• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH Al-Wala’ dan Al-Bara’ Kepada Pemimpin Zholim Dalam Al-Qur’an

N/A
N/A
Dinda Febriana yusman

Academic year: 2023

Membagikan "MAKALAH Al-Wala’ dan Al-Bara’ Kepada Pemimpin Zholim Dalam Al-Qur’an "

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH Al-Wala’ dan Al-Bara’

Kepada Pemimpin Zholim Dalam Al-Qur’an

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Tafsir Ayat-Ayat Politik Dosen Pengampu : Dr. H. Bukhori Abdul Shomad, MA

Oleh :

Akbar Nanda Saputra (2031030123) Dinda Febriana Yusman ( 2031030065 )

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA UNIVERSITAS ISLAM NEGRI LAMPUNG

2022/2023

(2)

MUQODIMAH

Segala puji bagi Allah SWT, shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabat dan orang-orang yang menempuh jalan dengan petunjuknya.Setelah cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya SAW, maka wajib bagi setiap muslim untuk mencintai para wali-wali Allah dan membenci musuh-musuh-Nya.

Termasuk dari dasar-dasar aqidah Islam, bahwa setiap muslim yang beragama Islam lagi bertauhid wajib untuk:

- Berwala’ (sikap setia, loyal) terhadap orang- orang yang beraqidah Islam dan memusuhi orang-orang yang menentangnya.

- Mencintai orang yang bertauhid yang mengikhlaskan ibadahnya untuk Allah.

- Membenci orang-orang musyrik yang memusuhi akidah tersebut.

Hal ini juga termasuk bagian dari millah (agama) Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan orang-orang yangmengikutinya, yang diperintahkan untuk meneladani mereka.

Oleh karena itu kaum muslimin sejak mereka diciptakan sampai akhir nanti, meskipun tanah airnya berjauhan dan masanya tidak berdekatan, mereka adalah bersaudara dan saling mencintai. Orang-orang yang datang berikutnya meneladani orang-orang yang sebelum mereka, mereka saling mendo’akan dan saling memintakan ampunan antar sesama mereka.

Wala’ dan bara’ itu memiliki fenomena yang nyata, yang menunjukkan keberadaannya.

(3)

PEMBAHASAN A. Term Al-Wala’ wa Al-Bara

Menurut bahasa, kata wala’ (mashdar) berasal dari fi‟il waliya (fi‟il) yang memiliki arti dekat. 1Dari kata dekat disini, berkembang pula makna-makna yang baru yaitu pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, diutamakan dan lain sebagainya. Pemaknaan ini disesuaikan dengan konteksnya masing-masing. Istilah dari al-wala>’ adalah al-walaya yang memiliki arti an-nushroh (pertolongan), al-mahabbah (kecintaan), al-ikram (penghormatan), al-ihtiram (penghargaan), dan tetap bersama orang-orang yang dicintai secara lahir.

Orang yang memiliki kedekatan kepada Allah disebut waliy, seorang ayah menjadi waliy bagi anak perempuannya karena ayah adalah orang terdekatnya.

Thabathaba‟i dalam kitab tafsirnya menjelaskan makna waliy sebagai yang dicintai, yang menjadikan seseorang tidak dapat tidak, kecuali memiliki ketertarikan dengannya, memenuhi kehendaknya dan mematuhi perintahnya2

Dikatakan oleh Ibn Taimiyah bahwa kata al-walayatu merupakan lawan kata dari al-adawah. Alwaliy memiliki arti yang sama dengan al-mahabbah dan al- qorib, sedangkan al-adawah sama dengan bughdu (jauh) dan al-ba’du. 3Jadi yang dimaksud dengan al-wala‟ adalah dekat dengan orang mukmin dengan kecintaan, membantu dan menolong mereka dari musuhnya dan hidup berdampingan dengan mereka. Waliy dan kata lain yang serupa, disebutkan 232 kali dalam Alquran.

Yaitu, (1) Berpaling dari kebenaran. Disebutkan dalam surat An-Naml ayat 10, Luqman ayat 7, dan Al-Baqarah ayat 142. (2) Menghadapkan atau memalingkan wajah. Disebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat 115 dan 177. (3) Teman dekat, kekasih, pelindung, penolong, pembela. Disebutkan paling banyak dalam Alquran.

1 Shalih bin Fauzan bin Abdullah, At-Tauhid Lish shaffil Awwal Al Ali (Jakarta: Yayasan Al-Sofwah, 1998), 143

2 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 3 (Jakarta: Lentera Hati, 2003), 151.

