BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Agama Islam memandang pernikahan merupakan perjanjian yang sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggung jawab, dan mengikuti ketentuan- ketentuan hukum yang harus dilakukan. Dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dan manusia itu tidak akan berkembang tanpa adanya pernikahan.
Sebab, pernikahan akan menyebabkan manusia mempunyai keturunan.
Pernikahan atau perkawinan itu merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang laki–laki dengan seorang perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang kekal dan bahagia. Pernikahan dilaksanakan dengan maksud agar manusia mempunyai keluarga yang sah untuk mencapai kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di bawah ridha Allah SWT. Hal ini sudah banyak dijelaskan di dalam Al-Qur’an:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan, jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS.
Al Nuur/24 : 32).
Tujuan dari pernikahan sendiri tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis, akan tetapi yakni menaati perintah Allah dan Rasul-Nya bernilai ibadah yaitu membina keluarga sejahtera yang mendatangkan
kemaslahatan bagi para pelaku perkawinan, anak keturunan juga kerabat.
Perkawinan sebagai suatu ikatan yang kokoh, dituntut untuk membuat kemaslahatan bagi masyarakat juga bangsa pada umumnya.1
Secara umum, hampir seluruh agama memiliki pendapat bahwa pernikahan atau perkawinan adalah hal yang cukup penting. Tidak aneh jika agama lain memiliki pedoman sebagai tuntunan kepada para pemeluknya, agar pernikahan yang mereka lakukan dapat mencapai tujuan ideal seperti diharapkan. Pernikahan merupakan naluri yang berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, maupun hewan.2 Oleh karena itu, di dalam hukum perkawinan yang diatur menurut hukum islam menjadi sudut pandang penulis untuk mengkaji pengertian perkawinan, rukun nikah, syarat perkawinan menurut hukum islam, hukum pernikahan atau perkawinan dalam islam, pencatatan perkawinan dan hak keperdataan istri dan anak.
Pada dasarnya tujuan hukum perkawinan adalah menciptakan ikatan lahir bathin anatara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan tujuan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah untuk mewujudkan keluarga yang Sakinah, mawaddah dan rahmah. Akan tetapi setelah masuk dalam kehidupan rumah tangga, ada kalanya terjadi ketidaksesuaian antara suami-istri, yang bisa saja ketidaksesuaian yang tidak diinginkan itu tidak bisa diselesaikan, sehingga tidak dapat dipertahankan lagi dan berujung pada perceraian.
Hakikat perceraian dianggap penting untuk dipahami oleh siapapun yang akan dan sedang, atau bahkan sudah menjalani masa pernikahan. Tentu saja hal ini dalam rangka menyampaikan esensi dari perceraian itu sendiri.3
1 Ahmad Atabik and Koridatul Mudhiiah, "Pernikahan Dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam", Yudisia, Vol 5, No 2, 2014, hlm 293–294
2 Addin Daniar Syamdan dan Djumadi Purwoadmodjo, “Aspek Hukum Perkawinan Siri Dan Akibat Hukumnya”, Notarius, Vol 12, No 1 ,2019, hal 452–466
3 A.W. Munawwir. Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), edisi ke II, . 861
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana Pengertian Perkawinan dan talaq?
2. Bagaimana Hukum Perkawinan dan Talaq Menurut Filsafat Hukum Islam?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Pengertian Perkawinan dan Talaq
2. Mengetahui Hukum Perkawinan dan Talaq menurut Filsafat Hukum Islam.
BAB II PEMBAHASAN
1. Definisi Perkawinan
Dalam Kamus Besar Basaha Indonesia, perkawinan berasal dari kata
“kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.4 Perkawinan juga disebut dengan “pernikahan”, berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan dan digunakan untuk arti bersetubuh.5
Dalam Al-qur’an dan Hadis Nabi Muhammad juga dalam kehidupan sehari-hari orang Arab, sering memakai kata nikah dan zawaj yang artinya adalah pernikahan atau perkawinan menurut literatur fiqh berbahasa arab.
Menurut Islam perkawinan adalah perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk membentuk keluarga yang kekal, saling menyantuni, saling mengasihi, aman tenteram, bahagia dan kekal antara seorang laki-laki dan perempuan yang disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki. Selain itu, perkawinan juga diatur dalam hukum Islam harus dilakukan dengan akad atau perikatan hukum antara kedua belah pihak.
Pernikahan atau perkawinan dapat diartikan sebagai sebuah ikatan, apabila sesuatu sudah diikatkan antara yang satu dengan yang lain maka akan saling ada keterikatan dari kedua belah pihak. (QS. AdDhukhan: 54).
Yang artinya: “Demikianlah dan kami kawinkan mereka dengan bidadari.6 Pernikahan adalah suatu akad yang sangat kuat atau mitsaqaan ghalidzan untuk menaati perintah Allah untuk melaksanakannya sebagai ibadah dan untuk menjalankan Sunnah Rosul sesuai dengan Pasal 2 Kompilasi 4 Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, hlm. 456.
5 A.W. Munawwir. Op.cit hlm 1461
6 Santoso, “Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam Dan Hukum Adat”, Yudisia, Vol 7, No 2,2016, hlm 412–434
Hukum Islam (KHI). Sehingga dapat disimpulkan bahwa perkawinan tersebut adalah perjanjian suci yang sangat kuat antara laki-laki dan perempuan atas dasar kerelaan dan saling suka yang dilakukan oleh pihak wali sesuai sifat dan syaratnya. Sehingga dapat menghalalkan kebutuhan biologis anta keduanya dan dapat untuk meneruskan garis keturunan.
A. Rukun nikah
Rukun merupakan hal pokok yang tidak boleh ditinggalkan atau masuk di dalam substansi, berbeda dengan syarat yang tidak masuk ke dalam substansi dan hakikat sesuatu. Rukun dalam pernikahan harus memperhatikan hal-hal pokoknya yang tidak boleh ditinggalkan, sebagai berikut :
1. Wali
Dalam sebuah pernikahan bahwa wali merupakan salah satu rukun yang harus ada. Wali berasal dari pihak perempuan yang akan dinikahkan kepada pengantin laki-laki. Karena kemutlakan adanya wali dalam sebuah akad nikah adalah menghalalkan kemaluan wanita yang wanita tersebut tidak mungkin akan menghalalkan kemaluannya sendiri tanpa adanya wali.7 Salah satu rukun nikah yaitu wali juga terdapat dalam HR Abu Daud, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah bahwa “Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, batal, batal.”
Adanya wali merupakan suatu yang harus ada, apabila wanita tersebut tidak mampu menyediakan wali dari pihaknya atau seorang yang dapat menjadi hakim maka ada tiga cara, yaitu : 1) wanita tersebut tetap tidak dapat menikah tanpa ada wali. 2) wanita tersebut dapat menikahkan dirinya sendiri karena keadaan darurat.
3) wanita menyuruh kepada seseorang untuk menjadi wali atau mengangkat wali (hakim) untuk dirinya ketika akan menikah
7 Aspandi A., “PERNIKAHAN BERWALIKAN HAKIM Analisis Fikih Munakahat Dan Kompilasi Hukum Islam”, Ahkam: Jurnal Hukum Islam, Vol 5, No 1, 2017, hlm 85–116
menurut Imam Nawawi seperti yang telah dinukil oleh imam Mawardi.8
2. Dua orang Saksi
Rasulullah sallallahu Alaihi Wasallam bersabda : “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil. ”(HR Al-Baihaqidan Ad-. Asy-Syaukani dalam Nailul Athaar berkata : “Hadist dikuatkan dengan hadits-hadits lain)”. Perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi, menurut golongan syafi’i pernikahan yang dilakukan oleh saksi apabila belum diketahui adil atau tidaknya maka akan tetap sah. Karena pernikahan tidak semua tempat ada, di kampung, daerah terpencil ataupun kota sehingga tidak dapat disama ratakan. Pada saat itu adil dapat dilihat dari segi lahiriahnya wali tidak terlihat fasik, jika terlihat fasik maka akad nikah yang telah terjadi tidak akan terpengaruh.9
3. Ijab Qabul
Ijab qobul merupakan salah satu rukun nikah yang harus dilaksanakan, ijab mempunyai makna penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qobul adalah penerimaan dari pihak kedua.
