• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

Kesantunan berbahasa Jawa siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta memiliki variasi yang berbeda dengan kesantunan yang ada pada teori kesantunan pada umumnya. Berbeda dengan kesantunan berbahasa Jawa yang mempunyai kadar kesantunan tinggi yang tercermin dari bentuk struktur kalimat yang lengkap, pemilihan diksi yang tepat, gaya bahasa yang santun, intionasi dan nada yang santun akan menciptakan tuturan yang mempunyai kadar kesantunan yang tinggi. Kesantunan berbahasa siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta memiliki karakteristik yang didominasi dengan bentuk tuturab yang mempunyai maksud santun, sehingga bentuk tuturan yang terbentuk sepintas tidak santun, untuk lebih jelasnya lihat data berikut.

(data 58)

Bentuk Tuturan : O1 : “Sapa sing nduwe permen?

‘Siapa yang punya permen?’ O2 : “Nyah, iki aku nduwe.”

‘Ini saya punya.’

Penanda Nonlingual : - Percakapan beberapa siswa di depan ruang kelas. - O1 dan O2 adalah teman satu kelas.

- Waktu tuturan ketika jam istirahat. Maksud : O1 meminta permen kepda semua teman

temannya.

Status Sosial : O1, dan O2 adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta.

Waktu Terjadi : SM/ 9-3-2012

Tuturan O1 pada data (58) di atas mempunyai tujuan atau maksud untuk meminta permen kepada temannya. Tuturan semacam itu apabila dilihat dari prinsip kesantuna yang dikemukakan oleh Leech tuturan O1 tersebut melanggar maksim penerimaan, yang artinya menguntungkan diri sendiri dan memaksimalkan kerugian orang lain. Akan tetapi, apabila dilihat lebih dalam lagi tuturan O1 tidak

commit to user

menggunakan kata-kata yang bersifat langsung ternyata O1 menggunakan bentuk kalimat tanya sehingga tuturan O1 tersebut menjadi santun. Selain dilihat dari bentuk katanya tuturan O1 juga memenuhi skala kesantunan yakni skala ketaklangsungan yang bisa membuat tuturan yang dinilai kurang santun menjadi santun dengan cara mengubah bentuk kalimat perintah menjadi kalimat tanya. Peristiwa tutur yang hampir sama juga tampak pada tuturan antar siswa dan juga guru sebagai berikut.

(data 59)

Bentuk Tuturan : O1 : “Pak mangke tugase nek diketik pripun?

‘Pak nanti kalau tugasnya diketik bagaimana?’

O2 : “Oh y sip..bisa ngetik ta kowe?”

‘Oh ya bagus.. kamu bisa mengetik ya?.’ O1 : “Saged Pak.

‘Bisa Pak.’

Penanda Nonlingual : - Percakapan beberapa siswa di dalam ruang kelas. - Waktu tuturan ketika kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung.

Maksud : O1 meminta penjelasan kepada gurunya tentang arti kata bakune.

Status Sosial : O1 adalah siswa SMP Muahmmadiyah 1

Surakarta, sedangkan O2 adalah guru bahasa Jawa. Waktu Terjadi : SM/ 22-2-2012

Dari data di atas terlihat bentuk tuturan yang digunakan oleh O1 adalah bentuk tuturan yang tujuan sebenarnya adalah untuk menghormati mitra tutur yang mempunyai status sosial yang lebih tinggi. Akan tetapi, O1 pada tuturan nya tersebut menggunakan ragam ngoko alus. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta kurang mampunya penguasaan undha-usuk bahasa Jawa sehingga dalam pemakaiannya terjadi bentuk yang salah kaprah. Selain dari penguasaan undha-usuk bahasa Jawa masih tergolong kurang, faktor lain yang mempengaruhi hal tersebut adalah pendidikan kesantunan

commit to user

berbahasa pada lingkungan keluarga, masyarakat, dan pengajaran kesantunan di sekolah tidak mecapai hasil yang maksimal karena tingkat kedewasaan siswa SMP Muhammadiyah yang baru menginjak usia belasan sehingga tuturan yang dihasilkan cenderung tidak santun.

