MAKALAH
KESATUNAN BERBAHASA DALAM MASYARAKAT (BAHASA INDONESIA)
DOSEN PENGAMPUH:
Dr. Sitti Rahmawati, S.S., M.Pd.
DISUSUN OLEH:
Erni Kurniawati (10620220022)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT serta salam dan cinta kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW. Atas segala rahmat dan karunia Allah SWT sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul “KESANTUNAN BERBAHASA DALAM MASYARAKAT”
Tugas ini kami susun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Bahasa Indosia. Yaitu yang berkaitan tentang kesantunan dalm berbahasa di Masyarakat. Bagaiman pegertian, sifat, ciri-ciri, factor-fakto dan cara berperilaku dan bertutur dengan benar dan sopan dalam berbahasa.
Makassar, 13 september 2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belaka
Kesantunan berbahasa berkaitan erat dengan penggunaan bahasa yang diujarkan masyarakat penutur bahasa. dengan individu dalam masyarakat yang melakukan interaksi bahasa, baik sebagai penutur maupun mitra tutur hendaknya memahami dan mematuhi kaidah kesantunan berbahasa demi keharmonisan diantaranya dalam upaya menghindari onflik dan gesekan bahasa. Kesantunan berbahasa dilatarbelakangi oleh adanya konteks yang berkaitan dengan tempat, waktu, situasi, dan latar belakang penutur baik itu budaya, sosial, pekerjaan dan sebagainya.
Berdasarkan pengalaman pribadi penulis mengunjungi berbagai daerah dengan latar belakang budaya berbeda, terkadang aplikasi kesantunan berbahasa yang diwujudkan dalam ujarannya itu berbeda-beda. Namun secara umum watak orang Indonesia dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kesantunan dalam berbahasa.
Beragam tempat dan situasi lisan (misalkan di sekolah, terminal, siaran langsung televisi, seminar, dan sebagainya), ataukah bentuknya secara tulisan (pada media sosial, karya sastra, jurnal, pesan teks, dan sebagainya) harus mematuhi prinsip kesantunan berbahasa. Telah banyak tentunya penelitian yang terkait kesantunan berbahasa yang mencoba mengelaborasi pemahaman akan pentingnya kesantunan berbahasa diterapkan dalam berbagai onteks kehidupan. Berdasarkan asumsi tersebut maka penulis menyajikan makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami merumuskan masalah-masalah yang akan dibahas antara lain:
1. Bagaimanakah kesantunan berbahasa ? 2. Bagaimanakah ciri-ciri kesantunan berbahasa?
3. Bagaimanakah faktor-faktor yang mempengaruhi kesantunan berbahasa?
4. Bagaimanakah studi kasus kesantunan berbahasan?
C. Tujuan Masalah
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini adalah 1. Untuk mengetahui Bagaimana kesantunan Berbahasa 2. Untuk mengetahui ciri-ciri kesantunan berbahasa
3. Untuk mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi kesantunan berbahasa 4. Untuk mengetahui Bagaimana studi kasus kesantunan berbahasa
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Kesantunan Berbahasa
Kesantunan Berbahasa Setiap individu dalam sebuah masyarakat mesti menjunjung tinggi kesantunan berbahasa. Dikarenakan kesantuna berbahasa mencerminkan keluhuran budaya masyarakat tersebut. Pramujiono et al. (2020) menjelaskan bahwa kesantunan tidak hanya berkaitan dengan aspek personal, tetapi juga berkaitan dengan nilai-nilai sosial budaya yang disepakati oleh suatu masyarakat sehingga terbentuk suatu masyarakat yang beradab/(masyarakat madani).
Penggunaan bahasa tidak hanya sebatas memperhatikan ragam yang baik dan benar, akan tetapi juga mematuhi ketepatan penyampaian makna dan maksud tujuan yang ingin disampaikan kepada mitra tutur secara santun. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, santun merujuk pada definisi:
(1) halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar dan tenang; sopan,
(2) penuh rasa belas kasihan; suka menolong. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial.
Kesantunan berbahasa merupakan tatacara berprilaku yang disepakati oleh suatu masyarakat sebagai aturan perilaku sosial. Kesantunan tidak hanya dapat dilihat dari sisi penutur saja, tetapi juga harus memperhatikan kesan lawan tutur yang
mendengarkan hal yang disampaikan penutur (Agustini, 2017). Kridalaksana (2008:11) mendefinisikan kesantunan berbahasa adalah hal memperlihatkan kesadaran akan martabat orang lain dalam berbahasa, baik saat menggunakan bahasa
lisan maupun bahasa tulis. Menurut Chaer (2010:11) menjelaskan bahwa sebuah tuturan disebut santun kalau ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan itu memberi pilihan tindakan kepada lawan tutur, dan lawan tutur itu menjadi senang.
Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa.
B. Ciri-Ciri Kesantunan Berbahasa
Berdasarkan keenam maksim kesantunan yang dikemukakan Leech, Chaer (2010: 56-57) memberikan ciri kesantunan sebuah tuturan sebagai berikut :
1.Semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginannya untuk bersikap santun kepada lawan tuturnya.
2. Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung, lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
3.Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih santun dibandingkan dengan kalimat perintah (imperatif).
Zamzani, et al. (2012) merumuskan beberapa ciri tuturan yang baik berdasarkan prinsip kesantunan Leech, yakni sebagai berik
1. Tuturan yang menguntungkan orang lain
2. Tuturan yang meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri 3. Tuturan yang menghormati orang lain
4. Tuturan yang merendahkan hati sendiri
5. Tuturan yang memaksimalkan kecocokan tuturan dengan orang lain
6. Tuturan yang memaksimalkan rasa simpati pada orang lain
Pranowo (2009) dalam Agustini (2017) menguraikan ciri kesantunan berbahasa bisa nampak pada indikator kesantunan berbahasa. Sebuah indikator diperlukan untuk dapat menjadi tolak ukur pencapaian suatu hal yang akan dinilai. Indikator kesantunan adalah penanda yang dapat dijadikan penentu apakah pemakaian bahasa Indonesia si penutur itu santun ataukah tidak.
1. Indikator Kesantunan Menurut Dell Hymes (1978)
a. Setting and Scene (waktu dan tempat berlangsungnya komunikasi).
b. Participants (pihak pihak yang terlibat dalam pertuturan).
c. Ends (maksud dan tujuan pertuturan).
d. Act Sequence (bentuk dan isi ujaran).
e. Key (cara penyampaian).
f. Instrumentalities (jalur bahasa yang digunakan).
g. Norms (norma atau aturan berinteraksi).
h. Genres (ragam bahasa yang digunakan).
C. Faktor Penyebab Ketidaksantunan
Berbahasa
Ketidaksantunan bisa terjadi ketika penutur tidak mampu mengendalikan apa yang mereka bicarakan sehingga bahasa yang digunakan menjadi tidak santun. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Pranowo. yang menjelaskan beberapa faktor pemakaian bahasa yang tidak santun di antaranya yaitu:
1) menyampaikan kritik secara langsung dengan berkata kasar;
2) emosi pada diri penutur;
3) protektif terhadap pendapat penutur;
4) penutur sengaja memojokkan mitra tutur;
5) menuduh atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur. Faktor yang mempengaruhi kesantunan dalam bertutur dibedakan menjadi dua yaitu:
1 faktor kebahasaan seperti, intonasi, nada, pilihan kata
2 faktor nonkebahasaan seperti, pranata sosial budaya masyarakat, sikap penutur, topik yang dibicarakan.
Mislikhah (2020) menjelaskan faktor yang menyebabkan pemakaian bahasa menjadi tidak santun adalah sebagai berikut.
1. Penutur menyampaikan kritik secara langsung dengan kata atau frasa kasar.
Komunikasi menjadi tidak santun jika penutur ketika bertutur menyampaikan kritik secara langsung kepada mitra tutur. Sebagai contoh, ungkapan-ungkapan yang sering kita dengar dari demo mahasiswa yang mengkritik pimpinan dengan mengunakan istilah- istilah kasar. Komunikasi dengan cara seperti itu dinilai tidak santun
karena dapat menyinggung perasaan mitra tutur yang menjadi sasaran kritik.
2 Penutur didorong rasa emosi ketika bertutur Ketika bertutur, penutur didorong rasa emosi yang berlebihan sehingga terkesan marah kepada mitra tutur
3.Penutur protektif terhadap pendapatnya
Ketika bertutur, seorang penutur kadang-kadang protektif terhadap pendapatnya. Hal demikian dimaksudkan agar tuturan mitra tutur tidak dipercaya oleh pihak lain.
4. Penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur Ketika bertutur, penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur. Perhatikan contoh di bawah ini. Mereka sudah buta mata hati nuraninya. Apa mereka tidak sadar kalau BBM naik, harga barang-barang lainnya bakal membubung. Akibatnya, rakyat semakin tercekik. Tuturan di atas terkesan sangat keras dan intinya memojokkan mitra tutur. Tuturan dengan kata-kata keras dan kasar seperti itu menunjukkan bahwa penutur berbicara dengan nada marah, rasa jengkel, dan memojokkan mitra tutur.
5. Penutur menyampaikan tuduhan atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur
Tuturan menjadi tidak santun jika penutur terkesan menyampaikan kecurigaan terhadap mitra tutur. Hal ini dapat dilihat pada data tuturan di bawah ini. …kawasan hutan lindung dan konservasi biasanya dialihfungsikan menjadi areal perkebunan, pertambangan, atau hanya diambil kayunya lalu ditelantarkan. Tuturan di atas berisi tuduhan penutur kepada mitra tutur atas dasar kecurigaan penutur terhadap yang dilakukan oleh mitra tutur, seperti “hanya diambil kayunya lalu ditelantarkan”, Tuturan demikian menjadi tidak santun karena isi tuturan tidak didukung dengan bukti yang kuat, tetapi hanya atas dasar kecurigaan. Atas dasar identifikasi di atas, ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidaksantunan pemakaian Bahasa Indonesia. Pertama, ada orang yang memang tidak tahu kaidah kesantunan yang harus dipakai ketika berbicara. Jika faktor ini yang menjadi penyebabnya, terapi yang harus dilakukan adalah memperkenalkan kaidah kesantunan dan mengajarkan pemakaian kaidah tersebut dalam berkomunikasi. Hal ini biasanya terjadi pada
anak kecil yang memang belum cukup pengetahuannya mengenai kesantunan berbahasa Indonesia. Kedua, ada orang yang sulit meninggalkan kebiasaan lama dalam budaya bahasa pertama sehingga masih terbawa dalam kebiasaan baru (berbahasa Indonesia).
