• Tidak ada hasil yang ditemukan

makalah ekonomi produksi pertanian - Spada UNS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "makalah ekonomi produksi pertanian - Spada UNS"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH EKONOMI PRODUKSI PERTANIAN

USAHATANI GUREM DAN KEPUTUSAN ALOKASI TENAGA KERJA DALAM KEGIATAN PRODUKSI

Disusun Oleh:

Abdul Latif Alghifari H0818001

Dita Dwi Sejati H0818024

Firdausa Rahmanda H0818033 Kadek Wahyu Rosetiani H0818050 Luthfiah Kusnul Khotimah H0818061 Naufal Pratama Widya W. H0818064

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2020

(2)

I. LATAR BELAKANG

Untuk memaksimalkan dalam pengelolaan usahatani diperlukan unsur-unsur pokok yang merupakan faktor – faktor utama dalam usahatani. Unsur – unsur pokok tersebut sering disebut faktor produksi (input) seperti bibit tanaman, pupuk, luas lahan, pestisida, dan jumlah tenaga kerja. Proses produksi pertanian adalah proses yang mengkombinasikan faktor – faktor produksi pertanian untuk menghasilkan produksi pertanian (output). Tenaga kerja adalah salah satu unsur penentu, terutama bagi usahatani yang tergantung pada musim. Kelangkaan tenaga kerja berakibat mundurnya penanaman sehigga berpengaruh pada pertumbuhan tanaman, produktivitas, dan kualitas produk. Tenaga kerja merupakan faktor penting dalam usaha tani keluarga (family farms), khususnya tenaga kerja petani bersama anggota keluarganya. Rumah tangga tani yag umumnya sangat terbatas kemampuannya dari segi modal, peranan tenaga kerja keluarga sangat menentukan. Jika masih dapat diselesaikan oleh tenaga kerja keluarga sediri maka tidak perlu mengupah tenaga luar, yang berarti menghemat biaya.

Tersedianya sarana atau faktor produksi (input) belum berarti produktifitas yang diperoleh petani akan tinggi. Namun bagaiman petani melakukan usahanya secara efisien adalah upaya yang sangat penting. Efisiensi teknis akan tercapai bila petani mampu mengalokasikan faktor produksi sedemikian rupa sehingga produksi tinggi tercapai. Bila petani mendapat keuntungan besar dalam usahataninnya dikatakan bahwa alokasi faktor produksi efisien secara alokatif.

Cara ini dapat ditempuh dengan membeli faktor produksi pada harga murah dan menjual hasil pada harga relatif tinggi. Bila petani mampu meningkatkan produksinya dengan harga sarana produksi dapat ditekan tetapi harga jual tinggi, maka petani tersebut melakukan efisiensi teknis dan efisiensi harga atau melakukan efisiensi ekonomi.

(3)

II. TUJUAN

Tujuan dari penulisan makalah keputusan alokasi tenaga kerja dalam kegiatan produksi pada petani gurem adalah sebagai berikut:

a. Mengetahui faktor produksi yang mempengaruhi banyaknya produksi tanaman pangan pada usahatani gurem.

b. Mengetahui efisiensi dan efektivitas faktor produksi pada usahatani gurem.

c. Mengetahui pengaruh kesejateraan masyarakat sekitar terhadap tenaga kerja petani gurem.

d. Mengetahui pengaruh pendidikan terhadap tenaga kerja petani gurem.

(4)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Faktor Produksi Usahatani Gurem Dan Efisiensi Faktor Produksi

Faktor Produksi pada usahatani petani gurem cabai di desa sukalaksana kecamatan banyuresmi kabupaten garut meliputi tenaga kerja, benih, pupuk kandang, pupuk kimia, dan pestisida. Tenaga kerja pada usahatani cabai merah besar di Desa Sukalaksana terdiri dari tenaga kerja dalam dan luar keluarga dengan rata-rata penggunaan 503,5 HOK/ha. Upah buruh tani di Desa Sukalaksana yaitu Rp 50.000 untuk lakilaki, dan Rp 35.000 untuk perempuan.

