• Tidak ada hasil yang ditemukan

commit to user

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pragmatik

Kridalaksana (2008: 198) mendefinisikan pragmatik sebagai syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi dan aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran. Parker mendefinisikan pragmatik sebagai berikut, Pragmatics is distinct for study of the internal structure of language. Pragmatics is the study of how language. Pragmatics is the study of how language is used to communicate dapat diartikan "pragmatik berbeda dengan pengajaran tata bahasa. Pragmatik mempelajari bagaimana bahasa itu digunakan untuk berkomunikasi" (dalam Rahardi 2005: 49).

Menurut definisi di atas, segi penggunaan bahasa menjadi utama dalam pragmatik, bagaimana penggunaan bahasa dalam tuturan dan dalam konteks bagaimana tuturan itu digunakan. Yang dimaksud dengan konteks adalah siapa yang menuturkan, mengatakan pada siapa, tempat dan waktu yang diujarkannya suatu kalimat, anggapan-anggapan mengenai sesuatu yang terlibat di dalam tindakan menuturkan kalimat (Kaswanti Purwo, 1990: 5).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu berkaitan dengan bagaimana satuan bahasa itu digunakan dalam komunikasi.

commit to user

Pragmatik pada dasarnya menyelidiki bagaimana makna di balik tuturan yang terikat pada konteks yang melingkupinya di luar bahasa, sehingga dasar dari pemahaman terhadap pragmatik adalah hubungan antara bahasa dengan konteks.

B. Tindak Tutur

Tindak tutur atau speech act menurut Kridalaksana (2008: 191) adalah pengujaran kalimat untuk menyatakan agar sesuatu maksud dari pembicaraan diketahui pendengar. Menurut Searle di dalam bukunya Speech Acts An Essay in The Philosophy of Language (dalam Wijana dan Rohmadi, 2009: 21) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi. (1) tindak tutur lokusi, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna di dalam kamus dan menurut kaidah sintaksisnya. (2) tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur yang mengandung maksud; berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana tindak tutur itu dilakukan,dsb. (3) tindak tutur perlokusi, yaitu tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur.

a. Tindak Lokusi

Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini sering disebut sebagai The Act of Saying Something. Sebagai contoh tindak lokusi adalah kalimat berikut:

(data 2)

O1 : “Ayo jajan.” ‘Ayo beli jajan.’ O2 : “Jajan apa?

commit to user ‘Jajan apa?’

(SM/2-03-2012)

Kedua kalimat di atas diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa ada tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak lokusi merupakan tindakan yang paling mudah diindentifikasi, karena dalam pengidentifikasian tindak lokusi tidak memperhitungkan konteks tuturannya.

b. Tindak Ilokusi

Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan atau mengintormasikan sesuatu dan dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak ilokusi disebut sebagaiThe Act of Doing Something. Sebagai contoh pada kalimat berikut:

(data 3)

O1 : “Eh, kowe ngelak ora?” ‘Eh, kamu haus tidak?’ O2 : “Ora.

‘Tidak.’

(SM/21-02-2012)

Waktu terjadinya tuturkan di atas ketika jam istirahat kedua kurang lebih jam setengah dua belas siang dan udara sedang sangat panas. Tuturan tersebut bukan hanya menginformasikan bahwa O1 kehausan tetapi mempunyai maksud lain yaitu mengajak untuk membeli es atau air minum. Tindak ilokusi sangat sulit diidentifikasi karena harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tuturnya.

c. Tindak Perlokusi

Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak perlokusi disebut sebagaiThe Act of

commit to user

Affecting Someone. Sebuah tuturan yang diutarakan seseorang sering kali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) atau efek bagi yang mendengarnya. Efek yang timbul ini bisa sengaja maupun tidak sengaja. Sebagai contoh dapat dilihat pada kalimat berikut:

(data 4)

O1 : “Ayo melu futsal tantangan lho!” ‘Mari ikut futsal tanding lho!’ O2 : “Mangkato dhitku entek.

‘Berangkat saja angku habis.’ (SM/21-01-2012)

Data (4) terliahat jelas bentuk ilokusi dari tuturan O2 diatas adalah untuk meminta maaf karena tidak dapat ikut, dan perlokusinva adalah agar orang yang mengajaknya harap maklum. Tindak perlokusi juga sulit dideteksi, karena harus melibatkan konteks tuturnya. Dapat ditegaskan bahwa setiap tuturnya dari seorang penutur memungkinkan sekali mengandung lokusi saja, dan perlokusi saja. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa satu tuturan mengandung kedua atau ketiganya sekaligus.

C. Prinsip Kerjasama

Prinsip kerjasama adalah persetujuan tersirat di antara penutur bahasa untuk mengikuti seperangkat konversi yang sama dalam bertutur. Prinsip kerjasama dikemukakan oleh Grice (1975) dalam Wijana dan Rohmadi (2009: 44). Grice mengemukakan bahwa dalam rangka melaksanakan prinsip kerjasama itu, setiap penutur harus memetuhi 4 maksim peercakapan, yakni maksim kauntitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.

commit to user a. Maksim Kuantitas

Maksim ini mewajibkan seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi yang sebenarnya yang dibutuhkan oleh mitra tutur. Tuturan yang tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dikatakan melanggar maksim kuantitas.

(data 5)

O1 : “Yen bocah-bocah 7A iku pada manut-manut ora ana sing nakal ya ta?” ‘Kalau anak-anak 7A itu, semua baik-baik tidak ada yang nakal ya kan?’ O2 : “Salok pak, kuwi ngarep dhewe.

‘Sebagian Pak, itu yang paling depan.’

(SM/21-01-2012)

Tuturan di atas terjadi ketika pelajaran bahasa Jawa pada kelas 7A, O1 adalah guru bahasa Jawa sedangkan O2 salah satu murid yang memberikan informasi yang sesuai dibutuhkan oleh O1, dengan demikian O2 telah memenuhi Maksim Kuantitas.

b. Maksim Kualitas

Maksim ini mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang nyata dan sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Dalam bertutur fakta-fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas.

(data 6)

O1 : “Sapa sing wis tau weruh wit kambil?

‘Siapa yang sudah pernah melihat pohon kelapa?’ O2 : “Aku Pak.

‘Saya Pak.’ O1 : “Neng ndi?

‘Di mana?’

O2 : “Neng Grand Mall pak.” ‘Di Grand Mall Pak.’

commit to user (SM/21-01-2012)

Tuturan di atas terjadi di dalam kelas 7G tanggal 21 januari 2012, tuturan O2 memberikan informasi bahwa dia pernah melihat pohon kelapa di Grand Mall, walupun hanya berbentuk replika pohon kelapa.

c. Maksim Relevansi

Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan.

(data 7)

O1 : “Anak gajah apa?” ‘Anak gajah apa?’ O2 : “Bledug.” ‘Bledug.’ O1 : “Anak kebo?” ‘Anak kebo?’ O2 : “Belo.” ‘Belo.’ (SM/21-01-2012)

Tuturan tersebut terjadi pada tanggal 21 Januari 2012 di kelas 7G, O1 adalah guru bahasa Jawa, O2 semua siswa 7G. Tututran O2 terlihat jelas bahwa memenuhi maksim relevansi, karena memberikan informasi yang relevan.

d. Maksim Pelaksanaan

Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebihan serta runtut. Selain itu, seorang penutur juga harus menafsirkan kata-kata yang digunakan lawan bicaranya secara taksa (ambigu) berdasarkan konteksnya.

commit to user O1 : “Fikri iku cah ksatria.

‘Fikri itu anak Ksatria.’ O2 : “Oh, pantes maine apik.

‘Oh, pantas mainnya bagus.’ (SM/15-02-2012)

Dari tuturan di atas kata ksatria bukan berarti seorang ksatria pemberani melainkan salah satu nama sebuah sekolah sepak bola yang ada di Solo.

D. Prinsip Kesantunan

Sebagai retorika interpersonal pragmatik membutuhkan prinsip kesantunan. Prinsip kesantunan ini menurut Wijana dan Rohmadi (2009: 54) berhubungan dengan dua peserta percakapan yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur dan orang ketiga yang dibicarakan penutur dan lawan tutur. Menurut Wijana dan Rohmadi prinsip kesantunan memiliki sejumlah maksim, yakni maksim kebijaksanaan, makasim kemurahan, maksim penerimaan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan, dan maksim kesimpatian.

1. Maksim Kebijaksanaan

Maksim ini diungkapkan dengan tuturan impositif dan komisif. Menggariskan peserta tutur untuk meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain.

(data 9)

O1 : “Pengen es ra? Tak tukoke ya?” ‘Mau es tidak? Saya belikan ya?’

(SM/3-03-2012)

Tuturan tersebut sangat jelas terlihat dengan adanya penawaran kepada mitra tutur yang pada prinsipnya merugikan diri sendiri.

commit to user 2. Maksim Penerimaan

Maksim ini diutarakan dengan komisif dan impositif. Mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri.

(data 10)

O1 : “Ying, maying, aku tukoke es teh karo kwaci mengko tak kei.” ‘Ying, maying, saya belikan es teh dan kwaci nanti saya kasih. O2 : “Ndi dhuwite.”

‘Mana uangnya.’ (SM/23-01-2012)

Tuturan O1 di atas kurang sopan hal ini dikarenakan O1 ingin meraih untung sebanyak-banyaknya, namun dengan memberi imbalan yakni dengan memberi sebagian dari jajannya masih bisa dianggap santun.

3. Maksim Kemurahan

Maksim Kemurahan diutarakan dengan kalimat ekspresif dan kalimat aserti. Dengan demikian jelaslah bahwa tidak hanya dalam menyuruh dan menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku sopan, tetapi di dalam mengungkapkan perasaan dan menyatakan pendapat pun harus sopan. Maksim kemurahan menuntut setiap peserta pertuturan memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat. Maksim kemurahan ini terlihat pada wacana berikut.

(data 11)

O1 : “Her, Heri bocah kok badhog thok.” ‘Her, Heri orang kok makan saja.’ O2 : “Apa?(karo mesem).

‘Apa? (sambil tersenyum).’

commit to user

Tuturan O1 pada rekan tuturnya O2 memaksimalkan rasa tidak hormat terlihat dari kata badhog ‘makan yang berarti kasar’, namun kedekatan antra O1 dan O2 sangat dekat sehingga O2 tidak tersinggung.

4. Maksim Kerendahhatian

Maksim kerendahan hati diungkapkan dengan kalaimat ekspresif dan asertif. Bedanya, maksim ini berpusat pada diri sendiri. Sementara maksim kemurahan berpusat pada orang lain. Maksim ini menuntut peserta pertuturan memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.

(data 12)

O1 : “We/ fisika bijine dhuwur dhewe.” ‘We/ fisika nilainya tertinggi.’ O2 : “Mesthi no, mase ok.”

‘Jelas dong, abang.’

(SM/27-04-2012)

Tuturan di atas yang dikemukakan oleh O2 yang memaksimalkan rasa hormat pada diri sendiri sehingga tuturan O2 dianggap tidak sopan.

5. Maksim Kecocokan

Maksim ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim ini menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka dan meminimalkan ketidakcocokan diantara mereka.

(data 13)

O1 : “Ayo mulih.” ‘Mari pulang.’

O2 : “Yakin mulih? Ora sida dolan?” ‘Yakin pulang? Tidak jadi main?

commit to user

Tuturan O2 menunjukan ketidaksetujuan nemun dengan cara yang halus sehingga tercipta kesantunan berbahasa.

6. Maksim Kesimpatian

Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim ini mengharuskan setiap peserta pertuturan memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya. Jika lawan tutur mendapat kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapat kesusahan atau musibah, penurut layak turut berduka atau mengutarakan ucapan belasungkawa sebagai tanda simpati.

(data 14)

O1 : “Sukur len, ditendang len.” ‘Sukur len, ditendang len.’

O2 : “Sing tak tendang kowe, nganti boroke padha metu.” ‘Yang saya tendang kamu, sampai boroknya pada keluar.’ O1 : “Apa!

‘Apa!’

(SM/22-02-2012)

Tuturan O1 yang tidak menyatakan belasungkawa atau kasihan sehingga melanggar maksim kesimpatian sehingga O2 merasa tersinggung kemudian marah.

E. Skala Kesantunan Leech

Di dalam skala kesantunan Leech (1993: 194) setiap maksim interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Berikut skala kesantunan yang disampaikan Leech.

commit to user

a. Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu. Apabila hal yang demikian itu dilihat dari segi mitra tutur dapat dikatakan bahwa semakin menguntungkan diri mitra tutur, akan semakin dipandang tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu merugikan diri si mitra tutur, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.

b. Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si mitra tutur, tuturan tersebut akan dianggap tidak santun. Berkaitan dengan pemakaian tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia, dapat dikatakan bahwa apabila tuturan imperatif itu menyajikan banyak pilihan tuturan akan menjadi semakin santunlah pemakaian tuturan imepratif itu. c. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada

peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak

commit to user

santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. d. Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status

sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu.

e. Social distance atau skala jarak sosial yang menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial antara di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan itu. Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur.

G. Faktor Penentu Kesantunan dan Ketaksantunan Berbahasa

Menurut Pranowo (dalam Masfufah 2010: 47) faktor penentu kesantunan adalah segala hal yang dapat mempengaruhi pemakaian bahasa menjadi santun atau tidak. Berdasarkan identitifikasi terhadap bentuk kesantunan dan ketaksantunan ada beberapa faktor yang menyebabkan tuturan tersebut santun

commit to user

maupun tidak santun. Menurut Pranowo (dalam Masfufah 2010: 47) faktor penentu kesantunan berbahasa meliputi dua hal pokok, yaitu faktor kebahasaan dan nonkebahasaan. Faktor kebahasaan mencakup lima aspek yaitu pemakaian diksi yang tepat, pemakaian gaya bahasa bahasa yang santun, pemekaian struktur kalimat yang benar dan baik, aspek intonasi, aspek nada bicara. Sedangkan faktor non kebahasaan mencakuptopik pembicaraan, konteks situasi komunikasi, pranata sosial masyarakat.

a. Faktor Kebahasaan

Faktor kebahasaan tersebut adalah segala unsur yang berkaitan dengan masalah bahasa, baik bahasa verbal maupun bahasa nonverbal.

1. Pemakaian Diksi yang Tepat

Pemakaian diksi atau pilihan kata yang tepat saat bertutur dapat mengakibatkan tuturan menjadi santun. Ketika penutur sedang bertutur, kata-kata yang digunakan dipilih sesuai dengan topik yang dibicarakan, konteks pembicaraan, suasana mitra tutur, pesan yang disampaikan, dan sebagainya. Kebenaran suatu tuturan tidak hanya ditentukan oleh keteraturan bagian-bagiannya sebagai satuan pembentuk tuturan, tetapi juga ditentukan oleh bentuk dan pilihan kata atau diksi yang mengisi bagian-bagian itu, dengan demikian kesalahan dimungkinkan juga oleh adanya pemakaian bentuk dan pilihan kata yang tidak benar atau tidak tepat.

Menurut Pranowo (dalam Masfufah, 2010: 48) pemakaian diksi yang berkadar santun tinggi memiliki beberapa agrumentasi di antaranya; nilai rasa kata bagi mitra tutur akan terasa lebih halus, persepsi mitra tutur merasa bahwa dirinya

commit to user

diposisikan dalam posisi terhormat, penutur memiliki maksud untuk menghormati mitra tutur, dan akan menciptakan komunikasi yang santun dengan menjaga harkat dan martabat penutur.

2. Pemakaian Gaya Bahasa yang Santun

Menurut Hardjoprawiro (dalam Masfufah, 2010: 48) Berbahasa itu tidak hanya sekedar dapat memahami ucapannya sebab kalu berbahasa asal mengerti atau dipahami saja, tidak ada seninya. Dalam berbahasa juga diperlukan suatu gaya bahasa karena gaya bahasa dapat juga menimbulkan pemakaian bahasa yang santun. Seperti yang dikatakan Pranowo (dalam Masfufah, 2010: 48) gaya bahasa tersebut merupakan optimalisasi pemakaian bahasa dengan cara-cara tertentu untuk mengefektifkan komunikasi.

Pemakaian gaya bahasa untuk mencapai komunikasi yang santun tidaklah mudah. Memang dibutuhkan pemahaman mengenai berbagai gaya bahasa. jika seseorang mahir menggayakan bahasa dengan berbagai jenis majas, seperti peronifikasi, metafora, perumpamaan, litotes, eufemisme, dan sebagainya ternyata dapat meredam tuturan yang sebenaranya cukup keras. Dengan pemakaian gaya bahasa yang santun, penutur telah menunjukan sebagai orang yang bijaksana menyampaikan pesan atau maksud kepada mitra tutur. Gaya ini juga merupakan salah satu cara untuk memperkecil kesenjangan antara “apa yang dipikirkan” dengan “apa yang dituturkan”, tetapi dengan memenfaatkannya secara baik dan tepat.

commit to user

3. Pemakaian Struktur Kalimat yang Benar dan Baik

Pemakaian Struktur kalimat yang benar dan baik pada saat bertutur, khususnya pada situasi formal atau resmi dapat mengakibatkan atau menimbulakan pemakaian bahasa menjadi santun. Pemakaian struktur kalimat yang benar dan baik ini meliputi; kelengkapan konstruksi kalimat, keefektifan kalimat, dan penggunaan bentuk kebahasaan, tentu saja penggunaan bentuk bahasa yang santun yang sesuai dengan konteks tuturan.

4. Aspek Intonasi

Aspek intonasi dalam bahasa lisan sangat menentukan santun tidaknya pemakaian bahasa. Ketika penutur menyampaikan maksud kepada mitra tutur dengan menggunakan intonasi keras padahal jarak mitra tutur berada jarak yang sangat dekat dengan penutur, penutur akan dinilai tidak santun. Sebaliknya, kija penutur menyampaikan intonasi dengan lembut, penutur akan dinilai sebagai orang yang santun. Namun, intonasi kadang-kadang dipengaruhi oleh latar belakang budaya masyarakat. Misalnya lembutnya intonasi orang Jawa berbeda dengan orang Batak ataupun orang Bugis.

DalamKamus Besar Bahasa Indonesiakata “lemah lembut” didefinisikan sebagai ‘baik hati, tidak pemarah, peramah’. Adapun “lembut” itu sendiri diartikan sebagai ‘halus dan enak didengar, tidak kasar; tidak keras atau tidak nyaring (tentang suara, bunyi); baik hati (halus bahasanya), tidak bengis, tidak pemarah, lembut hati’. Dalam praktiknya deskripsi ini tercermin pada bagaimana seseorang mengekspresikan tututran dalam pengaturan intonasi. Karena intonasi mengandung unsur nada (tone), tekanan (stress), dan tempo (duration), maka

commit to user

pengaturan ini bisa di arahkan pada bagaimana mengatur keras-lemah, tinggi-rendah, dan panjang-pendek suara dalam tuturan. Unsur-unsur ini mengandung makna tersirat yang mengiringi tuturan yang berlangsung yang dinamakan “makna emosi’ penutur.

5. Aspek Nada Bicara

Aspek nada dalam bertutur lisan dapat juga mempengaruhi kesantunan berbahasa seseorang. Nada adalah naik turunnya ujaran yang menggmbarkan suasana hati penutur ketika sedang bertutur. Jika suasana hati sedang senang, nada bicara penutur menaik dengan ceria sehingga terasa menyenangkan. Sebaliknya jika suasana hati sedang sedih, nada bicara penutur menurun dengan datar sehingga terasa tidak menyenagkan atau menyedihkan. Jika sedang marah atau emosinya tinggi, nada bicara penutur akan menaik dengan keras dan kasar sehingga terasa menakutkan. Nada bicara tersebut tidak dapat disembunyikan dari tuturan.

Dengan kata lain, nada bicara penutur selalu berkaitan dengan suasana hati si penutur. Namun, bagi penutur yang selalu ingin bertutur secara santun, dapat mengendalikan diri agar suasana yang negatif tidak terbawa dalam bertutur dengan mitra tuturnya.

b. Faktor Nonkebahasaan

Pada saat berkomunikasi, penutur tidak hanya melibatkan faktor kebahasaan. Namun, penutur juga melibatkan faktor-fakor nonkebahasaan yang akan menentukan kesantunan bertutur. Berikut penjelasan secara singkat ketiga hal tersebut.

commit to user 1. Topik Pembicaraan

Suwandi berpendapat bahawa topik pembicaraan adalah pokok masalah yang diungkapkan ketika terjadinya komunikasi antara penutur dan mitra tutur. Pada dasarnya topik dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu (a) topik yang bersifat formal (misalnya; kedinasan, keilmuan, dan kependidikan) dan (b) topik yang bersifat informal (misalnya; masalah kekeluargaan, persahabatan). Topik (a) biasanya diungkapkan dengan bahasa baku, sedangkan topik (b) diungkapkan dengan bahasa nonbaku dan santai (dalam Masfufah, 2010: 51).

Sementara menurut Pranowo (dalam Masfufah, 2010: 52), topik pembicaraan dalam suatu komunikasi sering mendorong seseorang untuk berbahasa secara santun atau tidak santun. Misalnya, topik pembicaraan yang dapat mengancam posisi si penutur dapat memuncalkan tuturan yang tidak santun. Hal ini memang bersifat kodrati karena setiap orang atau penutur ingin martabat dirinya tidak dilanggar oleh orang lain. Bahkan, penutur yang salah sekalipun, jika merasa dipermalukan di dihadapan orang lain pasti dia akan membela diri dengan mengucapkan tuturan yang tidak santun.

2. Konteks Situasi Komunikasi

Pranowo (dalam Masfufuah, 2010: 52) mengatakan faktor nonkebahasaan yang berupa konteks situasi ini adalah segala keadaan yang melingkupi terjadinya komunikasi. Hal ini dapat berhubungan dengan tempat, waktu, dan kondisi psikologis penutur, respon lingkungan terhadap tuturan, dan sebagainya. Komunikasi antarpenutur dapat terjadi di berbagai tempat (misalnya; di kelas, di

commit to user

kantin, di kantor, di jalan), dalam berbagai waktu (misalnya, pagi, siang, sore), dan sebagainya.

Konteks tersebut dapat berupa konteks linguistik dapat pula berupa konteks ekstralinguistik. Pengguna bahasa atau penutur harus memperhatikan konteks tersebut agar dapat menggunakan bahasa secara tepat dan dapat menentukan makna secara tepat pula. Dengan kata lain, penutur senantiasa terikat konteks dalam menggunakan bahasa (Masfufah, 2010: 52).

3. Pranata Sosial

Anan berpendapat, tujuan lain komunikasi adalah untuk menjalin hubungan sosial (social relationship) antara pembicara dan lawan bicara. Dalam menjalin hubungan sosial ini tujuan komunikasi menjadi sangat kompleks. Kompleksitas ini disebabkan tidak hanya oleh faktor-faktor linguistik (linguistic

Dokumen terkait