• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESANTUNAN BERBAHASA JAWA SISWA SMP MUHAMMADIYAH 1 SURAKARTA (SUATU KAJIAN PRAGMATIK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KESANTUNAN BERBAHASA JAWA SISWA SMP MUHAMMADIYAH 1 SURAKARTA (SUATU KAJIAN PRAGMATIK)"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

KESANTUNAN BERBAHASA JAWA

SISWA SMP MUHAMMADIYAH 1 SURAKARTA

(SUATU KAJIAN PRAGMATIK)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh

EKO PURNOMO

C0108027

JURUSAN SASTRA DAERAH

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)
(3)
(4)

commit to user

MOTTO

Jadilah seperti karang di lautan yang kuat dihantam ombak dan kerjakanlah hal

yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain, karena hidup hanyalah sekali.

Ingat hanya pada Allah apapun dan di manapun kita berada kepada Dia-lah tempat

meminta dan memohon.

“Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalatmu Sebagai

penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (Al-Baqarah:

(5)

commit to user

PERNYATAAN

Nama : Eko Purnomo

NIM : C0108027

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Kesantunan Berbahasa

Jawa Siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta (Suatu Kajian Pragmatik) adalah

betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain.

Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan

ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia

menerima sanksi akademis berupa pencabutan skripsi dan gelar yang telah

diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, Juli 2012

Yang membuat pernyataan,

(6)

commit to user

PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan untuk:

1. Bapak dan Ibu tercinta, yang selalu menjadi penyemangat bagiku,

mengalirkan doanya untukku, dan membimbingku untuk mencapai

kebahagiaan.

2. Adikku yang kusayangi Sigit Sutrisno yang selalu menghiburku.

3. Alm. Mbah Mawintana yang selalu mendoakanku untuk jadi orang yang

sukses.

4. Untuk dhik Ita yang selalu menemani diwaktu suka dan duka. Waktu kita

(7)

commit to user

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulilah kepada Allah SWT atas rahmat-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi dengan judul

Kesantunan Berbahasa Jawa Siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta ini

merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Jurusan

Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Proses penyusunan skripsi ini tidak bisa lepas dari bantuan berbagai pihak.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini penyusun menyampaikan ucapan terima

kasih kepada:

1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni

Rupa yang memberikan kesempatan untuk menyusun skripsi ini.

2. Drs. Supardjo, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra

dan Seni Rupa yang telah memberikan ilmunya serta kesempatan kepada

penulis untuk menyusun skripsi ini.

3. Dra. Dyah Padmaningsih, M.Hum., selaku Sekretaris Jurusan Sastra Daerah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa, pembimbing akademik, dan pembimbing

kedua yang telah berkenan untuk memberikan kesempatan kepada penulis

untuk menyusun skripsi ini, mencurahkan perhatian, memberikan bekal ilmu,

memberikan nasihat kepada penulis selama studi di Jurusan Sastra Daerah,

dan membimbing penulisan skripsi ini sampai selesai.

4. Drs. Sri Supiyarno, M.A., selaku Koordinat Bidang Linguistik Jurusan Sastra

Daerah yang telah berkenan untuk mencurahkan perhatian dan memberikan

bekal ilmu.

5. Prof. Dr. Sumarlam, M.S., selaku pembimbing pertama yang telah berkenan

memberikan bimbingan kepada penulis dengan penuh perhatian dan

kebijaksanaannya, serta selalu membantu penulis untuk menyelesaikan

skripsi.

6. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen Jurusan Sastra Daerah yang telah

(8)

commit to user

7. Kepala dan staf Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa maupun Pusat

Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan kemudahan dalam

pelayanan kepada penulis, khususnya selama menyelesaikan skripsi ini.

8. Kakek dan Nenek di Adiwarno dan Rangkah, terima kasih atas doa dan

harapannya kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini dan meraih

cita-cita.

9. Dhik Ita yang selalu membantu, menemani, dan memberi dukungan untuk

terselesaikannya skripsi ini. Semoga kita bisa sukses bersama.

10. Semua anggota SMP Muhammadiyah 1 Surakarta yang sangat baik sehingga

mempermudah penulis dalam memperoleh data, dan semua pihak yang telah

berjasa dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan ilmu

dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis berharap saran dan kritik

yang dapat membangun guna penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat

memberikan manfaat bagi penyusun khususnya dan pembaca pada umumnya.

Surakarta, Juli 2012

(9)

commit to user

DAFTAR ISI

JUDUL ... i

PERSETUJUAN ... ii

PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... iv

PERNYATAAN ... v

PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR SINGKATAN ... xiii

ABSTRAK ... xiv

SARI PATHI ... xv

ABSTRACT ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 8

(10)

commit to user

A. Pragmatik ... 10

B. Tindak Tutur ... 11

D. Prinsip Kerjasama ... 13

E. Prinsup Kesantunan ... 16

F. Skala Kesantunan Leech ... 19

G. Faktor Penentu Kesantunan dan Ketaksantunan ... 21

H. SMP Muhammadiyah 1 Surakarta ... 28

I. Kerangka Pikir ... 31

BAB III METODE PENELITIAN ... 33

A. Jenis Penelitian ... 33

B. Lokasi Penelitian ... 34

C. Data dan Sumber Data ... 34

D. Populasi dan Sampel ... 35

E. Alat Penelitian ... 35

F. Metode dan Teknik Penyediaan Data ... 36

G. Metode Analisis Data ... 37

H. Metode Penyajian Data ... 43

BAB IV HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 44

A. Analisis Data ... 44

1. Bentuk Kesantunan dan Ketaksantunan ... 44

a. Bentuk Kesantunan Berbahasa Jawa ... 45

(11)

commit to user

2) Pemenuhan Maksim Penerimaan ... 47

3) Pemenuhan Maksim Kemurahan ... 49

4) Pemenuhan Maksin Kerendahhatian ... 52

5) Pemenuhan Maksim Kecocokan ... 52

6) Pemenuhan Maksim Kesimpatian ... 54

b. Bentuk Ketaksantunan Berbahasa Jawa ... 55

1) Pelanggaran Maksim Kebijaksanaan ... 56

2) Pelanggaran Maksim Penerimaan ... 58

3) Pelanggaran Maksim Kemurahan ... 60

4) Pelanggaran Maksim Kerendahhatian ... 63

5) Pelanggaran Maksim Kecocokan ... 65

6) Pelanggaran Maksim Kesimpatian ... 67

2. Faktor Penentu Kesantunan ... 68

a. Faktor Kebahasaan ... 69

1) Pemakaian Diksi yang Tepat ... 69

2) Pemakaian Gaya Bahasa yang Santun ... 71

3) Pemakaian Struktur Kalimat yang Benar dan Baik ... 71

4) Aspek Intonasi ... 73

5) Aspek Nada Bicara ... 75

b. Faktor Nonkebahasaan ... 76

1) Pranata Sosial ... 76

(12)

commit to user

a. Menolak Secara Tidak Langsung ... 68

b. Menghormati Mitra Tutur ... 69

c. Menguntungkan Mitra Tutur ... 81

d. Memberi Perintah Secara Tidak Langsung ... 82

B. Pembahasan ... 84

BAB V PENUTUP ... 89

A. Simpulan ... 89

B. Saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA... 91

(13)

commit to user

DAFTAR SINGKATAN DAN GAMBAR

A. Daftar Singkatan

MT : Mitra tutur

O1 : Orang ke-1

O2 : Orang ke-2

O3 : Orang yang dibicarakan

SM : SMP Muhammadiyah 1 Surakarta

P : Penutur

B. Daftar Tanda

Cetak miring : menandai data

Cetak miring tebal : menandai data yang dianalisis

Tanda kurung (...) : menandai keterangan

Tanda petik tunggal ‘...’ : menandai makna dari satuan linggual dan terjemahan

Tanda petik “...” : menandai kutipan langsung

Tanda garis miring /...// : menandai keterangan jeda pembicaraan

C. Daftar Gambar

(14)

commit to user

BAB

I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam hidup bermasyarakat tidak lepas dari kegiatan berkomunikasi. Dalam berkomunikasi sarana yang digunakan adalah bahasa. Menurut Harimurti Kridalaksana (2008: 24) bahasa adalah sisitem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Oleh karena itu bahasa merupakan hal yang hakiki (Aslinda dan Syafyahya, 2007: 2). Menurut Revhing Koen (dalam Aslinda dan Syafyahya, 2007: 2) hakikat bahasa bersifat (a) mengganti, (b) individual, dan (d) sebagai alat komunikasi. Dalam hal berkomunikasi bahasa mempunyai peranan yang sangat penting. Bahasa berfungsi sebagai media perantara dalam berkomunikasi antar manusia.

(15)

commit to user

siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta sebagian besar berkomunikasi dengan bahasa Jawa.

Dalam komunikasi antara penutur dan mitra tutur akan sama-sama melakukan proses penerjemahan pesan tuturan baik dari penutur maupun mitra tutur. Menurut Leech untuk membantu penerjemahan pesan sebuah tutran diperlukan adanya tingkat pengalaman yang sama agar pesan yang disampaikan oleh penutur maupun mitra tutur dapat diterima dengan baik (Leech, 1993: 20). Untuk menjalin hubungan yang baik perlu menjaga perkataan, seperti yang dikatakan pepatah Jawa yang berbunyi ajining dhiri dumunung ana ing lathiyang artinya harga diri seseorang tergantung pada ucapannya. Oleh karena itu, kita perlu memperhatikan sopan atau tidaknya ucapan kita. Kejadian semacam ini dipelajari dalam cabang ilmu bahasa yang disebut pragmatik.

Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari maksud dari sebuah tuturan. Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca) (Yule, 2006: 3). Selain itu, Kunjana Rahardi (2005: 49) berpendapat bahwa pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatar belakangi bahasa itu. Jadi, pragmatik mempelajari maksud dari tuturan yang terikat konteks.

(16)

commit to user

oleh penutur dan mitra tutur untuk membantu menafsirkan makna tuturan (Leech, 1993: 20). Jadi, konteks merupakan unsur luar bahasa yang digunakan untuk membantu memaknai sebuah tuturan.

Dalam pragmatik dikenal dengan adanya Prinsip Kerja Sama yang dikemukakan oleh Grice (dalam Wijana dan Rohmadi, 2009: 44) dan juga Leech pada tahun 1983 dalam bukunya yang diterjemahkan oleh M. D. D. Oka mengemukakan Prinsip Kesantunan (PS) yang melengkapi PK (Prinsip Kerja Sama) Grice. Siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta memakai bahasa Jawa sebagai alat komunikasi yang utama untuk berkomunikasi dengan sesama teman-temannya, contohnya pada tuturan berikut.

(data 1)

O1 : “Sapa sing wis tau weruh wit kambil?”

‘Siapa yang sudah pernah melihat pohon kelapa?’ O2 : “Aku Pak.”

‘Saya Pak.’ O1 : “Neng ndi?”

‘Di mana?’

O2 : “Neng Grand Mall pak.” ‘Di Grand Mall Pak.’

(SM/21-01-2012)

(17)

commit to user

pada faktanya pohon kelapa di Grand Mall tidak ada hanya replikanya. Akan tetapi, bila dilihat dari skala kesantunan Leech yakni Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan, tuturan tersebut terjadi antara guru dan siswa sehingga tuturan tersebut dikatakan tidak santun hal ini jarak sosial antara O2 dan O1 kurang jauh. Melihat fenomena di atas, kesantunan berbahasa sangatlah penting dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti kesantunan berbahasa.

Peneliti lain yang telah melakukan penelitian mengenai kesantunan bahasa antara lain:

1. Asim Gunarwan (1994) (dalam pelba 7: 1994: 814) dengan judul “Kesantunan Negatif di kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta”. Penelitian tersebut bertujuan; (a) Menyebarluaskan aliran fungsionalisme di dalam linguistik kepada mahasiswa-mahasiswa yang berminat; (b) Mencari bukti apakah memang ada kesejajaran, seperti yang tersirat di dalam teori Brown dan Levison (1978), di antara Ke(tak)langsungan dan kesantunan; (c) Membuktikan setidak-tidaknya mencari petunjuk, apakah dwibahasawan itu bikultural ataukah hanya monokultural.

(18)

commit to user

dan teknik kesantunan direktif andik (anak didik) SD menurut latar budaya daerah.

3. Nurul Masfufah (2010) dengan judul “Kesantunan Bentuk Tuturan Direktif di Lingkungan SMA N 1 Surakarta (Kajian Sosiopragmatik). Dalam penelitian tersebut mengkaji bentuk kesantunan dan ketaksantunan, prinsip dan strategi kesantunan bentuk tuturan direktif yang digunakan dilingkungan SMA N 1 Surakarta, urutan atau peringkat berbahasa menurut persepsi siswa, dan faktor yang mementukan kesantunan berbahasa.

4. Dyah Ayu Nur Ismayawati(2009) dengan judul“Kesantunan berbahasa Jawa oleh Keturunan Arab di Pasar Benteng Surakarta (Suatu Kajian Pragmatik). Mengkaji tentang wujud, faktor penentu, dan fungsi kesantunan berbahasa Jawa pedagang Arab di Pasar Beteng Surakarta. 5. Wiji Nurkayati (2010) dengan judul “Kesantunan Berbahasa Jawa Kuli

Panggul di Pasar Legi Surakarta ((suatu kajian Pragmatik)” dalam penelitian tersebut mengkaji tentang wujud kesantunan berbahasa Jawa para kuli panggul di pasar legi Surakarta, prinsip kerjasama yang dilakukan, dan daya pragmatik tindak tutur bahasa Jawa.

(19)

commit to user

1. SMP Muhammadiyah 1 Surakarta merupakan salah satu sekolah yang ada di Surakarta yang mayoritas siswanya menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi yang utama.

2. SMP Muhammadiyah 1 Surakarta, merupakan SMP Muhammadiayah terbaik di Solo, sehingga dimungkinkan kesantunan berbahasa yang digunakan oleh siswanya memiliki tingkat kesantunan yang tinggi.

3. Penelitian kesantunan berbahasa belum pernah dilakukan terutama dalam ranah pendidikan terutama di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.

B. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini penulis membatasi masalah pada kesantunan berbahasa Jawa yang digunakan siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta, dalam analisis akan dikaji bentuk kesantunan suatu ujaran yang dipandang dari segi kaidah sosial, fungsi prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan yang digunakan dalam sebuah ujaran dan faktor penentu kesantunan dari ujaran yang digunakan siswa untuk berkomunikasi.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, penelitian ini mengajukan tiga masalah, yaitu:

a. Bagaimanakah bentuk kesantunan dan ketaksantunan tuturan bahasa Jawa yang digunakan siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta?

(20)

commit to user

c. Bagaimanakah fungsi kesantunan tuturan bahasa Jawa yang digunakan siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta?

D. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian haruslah jelas mengingat penelitian harus mempunyai tujuan tertentu dengan sasaran yang terarah. Perumusan tujuan haruslah disesuaikan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Mendeskripsikan bentuk kesantunan dan ketaksantunan tuturan bahasa Jawa yang digunakan siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.

b. Mendeskripsikan faktor penentu kesantunan tuturan bahasa Jawa yang digunakan siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.

c. Menjelaskan fungsi kesantunan tuturan bahasa Jawa yang digunakan siswa di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dibedakan menjadi dua macam yakni manfaat teoritis dan manfaat praktis.

a. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya teori linguistik khususnya teori pragmatik Jawa.

b. Manfaat Praktis

(21)

commit to user

1. Memberi informasi tentang kesantunan berbahasa Jawa yang digunakan oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.

2. Memberikan sumbangan terhadap pengembangan dan pembinaan bahasa Jawa.

3. Sebagai tambahan materi pengajaran bahasa terutama kesantunan berbahasa di sekolah-sekolah.

4. Digunakan sebagai bahan acuan penelitian selanjutnya.

F. Sistematika Penulisan

Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, pembahasan dalam penelitian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, dalam pendahuluan meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Kajian pustaka, dalam kajian teori meliputi pengertian pragmatik, tindak tutur, prinsip kerjasama, prinsip kesantunan, skala kesantunan, faktor penentu kesantunan, juga SMP Muhammadiyah 1 Surakarta, dan kerangka pikir.

Bab III Metode Penelitian, dalam metode penelitian meliputi jenis penelitian, lokasi, data dan sumber data, populasi dan sampel, alat penelitian, metode penyediaan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis.

(22)

commit to user

Muhammadiyah 1 Surakarta, dan fungsi kesantunan berbahasa Jawa siswa SMP Muhmmadiyah 1 Surakarta. Pembahasan merupakan sebuah diskusi mengenai hasil analisis data yang memaparkan adanya perbedaan antra teori yang digunakan dengan aplikasi di lapanagn yang mecakup topik-topik yang ada pada rumusan masalah.

(23)

commit to user

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pragmatik

Kridalaksana (2008: 198) mendefinisikan pragmatik sebagai syarat-syarat

yang mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi dan

aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan

sumbangan kepada makna ujaran. Parker mendefinisikan pragmatik sebagai

berikut, Pragmatics is distinct for study of the internal structure of language.

Pragmatics is the study of how language. Pragmatics is the study of how language

is used to communicate dapat diartikan "pragmatik berbeda dengan pengajaran

tata bahasa. Pragmatik mempelajari bagaimana bahasa itu digunakan untuk

berkomunikasi" (dalam Rahardi 2005: 49).

Menurut definisi di atas, segi penggunaan bahasa menjadi utama dalam

pragmatik, bagaimana penggunaan bahasa dalam tuturan dan dalam konteks

bagaimana tuturan itu digunakan. Yang dimaksud dengan konteks adalah siapa

yang menuturkan, mengatakan pada siapa, tempat dan waktu yang diujarkannya

suatu kalimat, anggapan-anggapan mengenai sesuatu yang terlibat di dalam

tindakan menuturkan kalimat (Kaswanti Purwo, 1990: 5).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

pragmatik adalah cabang ilmu yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal,

(24)

commit to user

Pragmatik pada dasarnya menyelidiki bagaimana makna di balik tuturan yang

terikat pada konteks yang melingkupinya di luar bahasa, sehingga dasar dari

pemahaman terhadap pragmatik adalah hubungan antara bahasa dengan konteks.

B. Tindak Tutur

Tindak tutur atau speech act menurut Kridalaksana (2008: 191) adalah

pengujaran kalimat untuk menyatakan agar sesuatu maksud dari pembicaraan

diketahui pendengar. Menurut Searle di dalam bukunya Speech Acts An Essay in

The Philosophy of Language (dalam Wijana dan Rohmadi, 2009: 21)

mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan

yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi, ilokusi, dan

perlokusi. (1) tindak tutur lokusi, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata

dan kalimat sesuai dengan makna di dalam kamus dan menurut kaidah

sintaksisnya. (2) tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur yang mengandung maksud;

berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana tindak tutur itu

dilakukan,dsb. (3) tindak tutur perlokusi, yaitu tindak tutur yang pengujarannya

dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur.

a. Tindak Lokusi

Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur

ini sering disebut sebagai The Act of Saying Something. Sebagai contoh tindak

lokusi adalah kalimat berikut:

(data 2)

(25)

commit to user ‘Jajan apa?’

(SM/2-03-2012)

Kedua kalimat di atas diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk

menginformasikan sesuatu tanpa ada tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi

untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak lokusi merupakan tindakan yang

paling mudah diindentifikasi, karena dalam pengidentifikasian tindak lokusi tidak

memperhitungkan konteks tuturannya.

b. Tindak Ilokusi

Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan atau

mengintormasikan sesuatu dan dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak

ilokusi disebut sebagaiThe Act of Doing Something. Sebagai contoh pada kalimat

berikut:

(data 3)

O1 : “Eh, kowe ngelak ora?” ‘Eh, kamu haus tidak?’ O2 : “Ora.

‘Tidak.’

(SM/21-02-2012)

Waktu terjadinya tuturkan di atas ketika jam istirahat kedua kurang lebih jam

setengah dua belas siang dan udara sedang sangat panas. Tuturan tersebut bukan

hanya menginformasikan bahwa O1 kehausan tetapi mempunyai maksud lain

yaitu mengajak untuk membeli es atau air minum. Tindak ilokusi sangat sulit

diidentifikasi karena harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tuturnya.

c. Tindak Perlokusi

Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan

(26)

commit to user

Affecting Someone. Sebuah tuturan yang diutarakan seseorang sering kali

mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) atau efek bagi yang

mendengarnya. Efek yang timbul ini bisa sengaja maupun tidak sengaja. Sebagai

contoh dapat dilihat pada kalimat berikut:

(data 4)

O1 : “Ayo melu futsal tantangan lho!” ‘Mari ikut futsal tanding lho!’ O2 : “Mangkato dhitku entek.

‘Berangkat saja angku habis.’ (SM/21-01-2012)

Data (4) terliahat jelas bentuk ilokusi dari tuturan O2 diatas adalah untuk

meminta maaf karena tidak dapat ikut, dan perlokusinva adalah agar orang yang

mengajaknya harap maklum. Tindak perlokusi juga sulit dideteksi, karena harus

melibatkan konteks tuturnya. Dapat ditegaskan bahwa setiap tuturnya dari seorang

penutur memungkinkan sekali mengandung lokusi saja, dan perlokusi saja.

Namun tidak menutup kemungkinan bahwa satu tuturan mengandung kedua atau

ketiganya sekaligus.

C. Prinsip Kerjasama

Prinsip kerjasama adalah persetujuan tersirat di antara penutur bahasa

untuk mengikuti seperangkat konversi yang sama dalam bertutur. Prinsip

kerjasama dikemukakan oleh Grice (1975) dalam Wijana dan Rohmadi (2009:

44). Grice mengemukakan bahwa dalam rangka melaksanakan prinsip kerjasama

itu, setiap penutur harus memetuhi 4 maksim peercakapan, yakni maksim

(27)

commit to user a. Maksim Kuantitas

Maksim ini mewajibkan seorang penutur diharapkan dapat memberikan

informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi

demikian itu tidak boleh melebihi yang sebenarnya yang dibutuhkan oleh mitra

tutur. Tuturan yang tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh

diperlukan mitra tutur, dikatakan melanggar maksim kuantitas.

(data 5)

O1 : “Yen bocah-bocah 7A iku pada manut-manut ora ana sing nakal ya ta?” ‘Kalau anak-anak 7A itu, semua baik-baik tidak ada yang nakal ya kan?’ O2 : “Salok pak, kuwi ngarep dhewe.

‘Sebagian Pak, itu yang paling depan.’

(SM/21-01-2012)

Tuturan di atas terjadi ketika pelajaran bahasa Jawa pada kelas 7A, O1 adalah

guru bahasa Jawa sedangkan O2 salah satu murid yang memberikan informasi

yang sesuai dibutuhkan oleh O1, dengan demikian O2 telah memenuhi Maksim

Kuantitas.

b. Maksim Kualitas

Maksim ini mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang

nyata dan sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Dalam bertutur fakta-fakta itu

harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas.

(data 6)

O1 : “Sapa sing wis tau weruh wit kambil?

‘Siapa yang sudah pernah melihat pohon kelapa?’ O2 : “Aku Pak.

‘Saya Pak.’ O1 : “Neng ndi?

‘Di mana?’

(28)

commit to user (SM/21-01-2012)

Tuturan di atas terjadi di dalam kelas 7G tanggal 21 januari 2012, tuturan O2

memberikan informasi bahwa dia pernah melihat pohon kelapa di Grand Mall,

walupun hanya berbentuk replika pohon kelapa.

c. Maksim Relevansi

Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan

kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan.

(data 7)

O1 : “Anak gajah apa?” ‘Anak gajah apa?’ O2 : “Bledug.

‘Bledug.’ O1 : “Anak kebo?

‘Anak kebo?’ O2 : “Belo.

‘Belo.’

(SM/21-01-2012)

Tuturan tersebut terjadi pada tanggal 21 Januari 2012 di kelas 7G, O1 adalah guru

bahasa Jawa, O2 semua siswa 7G. Tututran O2 terlihat jelas bahwa memenuhi

maksim relevansi, karena memberikan informasi yang relevan.

d. Maksim Pelaksanaan

Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara

secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebihan serta runtut. Selain

itu, seorang penutur juga harus menafsirkan kata-kata yang digunakan lawan

bicaranya secara taksa (ambigu) berdasarkan konteksnya.

(29)

commit to user O1 : “Fikri iku cah ksatria.

‘Fikri itu anak Ksatria.’ O2 : “Oh, pantes maine apik.

‘Oh, pantas mainnya bagus.’ (SM/15-02-2012)

Dari tuturan di atas kata ksatria bukan berarti seorang ksatria pemberani

melainkan salah satu nama sebuah sekolah sepak bola yang ada di Solo.

D. Prinsip Kesantunan

Sebagai retorika interpersonal pragmatik membutuhkan prinsip

kesantunan. Prinsip kesantunan ini menurut Wijana dan Rohmadi (2009: 54)

berhubungan dengan dua peserta percakapan yakni diri sendiri (self) dan orang

lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur dan

orang ketiga yang dibicarakan penutur dan lawan tutur. Menurut Wijana dan

Rohmadi prinsip kesantunan memiliki sejumlah maksim, yakni maksim

kebijaksanaan, makasim kemurahan, maksim penerimaan, maksim kerendahan

hati, maksim kecocokan, dan maksim kesimpatian.

1. Maksim Kebijaksanaan

Maksim ini diungkapkan dengan tuturan impositif dan komisif.

Menggariskan peserta tutur untuk meminimalkan kerugian orang lain atau

memaksimalkan keuntungan bagi orang lain.

(data 9)

O1 : “Pengen es ra? Tak tukoke ya?” ‘Mau es tidak? Saya belikan ya?’

(SM/3-03-2012)

Tuturan tersebut sangat jelas terlihat dengan adanya penawaran kepada mitra tutur

(30)

commit to user 2. Maksim Penerimaan

Maksim ini diutarakan dengan komisif dan impositif. Mewajibkan setiap

peserta tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan

meminimalkan keuntungan diri sendiri.

(data 10)

O1 : “Ying, maying, aku tukoke es teh karo kwaci mengko tak kei.” ‘Ying, maying, saya belikan es teh dan kwaci nanti saya kasih. O2 : “Ndi dhuwite.”

‘Mana uangnya.’ (SM/23-01-2012)

Tuturan O1 di atas kurang sopan hal ini dikarenakan O1 ingin meraih untung

sebanyak-banyaknya, namun dengan memberi imbalan yakni dengan memberi

sebagian dari jajannya masih bisa dianggap santun.

3. Maksim Kemurahan

Maksim Kemurahan diutarakan dengan kalimat ekspresif dan kalimat

aserti. Dengan demikian jelaslah bahwa tidak hanya dalam menyuruh dan

menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku sopan, tetapi di dalam

mengungkapkan perasaan dan menyatakan pendapat pun harus sopan. Maksim

kemurahan menuntut setiap peserta pertuturan memaksimalkan rasa hormat

kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat. Maksim kemurahan ini

terlihat pada wacana berikut.

(data 11)

O1 : “Her, Heri bocah kok badhog thok.” ‘Her, Heri orang kok makan saja.’ O2 : “Apa?(karo mesem).

‘Apa? (sambil tersenyum).’

(31)

commit to user

Tuturan O1 pada rekan tuturnya O2 memaksimalkan rasa tidak hormat terlihat

dari kata badhog ‘makan yang berarti kasar’, namun kedekatan antra O1 dan O2

sangat dekat sehingga O2 tidak tersinggung.

4. Maksim Kerendahhatian

Maksim kerendahan hati diungkapkan dengan kalaimat ekspresif dan

asertif. Bedanya, maksim ini berpusat pada diri sendiri. Sementara maksim

kemurahan berpusat pada orang lain. Maksim ini menuntut peserta pertuturan

memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa

hormat pada diri sendiri.

(data 12)

O1 : “We/ fisika bijine dhuwur dhewe.” ‘We/ fisika nilainya tertinggi.’ O2 : “Mesthi no, mase ok.”

‘Jelas dong, abang.’

(SM/27-04-2012)

Tuturan di atas yang dikemukakan oleh O2 yang memaksimalkan rasa hormat

pada diri sendiri sehingga tuturan O2 dianggap tidak sopan.

5. Maksim Kecocokan

Maksim ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim ini

menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan di

antara mereka dan meminimalkan ketidakcocokan diantara mereka.

(data 13)

O1 : “Ayo mulih.” ‘Mari pulang.’

O2 : “Yakin mulih? Ora sida dolan?” ‘Yakin pulang? Tidak jadi main?

(32)

commit to user

Tuturan O2 menunjukan ketidaksetujuan nemun dengan cara yang halus sehingga

tercipta kesantunan berbahasa.

6. Maksim Kesimpatian

Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim ini

mengharuskan setiap peserta pertuturan memaksimalkan rasa simpati dan

meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Jika lawan tutur mendapat

kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila

lawan tutur mendapat kesusahan atau musibah, penurut layak turut berduka atau

mengutarakan ucapan belasungkawa sebagai tanda simpati.

(data 14)

O1 : “Sukur len, ditendang len.” ‘Sukur len, ditendang len.’

O2 : “Sing tak tendang kowe, nganti boroke padha metu.” ‘Yang saya tendang kamu, sampai boroknya pada keluar.’ O1 : “Apa!

‘Apa!’

(SM/22-02-2012)

Tuturan O1 yang tidak menyatakan belasungkawa atau kasihan sehingga

melanggar maksim kesimpatian sehingga O2 merasa tersinggung kemudian

marah.

E. Skala Kesantunan Leech

Di dalam skala kesantunan Leech (1993: 194) setiap maksim interpersonal

itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan.

(33)

commit to user

a. Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada

besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah

tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan

diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian

sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin

dianggap tidak santunlah tuturan itu. Apabila hal yang demikian itu dilihat

dari segi mitra tutur dapat dikatakan bahwa semakin menguntungkan diri

mitra tutur, akan semakin dipandang tidak santunlah tuturan itu. Demikian

sebaliknya, semakin tuturan itu merugikan diri si mitra tutur, akan

dianggap semakin santunlah tuturan itu.

b. Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau

sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra

tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan

penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa,

akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila

pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi

si mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun. Berkaitan

dengan pemakaian tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia, dapat

dikatakan bahwa apabila tuturan imperatif itu menyajikan banyak pilihan

tuturan akan menjadi semakin santunlah pemakaian tuturan imepratif itu.

c. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada

peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan.

(34)

commit to user

santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung,

maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.

d. Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status

sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan.

Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dengan

mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung semakin santun.

Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara

keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan

yang digunakan dalam bertutur itu.

e. Social distance atau skala jarak sosial yang menunjuk kepada peringkat

hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah

pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat

sosial antara di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah

tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial

antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan itu.

Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur

dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang

digunakan dalam bertutur.

G. Faktor Penentu Kesantunan dan Ketaksantunan Berbahasa

Menurut Pranowo (dalam Masfufah 2010: 47) faktor penentu kesantunan

adalah segala hal yang dapat mempengaruhi pemakaian bahasa menjadi santun

atau tidak. Berdasarkan identitifikasi terhadap bentuk kesantunan dan

(35)

commit to user

maupun tidak santun. Menurut Pranowo (dalam Masfufah 2010: 47) faktor

penentu kesantunan berbahasa meliputi dua hal pokok, yaitu faktor kebahasaan

dan nonkebahasaan. Faktor kebahasaan mencakup lima aspek yaitu pemakaian

diksi yang tepat, pemakaian gaya bahasa bahasa yang santun, pemekaian struktur

kalimat yang benar dan baik, aspek intonasi, aspek nada bicara. Sedangkan faktor

non kebahasaan mencakuptopik pembicaraan, konteks situasi komunikasi, pranata

sosial masyarakat.

a. Faktor Kebahasaan

Faktor kebahasaan tersebut adalah segala unsur yang berkaitan dengan

masalah bahasa, baik bahasa verbal maupun bahasa nonverbal.

1. Pemakaian Diksi yang Tepat

Pemakaian diksi atau pilihan kata yang tepat saat bertutur dapat

mengakibatkan tuturan menjadi santun. Ketika penutur sedang bertutur, kata-kata

yang digunakan dipilih sesuai dengan topik yang dibicarakan, konteks

pembicaraan, suasana mitra tutur, pesan yang disampaikan, dan sebagainya.

Kebenaran suatu tuturan tidak hanya ditentukan oleh keteraturan

bagian-bagiannya sebagai satuan pembentuk tuturan, tetapi juga ditentukan oleh bentuk

dan pilihan kata atau diksi yang mengisi bagian-bagian itu, dengan demikian

kesalahan dimungkinkan juga oleh adanya pemakaian bentuk dan pilihan kata

yang tidak benar atau tidak tepat.

Menurut Pranowo (dalam Masfufah, 2010: 48) pemakaian diksi yang

berkadar santun tinggi memiliki beberapa agrumentasi di antaranya; nilai rasa kata

(36)

commit to user

diposisikan dalam posisi terhormat, penutur memiliki maksud untuk menghormati

mitra tutur, dan akan menciptakan komunikasi yang santun dengan menjaga

harkat dan martabat penutur.

2. Pemakaian Gaya Bahasa yang Santun

Menurut Hardjoprawiro (dalam Masfufah, 2010: 48) Berbahasa itu tidak

hanya sekedar dapat memahami ucapannya sebab kalu berbahasa asal mengerti

atau dipahami saja, tidak ada seninya. Dalam berbahasa juga diperlukan suatu

gaya bahasa karena gaya bahasa dapat juga menimbulkan pemakaian bahasa yang

santun. Seperti yang dikatakan Pranowo (dalam Masfufah, 2010: 48) gaya bahasa

tersebut merupakan optimalisasi pemakaian bahasa dengan cara-cara tertentu

untuk mengefektifkan komunikasi.

Pemakaian gaya bahasa untuk mencapai komunikasi yang santun tidaklah

mudah. Memang dibutuhkan pemahaman mengenai berbagai gaya bahasa. jika

seseorang mahir menggayakan bahasa dengan berbagai jenis majas, seperti

peronifikasi, metafora, perumpamaan, litotes, eufemisme, dan sebagainya ternyata

dapat meredam tuturan yang sebenaranya cukup keras. Dengan pemakaian gaya

bahasa yang santun, penutur telah menunjukan sebagai orang yang bijaksana

menyampaikan pesan atau maksud kepada mitra tutur. Gaya ini juga merupakan

salah satu cara untuk memperkecil kesenjangan antara “apa yang dipikirkan”

dengan “apa yang dituturkan”, tetapi dengan memenfaatkannya secara baik dan

(37)

commit to user

3. Pemakaian Struktur Kalimat yang Benar dan Baik

Pemakaian Struktur kalimat yang benar dan baik pada saat bertutur,

khususnya pada situasi formal atau resmi dapat mengakibatkan atau

menimbulakan pemakaian bahasa menjadi santun. Pemakaian struktur kalimat

yang benar dan baik ini meliputi; kelengkapan konstruksi kalimat, keefektifan

kalimat, dan penggunaan bentuk kebahasaan, tentu saja penggunaan bentuk

bahasa yang santun yang sesuai dengan konteks tuturan.

4. Aspek Intonasi

Aspek intonasi dalam bahasa lisan sangat menentukan santun tidaknya

pemakaian bahasa. Ketika penutur menyampaikan maksud kepada mitra tutur

dengan menggunakan intonasi keras padahal jarak mitra tutur berada jarak yang

sangat dekat dengan penutur, penutur akan dinilai tidak santun. Sebaliknya, kija

penutur menyampaikan intonasi dengan lembut, penutur akan dinilai sebagai

orang yang santun. Namun, intonasi kadang-kadang dipengaruhi oleh latar

belakang budaya masyarakat. Misalnya lembutnya intonasi orang Jawa berbeda

dengan orang Batak ataupun orang Bugis.

DalamKamus Besar Bahasa Indonesiakata “lemah lembut” didefinisikan

sebagai ‘baik hati, tidak pemarah, peramah’. Adapun “lembut” itu sendiri

diartikan sebagai ‘halus dan enak didengar, tidak kasar; tidak keras atau tidak

nyaring (tentang suara, bunyi); baik hati (halus bahasanya), tidak bengis, tidak

pemarah, lembut hati’. Dalam praktiknya deskripsi ini tercermin pada bagaimana

seseorang mengekspresikan tututran dalam pengaturan intonasi. Karena intonasi

(38)

commit to user

pengaturan ini bisa di arahkan pada bagaimana mengatur keras-lemah,

tinggi-rendah, dan panjang-pendek suara dalam tuturan. Unsur-unsur ini mengandung

makna tersirat yang mengiringi tuturan yang berlangsung yang dinamakan

“makna emosi’ penutur.

5. Aspek Nada Bicara

Aspek nada dalam bertutur lisan dapat juga mempengaruhi kesantunan

berbahasa seseorang. Nada adalah naik turunnya ujaran yang menggmbarkan

suasana hati penutur ketika sedang bertutur. Jika suasana hati sedang senang, nada

bicara penutur menaik dengan ceria sehingga terasa menyenangkan. Sebaliknya

jika suasana hati sedang sedih, nada bicara penutur menurun dengan datar

sehingga terasa tidak menyenagkan atau menyedihkan. Jika sedang marah atau

emosinya tinggi, nada bicara penutur akan menaik dengan keras dan kasar

sehingga terasa menakutkan. Nada bicara tersebut tidak dapat disembunyikan dari

tuturan.

Dengan kata lain, nada bicara penutur selalu berkaitan dengan suasana hati

si penutur. Namun, bagi penutur yang selalu ingin bertutur secara santun, dapat

mengendalikan diri agar suasana yang negatif tidak terbawa dalam bertutur

dengan mitra tuturnya.

b. Faktor Nonkebahasaan

Pada saat berkomunikasi, penutur tidak hanya melibatkan faktor

kebahasaan. Namun, penutur juga melibatkan faktor-fakor nonkebahasaan yang

akan menentukan kesantunan bertutur. Berikut penjelasan secara singkat ketiga

(39)

commit to user 1. Topik Pembicaraan

Suwandi berpendapat bahawa topik pembicaraan adalah pokok masalah

yang diungkapkan ketika terjadinya komunikasi antara penutur dan mitra tutur.

Pada dasarnya topik dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu (a) topik

yang bersifat formal (misalnya; kedinasan, keilmuan, dan kependidikan) dan (b)

topik yang bersifat informal (misalnya; masalah kekeluargaan, persahabatan).

Topik (a) biasanya diungkapkan dengan bahasa baku, sedangkan topik (b)

diungkapkan dengan bahasa nonbaku dan santai (dalam Masfufah, 2010: 51).

Sementara menurut Pranowo (dalam Masfufah, 2010: 52), topik

pembicaraan dalam suatu komunikasi sering mendorong seseorang untuk

berbahasa secara santun atau tidak santun. Misalnya, topik pembicaraan yang

dapat mengancam posisi si penutur dapat memuncalkan tuturan yang tidak santun.

Hal ini memang bersifat kodrati karena setiap orang atau penutur ingin martabat

dirinya tidak dilanggar oleh orang lain. Bahkan, penutur yang salah sekalipun, jika

merasa dipermalukan di dihadapan orang lain pasti dia akan membela diri dengan

mengucapkan tuturan yang tidak santun.

2. Konteks Situasi Komunikasi

Pranowo (dalam Masfufuah, 2010: 52) mengatakan faktor nonkebahasaan

yang berupa konteks situasi ini adalah segala keadaan yang melingkupi terjadinya

komunikasi. Hal ini dapat berhubungan dengan tempat, waktu, dan kondisi

psikologis penutur, respon lingkungan terhadap tuturan, dan sebagainya.

(40)

commit to user

kantin, di kantor, di jalan), dalam berbagai waktu (misalnya, pagi, siang, sore),

dan sebagainya.

Konteks tersebut dapat berupa konteks linguistik dapat pula berupa

konteks ekstralinguistik. Pengguna bahasa atau penutur harus memperhatikan

konteks tersebut agar dapat menggunakan bahasa secara tepat dan dapat

menentukan makna secara tepat pula. Dengan kata lain, penutur senantiasa terikat

konteks dalam menggunakan bahasa (Masfufah, 2010: 52).

3. Pranata Sosial

Anan berpendapat, tujuan lain komunikasi adalah untuk menjalin

hubungan sosial (social relationship) antara pembicara dan lawan bicara. Dalam

menjalin hubungan sosial ini tujuan komunikasi menjadi sangat kompleks.

Kompleksitas ini disebabkan tidak hanya oleh faktor-faktor linguistik (linguistic

factors) yang harus dipertimbangkan oleh pembicara dan lawan bicara, tetapi

faktor-faktor nonlinguistik (non-linguistic factors) juga memegang peranan

penting (dalam Masfufah, 2010: 53). Seseorang pembicara tidak cukup memilih

formulasi gramatikal dan pilihan kata yang tepat untuk berbicara, tetapi aspek

sosio kultural juga harus menjadi pertimbangan.

Pranata sosial budaya masyarakat sebagai penentu kesantunan berbahasa

dari aspek nonkebahasaan memang perlu diperhatikan bagi penutur. Misalnya,

aturan anak kecil atau anak muda yang harus selalu hormat kepada orang yang

lebih tua, berbicara tidak boleh sambil makan, perempuan tertawa terbahak-bahak,

(41)

commit to user

Berdasarkan dari teori kesantunan dan faktor penentu kesantunan, dalam

penelitian ini fungsi kesantunan berbahasa Jawa siswa SMP Muhammadiyah 1

Surakarta dapat diklasifikasikan menjadi empat fungsi kesantunan. Keempat

fungsi kesantunan tersebut meliputi (1) menolak secara tidak langsung, (2)

menghormati MT, (3) menguntungkan MT, dan (4) memberi perintah secara tidak

langsung.

H. SMP Muhammadiyah 1 Surakarta

SMP Muhammadiyah 1 Surakarta berada di Jl. Flores No.1, Kampung

Baru Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta Telp.(0271) 636273.

a. Sejarah Berdirinya SMP Muhammadiyah 1 Surakarta

Pada tanggal 1 Agustus 1952 dengan syarat keputusan Muhammadiyah

bagian pengajaran cabang Surakarta No: E–1/I –01/1978 SLTP Muhammadiyah I

Surakarta secara resmi berdiri dengan berstatus swasta penuh dan berlokasi

sebagian di komplek perguruan Simpon dan sebagian di Kemlayan, dengan kepala

sekolah Bapak Hadi Sumarno. Di komplek perguruan Simpon pada waktu itu

ditempati tiga sekolah yakni SMP Muhammadiyah 1 dan SMP Muhammadiyah 3

masuk pagi, serta SPG Muhammadiyah 1 masuk sore.

Di tahun 1995, SMP Muhammadiyah mendapatkan status yakni swasta

berbantuan dengan kepala sekolah Bapak Kirmadi Hendrosisiwarno dimutasikan

ke SMA Muhammadiyah 1 Surakarta, maka yang menjabat sebagai kepala

sekolah adalah Bapak Hardiyanto. Selanjutnya pada bulan Agustus 1965 berstatus

swasta bersubsidi penuh No. SK 5440/B.S/B.1 dengan Bapak Kepala Sekolah

(42)

commit to user

dimutasikan ke SMP Negeri 4 Surakarta, maka ditunjuk menjabat kepala sekolah

yang baru yakni Bapak Soekirno, BA. Tahun 1960 Bapak H. Abdul Azis

Markumi, BA ditunjuk sebagai kepala sekolah difinitif dengan SK:

E.6313.IISP/Sep/68. Bapak Soekiryo, BA ditunjuk sebagai kepala sekolah SMP

Muhammadiyah 3 Surakarta. Kemudian pada tahun 1972 Pimpinan

Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan Kebudayaan Kodya Surakarta

mengambil keputusan memadatkan SMP Muhammadiyah 1 dan 3 Surakarta

dipadatkan menjadi satu dengan nama SMP Muhammadiyah 1 bersubsidi di

Surakarta, selanjutnya SMP Muhammadiyah 3 dengan status perbantuan

diberikan kepada SMP Muhammadiyah yang berlokasi di pasar Kliwon Surakarta

(dulu SMP Wustho). Sedang Bapak Soekirno pindah tugas di SPG

Muhammadiyah 1 Surakarta. Mulai saat itu SMP Muhammadiyah 1 mulai

berkembang baik dan melangkah dengan kelengkapan sarana dan prasarana

maupun mutu dan kualitasnya.

Dalam akreditasi sekolah yang dilaksanakan oleh pemerintah pada tanggal

27 Maret 1985, SMP Muhammadiyah mendapatkan status disamakan dengan SK

No. 359 / 103 / H. 1985. tahun 1990 mengajukan akreditasi yang kedua dan dapat

mempertahankan status disamakan dengan SK No. 4055 / 103 / 1990 pada tahun

1996 mengajukan akreditasi dengan hasil disamakan serta tahun 2005

terakreditasi dengan nilai A (amat baik).

Kepala sekolah SMP Muhammadiyah 1 Surakarta, yaitu Bapak Abdul

Azis, BA, meninggal dunia pada tanggal 28 Sepetmber 1988, kemudian

digantikan oleh Bapak Marsudi, BA pada tahun 1990. Kemudian pada tahun 1996

(43)

commit to user

Dikdasmen PDM kota Surakarta. Pada tanggal 7 November 1998 jabatan kepala

sekolah diserahkan kepada Bapak Drs. Mokh Akhsan. Tanggal 10 Januari 2001

beliau mendapat SK definitive Depdikbud. Untuk menjadi kepala sekolah selama

1 periode yaitu 4 tahun. Pada tanggal 1 Agustus 2005 dengan SK dari Majelis

terjadi rotasi kepala sekolah yang mana Bapak Drs. Mokh Akhsan dipindah

tugaskan ke SMP Muhammadiyah 4 Surakarta, sedangkan untuk SMP

Muhammadiyah 1 diserahkan kepada Bapak Drs. H. M. Joko Riyanto,

SH.MM sebelumnya menjabat Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah 7 Surakarta

dan mulai tahun 2005 sampai sekarang beliau masih menjabat sebagai kepala

sekolah di SMP Muhammadiyah 1

b. Visi SMP Muhammadiyah 1 Surakarta

Sekolah yang terkenal dengan The Favourite school SMP Muhammadiyah

1 Simpon Surakarta mempunyai visi "ILMU YANG AMALIAH, DAN AMAL

YANG ILMIAH" yang mengandung arti Ilmu yang dapat diamalkan baik secara

akademik maupun dalam kehidupan sehari-hari, sebaliknya dapat diamalkan

secara keilmuan atau dapat diterima secara agama dan ilmiah keilmuan.

c. Misi SMP Muhammadiyah 1 Surakarta

"DAKWAH ISLAMIAH DENGAN MEWUJUDKAN SOSOK PELAJAR

MUSLIM YANG BERAKHLAK MULIA, CERDAS, PERCAYA DIRI,

BERGUNA BAGI NUSA, BANGSA, DAN AGAMA", dari misi yang di tulis

didepan intinya mengandung arti bahwa setiap peserta didik diharapkan mampu

mengaplikasikan pelajaran yang diperoleh ke dalam kehidupan sehari-hari, dan

(44)

commit to user

yang akhirnya mempunyai tujuan mencapai cita-cita yang berguna bagi Nusa,

Bangsa dan Agama.

H. Kerangka Pikir

Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah yang masih dipakai oleh

penggunanya. Pengguna bahasa Jawa tersebar di berbagai penjuru tanah air selain

itu, juga digunakan oleh berbagai macam usia mulai dari anak-anak, remaja

sampai dewasa. Bahasa yang digunakan oleh remaja sangat bervariasi sehingga

menarik untuk dicermati. Begitu pula dengan siswa SMP Muhammadiyah 1

Surakarta yang meyoritas siswanya adalah pengguna bahasa Jawa. Penggunaan

bahasa Jawa lisan yang digunakan oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta

untuk berkomunikasi sehari-hari sangat menarik untuk dicermati.

Untuk menjalin komunikasi yang baik perlu mempertimbangkan

bagaimana tingkat kesantunan berbahasa kita, agar orang lain tidak tersinggung

atau merasa terancam. Begitu pula dengan siswa SMP Muhammadiyah 1

Surakarta yang pastinya menggunakan kesantunan berbahsa untuk berkomunkasi

dengan sesama temannya, guru/ staf karyawan, penjaga kantin, pedagang dan

lain-lain. Kesantunan berbahasa dilakukan bukan tanpa sebab dan tujuan, melainkan

kesantunan berbahasa mempunyai fungsi yang sangat menentukan dalam

pembicaraan. Selain itu, kesantunan berbahasa juga dipengaruhi oleh beberapa

faktor yang akan menentukan bagaimana kadar kesantunan yang digunakan oleh

siswa utnuk berinterakasi dengan semua elemen sekolah SMP Muhammadyah 1

(45)

commit to user Gambar .1. Bahasa Jawa

Siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta

Lisan

Prinsip Kerjasama

Grice

Skala Kesantunan

Leech

Kesantunan Berbahasa Jawa

Prinsip Kesantunan

Leech

Fungsi Kesantunan Bentuk

Kesantunan

(46)

commit to user

BAB III

METODE

PENELITIAN

Pada bab ini metodologi penelitian akan dibicarakan mengenai jenis

penelitian, lokasi penelitian, data dan sumber data, populasi dan sampel, metode

penyediaan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis.

A. Jenis Penelitian

Penelitian tentang “Kesantunan Berbahasa Jawa Siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta (Suatu Kajian Pragmatik)” dapat dikategorikan sebagai penelitian kasus, karena berupaya mencari kebenaran ilmiah dengan

meneliti objek penelitian secara mendalam untuk memperoleh hasil yang cermat.

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Deskriptif artinya

mendeskripsikan aspek-aspek kebahasaan secara cermat dan teliti berdasarkan

fakta-fakta kebahasaan yang sebenarnya (Sumarlam, 2010: 169). Sedangkan

kualitatif menurut Strauss dan Corbin artinya temuan-temuannya tidak diperoleh

melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya (dalam Syamsuddin, 2009:

73). Penelitian kualitatif bertujuan untuk mengungkapkan informasi kualitatif

sehingga lebih menekankan pada proses dan makna dengan cara mendeskripsikan

sesuatu masalah (Sutopo, 2002: 38). Penelitian deskriptif kualitatif dalam

penelitian ini yaitu mendeskripsikan kesantunan berbahasa Jawa siswa SMP

Muhammadiyah 1 Surakarta yang berupa kata-kata dan tidak menggunakan

(47)

commit to user

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah SMP Muhammadiyah 1 Surakarta yang

terletak di Jl. Flores No.1, Kampung Baru Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta.

SMP Muhammadiyah 1 Surakarta terletak di pusat kota sehingga memudahkan

untuk berkumpulnya semua siswa dari seluruh kota Solo, sehingga banyak siswa

yang menggunakan bahasa Jawa untuk komunikasi sehari-hari.

C. Data dan Sumber Data

Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1993: 3). Jenis data pada

penelitian ini berupa data lisan. Data lisan merupakan data kebahasaan yang

digunakan oleh siswa untuk berinteraksi dengan guru, penjaga kantin, pedagang,

sesama siswa dan yang lainnya di SMP Muhammadiyah 1 Surakarta secara

alamiah dan wajar dalam kegiatan bertutur. Data dalam penelitian ini berupa

tuturan berbahasa Jawa yang dipakai oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta

yang mengandung kesantunan berbahasa dan ketaksantunan berbahasa yang

dipengaruhi faktor kebahasaaan dan nonkebahasaan.

Sumber data dalam penelitian ini berasal dari informan yang terpilih.

Kriteria informan yang terpilih dalam penelitian ini, yaitu: (1) siswa SMP

Muhammadiyah 1 Surakarta, (2) sehat jasmani dan rohani, (3) memiliki alat ucap

sempurna. Informan yang tepat akan diperoleh data: (1) alamiah, maksudnya

bahasa yang dipakai tidak direkayasa/ diciptakan secara mendadak tetapi sudah

ada dalam kehidupan masyarakat, (2) lisan, kehadirannya yaitu berupa bunyi, (3)

(48)

commit to user

pemakaian maupun kejiwaan pemakaiannya sehingga sempurna kemaknaannya,

dan (4) wajar, maksudnya situasi pemakaian dipakai wajar oleh penutur.

D. Populasi dan Sampel

Populasi adalah objek penelitian. Populasi pada umumnya ialah

keseluruhan individu dari segi-segi berbahasa (Subroto, 1992: 32). Populasi dalam

penelitian ini adalah keseluruhan tuturan bahasa Jawa yang digunakan oleh siswa

SMP Muhammadiah 1 Surakarta baik tuturan di luar kelas maupun di dalam kelas

yang terdapat pada sumber data.

Sampel adalah sebagian dari populasi yang dilakukan oleh peneliti

langsung (Subroto, 1992: 32). Sampel dalam penelitian ini adalah tuturan yang

mengandung kesantunan berbahasa Jawa yang digunakan oleh siswa SMP

Muhammadiyah 1 Surakarta baik di dalam kelas maupun di luar kelas yang

mewakili populasi. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini secara

purposive sampling.Teknikpurposive sampling, yaitu pengambilan sampel secara selektif dan benar-benar memenuhi kepentingan dan tujuan penelitian berdasarkan

data yang ada. Pengambilan sampel pada penelitian ini pada bulan Desember

2011 sampai bulan April tahun 2012.

E. Alat Penelitian

Alat penelitian dibagi menjadi dua yaitu alat utama dan alat bantu. Dalam

penelitian kualitatif, kekdudukan peneliti sangat rumit karena menjadi segalanya

dalam keseluruhan proses penelitian. Peneliti dalam penelitian ini merupakan

seorang perencana, pelaksana penyediaan data, analisis, penafsir data, dan pada

(49)

commit to user

bantunya adalah alat tulis, tape recorder/ handphone, komputer, informan, kertas

HVS, dan lain-lainnya yang dapat memperlancar penelitian.

F. Metode dan Teknik Penyediaan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dengan menggunakan metode

simak, dengan menyimak penggunaan bahasa Jawa oleh siswa SMP

Muhammadiyah 1 Surakarta. Disebut metode simak karena pengumpulan data

dengan menyimak penggunaan bahasa. Teknik dasar dengan menggunakan teknik

sadap, yaitu mendapat data dengan cara menyadap (Sudaryanto, 1993: 133).

Teknik lanjutan menggunakan: (1) Teknik Simak Libat Cakap, peneliti

terlibat langsung dalam pengambilan data. (2) Teknik Bebas Libat Cakap,

maksudnya pengambilan data tanpa mengikutsertakan peneliti untuk terllibat

langsung dalam percakapan. (3) Teknik rekam, teknik ini bisa secara terbuka yaitu

perekaman diketahui oleh pihak informan dan tertutup yaitu perekaman tidak

diketahui oleh pihak informan untuk mendapatkan data secara wajar. (4) Teknik

catat, pencatatan dipergunakan untuk data yang diperkirakan memerlukan

perhatian dan keterangan khusus, seperti waktu dan tempat terjadinya tuturan,

identitas penutur dan mitra tutur, situasi dan tujuan tuturan.

Teknik Simak Libat Cakap digunakan untuk memperoleh data dengan cara

peneliti melakukan penyadapan dengan ikut berpartisipasi dalam pembicaraan

sambil menyimak pembicaraan informan. Peneliti terlibat langsung dalam dialog.

Teknik Simak Bebas Libat Cakap digunakan untuk memperoleh data dengan cara

(50)

commit to user

Peneliti tidak terlibat langsung dalam dialog atau tuturan bahasa yang diteliti

hanya menyimak dialog antar informan yang dipilh.

Teknik rekam digunakan utnuk memperoleh data yang telah direncana

oleh peneliti dengan cara merekam tuturan informan. Selain teknik rekam peneliti

menggunakan teknik catat unuk mencatat data yang tidak terncana dengan cara

mencatat tuturan yang terucap oleh informan.

G. Metode Analisis Data

Untuk menganalisis data, peneliti menggunakan metode menggunakan

metode padan. Metode padan yaitu analisis data dengan alat penentunya di luar

bahasa yang merupakan konteks sosial terjadinya peristiwa penggunaan bahasa

dalam masyarakat (Sudaryanto, 1993: 13). Berdasarkan alat penentunya metode

padan dapat dibedakan menjadi lima subjenis. Pertama, alat penentunya berupa

kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent yang disebut metode padan

referensial. Kedua, alat penentunya organ pembentuk bahasa atau organ wicara

yang disebut metode padan fonetis artikulatoris. Ketiga, alat penentunya bahasa

lain atau langue lain yang disebut dengan metode padan translasional. Keempat,

alat penentunya adalah tulisan metode ini disebut dengan metode padan

ortografis. Kelima, alat penentunya mitra wicara yang disebut juga dengan metode

padan pragmatik.

Dalam penelitian ini metode yang cocok untuk menganalisis data adalah

metode padan pragmatik dengan alat penentunya adalah penutur dan mitra tutur.

Menurut Sudaryanto (1993: 9) metode adalah cara yang harus dilaksanakan,

(51)

commit to user

teknik adalah jabaran metode yang ditentukan oleh alat yang dipakai. Seperti

halnya metode analisis lain, metode padan mempunyai teknik dasar dan teknik

lajutan. Teknik dasar metode padan adalah teknik pilah unsur penentu atau PUP.

Teknik pilah unsur penetu (PUP) alat yang digunakan untuk menentukan unsur

penentu adalah daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh peneliti.

Sedangkan teknik lanjutannya adalah teknik hubung banding menyamakan

(HBS), taknik hubung banding memperbedakan (HBB), dan teknik hubung

banding menyamakan hal pokok (HBSP).

Dalam penelitian ini teknik dasar yang digunakan adalah teknik PUP atau

teknik pilah unsur penentu. Teknik pilah unsur penentu pada penelitian ini untuk

memilah tuturan berdasarkan unsur penentu. Metode padan digunakan untuk

mengetahui kesantunan yaitu efek yang ditimbulkan tuturan oleh mitra tutur dan

digunakan untuk mengetahui reaksi yang dilakukan oleh mitra tutur.

Adapun penerapan metode padan pada penelitian ini adalah sebagai

berikut.

(data 15)

O1 : “Zak, Zaki, gelem tak kongkon?” ‘Zak, Zaki, mau aku suruh? O2a : “Apa?”

‘Apa?’

