• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH JEJAK ARSITEKTUR ISLAM DI NUSANTARA: MASJID AGUNG DEMAK

N/A
N/A
Anissa Nimass

Academic year: 2024

Membagikan "MAKALAH JEJAK ARSITEKTUR ISLAM DI NUSANTARA: MASJID AGUNG DEMAK "

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

JEJAK ARSITEKTUR ISLAM DI NUSANTARA:

MASJID AGUNG DEMAK

DISUSUN OLEH :

ANNISA NIMAS SYAHARANI (210606110046)

MATA KULIAH SEJARAH PERADABAN ISLAM JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS NEGERI ISLAM MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2022

(2)

2

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Jejak Arsitektur Islam di Nusantara: Masjid Agung Demak”. Pada kesempatan kali ini, saya mengucapkan terimakasih khususnya kepada Bapak Dr. M. Mukhlis Fahruddin, M.S.I, selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.

Makalah “Jejak Arsitektur Islam di Nusantara: Masjid Agung Demak” ini ditulis dengan sebaik mungkin, tetapi bukan tidak mungkin jika dalam penulisan makalah masih terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat menghargai dan menerima dengan senang hati kritik dan saran yang diberikan agar dapat dijadikan masukan demi sempurnanya makalah ini dan makalah-makalah di masa yang akan datang.

Malang, 3 April 2022

Penulis

(3)

3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... 2

DAFTAR ISI ... 3

BAB I PENDAHULUAN ... 4

1.1 Latar Belakang ... 4

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan ... 4

BAB II ARSITEKTUR ISLAM DI NUSANTARA ... 6

2.1 Arsitektur Islam ... 6

2.2 Sejarah Arsitektur Islam di Nusantara ... 6

BAB III SEJARAH DAN ARSITEKTUR MASJID AGUNG DEMAK ... 7

3.1 Sejarah Masjid Agung Demak ... 8

3.2 Tipologi Bentuk Masjid Agung Demak ... 8

3.3 Tipologi Ruang Masjid Agung Demak ... 12

BAB IV FILOSOFIS MASJID AGUNG DEMAK DAN PILAR PERADABAN ... 14

BAB V PENUTUP ... 18

5.1 Kesimpulan ... 18

DAFTAR PUSTAKA ... 19

(4)

4

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Islam telah berhasil membuat peradaban baru bagi masyarakat dari bangsa yang telah ditaklukkan semasa penyebarannya selama berabad-abad lalu. Bahkan Islam juga berhasil memberikan perubahan yang besar bagi peradaban dunia. Bermula dari tanah Arab, yang kemudian tersebar luas ke wilayah Timur melalui Mesopotamia, Persia, Turki hingga ke wilayah Asia tepatnya daerah lembah sungai Indus di India. Sementara proses penyebaran Islam ke wilayah Barat menembus hingga ke Maroko. Penyebaran Islam terus berlanjut melalui berbagai benua dan Samudra hingga tiba di wilayah Cina dan sampai pada Indonesia, yang kemudian juga mampu menjangkau hingga wilayah pada benua Afrika dan Eropa.

Sebagai salah satu peradaban terbesar di dunia ini, Islam telah turut mengambil peran dalam memajukan peradaban dunia salah satunya melalui karya-karya arsitekturnya. Kesinambungan yang harmonis antara manusia, lingkungan dan Penciptanya merupakan salah satu nilai-nilai yang termuat dalam arsitektur Islam. Arsitektur Islam di berbagai wilayah di dunia pada dasarnya mengacu pada satu tujuan, yakni memperbaiki peradaban umat Islam dan merupakan bentuk perwujudan penyerahan diri seorang hamba kepada Tuhannya. Meskipun demikian, arsitektur Islam yang dimiliki oleh setiap negara tidaklah sama, tergantung pada konteks wilayah dan fungsional masing-masing.

Proses Islamisasi di wilayah Nusantara dilakukan melalui pendekatan terhadap realitas yang telah ada di wilayah tersebut dan tidak pernah terlepas dari pengakulturasian dengan budaya setempat. Dengan ini, proses islamisasi di wilayah Nusantara perlahan dapat menembus hingga melekat pada setiap indisvidu dengan mudah dan damai tanpa adanya kekerasan. Dalam prosesnya inilah yang banyak mewariskan jejak-jejak peninggalan sejarah yang masih dapat kita jumpai hingga dewasa ini. Sebagai contoh, peninggalan yang diwariskan oleh Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu Masjid Agung Demak yang juga merupakan salah satu masjid tertua di Nusantara . 1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa itu arsitektur Islam?