Berdasar dari artikel berjudul “analisis efisiensi alokatif usahatani cabai merah besar di desa sukalaksana kecamatan banyuresmi kabupaten garut”

dapat diketahui salah satu dari faktor produksi yaitu tenaga kerja memiliki nilai elastisitas produksi sebesar 0,418. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap peningkatan tenaga kerja 1 satuan, maka akan meningkatkan produksi cabai sebesar 0,418 satuan dengan asumsi faktor produksi lainnya tetap.

Berdasarkan hasil uji-t diperoleh nilai t hitung variabel tenaga kerja lebih besar dari ttabel (2,811 > 2,032) dan nilai signifikansi lebih kecil dari alfa (0,008 < 0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa tenaga kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap produksi cabai.

Faktor yang berpengaruh terhadap produksi pendapatan usahatani jagung di Desa Ngrancang, Kecamatan Tambakrejo, Kabupaten Bojonegoro antara lain ketersediaan benih, pupuk kimia, dan tenaga kerja. Sementara variabel tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi jagung di Desa Ngrancang, Kecamatan Tambakrejo, Kabupaten Bojonegoro dengan nilai koefisien regresi 0,185. Ini menunjukkan bahwa penggunaan tenaga kerja di Desa Ngrancang masih bisa ditingkatkan. Tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga cukup sedikit, hanya pada saat musim tanam dan panen jagung tiba banyak tenaga kerja dari luar keluarga. Jadi kegiatan budidaya lainnya dikerjakan sendiri oleh tenaga kerja dari dalam keluarga. Kemudian penggunaan tenaga kerja di Desa Ngrancang juga masih belum efisien karena penggunaan tenaga kerja sudah berlebihan dan perlu dikurangi. Penggunaan

(5)

tenaga kerja yang optimal diperoleh sebesar 24 HKSP, sedangkan rata-rata penggunaan tenaga kerja di Desa Ngrancang sebanyak 30HKSP sehingga menyebabkan biaya yang dikeluarkan untuk upah tenaga kerja semakin banyak pula.

Faktor produksi usahatani cabai di Desa Baturiti seperti pupuk urea, pestida dan tenaga kerja sangat dibuktikan dengan hasil uji regresi menunjukkan F hitung lebih besar dari F tabel. Artinya seecara stimulant faktor produksi berpengaruh terhadap total produksi. Hasil uji koefisien regresi menunjukkan bahwa faktor produksi yang berpengaruh signifikan terhadap jumlah produksi tanaman cabai adalah benih, pupuk NPK, dan tenaga kerja. Sedangkan faktor yang produksi yang tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah produksi adalah luas lahan, pupuk urea, ZA, KCL.

Faktor produksi di Desa Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, tidak ada yang efisien. Hal tersebut dikarenakan penggunaan benih belum efisien karena perbandingan nilai marjinal dan harga benih lebih besar dari satu pada hasil analisis efisiensi. Hal tersebut juga terjadi pada penggunaan faktor produksi pupuk dan tenaga kerja. Agar penggunaannya efisien maka perlu dilakukan pengurangan pada penggunaan pupuk dan tenaga kerja. Sehingga nilai produksi marjinal akan meningkat.

Input produksi yang digunakan petani gurem di Jawa Tengah dalam usaha tani ubi kayu terdiri dari stek, pupuk Urea, pupuk SP-36, pupuk Phonska, pupuk kandang, dan tenaga kerja. Pada usahatani ubi kayu, tenaga kerja digunakan dari saat pengolahan tanah dan pemeliharaan tanaman hingga menjelang panen. Jumlah tenaga kerja yang dipakai dalam satu musim rata- rata 123,24 HOK.

Tenaga kerja untuk usahatani ubi kayu sebagian besar (53,80%) menggunakan tenaga kerja luar keluarga, yaitu untuk kegiatan pengolahan tanah, tanam, dan panen. Pengolahan tanah dan tanam dengan sistem upahan, sedangkan panen biasanya dilakukan dengan cara tebasan atau pembeli yang mengambil/memanen sendiri di kebun. Tenaga kerja keluarga hanya digunakan untuk kegiatan pemeliharaan yang mencakup pemupukan,

(6)

penyiangan, serta pengendalian hama dan penyakit. Penggunaan input produksi yang belum dan tidak optimal menyebabkan petani belum dapat memperoleh hasil dan keuntungan yang optimal. Hal ini dikarenakan usahatani ubi kayu dikembangkan di lahan kering yang memerlukan efisiensi penggunaan input produksi. Selama ini manajemen usahatani berdasarkan pengalaman dan keterbatasan modal, sehingga optimasi dalam menggunakan input produksi belum dapat diperoleh.

B. Pengaruh Kesejateraan Masyarakat Sekitar Terhadap Tenaga Kerja Petani Gurem

1) Kepemilikan

Kepemilikan sawah tentu saja merupakan sumberdaya ekonomi utama bagi mereka. Produktivitas sawahlah yang menjadi sumber kehidupan baik dalam memenuhi kehidupan harian, maupun untuk kepentingan pendidikan anak dan yang lain sebagainya. Realitas itu mendasari kokohnya sikap warga Meunasah Pinto untuk mempertahankan sawahnya, meskipun ia terdesak oleh kebutuhan lainnya. Namun, sebagai masyarakat petani sawah, luas lahan sawah yang dimiliki oleh petani Meunasah Pinto tidaklah terlalu luas. Mereka rata-rata hanya memiliki sawah seluas 0,25 hektar (seperempat hektar).

Berdasarkan hasil survey, jika dilihat pada luas sawah yang dikelola oleh petani, baik petani pemilik maupun petani dengan sistem bagi hasil, maka hanya 3 responden (11.5 %) responden yang mengelola sawah lebih dari 0.25 Hektar, sedangkan selebihnya (88.5 %) hanya mengolah sawah kurang dari 0.25 Hektar. Perubahan pola produksi.

2) Perubahan Pola Bajak Sawah

Perubahan pola produksi yang awalnya menggunakan kerbau sebagai tenaga kerja hewan untuk membajak sawah mengalami banyak perubahan walaupun tidak sepenuhnya dengan adanya tractor. Pelaksanaan bajak sawah dengan kerbau membutuhkan tenaga kerja lebih dari dua orang, sedangkan dengan menggunakan traktor cukup dilakukan satu orang saja. Hal ini memberi dampak pada hilangnya pekerjaan dua orang

(7)

tenaga kerja pada setiap kelompok pembajak sawah. Dalam konteks yang luas kedua tenaga kerja yang pengangguran ini pada akhirnya terpaksa berurbanisasi untuk menghidupi kehidupannya.

Sementara dimensi sosial lain yang mengemuka dalam pergeseran proses pembajakan sawah ini adalah bergesernya komunalitas dalam proses pembajakan. Membajak dengan kerbau dilakukan secara bergotong royong ada pembajak, anggota kelompok sawah yang ikut membantu mempercepat proses bajak agar segera dapat digunakan untuk tanam dan ada ibu-ibu yang menyiapkan makan siang bersama. Kerja komunalitas ini mempertautkan hubungan emosional dan transfer informasi. Namun, pola bajak dengan traktor merubah konstelasi sosial ini menjadi kerja individual.

3) Pergeseran Sistem Tanam

Meu Urup adalah kerja sosial yang dilakukan secara kolektif dan bersifat reprositas dimana setiap anggota yang terlibat saling terkait dalam mengerjakan sawah secara bersama-sama. Pola ini dilakukan secara bergilir dimulai dari sawah salah satu anggota kelompok yang lalu anggota kelompok yang sawahnya telah berhasil ditanami melalui arahan salah satu anggota kelompok yang dituakan akan ikut terlibat menanami sawah anggota kelompok yang lainnya. Praktik penanaman ini dilakukan secara berputar dalam lingkaran anggota kelompok “meu urup” (inner circle) hingga pada akhirnya semua sawah dari setiap anggota kelompok tertanami.

Orang-orang kaya gampoeng (desa) tidak dapat lagi meminta bantuan tenaga kerja dari orang miskin kecuali telah disepakati ongkosnya.

Orang-orang miskin juga tidak dapat berhutang dengan mudah pada orang kaya kecuali si orang kaya yakin bahwa si miskin mampu atau memiliki sumberdaya yang dapat diharapkan untuk membayar hutangnya. Pendek kata, sistim upahan dalam pola pertanian di Meunasah Pinto mengubah pola-pola hubungan sosial yang bersifat emosional mekanik menjadi organik. Hubungan-hubungan sistim tanam yang bersifat komunal, melalui sistim upahan yang baru ini berubah menjadi individualistik.

(8)

4) Perubahan Teknik Panen

Panen yang dikenal dengan sebutan “Keumeukoh” adalah fase yang amat ditunggu-tunggu oleh masyarakat Meunasah Pinto. Masa ini disambut dengan suka cita. Imajinasi kebersamaan dan pendapatan ekonomi untuk menyambung hidup adalah hal yang selalu ada di pelupuk mata.Tatkala masa panen ini tiba, maka masyarakat bergegas membicarakan bagaimana prosesinya dilakukan. Karena panen selalu dilakukan secara gotong royong, maka masyarakat lalu berembuk membentuk kelompok-kelompok kecil. Untuk tiap petak sawah yang luasnya seperempat hektar biasanya dipanen oleh 5 orang. Sementara yang setengah hektar 10 orang dan yang satu hektar dipanen oleh 15 sampai 20 orang

Namun, keumeukoh (potong padi) saat panen tiba ini tidak lagi dilakukan secara gotong royong tetapi menggunakan sistim upahan. Proses

“kemeukoh” saat ini dilakukan oleh ratarata 3 sampai 5 orang untuk setiap petak sawah. Setiap orang berupah Rp. 75000/ orang jika perempuan.

Namun, jika yang “Kemeukoh” itu laki-laki maka upahnya Rp.

100.000/orang. Perbedaan upah ini karena dalam pandangan masyarakat lakilaki lebih cepat dan mempunyai tenaga lebih kuat dibanding dengan perempuan.

5) Intervensi Pemerintah

Sejak dicanangkannya program Revolusi Hijau di Indonesia yang berusaha mencapai swasembada beras yang didukung oleh perkembangan teknologi di dunia, maka beragam inovasi di bidang pertanian mulai dikembangkan. Hal itu juga yang terjadi di Meunasah Pinto,yang antara lain ditandai dengan adanya pembangunan bendungan dan saluran irigasi teknis yang mengalirkan air ke sawah secara kontinyu sehingga sawah dapat diairi sepanjang tahun dan petani tidak lagi tergantung pada air hujan.

Demikian juga dikembangkan teknologi benih padi yang memiliki masa tanam lebih singkat sehingga padi rata-rata dapat dipanen dalam jangka waktu 3-4 bulan setelah ditanam. Dengan demikian petani dapat

(9)

melakukan penanaman dan panen padi 5 kali dalam dua tahun atau rata- rata 2 kali tanam setahun. Selain itu juga mulai dikenal penggunaan traktor untuk mengolah tanah yang menggantikan peran kerbau. Berkembang pula penggunaan aneka pupuk kimia yang berfungsi untuk menyuburkan tanah dan meningkatkan kualitas tanaman padi yang ditanam. Teknologi lainnya yang juga diintroduksi pada pertanian padi sawah di Meunasah Pinto adalah penggunaan obat-obatan untuk mengusir hama, seperti herbisida untuk membasmi rumput pengganggu tanaman padi pestisida untuk mencegah perkembangbiakan dan membunuh hewan pengganggu tanaman, seperti hama tikus, wereng, dan keong.

C. Pengaruh Pendidikan Terhadap Tenaga Kerja Petani

Secara luas pembangunan pertanian bukan hanya proses atau kegiatan menambah produksi pertanian melainkan sebuah proses yang menghasilkan perubahan sosial baik nilai, norma, perilaku, lembaga, sosial, dan sebagainya demi mencapai pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat yang lebih baik. Oleh karenanya, sektor pertanian sesungguhnya bukan hanya dalam konteks on farm, melainkan agribisnis secara luas mencakup kegiatan pertanian hulu sampai hilir, termasuk jasa penunjangnya. Sektor pertanian sesungguhnya mempunyai ruang lingkup yang sangat luas.