O1 : “Jupuke tisu neng kono ndang.” ‘Segera ambilkan tisu di situ.’ O2b : “Jupuk dhewe.”

‘Ambil sendiri.’

O2c : “Alah biasane ngelap nganggo kudung we.” ‘Alah biasanya ngelap pakai kudung we.’ O2d : “Ora nganggo klambi.”

‘Tidak, pakai baju.’

(52)

commit to user

Tuturan tersebut terjadi pada tanggal 5 april 2012 di kantin sekolah yang

terlibat dalam tuturan adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta. Tuturan O1

yang mengatakan “Zak, Zaki, gelem tak kongkon?” ‘Zak, Zaki, mau aku suruh?’

tuturan tersebut masuk ke dalam bentuk kesantunan dengan pemenuhan maksim

penerimaan, secara sepintas terlihat seperti menguntungkan mitra tutur, karena O1

mengatakan gelem tak kongkon? ‘mau aku suruh?’ secara harfiah ini akan

memberikan beban kepada mitra tutur. Tetapi dari konteks yang ada saat tuturan

tersebut berlangsung posisi duduk O2 memang dekat dengan tempat tisu seperti

yang diminta oleh O1. Selain dari segi tempat yang dekat O1 juga mematuhi tiga

skala kesantunan yakni cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, optionality scale atau skala pilihan, authority scale atau skala keotoritasan

menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang

terlibat dalam pertuturan. Skala kerugian dan keuntungan (cost-benefit scale)

terlihat dari konteks terjadinya tuturan yang pada saat itu posisi O2 dekat dengan

tempat tisu yang diminta oleh O1, sehingga O2 tidak perlu jauh-jauh untuk

menjangkau tisu yang diminta oleh O1. Penutur atau O1 juga mempertimbangkan

skala pilihan (optional scale) skala ini bisa langsung terlihat dari tuturannya yang

menggunakan kata gelem ‘mau’ yang mengisyaratkan kepada mitra tutur adanya

pilihan untuk memilih menerima ataupun menolak. Begitu pula dengan skala

selanjutnya yakni skala keotoritasan (authority scale) skala ini menunjuk kepada

hubungan status sosial antara O1 dan O2 yang sama-sama siswa SMP

Muhammadiyah 1 Surakarta yang setingkat atau setara. Hal tersebut terlihat dari

penggunaan bahasa yang sedang mereka gunakan yang lebih cenderung

(53)

commit to user

Faktor penentu kesantunan, menurut Pranowo (dalam Masfufah 2010: 47)

ada dua hal pokok yang menjadi faktor penentu kesantunan, yaitu faktor

kebahasaaan dan faktor non kebahasaan. Faktor kebahasaan mencakup lima aspek

yaitu pemakaian diksi yang tepat, pemakaian gaya bahasa yang santun, pemakaian

struktur kalimat yang benar dan baik, aspek intonasi, dan aspek nada bicara.

Sedangkan faktor nonkebahasaan mencakup topik pembicaraan, konteks situasi

komunikasi, dan pranata sosial. Dari uraian tersebut, tuturan di atas dapat

dianalisis faktor penentu kesantunan sebagai berikut.

A. Faktor kebahasaan

1. Aspek pemakaian diksi yang tepat

Dalam kegiatan bertutur pemilihan diksi yang tepat dapat mengakibatkan

tuturan menjadi santun, atau sebaliknya akibat salah pemakaian diksi bisa

mengakibatkan tuturan menjadi tidak santun misalnya pada tuturan seperti yang

dituturkan oleh O1 pada data (15) di atas. Pemilihan diksi yang dipilih O1

merupakan diksi yang baik, dengan harapan MT (mitra tutur) bersedia mengikuti

apa yang di inginkan oleh O1. Berkebalikan dengan tuturan O2 yang memilih

diksi yang kurang tepat sehingga tuturan yang dihasilkan tidak santun dan

memiliki rasa kata yang kasar.

2. Pemakaian gaya bahasa yang santun

Di dalam penelitian ini penggunaan gaya bahasa yang santun tidak

ditemukan. Hal tersebut dimungkinkan peserta tutur berada pada suasana santai

atau informal. Selain itu, ada juga kemungkinan bahwa peserta tutur tidak

(54)

commit to user 3. Pemakaian struktur kalimat yang benar dan baik

Pemakaian struktur kalimat meliputi; kelengkapan konstruksi, kefektifan

kalimat, dan penggunaan bentuk bahasa yang santun, tentu saja penggunan bentuk

bahasa yang santun sesuai dengan konteks tuturan. Pada tuturan di atas, pemakain

struktur kalimat yang benar dan baik tercermin dari tuturan O1 yang memenuhi

syarat struktur kalimat. Analisa pemakaian struktur kalimat yang benar dan baik

sebagai berikut.

Zak, Zaki gelem tak kongkon?‘Zak, Zaki, mau aku suruh? S P

Kalimat yang benar dan baik terlihat jelas dari tuturan O1 kalimat tersebut

memenuhi bentuk kalimat minimal, yakni terdiri dari satu subjek dan satu

predikat. Berkebalikan dengan O2 yang menggunakan tuturan yang tidak

menggunakan struktur kalimat yang baik dan benar.

Jupuk dhewe. ‘Ambil sendiri.’ P

Kalimat tersebut tidak memenuhi struktur kalimat yang benar dan baik, karena

dalam kalimat tersebut belum memenuhi kerangka kalimat yang daik dan benar

yang minimal terdiri dari subjek dan predikat.

1. Aspek intonasi dan aspek nada bicara

Kedua aspek ini hampir sama, namun bila dicermati akan berbeda. Aspek

intonasi berhubungan dengan nada (tone), tekanan (stress), dan tempo (duration).

Sedangkan nada bicara berhubungan dengan suasana hati P (penutur) atau MT

(55)

commit to user

ceria sehingga enak didengar. Sebaliknya, bila seseorang sedang sedih nada bicara

akan menurun dan tidak enak didengar.

Pada data (15) tuturan O1 intonasi dan juga nada bicaranya strandar dan

juga berusaha mengenakan MT dengan tujuan MT atau O2 mau dibebani.

Berbalik dengan O2 walaupun nada bicara yang dikeluarkan saat pertuturan

menggunakan nada biasa namun intonasi yang diutarakan oleh O2 agak tinggi

sehingga tuturan tidak santun.

B. Faktor nonkebahasaan

Topik pembicaraan

Topik pembicaraan adalah pokok masalah yang diungkapkan ketika

terjadinya komunikasi antara P dan MT. Pada dasarnya topik pembicaraan dapat

digolongkan menjadi dua yaitu topik yang bersifat formal, dan topik yang bersifat

informal. Melihat situasi terjadinya tuturan di atas yaitu berada di kantin, berarti P

dan MT barada pada situasi informal. Dalam situasi yang seperti ini hendaknya

menggunakan bahasa nonbaku atau bahasa yang santai.

Tuturan pada data (15) terlihat bila semua yang terlibat pertuturan

menggunakan bahasa yang santai, dan juga ada topik yang diangkat dalam tuturan

topik yang ringan. Hal tersebut terlihat dari tuturan yang di tuturkan oleh O2c dan

O2d yang menggunakan tutururan mereka untuk bercanda. Tuturan O2c dan O2d

pada data 15 seolah-olah seperti mengejek temannya, namun hal tersebut

dimaksudkan untuk bercanda dan mencarikan suasana. Dan dari hal tersebut topik

Gambar

Gambar .1.
  Gambar .1.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pada papila veteri ini bermuara saluran empedu ( duktus koledukus ) dan saluran pankreas ( duktus pankreatikus ). Lekukan yeyenum dan ileum melekat pada dinding abdomen

sehingga kegiatan belajar terasa lebih menyenangkan namun tetap dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Dalam penelitian ini penerapan metode index card

Pada gambar 4.21 hasil jawaban siswa kode 78 soal nomor 7, pada lembar jawaban siswa menuliskan himpunan yang diketahui sehingga diberi skor 2 untuk

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan yang mana perancangan sistem robot yang dipadukan dengan metode deep learning khususnya pada bagian sistem visi dan

10 Namun dalam epistemologi Islam, bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan pada otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh

Dengan sikapnya yang ramah terhadap semua orang, penampilan yang sederhana dan rumah yang ditempatinya sederhana tapi dibalik semua itu beliaulah salah satu dari banyak pemilik

dalam kehidupan sehari-hari dari hasil pemberian materi oleh narasumber. Kelebihan dan Kelemahan Pelaksanaan Program PAUD Holistik Integratif Bagi Orangtua Peserta