adalah kutipan dalam sajak yang berkaitan dengan majas lokalitas dalam kumpulan sajak Susi karya Gus Tf dengan menggunakan majas lokalitas perbandingan, majas lokalitas personifikasi, majas lokalitas metafora, majas lokalitas alegori, majas lokalitas parable danmajas lokalitas fabel. Sumber data penelitian ini adalah kumpulan sajak Susi karya Gus Tf. Kumpulan sajak Susi karya Gus Tf yang terbit pada tahun 2015, terdiri dari 40 judul dengan jumlah halaman keseluruhan 75 halaman yang diterbitkan oleh Kabarita.
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data (1) membaca dan memahami kumpulan sajak Susi karya Gus Tf (2) menandai ungkapan berbentuk majas yang berunsurkan lokalitas dalam kumpulan sajak Susi karya Gus Tf (3) mengiventarisasi data, yaitu mencatat data yang berkaitan dengan majas lokalitas dalam kumpulan sajak Susi karya Gus Tf (4) mengklasifikasikan data yang telah terkumpul dalam kumpulan sajak Susi karya Gus Tf.
Teknik pengabsahan data yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu triangulasi. Sumber lain di luar data ini adalah Wahyudi Rahmat, S. Hum, M. Hum. sebagai Dosen tetap Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Sumatera Barat. Langkah- langkah yang dilakukan sebagai teknik penganalisisan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
Pertama, mengklasifikasikan data sesuai dengan aspek yang diteliti.
Kedua, mendeskripsikan data.
Ketiga, menganalisis dan melakukan
pembahasaan. Keempat,
pembahasaan penyimpulan data dan penulisan. Kelima, menulis hasil laporan penelitian secara lengkap.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka temuan data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut; (1) Majas Lokalitas Perbandingan dalam Kumpulan Sajak Susi Karya Gus Tf.
Majas lokalitas perbandingan yang ditemukan dalam kumpulan sajak Susi karya Gus Tf ada tiga kutipan data, yakni pada sajak berjudul Susi Atap, Susi lanjar terdapat dua kutipan dan sajak Susi Alur, Susi
Patut satu kutipan. Hasanuddin (2002:134) menyatakan bahasa bermajas perbandingan adalah bahasa yang menyamakan sesuatu hal dengan mempergunakan kata pembanding seperti: bagai, bak, seperti, laksana, umpama, ibarat, dan lain-lain.
Susi Atap, Susi lanjar
.... Seperti Susi. Bilik jadi atau ruang, bendul atau pintu. Seperti Susi. Jadi kias jadi tanda, mengalun dalam kaba. Jadi Binuang jadi Gumarang, seperti Susi, melenguh meringkik dalam dendang.
Gus Tf (2015:49)
Pada penggalan sajak di atas terdapat dua kutipan majas perbandingan yang ditandai dengan penggunaan kata seperti. Kutipan pertama yaitu Seperti Susi. Jadi kias tanda, mengalun dalam kaba. Unsur yang disamakan merupakan Susi dengan kiasan dan tanda dalam kaba (genre sastra tradional Minangkabau). Susi diibaratkan sebagai isi dalam cerita atau orang yang diceritakan dalam kaba. Pada penggalan sajak Susi dimaksudkan sebagai rumah adat Minangkabau
yang memiliki atap dan juga lanjar.
Atap dan lanjar sebagai tempat berteduh dan tempat berpijak bagi anak, keluarga dan juga kaumnya.
Susi rumah adat Minangkabau memiliki banyak fungsi. Kerukunan kekerabatan dalam budaya Minangkabau digambarkan dalam kutipan sebelumnya yang dimaksudkan untuk menyampaikan bahwa setiap orang memiliki ketersalingan kebutuhan lewat makna kayu yang digunakan dalam rumah gadang. Begitupun dengan Susi yang disamakan dengan kias dan tanda dalam kaba. Bahwa sebenarnya kaba merupakan alat penyampaian secara kias terhadap arti rumah gadang yang sebenarnya.
(2) Majas Lokalitas Personifikasi dalam Kumpulan Sajak Susi Karya Gus Tf. Majas lokalitas personifikasi yang ditemukan dalam kumpulan sajak Susi karya Gus Tf sebanyak dua belas kutipan data, yakni pada sajak berjudul Susi:
Sesudah Tahun-tahun terdapat satu kutipan, sajak Susi: dari Batangku tiga kutipan, sajak Susi: Sengal Perahu satu kutipan, sajak Susi:
Lubang Semesta satu kutipan, sajak
Susi Kolam, Susi Lautan satu kutipan, sajak Susi Alur, Susi Patut satu kutipan, sajak Susi Kata, Susi Tari dua kutipan, sajak Susi Karena satu kutipan dan sajak Susi, Cakra Ketujuh satu kutipan. Hasanuddin (2002: 135) personifikasi adalah semacam gaya bahasa bermajas yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan.
Susi: dari Batangku
Lengkung batokku: tebal cangkang tempurung tajam. Ah, nalarmu, Susi, geretak ragu, gorong-gorong di kepalaku.
Gus Tf (2015: 10)
Pada sajak di atas terdapat tiga kutipan majas personifikasi.
Pertama, nalarmu, Susi, Geretak ragu, gorong-gorong di kepalaku.
Geretak atau garetak dalam bahasa Minangkabau adalah pernyataan yang dimunculkan, dinyatakan dengan ucapan atau gerak sebagai bentuk perlawanan. Sedangkan ragu adalah sebuah sikap atau keadaan yang sulit dalam megambil sebuah keputusan, menentukan pilihan atau sebagainya. Kutipan nalarmu, Susi, Geretak ragu, menerangkan bahwa
nalar tidak bisa menggertak.
Menggertak dan perasaan ragu adalah sifat manusia. Gorong-gorong adalah sebuah benda yang terbuat dari semen berbentuk yang digunakan untuk membuat terowongan sumur. Kutipan gorong- gorong dikepalaku ungkapkan sebagai kepala yang memikul beban berat. Pada kutipan ini lokalitasnya terdapat dalam kata geretak.
(3) Majas Lokalitas Metafora dalam Kumpulan Sajak Susi Karya Gus Tf.
Majas lokalitas metafora yang ditemukan dalam kumpulan sajak Susi karya Gus Tf ada satu, yakni pada sajak berjudul Susi Empat Susi Bilangan. Menurut Hasanuddin (2002:136) metafora adalah
semacam analogi yang
membandingkan dua hal secara lansung, tetapi dalam bentuk singkat.
Metafora sebagai perbandingan lansung tidak menggunakan kata seperti, bak, bagai atau bagaikan, sehingga pokok pertama dihubungkan dengan pokok kedua.
Metafora ini menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama. Contoh klasik
penggunaan majas metafora ini adalah: lintah darat, bunga bangsa dan kambing hitam.
Susi Empat Susi Bilangan Kata Ibu, “Tak bertinggi tak berendah, segala terbaring dalam empat. Di atas selesai di bawah sudah, hanya di garis makan pahat.”
Gus Tf (2015: 55)
Majas metafora dalam penggalan sajak di atas adalah makan pahat. Makan pahat bukan berarti benar-benar sedang makan pahat. Makan pahat dalam kutipan ini merupakan kiasan bahasa Minangkabau yang dalam bahasa Minangkabau disebut makan paek.
Pahat atau paek sifatnya adalah keras dan terbuat dari besi. pahat dalam habasa Indonesia adalah ukir.
Masyarakat Minangkabau sering mengatakan co paek, ditokok baru makan, ungkapan ini biasanya diucapkan kepada anak kecil yang susah diperintahkan untuk makan.
Maksudnya harus selalu diingatkan, harus selalu diperintahkan baru akan makan. Kutipan makan pahat dalam penggalan puisi dimaksudkan untuk menyatakan bahwa bertingkah sesuai dengan apa yang
diperintahkan saja atau sebatas yang
ditentukan sehingga
menyampingkan keinginan diri sendiri. Hal ini juga dimaksudkan bahwa sesuai dengan Adat maka Susi sebagai perempuan Minangkabau terbelenggu oleh Adat, peraturan yang ada di rumah Gadang. Lokalitas Minangkabau dalam penggalan sajak ini membicarakan tentang Susi empat bilangan. Bahwa dalam budaya Minangkabau ada yang disebut dengan kato nan ampek yaitu empat tingkat cara berbicara kepada lawan bicara menurut tata krama yang baik.
(4) Majas Lokalitas Alegori dalam Kumpulan Sajak Susi Karya Gus Tf.
Majas lokalitas alegori yang ditemukan dalam kumpulan sajak Susi karya Gus Tf sebanyak dua puluh dua kutipan data, yakni pada sajak berjudul Susi Atap, Susi lanjar berjumlah dua kutipan, sajak Susi Pagar, Susi Jalan sebanyak tiga kutipan, sajak Susi Kolam, Susi Lautan satu kutipan, sajak Susi Empat Susi Bilangan sebanyak tiga kutipan, sajak Susi Alur, Susi Patut sebanyak sebelas kutipan dan pada
sajak Susi Kata, Susi Tari terdapat dua kutipan. Menurut Hasanuddin (2002: 139) untuk memanfaatkan bahasa bermajas alegori biasanya dilakukan dengan cara menampilkan suatu cerita singkat yang mengandung makna kiasan. Sajak- sajak yang menggunakan bahasa bermajas alegori menampilkan pelaku-pelaku bersifat abstrak yang banyak mengandung rahasia.
Susi Atap, Susi lanjar Kuda yang sama, kerbau yang sama, Susi meringkik Susi melenguh tak ada beda. Seperti Ibu bilang, “Yang kukuh jadi tonggak, yang lurus jadi penggaris. Yang bungkuk untuk bajak, yang bilah bisa mengiris.”Semua hanya serat, semua hanya kayu. Seperti Susi. Bilik atau ruang, bendul atau pintu.
Gus Tf (2015: 49)
Kutipan kedua dalam sajak di atas adalah Yang kukuh jadi tonggak, yang lurus jadi penggaris. Yang bungkuk untuk bajak, yang bilah bisa mengiris. Kutipan ini menggambarkan sifat kayu, bahwa semua kayu mulai dari yang paling kuat, yang lurus, bengkok ataupun terbelah semuanya bisa dipakai
sesuai dengan fungsinya masing- masing. Hal ini menunjukkan pandangan masyarakat Minangkabau yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan. Menurut adat, pandangan terhadap seorang pribadi terhadap yang lainnya haruslah sama walaupun seseorang itu mempunyai fungsi dan peranan yang saling berbeda. Karena manusia sifatnya saling membutuhkan dan saling dibutuhkan sehingga terjadilah kebersamaan.
(5) Majas Lokalitas Parabel dalam Kumpulan Sajak Susi Karya Gus Tf.
Majas lokalitas parabel yang ditemukan dalam kumpulan sajak Susi karya Gus Tf ada dua kutipan data, yakni pada sajak berjudul Susi:
Getar terdapat satu kutipan dan sajak Susi: Lubang Semesta satu kutipan.
Menurut Hasanuddin (2002: 140) parabel merupakan suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh biasanya manusia yang selalu mengandung tema moral. Istilah parabel dipakai untuk menyebut cerita fiktif di dalam kitab suci yang bersifat alegoris, untuk menyampaikan kebenaran spiritual.
Susi: Lubang Semesta
Lubang dagingnya, kau tutup dengan dagingmu. Kau membara, bilah tembaga dalam dirimu.
Gelogoh itu, air mendidih dingin membeku*.