1.2.2 Bagaimana sejarah arsitektur Islam di Nusantara?

1.2.3 Bagaimana sejarah Masjid Agung Demak?

1.2.4 Bagaimana tipologi bentuk Masjid Agung Demak?

1.2.5 Bagaimana tipologi ruang Masjid Agung Demak?

1.2.6 Bgaimana makna filosofis dan pilar peradaban dalam arsitektur Masjid Agung Demak?

1.3 Tujuan

1.3.1 Mendeskripsikan arsitektur Islam.

(5)

5 1.3.2 Mendeskripsikan sejarah arsitektur Islam di Nusantara.

1.3.3 Mendeskripsikan sejarah Masjid Agung Demak.

1.3.4 Mendeskripsikan tipologi bentuk Masjid Agung Demak.

1.3.5 Mendeskripsikan tipologi ruang Masjid Agung Demak.

1.3.6 Mendeskripsikan makna filosofis dan pilar peradaban dalam arsitektur Masjid Agung Demak

(6)

6

BAB II

ARSITEKTUR ISLAM DI NUSANTARA

2.1 Arsitektur Islam

Arsitektur Islam merupakan bentuk perpaduan antara kebudayaan dan penyerahan diri seorang hamba kepada Tuhannya, yang berada dalam kesinambungan hubungan antara manusia, lingkungan, dan Penciptanya.

Arsitektur Islam mengutarakan relasi geometris yang kompleks, juga hierarki bentuk dan ornmaen. Setiap detail dalam arsitektur Islam memuat unsur simbolisme yang memiliki makna mendalam. Arsitektur Islam juga dimaknai sebagai media untuk mengekspresikan kekaguman seorang hamba terhadap segala keindahan yang tidak terlepas dari kepasrahan dan penyerahan diri seorang hamba akan keagungan dan kebesaran Allah SWT.

Arsitektur Islam berkembang selaras dengan bekembangnya peradaban manusia. Dengan segala keindahan dan kedalaman maknanya, arsitektur Islam dapat menjadi tonggak peradaban bagi dunia. Budaya berarsitektur dalam Islam telah ada sejak masa Nabi Adam as, dengan dibangunnya Ka’bah. Kemudian, pembangunan Ka’bah kembali dietruskan oleh Nabi Ibrahim as bersama putranya, Nabi Isa as. Pada periode selanjutnya, Nabi Muhammad melanjutkan pembangunan Ka’bah sebagai pusat peribadatan bagi umat manusia kepada Allah SWT.

Arsitektur Islam diaplikasikan dengan bangunan-bangunan yang difungsikan sebagai fasilitas peribadatan dan kegiatan keislaman yang diwujudkan dengan arsitektur religi ataupun non-religi. Diawali dengan munculnya bangunan masjid sebagai bangunan religi. Kemudian muncul arsitektur berupa bangunan diluar bangunan masjid yang bersifat non-religi namun masih termasuk dalam konteks keislaman yang difungsikan untuk fasilitas bagi kebutuhan umat manusia. Sebagai contoh, bangunan istana atau keraton, makam, benteng pertahanan, dan lain sebagainya.

2.2 Sejarah Arsitektur Islam di Nusantara

Bermula dari tanah Arab, yang kemudian tersebar luas ke wilayah Timur melalui Mesopotamia, Persia, Turki hingga ke wilayah Asia tepatnya daerah lembah sungai Indus di India. Sementara proses penyebaran Islam ke wilayah Barat menembus hingga ke Maroko. Penyebaran Islam terus berlanjut melalui berbagai benua dan Samudra hingga tiba di wilayah Cina dan sampai pada Indonesia, yang kemudian juga mampu menjangkau hingga wilayah pada benua Afrika dan Eropa. Dengan kehadiran Islam ke Indonesia pada abad XII, memberikan pengaruh transformasi pada arsitektur yang cenderung dialogis dan teknologis. Pada konteks arsitektur, kehadiran islam berorientasi untuk memberikan pemahaman kesesuaian bentuk arsitektur dengan arsitektur yang telah ada melalui proses akulturasi dengan budaya setempat dan nilai-nilai keislaman.