Mahasiswa dan tenaga kerja muda sebagai generasi penerus petani harus ditumbuhkan minatnya untuk kembali ke sektor pertanian dan bertanggung jawab dalam peningkatan produksi dan produktivitas pertanian dan penyediaan pangan nasional Analisis data hasil survei dengan unit observasi desa memperoleh kesimpulan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir jumlah tenaga kerja perdesaan yang bekerja dan mencari pekerjaan di kota makin banyak. Sebagian besar berorientasi pada pekerjaan/usaha di sektor nonpertanian, baik di sektor formal maupun nonformal. Faktor yang menyebabkan sektor pertanian semakin ditinggalkan oleh tenaga kerja usia muda dan tenaga kerja muda berpendidikan, baik yang bersifat push factor

(10)

(pendorong) atau faktor internal, dan pull factor (faktor penarik) atau faktor eksternal.

1. Faktor Internal AtauPush Factor(Pendorong)

Faktor internal merupakan faktor yang lebih banyak disebabkan oleh kondisi internal individu atau sektor pertanian yang kurang memberikan daya tarik kepada tenaga kerja muda untuk berusaha di pertanian Faktor-faktor tersebut antara lain :

a. Rata-rata luas lahan sempit atau bahkan tidak memiliki lahan

b. Sektor pertanian dipandang kurang memberikan prestise sosial, kotor, dan berisiko.

c. Mismatch antara kualitas pendidikan dan kesempatan kerja yang tersedia di desa, yang dicerminkan oleh semakin banyaknya pemuda di desa yang bersekolah ke jenjang pendidikan lebih tinggi sehingga makin selektif terhadap pekerjaan.

d. Anggapan pertanian berisiko tinggi, kurang memberikan jaminan tingkat, stabilitas, dan kontinyuitas pendapatan.

e. Tingkat upah dan pendapatan di pertanian rendah, terutama dengan status petani gurem.

f. Kesempatan kerja di desa kurang, diversifikasi usaha nonpertanian dan industri pertanian di desa kurang/tidak berkembang.

g. Suksesi pengelolaan usaha tani kepada anak rendah, yaitu kurang dari 40%, karena sebagian besar orang tua juga tidak menginginkan anak-anak mereka bekerja seperti mereka.

h. Belum ada kebijakan insentif khusus untuk petani muda/pemula.

2. Faktor Eksternal AtauPull Factor(Faktor Penarik)

Faktor eksternal, seperti insentif bekerja di sektor nonpertanian lebih tinggi, dan persepsi tenaga kerja muda sektor nonpertanian di perkotaan lebih bergengsi. Diantara faktor-faktornya sebagai berikut :

a. Lebih senang merantau ke kota meskipun hanya menjadi kuli bangunan atau bekerja di pekerjaan nonformal lainnya

(11)

b. Bagi yang berpendidikan tinggi, mereka bekerja di pekerjaan formal seperti menjadi pegawai negeri, atau di sektor industri, jasa, dan lainnya.

c. Semakin tingginya tingkat pendidikan maka semakin kritis dan selektif untuk memilih bidang pekerjaan yang dianggap lebih rasional.

d. Pengaruh kota sebagai pusat pembangunan dan tersedianya infrastruktur.

Para petani menyekolahkan anaknya disekolah dan mendapat pendidikan yang baik dengan harapan kedepanya bisa merubah ekonomi keluarga. Bertambahnya jumlah anggota keluarga dan tetapnya luas lahan untuk bertani juga menjadi alasan semakin mengecilnya kepemilikan lahan produksi karena dibagi anggota keluarga yang lain. Biasanya petani akan membagi tanah tersebut dan hanya menyisakan salah satu anaknya untuk meneruskan bertani atau bahkan tidak sama sekali dan menyuruh mereka bekerja selain menjadi petani.