* Dari QS 78:25 Gus Tf (2015: 17)
Pada kutipan gelogoh itu, air mendidih dingin membeku terdapat kata yang bermakna lokalitas yaitu gelogoh. Gelogoh dalam bahasa Minangkabau disebut galogoh artinya gelegar atau sesuatu yang berat meluncur turun dengan suara yang menggelegar. Kutipan gelogoh itu, air mendidih dingin membeku menjelaskan tentang pesan moral yang terkandung dalam QS 78 ayat 25 yang artinya “selain air yang mendidih dan darah” ayat sebelumnya menjelaskan “mereka tidak mendapat kesejukkan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minum. Lubang dagingnya, kau tutup dengan dagingmu maksudnya ketika seorang manusia di dalam neraka setelah dihancurkan dagingnya akan kembali seperti semula kemudian dihancurkan lagi begitu seterusnya. Kau membara,bilah tembaga dalam
dirimu maksudnya adalah manusia terbakar oleh panasnya api neraka, kemudian sekujur tubuhnya di tusuk dengan tembaga dan besi yang panas sebagai bentuk hukuman untuknya.Gelogoh itu, air mendidih dingin membeku maksudnya mereka yang dapat hukuman di neraka akan mendapatkan minuman air yang mendidih. Maka sebagai manusia, harus ingat bahwa pada suatu ketika semua yang ada di bumi ini akan kembali padaNya, Tuhan yang maha esa. Setiap perbuatan yang dilakukan di muka bumi akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak sekecil apapun itu.
(6) Majas Lokalitas Fabel dalam Kumpulan Sajak Susi Karya Gus Tf.
Majas lokalitas fabel yang ditemukan dalam kumpulan sajak Susi karya Gus Tf ada empat kutipan data yakni pada sajak berjudul Susi: Sengal Perahu terdapat satu kutipan, sajak Susi Atap, Susi lanjar satu kutipan, sajak Susi Pagar, Susi Jalan satu kutipan dan sajak Susi kolam, Susi lautan satu kutipan. Fabel merupakan suatu bentuk pengucapan yang dapat dikategorikan kepada bentuk bahasa bermajas metafora
juga, yaitu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang (Hasanuddin WS, 2002: 141). Tujuan majas fabel sendiri untuk menyampaikan ajaran moral atau budi pekerti. Namun fabel tidak hanya bercerita tentang dunia binatang saja tetapi juga tumbuh- tumbuhan atau makhluk tidak bernyawa lainnya.
Susi: Sengal Perahu
anyir usiamu, geronggang musim yang tak kautahu. Benihmu, Susi,
”Liar mendengking dalam sarafku.”
Gus Tf (2015: 14)
Pada kutipan sajak di atas terdapat majas fabel yaitu benihmu, Susi, ”Liar mendengking dalam sarafku.” Mendengking atau dalam bahasa Minangkabau mandangkiang artinya bunyi yang sangat keras hingga menimbulkan bunyi dengung di telinga. Dalam kutipan sajak disebutkan bahwa benih mendengking dengan liar di dalam saraf, benih tidak dapat mendengking karena benih tidak memiliki suara yang dapat dibunyikan oleh hewan ataupun manusia apalagi di dalam saraf. Liar artinya buas, biasanya
digunakan untuk menyatakan sifat binatang.
Gus Tf menggunakan bahasa bermajas untuk memunculkan unsur kepuitisan tersebut. Unsur kepuitisan dalam sajak-sajak Gus Tf pada kumpulan sajak Susi sangat erat kaitannya dengan aspek lokalitas Minangkabau. Kepuitisan pada aspek lokalitas dalam sajak Gus Tf tersebut seperti menggambarkan realita masyarakat Minangkabau pada zamannya yang apabila berbicara banyak menggunakan kata kiasan.
Minangkabau adalah negeri dimana segala sesuatunya disampaikan dengan bahasa yang memikat, seperti pantun dan patatah petitih. Majas yang berhubungan dengan lokalitas pada kumpulan sajak Susi ini yaitu terdiri dari enam majas. Majas perbandingan, personifikasi, metafora, alegori, parabel dan fabel.
Ungkapan pada majas-majas tersebut mampu mengungkapkan unsur lokalitas yang memang sudah menjadi ciri khas Gus Tf. Dalam sajak Susi aspek lokalitas yang paling banyak adalah hal-hal yang menggambarkan keadaan dan fungsi rumah gadang dan filsafah Minang
yaitu kato nan ampek. Dahrizal (2016: 7) dalam tulisannya di Metro Andalas mengatakan, rumah gadang secara umum digunakan sebagai tempat melakukan kegiatan dan sebagai tempat pertemuan keluarga.