Jika faktor ini yang menjadi penyebabnya, terapi yang harus dilakukan adalah secara perlahan-lahan meninggalkan kebiasaan lama dan menyesuaikan dengan kebiasaan baru.
D. Studi Kasus Kesantunan Berbahasa
Bentuk kesantunan berbahasa terbagi dalam dua bentuk yakni bentuk kesantunan linguistis dan bentuk kesantunan pragmatis. Bentuk kesantunan linguistis antar siswa di SMA Negeri I Dulupi Kabupaten Boalemo dalam ragam resmi dan ragam pergaulan meliputi pilihan kata (diksi) yang tepat, intonasi, dan struktur kalimat yang menunjukkan kesantunan berbahasa. Bentuk kesantunan pragmatis dalam ragam resmi ditandai dengan penggunaan majas perumpamaan sedangkan dalam ragam pergaulan ditandai dengan penggunaan majas metonimia.
Kesantunan berbahasa di SMA Negeri 1 Dulupi Kabupaten Boalemo berdasarkan prinsip kesantuan Leech ditemukan beberapa maksim, yaitu:
(1) maksim kebijaksanaan, (2) maksim kedermawanan, (3) maksim kesederhanaan, (4) maksim kesepakatan, dan (5) maksim kesimpatian.
Sementara Pelanggaran maksim menurut prinsip kesantunan berbahasa menurut Leech yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, dan maksim kesederhanaan.
a. Bentuk kesantunan berbahasa antar siswa di lingkungan sekolah Salah satu faktor penentu bentuk kesantunan yaitu penggunaan pilihan kata
(diksi) yang tepat sesuai dengan peristiwa tutur dan lawan tutur. Interaksi dengan siswa dalam ragam resmi menggunakan pilihan kata (diksi) yang sesuai dengan situasi pertuturan. Sementara dalam ragam pergaulan, terdapat dua pilihan kata yang digunakan yakni kata “jangan” dan
“belum”. Kata “jangan” digunakan sebagai larangan. Dalam konteks tuturan di atas, kata “jangan” bukan sekedar larangan tetapi juga memunculkan daya bahasa. Kata “jangan” juga dipersepsi bukan sekedar dari maknanya tetapi melalui daya bahasanya. Kata “jangan” dipersepsi sebagai “larangan sambil menyuruh introspeksi diri”.
b. Bentuk Kesantunan Berbahasa Siswa dalam Berinteraksi dengan Guru
Penggunaan pilihan kata (diksi) “beliau”, “maaf”, “dananya”,
“perkenalkan” memiliki kadar yang lebih santun jika dibandingkan dengan kata “dia”, “uangnya”, dan “beritahukan”. Meskipun dalam kata- kata tersebut sering digunakan akan tetapi dalam konteks tuturan tertentu kata-kata tersebut masih dirasa belum mencerminkan kesantunan.
Penggunaan kata “beliau” memberikan kesan bahwa penutur sangat menghormati orang yang sedang dibicarakannya
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesantunan berbahasa adalah pengungkapan pikiran dan perasaan dengan halus, baik dan sopan dalam interaksi komunikasi verbal. Kesantunan berbahasa mencerminkan budi halus dan pekerti luhur seseorang dengan tidak menyakiti perasaan dan memberikan pilihan kepada orang lain. Prinsip kesantunan berbahasa menurut teori Brown dan Levinson itu bermakna sebuah sikap kepedulian kepada wajah atau muka, baik milik penutur, maupun milik mitra tutur. Wajah dalam hal ini bukan berarti rupa fisik, akan tetapi public image, atau harga diri. Leech mengajukan enam maksim kesantunan yaitu maksim kebijaksanaan (tact), maksim kedermawanan (generosity), maksim pujian (approbation), maksim kerendahanhatian (modesty), maksim kesetujuan (agreement), maksim simpati
B. Saran
Pada makalah ini kita telah diberikan pemahaman mengenai kesantunan berbahasa. Sangat besar harapan penyusun agar nantinya makalah ini dapat membantu pembaca untuk lebih memahami baik konsep maupun penerapan sosiolinguistik itu sendiri di masayarakat. Selain itu, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca agar pada penulisan makalah selanjutnya hal itu dapat diperbaiki. Tak luput penyusun menitipkan masukan sebagai berikut: