BAB III METODE PENELITIAN
G. Metode Analisis Data
Untuk menganalisis data, peneliti menggunakan metode menggunakan
metode padan. Metode padan yaitu analisis data dengan alat penentunya di luar
bahasa yang merupakan konteks sosial terjadinya peristiwa penggunaan bahasa
dalam masyarakat (Sudaryanto, 1993: 13). Berdasarkan alat penentunya metode
padan dapat dibedakan menjadi lima subjenis. Pertama, alat penentunya berupa
kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent yang disebut metode padan
referensial. Kedua, alat penentunya organ pembentuk bahasa atau organ wicara
yang disebut metode padan fonetis artikulatoris. Ketiga, alat penentunya bahasa
lain atau langue lain yang disebut dengan metode padan translasional. Keempat,
alat penentunya adalah tulisan metode ini disebut dengan metode padan
ortografis. Kelima, alat penentunya mitra wicara yang disebut juga dengan metode
padan pragmatik.
Dalam penelitian ini metode yang cocok untuk menganalisis data adalah
metode padan pragmatik dengan alat penentunya adalah penutur dan mitra tutur.
Menurut Sudaryanto (1993: 9) metode adalah cara yang harus dilaksanakan,
commit to user
teknik adalah jabaran metode yang ditentukan oleh alat yang dipakai. Seperti
halnya metode analisis lain, metode padan mempunyai teknik dasar dan teknik
lajutan. Teknik dasar metode padan adalah teknik pilah unsur penentu atau PUP.
Teknik pilah unsur penetu (PUP) alat yang digunakan untuk menentukan unsur
penentu adalah daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh peneliti.
Sedangkan teknik lanjutannya adalah teknik hubung banding menyamakan
(HBS), taknik hubung banding memperbedakan (HBB), dan teknik hubung
banding menyamakan hal pokok (HBSP).
Dalam penelitian ini teknik dasar yang digunakan adalah teknik PUP atau
teknik pilah unsur penentu. Teknik pilah unsur penentu pada penelitian ini untuk
memilah tuturan berdasarkan unsur penentu. Metode padan digunakan untuk
mengetahui kesantunan yaitu efek yang ditimbulkan tuturan oleh mitra tutur dan
digunakan untuk mengetahui reaksi yang dilakukan oleh mitra tutur.
Adapun penerapan metode padan pada penelitian ini adalah sebagai
berikut.
(data 15)
O1 : “Zak, Zaki, gelem tak kongkon?” ‘Zak, Zaki, mau aku suruh? O2a : “Apa?”
‘Apa?’
O1 : “Jupuke tisu neng kono ndang.” ‘Segera ambilkan tisu di situ.’ O2b : “Jupuk dhewe.”
‘Ambil sendiri.’
O2c : “Alah biasane ngelap nganggo kudung we.” ‘Alah biasanya ngelap pakai kudung we.’ O2d : “Ora nganggo klambi.”
‘Tidak, pakai baju.’
commit to user
Tuturan tersebut terjadi pada tanggal 5 april 2012 di kantin sekolah yang
terlibat dalam tuturan adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta. Tuturan O1
yang mengatakan “Zak, Zaki, gelem tak kongkon?” ‘Zak, Zaki, mau aku suruh?’
tuturan tersebut masuk ke dalam bentuk kesantunan dengan pemenuhan maksim
penerimaan, secara sepintas terlihat seperti menguntungkan mitra tutur, karena O1
mengatakan gelem tak kongkon? ‘mau aku suruh?’ secara harfiah ini akan
memberikan beban kepada mitra tutur. Tetapi dari konteks yang ada saat tuturan
tersebut berlangsung posisi duduk O2 memang dekat dengan tempat tisu seperti
yang diminta oleh O1. Selain dari segi tempat yang dekat O1 juga mematuhi tiga
skala kesantunan yakni cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, optionality scale atau skala pilihan, authority scale atau skala keotoritasan
menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang
terlibat dalam pertuturan. Skala kerugian dan keuntungan (cost-benefit scale)
terlihat dari konteks terjadinya tuturan yang pada saat itu posisi O2 dekat dengan
tempat tisu yang diminta oleh O1, sehingga O2 tidak perlu jauh-jauh untuk
menjangkau tisu yang diminta oleh O1. Penutur atau O1 juga mempertimbangkan
skala pilihan (optional scale) skala ini bisa langsung terlihat dari tuturannya yang
menggunakan kata gelem ‘mau’ yang mengisyaratkan kepada mitra tutur adanya
pilihan untuk memilih menerima ataupun menolak. Begitu pula dengan skala
selanjutnya yakni skala keotoritasan (authority scale) skala ini menunjuk kepada
hubungan status sosial antara O1 dan O2 yang sama-sama siswa SMP
Muhammadiyah 1 Surakarta yang setingkat atau setara. Hal tersebut terlihat dari
penggunaan bahasa yang sedang mereka gunakan yang lebih cenderung
commit to user
Faktor penentu kesantunan, menurut Pranowo (dalam Masfufah 2010: 47)
ada dua hal pokok yang menjadi faktor penentu kesantunan, yaitu faktor
kebahasaaan dan faktor non kebahasaan. Faktor kebahasaan mencakup lima aspek
yaitu pemakaian diksi yang tepat, pemakaian gaya bahasa yang santun, pemakaian
struktur kalimat yang benar dan baik, aspek intonasi, dan aspek nada bicara.
Sedangkan faktor nonkebahasaan mencakup topik pembicaraan, konteks situasi
komunikasi, dan pranata sosial. Dari uraian tersebut, tuturan di atas dapat
dianalisis faktor penentu kesantunan sebagai berikut.
A. Faktor kebahasaan
1. Aspek pemakaian diksi yang tepat
Dalam kegiatan bertutur pemilihan diksi yang tepat dapat mengakibatkan
tuturan menjadi santun, atau sebaliknya akibat salah pemakaian diksi bisa
mengakibatkan tuturan menjadi tidak santun misalnya pada tuturan seperti yang
dituturkan oleh O1 pada data (15) di atas. Pemilihan diksi yang dipilih O1
merupakan diksi yang baik, dengan harapan MT (mitra tutur) bersedia mengikuti
apa yang di inginkan oleh O1. Berkebalikan dengan tuturan O2 yang memilih
diksi yang kurang tepat sehingga tuturan yang dihasilkan tidak santun dan
memiliki rasa kata yang kasar.
2. Pemakaian gaya bahasa yang santun
Di dalam penelitian ini penggunaan gaya bahasa yang santun tidak
ditemukan. Hal tersebut dimungkinkan peserta tutur berada pada suasana santai
atau informal. Selain itu, ada juga kemungkinan bahwa peserta tutur tidak
commit to user 3. Pemakaian struktur kalimat yang benar dan baik
Pemakaian struktur kalimat meliputi; kelengkapan konstruksi, kefektifan
kalimat, dan penggunaan bentuk bahasa yang santun, tentu saja penggunan bentuk
bahasa yang santun sesuai dengan konteks tuturan. Pada tuturan di atas, pemakain
struktur kalimat yang benar dan baik tercermin dari tuturan O1 yang memenuhi
syarat struktur kalimat. Analisa pemakaian struktur kalimat yang benar dan baik
sebagai berikut.
Zak, Zaki gelem tak kongkon?‘Zak, Zaki, mau aku suruh? S P
Kalimat yang benar dan baik terlihat jelas dari tuturan O1 kalimat tersebut
memenuhi bentuk kalimat minimal, yakni terdiri dari satu subjek dan satu
predikat. Berkebalikan dengan O2 yang menggunakan tuturan yang tidak
menggunakan struktur kalimat yang baik dan benar.
Jupuk dhewe. ‘Ambil sendiri.’ P
Kalimat tersebut tidak memenuhi struktur kalimat yang benar dan baik, karena
dalam kalimat tersebut belum memenuhi kerangka kalimat yang daik dan benar
yang minimal terdiri dari subjek dan predikat.
1. Aspek intonasi dan aspek nada bicara
Kedua aspek ini hampir sama, namun bila dicermati akan berbeda. Aspek
intonasi berhubungan dengan nada (tone), tekanan (stress), dan tempo (duration).
Sedangkan nada bicara berhubungan dengan suasana hati P (penutur) atau MT
commit to user
ceria sehingga enak didengar. Sebaliknya, bila seseorang sedang sedih nada bicara
akan menurun dan tidak enak didengar.
Pada data (15) tuturan O1 intonasi dan juga nada bicaranya strandar dan
juga berusaha mengenakan MT dengan tujuan MT atau O2 mau dibebani.
Berbalik dengan O2 walaupun nada bicara yang dikeluarkan saat pertuturan
menggunakan nada biasa namun intonasi yang diutarakan oleh O2 agak tinggi
sehingga tuturan tidak santun.
B. Faktor nonkebahasaan
Topik pembicaraan
Topik pembicaraan adalah pokok masalah yang diungkapkan ketika
terjadinya komunikasi antara P dan MT. Pada dasarnya topik pembicaraan dapat
digolongkan menjadi dua yaitu topik yang bersifat formal, dan topik yang bersifat
informal. Melihat situasi terjadinya tuturan di atas yaitu berada di kantin, berarti P
dan MT barada pada situasi informal. Dalam situasi yang seperti ini hendaknya
menggunakan bahasa nonbaku atau bahasa yang santai.
Tuturan pada data (15) terlihat bila semua yang terlibat pertuturan
menggunakan bahasa yang santai, dan juga ada topik yang diangkat dalam tuturan
topik yang ringan. Hal tersebut terlihat dari tuturan yang di tuturkan oleh O2c dan
O2d yang menggunakan tutururan mereka untuk bercanda. Tuturan O2c dan O2d
pada data 15 seolah-olah seperti mengejek temannya, namun hal tersebut
dimaksudkan untuk bercanda dan mencarikan suasana. Dan dari hal tersebut topik
commit to user
Dalam kegiatan bertutur setiap tuturan pasti mempunyai fungsi tersendiri.
Misalnya bercanda, memberi keuntungan kepada orang lain dan sebagainya.
Tuturan pada data (15) terlihat seakan mengancam muka (face) O1 akan tetapi O1
tahu bahwa itu bertujuan untuk bercanda sehingga O1 tidak berusaha melindung
diri dengan berkata kasar ataupun yang lainnya.