Keberadaan rumah gadang tersebut menggambarkan kebersamaan dalam keluarga. Fungsi tersebut sebenarnya telah di jelaskan dalam tambo adat minangkabau, yaitu:
Tampek maniru manuladan Paaja baso jo basi
Sarato budi dengan malu
Kok tumbuah di lantai tampek duduak
Banamo data lantai papan Licin balantai kulit
Kato mufakat nan tujuan Elok diambiak jo mufakat Buruak dibuang jo rundiangan
Ungkapan tersebut menggambarkan fungsi rumah gadang sebagai tempat untuk mendidik dan mengajarkan anak dan kemenakan. Di dalam ungkapan tersebut juga di jelaskan bahwa rumah gadang juga sebagai tempat untuk melakukan musyawarah.
Adat Minangkabau mengatur, mengontrol dan menjadikan dirinya sebagai norma dan hukum untuk membimbing masyarakat minang
dalam bertindak, berbuat, dan bertingkah laku dalam masyarakat.
Termasuk juga tatakrama berbicara, yang mengatur bagaimana bersikap dan berbicara dengan orang yang sama besar, lebih besar, lebih kecil ataupun kerabat baru. Sikap dan cara bicara orang ,Minang juga memiliki norma dan aturan tersendiri. Ketika berbicara, orang Minang menggunakan ungkapan adat tau jo nan ampek dan raso jo pareso, serta malu jo sopan. Nan ampek yang dimaksud disini adalah suatu sikap dan kebudayaan Minang yang juga merupakan norma penting masyarakat Minang, menjelaskan tentang tatanan berbicara masyarakat Minang yang dianjurkan dalam adat Minangkabau. Tatanan tersebut terdiri dari: kato mandaki, kato malereang, kato mandata, dan kato manurun. Untuk itu, manusia harus beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan kondisi modern agar dikatakan manusia modern.
Modernitas tidak berarti semua yang ada dalam adat dan kebudayaan Minang harus dimodernkan.
Maraknya pergaulan di era globalisasi yang mementingkan
modernitas, menyebabkan semakin lengahnya pandangan remaja akan budaya Minang dan perlahan telah menyingkirkan adat dan kebudayaan Minang. Tidak lagi tau akan norma dan aturan adat sendiri membuat membuat bergesernya keteraturan tatanan adat dan kebudayaan
Minangkabau. Seiring
berkembangnya zaman, budaya tidak lagi menjadi landasan dalam kehidupan. Terutama muda-mudi Minang yang secara perlahan telah memudarkan kebudayaan sendiri.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian terhadap majas lokalitas dalam kumpulan sajak Susi karya Gus Tf dapat disimpulkan bahwa terdapat enam majas yang digunakan Gus Tf berdasar kantegori majas menurut Hasanuddin WS (2002). Majas tersebut adalah perbandingan, personifikasi, metafora, alegori, parabel dan fabel yang berhubungan dengan lokalitas Minangkabau.
Majas perbandingan terdapat pada dua sajak yang terdiri dari tiga kutipan. Penggunaan majas lokalitas menggunakan ungkapan adat
Minangkabau dibuat penyair sebagai pembanding cara bersikap masyarakat dahulu yang dibandingkan dengan keadaan masyarakat sekarang ini. Pada majas personifikasi ditemukan dua belas kutipan dari sepuluh sajak.
Penggunaan majas ini banyak dipergunakan oleh Gus Tf sebagai salah satu aspek yang cukup penting dalam sajak-sajaknya. Hal ini akan lebih menekankan bahwa penyair ingin menjadikan kata dalam sajaknya lebih hidup. Majas metafora yang terdiridari 1 kutipan pada satu sajak. Majas ini merupakan penggambaran bahwa Minangkabau merupakan negeri yang penuh dengan idiom. Hal inilah yang membuat penyair bebas menggunakan idom Minangkabau dalam sajak-sajaknya. Dalam majas alegori ditemukan dua puluh dua kutipan. Majas ini merupakan majas yang paling banyak ditemukan dalam kumpulan sajak Susi karya Gus Tf.