3 Sukimin dkk., Pandangan Ibnu Taimiyah Terhadap Wali, Jurnal Diskursus Islam 1, Vol. 6, April 2018, 165.

(4)

Kemudian kata al-bara>’ yang merupakan mashdar, berasal dari kata bara‟ah yang artinya memutus atau memotong. Seperti contoh “bara al-qalam”

yang artinya memotong pena.4 Ibnu Al-Arabi menyebutkan beberapa arti dari kata al-bara>’ seperti takhallasha yang berarti bebas atau lepas, tanazzaha yang berarti suci atau bersih, taba’ada yang berarti menjauh, dan andzara yang berarti memperingatkan.

Secara istilah, al-bara’ adalah al-bu’du (jauh), al-khalash (lepas), al-adawah (permusuhan) setelah diberikan peringatan5. Jadi yang dimaksud al-bara’

adalah memutuskan hubungan atau ikatan hati dengan orang-orang kafir, sehingga tidak lagi mencintai mereka, membantu dan menolong mereka serta tidak tinggal bersama mereka.6 Terdapat beberapa pandangan mengenai al-wala’ wa al bara’

atau yang disebut dengan sikap loyalitas, sebagai berikut:

a) Al-wala’ adalah sikap loyalitas dan cinta kepada Allah dan Rasulullah dan orangorang mukmin, dan al-bara’ adalah berlepas diri dan membenci musuh Allah dan Rasulullah dan musuh orang-orang mukmin.

b) Al-wala’ wa al-bara’ adalah cinta dan benci karena Allah.

c) Al-wala’ yaitu dekat dengan orang-orang muslim dan mencintai, membantu dan menolong mereka dari musuhnya, serta hidup berdampingan dengan mereka. Al- bara’ yaitu memutuskan ikatan atau hubungan dari orang kafir, tidak mencintai, membantu dan menolong mereka, serta tidak tinggal bersama mereka.

d) Al-wala’ yaitu memberikan kemuliaan dan rasa hormat dan selalu ingin bersama dengan yang dicintainya secara lahir dan batin. Al- bara’ merupakan lawan dari Al-wala’, yaitu memberikan permusuhan dan menjauhkan diri.

4 Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, At-Tauhid Lish Shaffil Awwal Al- Ali...143.

5 Muhammad Said Al-Qahtani, Al-Wala’ wal al-Bara’ Fil Islam...104.

6 Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, At-Tauhid Lish Shaffil Awwal Al-Ali...143.

(5)

B. Pandangan Para Ulama Tentang Al-Wala’ wa Al-Bara’

Al-wala’ wa al-bara’ merupakan doktrin yang dikenal dari kalangan Salafi Wahabi dalam mengatur hubungan interaksi antara kaum muslimin dan orang-orang nonmuslim. Ibnu Taimiyah menjadikan al-wala’ wa al-bara’ sebagai tolak ukur atas keimanan seseorang. Ibnu Taimiyah dikenal sebagai ulama yang banyak membahas tentang substansi gerakan arabisasi linguistik dalam kitabnya Majmuk Al-Fatawa dan Iqtida‟ Al-Shirat Al-Mustaqim.7

C. Makna dan Pengertian Pemimpin Dzalim

Istilah kepemimpinan berasal dari kata dasar "pimpin" yang artinya "bimbing"

atau "tuntun". Kemudian dari kata "pimpin" lahirlah kata kerja "memimpin" yang artinya suatu kegiatan membimbing, menunjukkan jalan atau menuntun, dan bentuk kata bendanya adalah "pemimpin" yaitu orang yang melaksanakan memimpin, menunjukkan jalan atau orang yang membimbing. Perkataan lain yang disamakan pengertiannya adalah mengetuai, mengepalai, memandu, menguasai, dan melatih.8

Definisi tentang pemimpin memiliki banyak variasi dan banyak yang mencoba untuk mendefinisikan tentang konsep pemimpin ini. Pemimpin adalah orang yang memiliki segala kelebihan dari orang-orang lain. Pemimpin dalam pandangan orang kuno adalah mereka yang dianggap paling pandai tentang berbagai hal yang ada hubungannya kepada kelompok dan pemimipn harus pandai melakukannya (pandai memburu, cakap dan pemberani berperang).9

Sedangkan kepemimpinan itu sendiri artinya kemampuan menggerakkan dan mengarahkan orang-orang. Menggerakkan dan mengarahkan orang, berarti telah berlangsungnya hubungan manusiayaitu menggerakkan dan mengerahkan (si pemimpin) dengan yang digerakkan dan diarahkan (yang dipimpin), sehingga dalam banyak hal si pemimpin sifatnya mengajak dan mempengaruhi yang di pimpin dengan suka rela dan ikhlas untuk mencapai tujuan bersama.