(7)

7 Arsitektur awal masjid-masjid di Nusantara merupakan hasil dari akulturasi antara tradisi bangunan di Jawa ataupun wilayah lainnya di Nusantara dengan arsitektur yang memuat nilai-nilai keislaman. Bangunan keislaman klasik di Nusantara khususnya di pulau Jawa, mayoritas merupakan hasil dari arsitektur Islam yang mendapatkan pengaruh arsitektur Hindu-Budha. Yang pertama ialah bangunan masjid, tampak pada penggunaan atap tumpang, tiang keliling pada bagian luar, serambi tambahan pada sisi depan, pembagian bangunan masjid menjadi tiga bagian (dasar, utama, dan atas), menara, dan letak pemakaman yang tak jauh dari masjid atau bahkan berada di dalam lingkungan masjid. Atap tajug pada masjid kuno di Nusantara pada dasarnya merupakan penerusan dari tradisi sebelumnya yaitu tradisi Hindu-Budha. Masjid agung mayoritas dibangun di sebelah barat alun-alun yang menjadi tempat berkumpulnya masyarakat.

Selain itu, masjid agung biasanya juga menyatu dengan lokasi keraton. Sehingga tercipta kesatuan antara masjid, keraton dan alun-alun. Hal ini menyimbolkan persatuan antara penguasa dan rakyat dalam perkara pemerintahan dan dapat mendukung proses penyebaran Islam.

BAB III

SEJARAH DAN ARSITEKTUR MASJID AGUNG DEMAK

Masjid Agung Demak sebagai jejak peradaban arsitektur Islam di Nusantara, yang juga merupakan salah satu masjid tertua dan masjid agung pertama di Nusantara. Masjid Agung Demak terletak di tengah pusat kota Demak, lebih tepatnya di Jalan Sultan Fatah, Kauman, Kelurahan Bintoro, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi Masjid Agung Demak berada di sisi barat alun-alun, sebagaimana Gambar 3.1

Gambar 3.1 – Peta Satelit Masjid Agung Demak dan sekitarnya.

Sumber: ZAKI, M. (2017)

(8)

8 3.1 Sejarah Masjid Agung Demak

Sebagai salah satu masjid tertua di Nusantara, Masjid Agung Demak mempunyai nilai historis yang sangat penting dan berpengaruh bagi perkembangan Islam di Nusantara. Masjid Agung Demak merupakan situs peninggalan dari Kesultanan Demak. Masjid ini didirikan oleh Raden Patah yang merupakan pendiri dan pemimpin pertama Kesultanan Demak, bersama Walisongo, terkhusus Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said. Pembangunan masjid ini dilaksanakan atas tiga tahapan. Tahapan yang pertama pada tahun 1466 M, dimana pada saat itu masih berwujud bangunan pondok pesantren yang diasuh oleh Sunan Ampel dengan Raden Patah yaitu Pondok Pesantren Glagahwangi. Kemudian pada tahap yang kedua tahun 1477 M, kembali dibangun sebagai Masjid Kadipaten Glagahwangi, Demak. Pada tahapan yang ketiga yakni pada tahun 1478, masjid direnovasi oleh Raden Patah ketika beliau diangkat sebagai Sultan Demak.

3.2 Tipologi Bentuk Masjid Agung Demak

Masjid Agung Demak memiliki karakteristik dan ciri yang kental akan kekhasan arsitektur Islam Nusantara. Sehingga, Masjid Agung Demak dijadikan sebagai prototipe masjid-masjid lainnya di Pulau Jawa, khususnya pada periode abad XVI dan XVII. Salah satu hal yang menjadi ciri khas dan pembeda bagi masjid ini dengan masjid di Timur Tengah adalah penggunaan atap tumpang yang bersusun tiga. Dengan bentuk geometris piramida bersusun tiga yang berbentuk segitiga sama kaki pada atap, dengan susunan semakin keatas semakin kecil pada bangunan induk atau ndalem dan atap limasan pada bangunan serampi atau pendopo. Tipe masjid yang seperti inilah yang disebut dengan masjid tipe tajug, yakni penggunaan atap model piramida, namun pada bagian serambinya menggunakan atap limasan. Tipe tajug menjadi tipologi utama dari masjid ini yang bermula dari konsep kosmologi Jawa. Tipe tajug ini kemudian menjadi prototipe atau tipe standar bagi masjid-masjid di Jawa.

Masjid Agung Demak memiliki tipologi tertentu yang menjadi karakteristik atau ciri yang khas bagi masjid tersebut. Masjid terbagi atas tiga bagian vertikal, diantaranya; kepala, badan, dan kaki, bagian-bagian tersebut sebagaimana yang tampak pada Gambar 3.2

Gambar 3.2 – Tiga Bagian Vertikal Masjid Agung Demak.

Sumber: ZAKI, M. (2017)

(9)

9 a) Struktur Denah

Denah pada Masjid Agung Demak terbagi atas dua ruangan mendasar. Pertama, bangunan induk atau ndalem yang merupakan ruangan utama shalat dan sifatnya tertutup. Kedua, bangunan serambi atau pendopo yang dapat berfungsi sebagai ruang shalat dan kegiatan lain seperti musyawarah dan pengajian, sifatnya terbuka. Struktur denah Masjid Agung Demak membentuk susunan linier dengan oposisi biner dan tambahan orientasi ke arah kiblat yang ditandai dengan adanya mihrab. (Gambar 3.3)

Secara geometris, struktur denah Masjid Agung Demak mempengaruhi bentuk denah masjid dan bentuk atap. Struktur denah masjid juga mempengaruhi aspek fungsional dan sifat denah. Denah bangunan induk atau ndalem berbentuk persegi, sedangkan pada bangunan serambi atau pendopo berbentuk persegipanjang yang membentang dari arah utara ke selatan.

b) Dinding

Dinding pada Masjid Agung Demak menaungi denah bangunan induk atau ndalem yang berbentuk persegi, juga tambahan ruang untuk mihrab. Dinding pada masjid ini menjadi partisi antara ruang secara

Gambar 3.3 – Denah Masjid Agung Demak.

Sumber: Hermanto, H.

Gambar 3.4 – Dinding Bangunan Induk Masjid Sumber: ZAKI, M. (2017)

(10)

10 massive. Sehingga, antara bangunan induk dengan bangunan serambi dapat terlihat jelas wilayah teritorinya. (Gambar 3.4)

Pada bagian depan atau sisi entrance menuju bangunan induk terdapat tiga pintu dan dua jendela. Pintu utama yang ada pada sisi tengah dikenal sebagai pintu Bledheg.

c) Atap

Atap Masjid Agung Demak menggunakan natap yang terdiri atas atap tajug pada bangunan induk atau ndalem dan atap limasan pada bangunan serambi atau pendopo. Struktur atap tajug pada masjid ini disokong dan diikat oleh soko atau kolom-kolom yang terdiri atas soko guru dan soko pengarak di sekelilingnya. Yang kemudian diteruskan ke pondasi bangunan yang berwujud umpak. Sebagaimana atap tajug, atap limasan pada bangunan serambi juga ditopang oleh delapan soko majapahit dan soko pengarak di sekelilingnya, dan juga memiliki bubungan atau molo searah utara-selatan masjid.

Adanya atap tajug pada Masjid Agung Demak menciptakan nuansa spiritualitas dan kesakralan yang memiliki peran sebagai tempat peribadatan dan pemberi identitas yang khas sebagai masjid kuno Jawa. Terdapat mustaka atau mahkota berwujud serupa dengan daun pohon sukun pada ujung atap tajug masjid ini. Mustaka tersebut melambangkan puncak kedudukan. Sementara pada bagian cungkup atap pada ujung puncak masjid dihiasi dengan mahkota berbentuk organik, yang diatasnya juga ditambahkan lafadz Allah dalam kaligrafi arab, sebagaimana yang ada pada Gambar 3.6.

Gambar 3.5 – Atap Tajug dan Limasan Masjid Agung Demak Sumber: ZAKI, M. (2017)

Gambar 3.6 – Mustaka Masjid Agung Demak Sumber: ZAKI, M. (2017)

(11)

11 d) Soko

Soko merupakan kolom-kolom yang berperan sebagai penyokong bangunan masjid. Soko juga merupakan struktur utama dan penentu identitas ruang dan symbol kebudayaan. Empat Soko Guru yang berada pada bangunan induk berbentuk silinder dengan material kayu jati dan menopang atap tajug. Pada sekelilingnya terdapat dua belas soko pengarak yang berbentuk silinder dengan material bata atau beton.

Soko ini menopang atap tajug bagian tengah. Sementara soko emperan yang ada pada bagian teras juga menyokong atap tajug bagian bawah.

Masing-masing soko pada masjid ini pada dasarnya berfungsi sama tetapi pada jenjang atap yang berbeda, sebagaimana pada Gambar 3.7

Pada masing-masing soko tertulis nama-nama Sunan yang dipercaya turut menyumbang soko tersebut. Sunan-sunan tersebut diantaranya; Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga. Masing-masing Soko Guru ditandai dengan nama keempat Sunan tersebut, seperti pada Gambar 3.8

Soko Majapahit merupakan kolom-kolom yang ada pada bangunan serambi atau pendopo yang berperan sebagai penopang atap limasan. Terdapat delapan Soko Majapahit yang disekelilingnya oleh dua puluh delapan soko pengarak. Soko Majapahit menggunakan material kayu jati yang diukir dengan motif khas Majapahit. Pada bagian

Gambar 3.7 – Soko-soko Penopang Atap Tajug.