Majas alegori yang ditemukan lebih kepada kiasan-kiasan, pepatah petitih, pantun adat dalam berbahasa Minang yang dibahasa Indonesiakan oleh Gus Tf. Majas ini banyak
bercerita tentang rumah gadang sebagai rumah adat Minangkabau dan pembahasan mengenai kata yang empat (kato nan ampek) sebagai panduan dalam bertata krama bicara yang baik, santun dan sopan. Majas lokalitas parabel terdiri dari dua kutipan. Majas personifikasi dalam sajak Gus Tf mengambil kisah-kisah dalam ayat al-Quran mengenai hari kiamat atau hari pembalasan sehingga banyak pesan moral yang dapat diambil oleh pembaca. Majas lokalitas fabel terdiri empat kutipan.
Pada sajak Susi kisah binatang yang dihadirkan Gus Tf adalah kisah tiga ekor binatang dalam kaba Cindua Mato seperti Gumarang dan Binuang. Dari empat puluh sajak yang diteliti, ada tiga belas sajak yang ditemukan majas yang berhubungan dengan lokalitas Minangkabau dalam kumpulan sajak Susi karya Gus Tf dan paling dominan adalah pada majas personifikasi dan majas alegori.
Munculnya lokalitas Minangkabau dalam kumpulan sajak ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pembaca.
Gus Tf menghadirkan lokalitas Minangkabau dalam sajaknya seperti
adat istiadat, kebudayaan, kehidupan sehari-hari di Minangkabau, kondisi sosial masyarakatnya, perempuan Miangkabau, dan sebagainya.
Dari kesimpulan di atas, disarankan hasil penelitian ini dapat menambah pemahaman tentang teori dalam penelitian kesusastraan terutama mengenai majas. Penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak- pihak yang bersangkutan. Adapun manfaat-manfaat yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Bagi pembaca, dapat dijadikan salah satu referensi dalam penelitian yang akan dilakukan yang berkaitan dengan penelitian ini dan dapat dijadikan bahan perbandingan terhadap penelitian yang akan dilakukan.
Penelitian ini dapat menambah pemahaman pembaca mengenai karya sastra khususnya sajak. Agar lebih mamahami tetang bahasa bermajas dari aspek lokalitas khususnya pada sajak. Sehingga pengetahuan budaya daerah dan bahasa daerah semakin merakyat dan dipahami secara mendalam bagi generasi muda. Sehingga penelitian ini bisa dijadikan bahan
pembelajaran. (2) Bagi peneliti lain, sebagai bahan perbandingan untuk melaksanakan penelitian berikutnya yang sejenis dengan penelitian ini.
(3) Calon guru, hasil penelitian ini hendaknya bisa dijadikan bahan pedoman bagi calon guru dalam pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya dalam menganalisis bahasa bermajas dalam sajak.
Dengan memahami bahasa bermajas, merupakan salah satu cara untuk memahami makna dan kata-kata dalam sajak. (3) Bagi penulis, untuk menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai majas khususnya lokalitas. Disamping itu karena sastra diciptakan bukan hanya untuk penyair saja melainkan juga untuk pembaca dan penikmat sastra untuk itu penyair harus lebih lebih memperhatikan sarana bahasa dalam pembuatan karya-karyanya.
Khususnya penggunaan bahasa daerah untuk pelestarian budaya dan mengangkat bahasa daerah tersebut.
Penggunaan bahasa daerah ini akan membantu pemahaman yang lebih mendalam lagi tentang budaya daerah tersebut, dari pada
menggunakan bahasa asing yang memiliki latar budaya yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Dahrizal, Musral. 2016. “Mak Katik, Pelurus Adat Minang”.
Padang: Antara News. (23 Juni 2016)
Hasanuddin, WS. 2002. Membaca dan Menilai Sajak:
Pengantar Pengkajian dan Interpretasi. Bandung:
Angkasa
Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Tf, Gus. 2015. Susi; Sajak-sajak Susi 2008-2013. Kabarita