Terdapat upaya untuk menarik tenaga kerja muda ke sektor pertanian diantaranya sebagai berikut :

a. Mengubah Persepsi Generasi Muda Terhadap Pertanian

Citra negative sector pertanian identic dengan kondisi lingkungan yang tidak menarik, tidak bergengsi, dan tidak memberikan penghasilan yang kurang memadai, harus diubah menjadi persepsi positif tersebut perlu diperbaiki dengan memberikan dukungan dan pemahaman bahwa industri pertanian dapat menjadi inklusif serta bekerja sebagai petani juga merupakan suatu karir dan akan diperoleh reward yang memadai. Sektor pertanian merupakan sektor yang menarik dan menjanjikan apabila dikelola dengan tekun dan sungguh-sungguh.

b. Inovasi Teknologi

Inovasi teknologi sangat terkait dengan generasi muda, yakni menggugah ketertarikan pemuda di sektor pertanian. Model-model

(12)

budi daya urban farming tersebut memadukan antara keterampilan dan seni yang umumnya digemari oleh anak muda. Demikian pula inovasi informasi pada media sosial sangat akrab bagi pemuda.

Model inovasi urban farming yang disebarkan melalui media sosial (internet, twitter, facebook), memiliki efek viral yang luar biasa dalam menyebarkan inovasi urban farming.

c. Insentif

Insentif perlu diberikan khususnya kepada petani muda atau petani pemula yang berusaha untuk menarik minat mereka berusaha di sektor pertanian. Berbagai program insentif di bidang fiskal melalui kebijakan subsidi input dan subsidi suku bunga kredit selama ini memang telah diberikan oleh Pemerintah Indonesia, namun tidak secara khusus ditujukan untuk pemuda atau petani pemula agar tertarik bekerja di sektor pertanian.

d. Pertanian Modern

Program modernisasi pertanian akan mengubah pertanian konvensional yang menggunakan peralatan manual menjadi pertanian mekanisasi. Dengan menggunakan mekanisasi pertanian, kegiatan on farm tidak lagi dipandang sebagai kegiatan yang kumuh dan kurang membanggakan, yang dengan demikian diharapkan akan menarik minat tenaga kerja muda bekerja di pertanianon farm.

e. Pelatihan dan Peningkatan Kapasitas

Menyadari peran penting dan strategisnya generasi muda, secara khusus untuk sektor Pertanian, Kementerian Pertanian melalui Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP 2016b) juga melakukan pembinaan terhadap generasi muda, melalui berbagai program dan kegiatan yang diarahkan untuk menyiapkan petani muda wirausaha maupun dalam rangka membangun kecintaan dan penghargaan terhadap dunia pertanian pada generasi muda umumnya.

(13)

f. Memperkenalkan Pertanian Kepada Generasi Muda Sejak Dini Upaya menumbuhkan minat dan ketertarikan generasi muda ke sektor pertanian juga dapat dilakukan sejak pendidikan dasar. Anak- anak berhak mendapatkan informasi dan pengetahuan yang berkenaan dengan pertanian.

(14)

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan pada makalah ini, dapat ditarik kesimpulan berupa :

1. Kebanyakan faktor produksi yang berpengaruh pada kegiatan petani gurem adalah tenaga kerja, benih, pupuk, dan pestisida.

2. Benih, pupuk, dan tenaga kerja berpengaruh positif terhadap produksi.

Semakin tinggi penggunaan benih dan tenaga kerja maka semakin tinggi pula tingkat produksinya. Penerimaan dan tingkat ketersediaan tenaga kerja berpengaruh positif terhadap pendapatan, sebaliknya biaya benih, biaya pupuk dan biaya tenaga kerja berpengaruh negatif. Tetapi tidak semua berdampak positif dibuktikan pada petani gurem dalam ketidak optimalan penggunaan input dapat menyebabkan kerugian.

3. Pengaruhi kepemilikan lahan yang mana semakin sempit meningkatkan ketersediaan tenaga kerja petani serta dengan adanya perubahan pola produksi yang semakin lama semakin maju yang mana adanya penggunaan teknologi serta adanya system upah (system pemerintah) yang mengurangi atau alokasi penggunaan tenaga kerja untuk menekan biaya produksi untuk mendapatkan keuntungan secara maksimal.