Ketiga faktor tersebut yang menjadi alasan utama mengapa pemakaian kesantunan berbahasa Jawa siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta mengalami pergeseran dengan teori yang dicetuskan oleh Leech. Sehingga untuk melihat kesantunan berbahasa Jawa siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta bukan semata-mata dilihat dari segi bentuk tuturan.

Selain penggunaan diksi dan penggunaan ragam bahasa yang baik, penggunaan gaya bahasa yang santun juga perlu dikuasai oleh para siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta sehingga akan tercipta tuturan yang halus karena dengan adanya penggunaan gaya bahasa yang santun sanggup meredam tuturan yang bersifat keras menjadi tersamar. Akan tetapi, pada penelitian ini siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta belum menguasai kemampuan menggunakan gaya bahasa yang santun. Hal tersebut terbukti dengan tidak ditemukannya tuturan yang menggunakan gaya bahasa yang santun juga banyaknya tuturan yang bersifat langsung dan keras, tuturan tersebut dapat dilihat sebagai berikut.

(data 60)

Bentuk Tuturan : O1 : “Le, sewu le.

‘Hey, seribu hey.’ O2 : “Ndhasmu!”

‘Kepalamu!’

Penanda Nonlingual : - Percakapan beberapa siswa di halaman sekolah. - Waktu tuturan ketika waktu istirahat.

Maksud : O1 meminta uang seribu rupiah kepada MT. Status Sosial : O1 dan O2 siswa SMP Muahmmadiyah 1

commit to user Waktu Terjadi : SM/ 3-3-2012

Tuturan di atas terlihat bentuk tuturan yang memiliki kadar kesantunan yang rendah bentuk tuturan yang dituturkan oleh O1 juga tuturan yang langsung menohok dan juga sangat merugikan MT sehingga MT yang mukanya merasa terancam langsung bereaksi dengan menggunakan kata-kata kasar. Dari data di atas sebenarnya dapat diredam dengan menggunakan penggunaan gaya bahasa yang santun. Misalnya saja O1 memang sangat membutuhkan uang untuk membeli makanan O1 bisa menggunakan bentuk gaya bahasa metafofa, personifikasi atau yang lainnya untuk menggambarkan kondisi keuangannya dan menyampaikan pesan untuk meminjam atau yang lainnya dengan bahasa yang lebih santun.

Kesantunan berbahasa Jawa Siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta didomonasi tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur tidak langsung ditunjukan dengan mengubah fungsi jenis kalimat, misalnya untuk menyatakn perintah dapat digunakan kalimat berita atau tanya. Fungsi kesantunan siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta dominasi tindak tutur yang tidak langsung seperti member perintah secara tidak langsung dan menolak secara tidak langsung. Hal tersebut tampak pada data berikut ini.

(data 61)

Bentuk Tuturan : O1 : “Fir… Fira… jare tuku permen?

‘Fir.. Fira… Katanya membeli permen?’ Penanda Nonlingual : - Percakapan antarsiswa di depan ruang kelas.

- Waktu tuturan ketika waktu istirahat. Maksud : O1 meminta Permen kepada O2.

Status Sosial : O1 dan O2 siswa SMP Muahmmadiyah 1 Surakarta.

commit to user

Dari data tuturan (60) tuturan O1,memberi perintah kepada MT yang bernama Fira utnuk memberikan permen yang dia beli, namun bentuk tuturan yang di ucapkan oleh O1 yang berbentuk dasar kalimat perintah diubah menjadi kalimat Tanya sehingga tuturan yang terbentuk menjadi tuturan yang santun dan tidak berupa kalimat yang bersifat langsung ditujukan kepada mitra tutur. Data lain yang menunjukan bahwa fungsi kesantunan menolak secara halus dapat ditunjukan pada data berikut.

(data 62)

Bentuk Tuturan : O1 : “Ayo munggah.” ‘Ayo naik.’

O2 : “Mengko seg,kene wae.

‘Nanti dulu, di sini saja.’ O1 : “Ayo ta.. aku during sinau.”

‘Ayo lah.. saya belum belajar.’

Penanda Nonlingual : - Percakapan beberapa siswa di halaman sekolah. - Waktu tuturan ketika waktu istirahat.

Maksud : O1 mengajak MT untuk naik ke kelasnya untuk belajar.

Status Sosial : O1 dan O2 siswa SMP Muahmmadiyah 1 Surakarta.

Waktu Terjadi : SM/ 9-3-2012

Tidak berbeda jauh dengan fungsi kesantunan memberi perintah secara tidak langsung, tuturan O2 yang menolak ajakan O1 juga menggunakan bentuk bahsaa yang tidak langsung dan memanfaatkan kalimat yang menawarkan pilihan yang lain. Hal tersebut sejalan dengan skala kesantunan yakni tuturan akan santun apabila semakan banyak pilihan yang digunakan.

commit to user

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada bab empat, maka dalam penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.

1. Dalam penelitian ini, ditemukan lima bentuk kesantunan berbahasa Jawa yaitu kesantunan berbahasa pemenuhan maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksim kecocokan, dan maksim kesimpatian. Maksim kerendahanhati tidak ditemukan. Hal ini disebabkan oleh kebanyakan tingkat emosi dan kedewasaan siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta masih kurang hal tersebut terlihat dari segi umur yang baru ber umur belasan tahun. Bentuk ketaksantunan barbahasa siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta dalam penelitian ini ditemukan ada enam pelanggaran yakni pelanggran maksim kebijaksanaan, maksim penerimaam, maksim kemurahan, maksim krendahanhati, maksim kecocokan, dan maksim kesimpatian.

2. Faktor penentu kesantunan berbahasa dalam penelitian ini meliputi faktor kebahasaan dan nonkebahasaan. Faktor kebahasaan yang menjadi penentu kesantunan berbahasa siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta yaitu pemakaian diksi yang tepat, pemakaian struktur kalimat yang benar dan baik, aspek intonasi, dan aspek nada bicara. Pemakaian gaya bahasa yang santun dalam penelitian ini tidak ditemukan karena penguasaan gaya bahasa utnuk meredam tuturan agar menjadi tidak keras belum dikuasai

commit to user

oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta. Dari faktor nonkebahasaaan hanya ditemukan faktor pranata sosial. Dua faktor lainnya tidak ditemukan dalam penelitian ini karena faktor konteks situasi komunikasi dan faktor topik pembicaraan tidak dikuasai oleh siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta sehingga tuturan siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta banyak yang kurang santun.

3. Dalam penelitian ini fungsi kesantunan berbahasa Jawa siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta diklasifikasikan menjadi empat yang terdiri dari (1) menolak secara tidak langsung, (2) menghormati MT, (3) menguntungkan mitra tutur, dan (4) memberi perintah secara tidak langsung.

B. Saran

Sebagaian besar siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta didominasi oleh keturunan orang Jawa. Kemampuan berbahasa Jawa siswa SMP Muhammadiyah 1 Surakarta sangat bervariasi. Dalam penelitian ini, peneliti hanya membahas bentuk, faktor penentu kesantunan, dan fungsi kesantunan melalui pendekatan pragmatik. Oleh karena itu, akan lebih baik apabila penelitian ini dilakukan dengan lebih mendalam lagi dengan disiplin ilmu yang berbeda seperti melalui pendekatan sosiolinguistik yang meneliti alih kode, campur kode, interferensi, atau yang lainnya.

Dokumen terkait