4. Calon Suami
Syarat sah menikah adalah ada mempelai laki-laki, seorang laki- laki telah memenuhi persyaratan yang disebutkan oleh Imam Zakaria al-Anshari dalam Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al- Thalab (Beirut: Dar al-Fikr), juz II, hal. 42: “Syarat calon suami ialah halal menikahi calon istri yakni Islam dan bukan mahram, tidak terpaksa, ditertentukan, dan tahu akan halalnya calon istri baginya.”
8 Wildan Maolana, “Pendapat Ibnu Qudamah Dan Imam Mawardi Tentang Wali Nikah Bagi Anak Temuan (Laqith)”, ADLIYA: Jurnal Hukum Dan Kemanusiaan, Vol 12, No 1, 2019, hlm 1–18 9 M Karya Mukhsin, “Saksi Yang Adil Dalam Akad Nikah Menurut Imam”, Al-Fikra : Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol 18, No 1, 2020, hlm 92
5. Calon Istri
Calon istri adalah rukun yang harus dipenuhi, wanita yang masih terdapat pertalian darah, hubungan sepersusuan atau kemertuaan haram untuk dinikahi. Diatur pasal 44 Kompilasi Hukum Islam, bahwa wanita Islam dilarang menikah dengan pria yang tidak beragama Islam.
Selanjutnya, Syarat keharusan nikah maksudnya syarat-syarat yang menimbulkan keberlangsungan dan kontinuitas pernikahan dan tidak ada pilihan bagi salah satunya untuk menghindarinya. Jika salah satu dari syarat tersebut cacat, rusaklah akad. Para Fuqaha’ mempersyaratkan keharusan akad nikah dengan beberapa syarat.
Adapun syarat dalam akad nikah harus memenuhi beberapa syarat, yaitu : a. Orang yang menjadi wali adalah orang yang tidak ada atau kurang
keahlian salah satu dari pihak orang tua atau anak.
b. Wanita baligh dan berakal, menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali, adapun hak wali dalam akad ada dua syarat, yaitu suami harus sekufu atau tidak lebih rendah kondisinya dari wanita, dan mahar akad sebesar mahar mitsil atau kurtang dari mahar mitsil apabila wali ridho.
c. Tidak adanya penipuan dari masing-masing pihak.
d. Tidak ada cacat sehingga dari pihak suami yang memperbolehkan faskh seperti penyakit kritis berbahaya.10
2. Definisi Talaq
Secara harfiyah talaq itu berasal dari kata Itlaq yang berarti melepaskan atau meninggalkan.11 Sedangkan menurut istilah adalah melepaskan tali 10 Oyoh Bariah, “Rekonstruksi Pencatatan Perkawinan Dalam Hukum Islam”, Solusi, Vol 1, No 4,
2015, hlm 20–29
11 A.W. Munawwir. Op.cit hlm 861
perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.12 Hukum talak itu sendiri berbeda- beda tergantung kepada kondisi masing- masing. Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri dan tidak ada jalan penyelesaiannya, maka hukumnya adalah wajib. Apabila sang isteri telah melakukan sesuatu yang dapat mengotori kesuciannya, maka talak di situ hukumnya adalah sunah. Jika sang suami tidak menyukai isterinya dan isterinya tidak dapat menyenangkan suami, maka hukumnya jawaz (boleh). Sedangkan apabila si suami menjatuhkan hukum talak kepada isteri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci setelah digaulinya dan belum jelas apakah si isteri hamil atau tidak, maka hukum talaknya adalah haram.13
Landasan hukum thalaq dalam al- quran dapat kita temukan dalam surat At- Thalaq, diantaranya dalam Q.S at-Talaq ayat 1:
“Hai Nabi apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertawakalah kepada Allah Tuhanmu. Jangan lah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (ijinkan) keluar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terlarang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”
Di samping itu, landasan mengenai kebolehan perceraian ini juga ada salah satunya yang keluar sebagai sebuah hadits Rasulullah SAW:
12 Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), cet. I, . 123.
13 Rusli Hasbi. Rekonstruksi Hukum Islam: Kajian Kritis Sahabat Terhadap Ketetapan Rasulullah Saw, (Jakarta: Al-Irfan Publishing, 2009), cet. II, . 205
“Dari Ibnu Umar. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW, telah bersabda
“sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah talak” (Riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah).14
Secara filosofis pernikahan merupakan sebuah upaya untuk mendapatkan dan berbagi kebagiaan lahir dan batin. Perwujudan kebahagiaan ini tentu saja harus menjadi motivasi dalam melaksanakan segala hak dan kewajiban yang timbul dari adanya ikatan perkawinan. Dalam rangka mewujudkan cita-cita pernikahan itu maka setiap individu harus betul-betul memahami makna mitsaqon ghalidan, muasyaroh bil’ma’ruf, dan Sakinah, mawadah juga rahmah.
Banyak factor yang mempengaruhi tingginya angka perceraian, sebagian sosiologi menganggap bahwa perceraian merupakan produk dari industrialisasi dan urbanisasi.15 Dintara indikasi perubahan sosial yang cukup besar prngaruhnya terhadap perceraian adalah:
1. Perubahan pada makna yang terkandung dalam perceraian, seiring berjalannya waktu makna perceraian yang sebelumnya dianggap tabu kini berangsur menjadi sesuatu yang biasa dan lumrah terjadi.
2. Perubahan pada longgarnya pengawasan kerabat, teman dan lingkungan tetangga terhadap kebutuhan keluarga, perubahan pola hubungan di masyarakat sebagai akibat dari industrialisasi dan globalisasi yang cenderung mengaraha kepada sikap apatis menyebabkan kemungkinan perceraian semakin tinggi.
3. Tersedianya berbagai piliahan di luar keluarga, ketergantungan antara suami istri merupakan salah satu sebab hubungan perkawinan berjalan langgeng, sementara akibat perubahan sosial dimana segala sesuatu bahkan dapat dengan mudah ditemukan diluar keluarga menyebabkan kecenderungan satu sama lain berkurang.
14 Rasjid, S. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011. .. 401-402.
15 Sacanzoni, Letha dawson dan John Scanzoni, Men, Women and change: A Socilogy of Marriage and Family, New York: McGraw, Hill Book Company, 1961
4. Lahirnya tuntutan persamaan hak laki-laki dan perempuan, mulai menggeliatnya usaha-usaha untuk mendobrak bias gender nampaknya sedikit banyaknya mengusik doktrin patriarki yang sudah lama melekat di benak masyarakat, sehingga mereka yang tidak menerima paham ini lebih memilih mengakhiri pernikahannya
3. Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam
Hukum pernikahan memilki dua makna yaitu sifat syara’ pada sesuatu (seperti wajib, haram makruh, sunnah dan mubah), dan akibat yang ditimbulkan sesuatu menurut syara’. Dalam hukum pernikahan ini, suami mempunyai kewajiban terhadap mahar dan nafkah Hukum pernikahan memilki dua makna yaitu sifat syara’ pada sesuatu (seperti wajib, haram makruh, sunnah dan mubah), dan akibat yang ditimbulkan sesuatu menurut syara’. Dalam hukum pernikahan ini, suami mempunyai kewajiban terhadap mahar dan nafkah.
Hukum taklifi atau pembebanan adalah hukum yang ditetapkan syara’
apakah dituntut mengerjakan atau tidak. Pernikahan itu lebih dari sekedar urusan kepentingan pribadi, tetpi juga untuk beribadah, melindungi wanita, memperbanyak keturunan dan umat serta menjalankan sunah Rosul.
1. Wajib
Wajib apabila sesorang telah mampu baik fisik maupun finansial, apabila tidak segera menikah dikhawatirkan berbuat zina.
2. Sunnah
Apabila nafsunya telah mendesak dan mempunyai kemampuan menikah tetapi masih dapat menahan diri.
3. Makruh
Bagi orang yang lemah syahwat dan tidak mampu menafkahi
istrinya.
4. Mubah
Orang yang hendak menikah tetapi masih mampu menahan nafsuya dari zina dan dia belum berniat untuk segera menikah dan mempunyai anak.
5. Haram
Haram hukumnya apabila menikah akan merugikan istrinya dan tidak mampu menafkahi baik lahir maupun batin.
Dalam al-Qur'an dinyatakan bahwa hidup berpasang- pasangan, berjodoh- jodoh adalah naluri segala makhluk Allah, termasuk manusia. Sebagaimana dalam surat Az-Zariyat: 49
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah” (QS. Adz-Dzariyat: 49)16
Dalam surat Yasin: 36.
“Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”, (QS. Yasin: 36) Agama Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodoh itu melalui jenjang perkawinan yang ketentuannya dirumuskan dalam wujud aturan- aturan yang disebut dengan hukum perkawinan. Hukum ini ada bukan tanpa adanya sebuah tujuan, namun hukum Islam juga ditetapkan ini untuk kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat, baik untuk hidup di dunia maupun di akhirat. Kesejahteraan masyarakat akan tercapai dengan terciptanya kesejahteraan keluarga yang sejahtera. Karena keluarga merupakan lembaga terkecil dalam masyarakat, sehingga kesejahteraan masyarakat sangat tergantung kepada kesejahteraan keluarga.
16 Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahannya, Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005, hlm. 522
Al-Jurjawi memahami bahwa pada dasarnya, Allah Swt. menciptakan manusia untuk meramaikan dan memasyarakatkan dunia ini yang di dalamnya telah diisi dengan berbagai ciptaan Allah Swt. Kelangsungan kehidupan di dunia ini mensyarakatnya adanya manusia hingga dunia ini berakhir.
Kelansungan hidup ini memerlukan perkembangbiakan bangsa manusia dan menjaganya, sehingga tidak ada sesuatu yang sia-sia dalam penciptakan bumi dan seisinya. Hal ini karena segala ciptaan Allah Swt. mengandung maksud dan manfaat. Oleh karena itu, sebagai makhluk yang paling mulia, sekaligus sebagai khalifah di muka bumi, manusia harus menyadari terhadap tujuan hidupnya.
Keberadaan manusia di muka bumi ini bukanlah ada dengan sendirinya.
Manusia diciptakan oleh Allah, dengan dibekali potensi dan infrastruktur yang sangat unik. Keunikan dan kesempurnaan bentuk manusia ini bukan saja dilihat dari bentuknya, akan tetapi juga dari karakter dan sifat yang dimiliki oleh manusia. Sebagai ciptaan, manusia dituntut memiliki kesadaran terhadap posisi dan kedudukan dirinya di hadapan Tuhan. Dalam konteks ini manusia di hadapan Tuhannya sebagai hamba yang harus menunjukkan sifat pengabdian dan kepatuhannya sebagai wujud beribadah kepada-Nya.
Manusia juga dijadikan sebagai khalifah di muka bumi, bahkan secara tegas Allah menyatakan bahwa manusia ditumbuhkan dari bumi dan selanjutnya diserahi untuk memakmurkannya. Dengan demikian seluruh urusan kehidupan manusia dan eksistensi alam semesta di dunia ini telah diserahkan Allah kepada manusia. Perintah memakmurkan alam, ini berarti perintah untuk menjadikan alam semesta ini sebagai media untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia di dunia.
4. Hukum Talaq Menurut Hukum Islam
Talak merupakan suatu yang disyariatkan dalam Islam berdasarkan nashnash yang terdapat dalam Alquran maunpun Alhadis. Adapun nash-nash di dalam Alquran dan Alhadis yang menjadi dasar hukum talak yaitu;
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.
Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ? bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.” (QS. an-Nisā ayat 20-21)17
Talak itu bisa dilakukan dengan berbagai cara dan mempunyai beberapa dimensi, sehingga dalam mengadakan klasifikasi talak, pembagiannya tergantung kepada berbagai segi peninjauan. Menurut peneliti pada hakikatnya perceraian secara garis besar hanya terbagi menjadi 2 (dua) yakni cerai yang inisiatifnya dari suami yaitu biasa disebut dengan talak dan cerai yang inisiatifnya dari istri yaitu khuluk dan cerai gugat. Menurut para pakar sendiri pembagian tersebut terdiri dari beberapa sudut pandang. Di antaranya ada yang membagi perceraian itu dari segi sesuai atau tidaknya dengan sunnah Nabi, dan dari segi boleh atau tidaknya rujuk kembali. 18 Dengan melihat sesuai atau tidaknya dengan sunnah Nabi, talak itu ada dua yakni talak sunni dan talak bid’iy.19
Talak sunni adalah talak yang pelaksanaannya di dasarkan pada sunah Nabi.96 Bentuk talak sunni yang disepakati oleh para ulama adalah talak yang dijatuhkan oleh suami pada saat istri sedang dalam keadaan suci dari haid dan belum dikumpuli. Adapun landasan hukum mengenai talak sunni adalah firman Allah Swt dalam QS ath-Thalaq ayat 1 yang berbunyi;
”Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” (QS. ath-Thalaq ayat 1)
17 Departemen Agama RI. Op.cit hlm 119-120
18 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang prekawinan, Jakarta: Bulan bintang, Cet 3, 1993, h. 159
19 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia..., h 217
Talak bid’iy yaitu talak yang tidak sesuai dengan syariat seperti mentalak istri yang sedang dalam keadaan haid atau nifas atau di waktu suci tetapi setelah dicampuri. Hukum talak bid’iy adalah haram dengan alasan memberi mudarat kepada istri, karena memperpanjang masa idahnya. Adapun yang menjadi dalil dari talak bid’iy adalah hadis berikut.
Dari Ibnu Umar bahwa di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dia pernah menceraikan istrinya, padahal istrinya sedang haid, lantas Umar bin Khatthab menanyakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengenai hal itu, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Perintahkanlah dia (Ibnu Umar) untuk kembali (merujuk) kepadanya, kemudian tunggulah sampai dia suci, lalu dia haid kemudian suci kembali, setelah itu jika dia masih ingin bersamanya, (dia boleh bersamanya) atau jika dia berkehendak, dia boleh menceraikannya sebelum dia menggaulinya, itulah maksud idah yang di perintahkan Allah Azza Wa Jalla dalam menceraikan Wanita. (HR Muslim)
Ditinjau dari segi boleh dan tidaknya suami rujuk dengan istrinya, ulama fikih membagi talak menjadi dua, yaitu talak rajʽi dan talak bā’in. Talak rajʽi adalah talak satu atau dua yang dijatuhkan suami pada istrinya. Dalam keadaan ini, suami berhak rujuk dengan istrinya baik disetujui oleh bekas istrinya maupun tidak disetujui tanpa akad dan mahar baru selama rujuk itu dilakukan dalam masa idah.
Sedangkan talak bā’in yaitu talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dimana suami berhak kembali pada istrinya melalui akad dan mahar baru.
Ulama fikih membagi talak bā’in menjadi talak bā’in sughra dan talak bā’in kubra. Talak bā’in sughra adalah talak rajʽi yang telah habis masa idahnya dan talak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang belum pernah dicampuri, dan talak dengan tebusan (khuluk). Dalam talak seperti ini suami tidak boleh kembali begitu saja kepada istrinya akan tetapi harus dengan akad nikah dan mahar baru. Adapaun talak bai’in kubra ialah talak tiga yang dijatuhkan kepada istri. Talak ini apabila istri ingin kembali pada suaminya maka ia harus
menikah terlebih dahulu dengan laki-laki lain.20
BAB III KESIMPULAN
Menurut Islam perkawinan adalah perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk membentuk keluarga yang kekal, saling menyantuni, saling mengasihi, aman tenteram, bahagia dan kekal antara seorang laki-laki dan perempuan yang disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki. Selain itu, perkawinan juga diatur dalam hukum Islam harus dilakukan dengan akad atau perikatan hukum antara kedua belah pihak. Sedangkan secara harfiyah talaq itu berasal dari kata Itlaq yang berarti melepaskan atau meninggalkan. Sedangkan menurut istilah adalah melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.
Hukum pernikahan memilki dua makna yaitu sifat syara’ pada sesuatu (seperti wajib, haram makruh, sunnah dan mubah), dan akibat yang ditimbulkan sesuatu menurut syara’. Dalam hukum pernikahan ini, suami mempunyai kewajiban terhadap mahar dan nafkah Hukum pernikahan memilki dua makna yaitu sifat syara’ pada sesuatu (seperti wajib, haram makruh, sunnah dan mubah), dan akibat yang ditimbulkan sesuatu menurut syara’. Dalam hukum pernikahan ini, suami mempunyai kewajiban terhadap mahar dan nafkah. Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri dan tidak ada jalan penyelesaiannya, maka hukumnya adalah wajib. Berdasarkan Hadis Riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah, Rasulullah
20 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Fiqh, Bogor: Kencana, Cet 1, 2003, h. 130.
SAW bersabda: ‘sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah talak”.
DAFTAR PUSTAKA
Addin Daniar Syamdan dan Djumadi Purwoadmodjo, “Aspek Hukum Perkawinan Siri Dan Akibat Hukumnya”, Notarius, Vol 12, No 1 ,2019, hal 452–466
Ahmad Atabik and Koridatul Mudhiiah, "Pernikahan Dan Hikmahnya Perspektif Hukum Islam", Yudisia, Vol 5, No 2, 2014, hlm 293–294
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia..., h 217
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Fiqh, Bogor: Kencana, Cet 1, 2003, h. 130 A.W. Munawwir. Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), edisi ke II, . 861
Aspandi A., “Pernikahan Berwalikan Hakim, Analisis Fikih Munakahat Dan Kompilasi Hukum Islam”, Ahkam: Jurnal Hukum Islam, Vol 5, No 1, 2017, hlm 85–116
Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, hlm. 456
Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahannya, Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005, hlm. 522
Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), cet. I, . 123
Kamal Mukhtar. Asas-asas Hukum Islam Tentang prekawinan. Jakarta: Bulan bintang, Cet 3, 1993, h. 159
M Karya Mukhsin, “Saksi Yang Adil Dalam Akad Nikah Menurut Imam”, Al-Fikra : Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol 18, No 1, 2020, hlm 92
Oyoh Bariah, “Rekonstruksi Pencatatan Perkawinan Dalam Hukum Islam”, Solusi, Vol 1, No 4, 2015, hlm 20–29
Rasjid, S. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011. Hlm 401-402 Rusli Hasbi. Rekonstruksi Hukum Islam: Kajian Kritis Sahabat Terhadap Ketetapan Rasulullah Saw, (Jakarta: Al-Irfan Publishing, 2009), cet. II, . 205 Santoso, “Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam Dan Hukum Adat”, Yudisia, Vol 7, No 2,2016, hlm 412–
434
Wildan Maolana, “Pendapat Ibnu Qudamah Dan Imam Mawardi Tentang Wali Nikah Bagi Anak Temuan (Laqith)”, ADLIYA: Jurnal Hukum Dan Kemanusiaan, Vol 12, No 1, 2019, hlm 1–18