Sumber: ZAKI, M. (2017)

Gambar 3.8– Soko Guru Masjid Agung Demak.

Sumber: Sadooen, A.

(12)

12 kaki, disokong oleh umpak batu. Sedangkan soko pengaraknya terbuat dari material beton dan juga disokong oleh umpak.

e) Pondasi

Sebagaimana ciri khas masjid Jawa yang memiliki bentuk pondasi persegi dan massive yang sedikit tinggi diatas dasar yang padat.

Pondasi pada kolom-kolom Masjid Agung Demak berdiri diatas umpak yang hanya diletakkan pada dasar tanah yang padat. Dengan demikian, posisi lantai bangunan langsung berada dibawah tanah yang padat, sehingga tidak terdapat ruang. Namun, umpak pada bangunan induk tidak tampak karena tertutup lantai masjid.

Sedangkan umpak pada Soko Majapahit beserta soko pengaraknya dapat terlihat jelas sebagaimana Gambar 3.9. Umpak pada bagian bangunan serambi dilengkapi dengan ukiran dari material batu. Juga dilengkapi dengan ornament dengan motif padma yang berasal dari stilisasi huruf Arab, yaitu mim ( م ), (ha), ( ح ), mim ( م ), dan dhal ( د ), yang dibaca Muhammad, seperti pada Gambar 3.10.

3.3 Tipologi Ruang Masjid Agung Demak

Secara keseluruhan, model ruang linier Masjid Agung Demak terdiri atas bangunan induk atau ndalem dan bangunan serambi atau pendopo. Antara keduanya mempunyai teritori dengan cirinya tersendiri dengan kesesuaian terhadap ruang-ruangnya juga dengan pelbagai elemen dan sifatnya.

Gambar 3.9 – Pondasi Umpak Soko Majapahit Sumber: ZAKI, M. (2017)

Gambar 3.10 – Stilisasi Motif Padma Umpak.

Sumber: ZAKI, M. (2017)

(13)

13 a) Ruang Utama

Bangunan induk yang menjadi ruang utama bagi Masjid Agung Demak ditandai dengan denah berbentuk persegi, empat soko guru dibagian tengah bangunan, dinding bata pada tiap sisinya, atap tajug bersusun tiga serta adanya pintu dan jendela.

Empat Soko Guru yang berada pada bagian tengah ruang utama menyiratkan konsep axis mundi, yaitu poros bangunan induk masjid.

Terdapat konsepsi pajupat dan pancer yang termasuk kedalam bagian kosmologi Jawa, sebagaimana Gambar 3.12. Ruang utama untuk shalat menjadi bagian terpenting dan menjadi poros Masjid Agung Demak.

b) Ruang Serambi

Ruang serambi atau pendopo pada Masjid Agung Demak berbentuk denah persegi Panjang, posisinya berada pada sisi timur ruang utama. Pendopo merupakan ruang terbuka yang dapat difungsikan sebagai tempat shalat, pengajian, musyawarah dan bersosialisasi. Ruang pendopo masjid bersifat profan dan terbuka, dengan bangunan tanpa dinding. Delapan soko Majapahit pada tengah ruangan ditambah soko disekelilingnya, ditutup atap limasan.

Gambar 3.11 – Aksonometri Bangunan Induk dan Serambi Sumber: ZAKI, M. (2017)

Gambar 3.12 – Ruang Utama Masjid Agung Demak.

Sumber: ZAKI, M. (2017)

(14)

14 c) Ruang Pawestren

Pawestren merupakan ruangan yang khusus dibuat untuk menampung jama’ah wanita. Pawestren dibuat pada tahun 1866, tepatnya pada periode K.R.M.A.Arya Purbaningrat. Ruang Pawestren sibuat dalam rangka memenuhi kebutuhan area privat bagi jama’ah wanita .Ruang pawestren berada di sisi selatan bangunan induk atau ruang utama.

Ruangan ini ditopang oleh delapan soko, dan dinding pada sisi barat dan selatan.

BAB IV

FILOSOFIS MASJID AGUNG DEMAK DAN PILAR PERADABAN

Arsitektur Islam berpacu pada konsep bahwa lingkungan binaan yang dibangun harus dapat menjamin akan keselamatan di dunia dan di akhirat, baik eksistensi fisik dan non-fisiknya, lahir dan batinnya, objek dan subjeknya, raga dan jiwanya. Paduan antara dua budaya yang tertuang dalam arsitektur Masjid Agung Demak telah selaras dengan konsep keislaman, ditampilkan sesuai dengan budaya lokal Jawa, tanpa menghilangkan hakikat dan fungsinya sebagai tempat peribadatan umat muslim. Unsur-unsur yang termuat dalam Masjid Agung Demak bersifat transenden, yang berkaitan dengan iman dan kepercayaan terhadap Sang Pencipta. Sebagai identitas dan simbol kesyi’aran Islam, Masjid Agung Demak menjadi pusat kegiatan dan pengajaran kegamaan.

Masjid Agung Demak menjadi simbol dari kebudayaan Islam di Nusantara. Unsur-unsur keislaman telah menjadi sinkretik dengan unsur-unsur arsitektur Nusantara, sehingga makna yang termuat dalam arsitektur Masjid Agung Demak menunjukkan adanya unsur-unsur keislaman. Paduan antara dua hal yang berbeda yang integratif dapat menciptakan keterkaitan yang harmonis pada konsep hubungan manusia dengan Allah (hablumminallah) dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablumminannas). Keterkaitan integratif itu memiliki keterkaitan dengan dualisme yang masuk dalam konsep kosmologi Jawa pada arsitektur masjid. Arsitektur yang dimiliki oleh Masjid Agung Demak dapat dipahami sebagai bahasa simbolis dalam suatu kerangka kearifan lokal Nusantara, khususnya Jawa, yang berlaku pada masyrakat Jawa, sehingga dapat terakomodir dengan apik dan diwujudkan hingga menjadi sebuah masjid.

Oleh karena itu, makna-makna simbolik yang mendalam terpancar dari setiap elemen-elemen masjid, yang memberikan pengetahuan secara eksplisit ataupun implisit mengenai segala sesuatu yang ingin diutarakan melalui Masjid Agung Demak. Sebagai masjid yang merupakan hasil pengakulturasian antara arsitektur Islam dengan arsitektur Nusantara, tepatnya budaya Jawa, berarti Masjid Agung

(15)

15 Demak turut serta dalam memberikan manifestasi entitas masjid dengan menampakkan nilai-nilai kearifan lokal atau local wisdom serta pemaknaan pada unsur-unsurnya, baik pada perwujudan bentuk maupun ruangnya.

Bentuk Atap

Banyak ditemukan makna dan nilai filosofis yang ditampakkan dalam atap tajug, yang merupakan atap utama Masjid Agung Demak:

− Vertikalitas bentuk atap tajug, menyiratkan adanya unsur transenden berkaitan dengan tujuan beribadah kepada Allah.

Sedangkan horizontalitas bentuk atap limasan yang ditaungkan dalam wujud bubungan, menyiratkan adanya unsur immanen berkaitan dengan relasi antar sesama manusia dan relasi dengan lingkungannya. (Gambar 4.1)

− Atap tajug merupakan perwujudan konsep kosmologi dengan empat soko guru yang menyimbolkan pajupat (empat penjuru mata angin) dan atap tajug dengan mahkota dan lampu gantung yang melambangkan pancer. Keempat soko guru melambangkan empat kekuatan yang seimbang, sehingga mampu menopang atap tajug. Pancer dipancarkan pada poros yang dilambangkan dengan lampu gantung, secara vertical segaris dengan mahkota pada puncak atap tajug. Sehingga keseluruhan elemen terpancar dari perwujudan kosmologi Jawa yang berbunyi “kiblat papat lima pancer” atau pajupat-pancer.

− Secara filosofis, atap tajug bersusun tiga melambangkan makna islam, iman, dan ihsan, pemaknaan ini dilandasi oleh hadits Jibril dalam HR. Muslim no.8. Sehingga makna yang disimbolkan dengan tiga susunan atap tajug pada Masjid Agung Demak tersebut mewakili tiga dasar dimensi Islam yang sekaligus mewakili tiga tingkatan pencapaian kedudukan seorang muslim (Gambar 4.2)

Gambar 4.1 – Atap Masjid Agung Demak.