4. Pemuda sebagai generasi penerus untuk keberlanjutan sektor pertanian.

Namun, petani muda enggan bekerja di pertanian sehingga jumlah petani muda semakin menurun dan jumlah petani tua meningkat. Penurunan ini erat kaitannya dengan sempitnya luas penguasaan lahan pertanian dan persepsi umum terhadap sektor pertanian yang kurang baik. Menyikapi perubahan ketenagakerjaan tersebut, perlu dilakukan upaya untuk menarik minat pemuda bekerja di pertanian di antaranya adalah dimulai dengan upaya mengubah persepsi generasi muda bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang menarik dan menjanjikan apabila dikelola dengan tekun dan sungguh-sungguh.

(15)

B. Saran

Saran yang bisa diberikan berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan diatas diantaranya :

1. Perlunya meningkatkan efisiensi faktor produksi melalui peningkatan tenaga kerja guna mengoptimalkan hasil produksi dari kegiatan usahatani.

2. Penggunaan benih tanaman juga harus ditambahkan agar dapat mencapai efisiensi produksi

(16)

V. DAFTAR PUSTAKA

Maliati, N., Nirzalim. 2017. Produktivitas pertanian dan involusi kesejahteraan petani (Studi Kasus di Meunasah Pinto Aceh Utara). Jurnal Sosiologi Pedesaan 2(3): 106-119.

Mustadjab, M., Indriyati. 2016. Tongkat Ketersediaan Faktor-Faktor Produksi Di Tingkat Petani Dan Pengaruhnya Terhadap Produksi Dan Pendapatan Pada Usaha Tani Jagung (Zea mays L.).Jurnal Habitat27(2): 94-102.

Sahara, D., Supriyo, A. 2016. Optimasi Penggunaan Input Produksi Usahatani Ubi Kayu Pada Lahan Kering Di Jawa Tengah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian20(2): 91-100.

Sangurjana, I., Widyantara, I., Dewi, I. 2016. Efektivitas Dan Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi Usahatani Cabai Besar Di Desa Baturiti Kecamatan Baturiti, Tabanan, Bali.Jurnal Agribisnis dan Agrowisata5(1):

1-11.

Sonia, T., Karyani, T., Susanto, A. 2020. Analisis Efisiensi Alokatif Usahatani Cabai Merah Besar Di Desa Sukalaksana Kecamatan Banyuresmi Kabupaten Garut. Jurnal Pemikiran Masyarakat Ilmiah Berwawasan Agribisnis6(1): 19-32.

Susilowati, S. Fenomena penuaan petani dan berkurangnya tenga kerja muda serta implikasi bagi kebijakan pembangunan pertanian. Jurnal Penelitian Agro Ekonomi 34(1): 35-55.

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun nilai neraca perdagangan sektor pertanian Indonesia mengalami defisit tetapi pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian dari tahun 2000-2015 cukup fluktuatif dengan

Meskipun sebagian dari kenaikan ini disebabkan oleh meningkatnya nilai mata uang dolar, namun dengan rendah atau hampir tidak adanya komponen impor di sektor pertanian, maka

Meski demikian petani tetap mengusahakan karena tanaman bawang merah sampai saat ini masih menjadi primadona bagi petani di indonesia Risiko dalam usahatani disebabkan

Angka ini memperlihatkan bahwa faktor tenaga kerja, investasi pada sektor pertanian dan luas lahan mempengaruhi produksi sektor pertanian Sumatera Barat sebesar

Setelah dilihat dari kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dari faktor internal dan eksternal, ternyata sektor pertanian memiliki potensi internal yang kuat, maka faktor-faktor

Pada level pendidikan magister ekonomi, khususnya Ekonomi Pertanian, materi pembelajaran yang disusun dalam modul ini akan sangat relevan untuk memberikan dasar teori

Kondisi tersebut kemungkinan disebabkan oleh jumlah sumber daya manusia yang kurang, fasilitas atau prasarana yang masih belum lengkap, faktor lingkungan baik itu lingkungan internal

Maka dapat disimpulkan bahwa H4 diterima artinya secara simultan daya dukung lahan dan pertumbuhan sektor pertanian berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Pengaruh Daya Dukung Lahan