Sumber: ZAKI, M. (2017)

(16)

16

Mustaka atau Mahkota

Pada Masjid Agung Demak, mustaka atau mahkota yang berada pada ujung atap tajug merupakan lambang dari sampainya manusia kepada Tuhannya. Oleh sebab itu, pencapaian pada konteks transenden ini merupakan tujuan terakhir dari ibadah. Hal ini juga selaras dengan filosofi Jawa yang berbunyi “sankan paraning dumadi – manunggaling kawula gusti”, yang dimaknai dengan asal usul dan tujuan akhir dari kehidupan manusia, yaitu kembali kepada Tuhannya.

Soko Guru dan Soko Majapahit

Keterkaitan antara Soko Guru dan Soko Majapahit menghadirkan nilai- nilai kearifan bentuk pada elemen masjid, dimana proses terbangunnya masjid ini dimulai dari soko-soko tersebut. Soko Guru memunculkan keseimbangan, keselarasan dan harmonisasi melalui perwujudan kosmologi. Sedangkan pada Soko Majapahit menghadirkan keterkaitan historis dengan Kerajaan Majapahit dan asal-usul Raden Patah sebagai pendiri dan pemimpin pertama Kesultanan Demak, yang juga merupakan pendiri Masjid Agung Demak. Pondasi umpak yang menjadi landasan Soko Majapahit terlukis motif lafal Nabi Muhammad SAW yang telah distilir, yang berarti bahwa Nabi Muhammad merupakan panutan umat muslim dan menjadikan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup. Dengan demikian, terdapat aspek historis yang tetap dipertahankan namun masih tetap berpijak pada landasan ajaran Islam.

Ndalem atau Bangunan Induk

Ndalem menjadi pusat dari keseluruhan bangunan Masjid Agung Demak. Hubungan antara ndalem dengan atap tajug mewakili aspek transenden (hablumminallah) dan pendopo dengan atap limasan mewakili aspek imanen (hablumminannas). Ndalem memiliki poros tengah yang merupakan axis mundi dari bangunan masjid, sehingga ruangan ini mewakili konsep kosmologi yang merupakan pokok utama dalam berarsitektur Jawa. Bangunan induk atau ndalem membawa makna spasial yang kuat, yang menyiratkan adanya keseimbangan lahir dan batin, pencapaian kebaikan hidup di dunia dan di akhirat.

(Gambar 4.3)

Gambar 4.2 – Makna Atap Tajug Masjid Agung Demak.

Sumber: ZAKI, M. (2017)

(17)

17

Lampu Gantung Ruang Utama

Lampu gantung atau telupak (telu sing cemepak) digambarkan sebagai dodho paesi, yakni ruang kesadaran manusia dimana manusia memiliki ruang qalbu yang menjadi penentu kebaikan ataupun kebutukan manusia itu sendiri yang menjadi pancer, yang mampu menyeimbangkan pemikiran, menyelaraskan perasaan, dan mengharmonikan hati. Ketika ketiga perbuatan tersebut diwujudkan maka manusia akan memahami darimana asalnya dan kemana tujuannya kembali (Gambar4.4). Makna lainnya adalah menggambarkan kesatuan elemen-elemen utama Masjid Agung Demak yang berkaitan dengan konsep kosmologi arsitektur Jawa.

Gambar 4.3 – Ruang Utama Masjid Agung Demak.

Sumber: ZAKI, M. (2017)

Gambar 4.4 – Ruang Utama Masjid Agung Demak.

Sumber: ZAKI, M. (2017)

(18)

18

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Arsitektur Islam merupakan bentuk perpaduan antara kebudayaan dan penyerahan diri seorang hamba kepada Tuhannya, yang berada dalam kesinambungan hubungan antara manusia, lingkungan, dan Penciptanya. Setiap detail dalam arsitektur Islam memuat unsur simbolisme yang memiliki makna mendalam. Sebagai salah satu peradaban terbesar di dunia ini, Islam telah turut mengambil peran dalam memajukan peradaban dunia salah satunya melalui karya-karya arsitekturnya.

Proses Islamisasi di wilayah Nusantara dilakukan melalui pendekatan terhadap realitas yang telah ada di wilayah tersebut dan tidak pernah terlepas dari pengakulturasian dengan budaya setempat. Dalam prosesnya inilah yang banyak mewariskan jejak-jejak peninggalan sejarah yang masih dapat kita jumpai hingga dewasa ini. Arsitektur awal masjid-masjid di Nusantara merupakan hasil dari akulturasi antara tradisi bangunan di Jawa ataupun wilayah lainnya di Nusantara dengan arsitektur yang memuat nilai-nilai keislaman. Sebagai contoh, peninggalan yang diwariskan oleh Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu Masjid Agung Demak yang juga merupakan salah satu masjid tertua di Nusantara.

Masjid Agung Demak memiliki karakteristik dan ciri yang kental akan kekhasan arsitektur Islam Nusantara. Sehingga, Masjid Agung Demak dijadikan sebagai prototipe masjid-masjid lainnya di Pulau Jawa, khususnya pada periode abad XVI dan XVII. Beberapa ciri khas Masjid Agung Demak diantaranya lokasi masjid yang berada di sebelah barat alun-alun, penggunaan atap tajug bersusun tiga pada bangunan induk atau ndalem, penggunaan atap limasan pada bangunan serambi atau pendopo, penggunaan Soko Guru dan Soko Majapahit yang kemudian diteruskan pada pondasi umpak, adanya mahkota atau mustaka dan makna kosmologi Jawa pada arsitekturnya.

Paduan antara dua hal yang berbeda yang integratif dapat menciptakan keterkaitan yang harmonis pada konsep hubungan manusia dengan Allah (hablumminallah) dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablumminannas). Makna-makna simbolik yang mendalam terpancar dari setiap elemen-elemen masjid, yang memberikan pengetahuan secara eksplisit ataupun implisit mengenai segala sesuatu yang ingin diutarakan melalui Masjid Agung Demak. Sebagai masjid yang merupakan hasil pengakulturasian antara arsitektur Islam dengan arsitektur Nusantara, tepatnya budaya Jawa, berarti Masjid Agung Demak turut serta dalam memberikan manifestasi entitas masjid dengan menampakkan nilai-nilai kearifan lokal atau local wisdom serta pemaknaan pada unsur-unsurnya, baik pada perwujudan bentuk maupun ruangnya

(19)

19

DAFTAR PUSTAKA

ZAKI, M. (2017). Kearifan Lokal Jawa Pada Wujud Bentuk dan Ruang Arsitektur Masjid Tradisional Jawa (Studi Kasus: Masjid Agung Demak).

Hidayatulloh, H. (2020). Perkembangan Arsitektur Isam: Mengenal Bentuk Arsitektur Islam di Nusantara. Ngabari: Jurnal Studi Islam dan Sosial, 13(2), 15- 33.

Zainuri, A. (2021). Integrasi Islam dan Budaya Lokal dalam Seni Arsitektur Masjid Kuno di Jawa: Sebuah Tinjauan Umum. heritage, 2(2), 125-144.

Fikriarini, A. (2010). Arsitektur Islam: Seni Ruang dalam Peradaban Islam. El Harakah, 12(3), 194.

Fairuz Sabiq, M. S. I. (2021). Sunan Kalijaga Dan Mitos Masjid Agung Demak.

Penerbit Adab.

Fadhilah, N. (2020). Jejak Peradaban dan Hukum Islam Kerajaan Demak. al- Mawarid Jurnal Syari'ah & Hukum, 2(1), 33-46.

Referensi

Dokumen terkait

Bahan untuk penilaian kondisi bangunan secara visual yaitu bangunan bersejarah yang umurnya lebih dari 50 tahun yakni Masjid Agung Demak, tally sheet daftar

Tujuan dari skripsi ini adalah: (1) Mengetahui nilai-nilai yang mendorong orang berziarah ke Masjid Agung Demak, (2) Mengetahui motivasi dan respon peziarah melakukan wisata

Tujuan dari skripsi ini adalah: (1) Mengetahui nilai-nilai yang mendorong orang berziarah ke Masjid Agung Demak, (2) Mengetahui motivasi dan respon peziarah melakukan wisata

Tujuan dalam penelitian ini adalah mendapatkan gambaran/pemahaman struktur bentang lebar Masjid Agung Demak yang terbuat dari bahan kayu, memberikan pengetahuan

Hasil yang didapatkan adalah ciri-ciri masjid wali yang meliputi bangunannya ditopang empat saka guru, atapnya limasan bersusun tiga (Tuimpang/Meru), di depan bangunan

Masjid Agung Demak merupakan salah satu masjid yang banyak dikunjungi oleh wisatawan baik lokal maupun mancanegara dan pada umumnya tujuan utama dari para wisatawan tersebut adalah

Hasil temuan penelitian ini adalah, pertama, argumentasi kelompok yang menghendaki pengubahan saf arah kiblat Masjid Agung Demak disesuaikan dengan hasil pengukuran

Dari diskusi dalam tulisan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Masjid Agung Demak didirikan dengan konsep dan nilai – nilai lama yang mengakar pada masyarakat Jawa sebelum