7 Umar Faruq, Telaah Pemikiran Ibn Taymiyah Tentang Arabisasi Linguistik dalam Alquran dan Hadis, Jurnal Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, Vol. 7, No. 1, Juni 2017, 143.

8 Purwadarna, “Kamus Besar Bahasa Indonesia” , (Jakarta: Balai Pustaka , 1982), hal.769 9 Ngalim Purwanto dkk, “Administrasi Pendidikan”, (Jakarta: Mutiara, 1984), hal. 38

(6)

Untuk dapat memenuhi seseorang dijadikan sebagai pemimpin dibutuhkan tiga hal penting: Pertama, kekuasaan yang dimaksud adalah kekuatan, otoritas, dan legalitas yang memberi wewenang kepada pemimpin guna mempengaruhi dan menggerakkan bawahan untuk berbuat sesuatu. Kedua, kewibawaan adalah kelebihan, keunggulan, keutamaan sehingga seorang pemimpin mampu mengatur orang lain dan orang tersebut patuh pada orang yang memimpin dan bersedia melakukan perbuatan-perbuatan tertentu Ketiga, kemampuan yaitu seorang pemimpin mempunyai segala daya, kesanggupan, kekuatan dan kecakapan atau ketrampilan teknis maupun sosial atas perintahnya yang dianggap melebihi dari kemampuan orang biasa.10

Mengangkat kepala negara yang akan mengelola negara, memimpinnya, dan mengurus segala permasalahan rakyatnya menurut Ibn Abi Rabi, sangat urgen dilakukan. Tidak mungkin suatu negara berdiri tanpa penguasa yang akan melindungin warga-warganya dari gangguan dan bahaya baik yang timbul di antara merekasendiriataupun yang datang dari luar11

Adapun istilah Pemimpin adalah orang yang mempunyai wewenang dan hak untuk mempengaruhi orang lain, sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaiman yang dikehendaki oleh pemimpin tersebut melalui kepemimpinannya.12 Sedangkan zalim adalah Tidak meletakan sesuatu pada tempatnya. Zalim adalah setiap orang yang tidak adil kepada diri sendiri atau kepada orang lain. Adapun kriteria pemimpin dzalim yaitu : (1) Kezaliman (al- dhulma),(2) Bodoh (jahil), (3) Fasiq (berdosa), (4) Cacat pancaindra, (5) Ia mempunyai rasa takut dan bimbang dalam mengambil kepuntusan, (6) Memiliki sikap lemah yang membuat pertahanan rakyat atau stabilitas Negara berantakan.

Pemimpin dzalim menurut Ibnu Taimiyah adalah pemimpin yang melakukan sebagian dosa, namun bukan menolak hukum Allah SWT, serta tidak bermaksud menggantikan hukum Allah SWT tersebut.

10Kartini Kartono, “Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Pemimpin Abnormal Itu?”, (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 28

11 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim Di Negara Muslim, hal. 15

12 Muhammad Tholhah Hasan, “Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia” (Jakarta:Penerbit Lantabara Press, 2005), hal. 247

(7)

Adapun Bentuk kedzaliman itu dalam pandangan Ibnu Taimiyah terbagi kedalam tiga bagian, Pertama, dzalim terhadap sesama manusia seperti mengambil harta orang lain, dengki dan lain-lain. Kedua, dzalim terhadap diri sendiri seperti minum khamer, berzina itupun jika dampaknya tidak meluas ke masyarakat lainnya. Ketiga, mencakup kedua-duanya, seperti kejahatan kekuasaan, untuk kepentingan minum khamer dan berzina.

Adapun pendapat ulama yang mendasari untuk memerangi pemimpin yang dzalim adalah13:

Imam Abu Hanifah berkata: “Apabila kita temukan pemimpin yang sudah tidak taat dengan perintah Allah, maka kita boleh melakukan pemberontakan terhadapnya, bahkan jauh dari itu Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa Kepemimpinan orang dzalim itu adalah batal”.

Al-Nawawi berkata: “Berkata al-Qadli Iyyadl: Para ulama berijma’

bahwasanya kepemimpinan itu tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Dan jika seorang pemimpin itu kafir, ia di pecat sampai perkataannya jika pemimpin itu kafir, atau mengganti syariat, atau dia berbuat bid’ah, maka gugurlah kekuasaannya dan gugur pula kewajiban taat kepadanya. Dan kaum muslim wajib mencopot kekuasaannya lalu menggantinya dengan imam yang adil jika hal itu memungkinkan”.14

Negara bukan hanya berada di bawah supremasi agama (Syariah), tetapi negara berikut penyelenggaranya juga bukanlah institusi yang sakral, sehingga karenanya tak mempunyai keistimewaan relegius apapun. Itu sebabnya, dalam pandangan IbnuTaimiyah, ketaatan kepada pemeritah penyelenggara negara hanya dapat diberikan sepanjang perintah mereka tidak bertentangan dengan ajaran- ajaran agama. Kendati begitu, harus segera dicatat bahwa eksistensi negara tidak dapat dipandang remeh, karena tanpa kehadirannya suatu tata tertib sosial yang berlandaskan Al-Quran dan Sunnah kiranya akan sulit diwujutkan.15

13 Luluk Husnawati. “Hukum Ketaatan Kepada Penguasa Dzalim Menurut Ibnu Taimiyah”, Skripsi, h. 43-44.

14 M. Yusuf Musa, Politik dan Negara dalam Islam (Yogyakarta: Penerbit Pustaka SLI, 1991), h.

336.

15 M. Arskal Salim, Etika Intervensi Negara Perspektif Etika Politik Ibnu Taimiyah, (Jakarta: Logos, 1999) hal. 52

(8)

Menunaikan hukum-hukum dan syariat-syariat Nya, dengan menegakkan keadilan dan mencegah kedzaliman, menghukum orang-orang yang berbuat kejahatan serta melanggar hak-hak Allah dan manusia, menjamin orang-orang miskin, mengangkat orang-orang yang akan melaksanakan seluruh aktivitas pembelanjaan (negara), keilmuan, kehakiman, keuangan, dan administrasi16

Mengurusi umat manusia itu tergolong kewajiban agama yang bernilai besar.

Bahkan agama tidak bisa mencapai kesejahteraan dengan sempurna kecuali dengan bersosialisasi karena di antara mereka saling membutuhkan.17

D. Ayat Tentang Pemimpin Dzalim 1. QS. Al-Maidah ayat 51

ُءۤاَيِل ْوَا ْمُهُضْعَب ۘ َءۤاَيِل ْوَا ىٰٓر ٰصّنلاَو َد ْوُهَيْلا اوُذِخّتَت َل ا ْوُنَمٰا َنْيِذّلا اَهّيَآٰي

َنْيِمِل ّٰظلا َمْوَقْلا ىِدْهَي َل َ ّٰا ّنِا ۗ ْمُهْنِم ٗهّنِاَف ْمُكْنِم ْمُهّلَوَتّي ْنَمَو ٍۗضْعَب

Yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasran sebagai pemimpin-mu; sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin , maka sesungguhnya dia termasuk sebagian mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”18

Allah (Subhanahu wa Ta'ala) melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin mengangkat orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani sebagai wali mereka, karena mereka adalah musuh-musuh Islam dan para penganutnya; semoga Allah melaknat mereka. Kemudian Allah memberitahukan bahwa sebagian dari mereka

16 Muhammad Al-Mubarak, Sisterm Pemerintahan Dalam Perspektif Islam, terj. Firman Harianto, ( Solo, CV. Pustaka Mantiq, 1995) hal. 70

17 Ibnu Taimiyah, Kebijaksanaan Politik Nabi SAW, terj. Muhammad Munawwir al- Zahidi, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997) hal. 158

18Usman el-Qurtuby Al-Qur’anulkarim,

(9)

adalah wali bagi sebagian yang lain.19 Dan setelah itu Allah mengancam, dan menjanjikan siksaan bagi orang yang mengerjakan hal tersebut.20

Didalam surat Al-Maidah ayat 51 terdapat kata Awliya. Jam’ak dari kata Waly yang berati dekat atau kedekatan. Didalam Al-Qur’an Departemen Agama edisi 2010,21 kata Awliya’ bermakna yang mencintai, teman, sahabat, yang menolong, orang yang mengurus perkara seseorang atau waliy. 22Awliya sebagai obyek yang kedua dari kata laa tattakhidu yang berkedudukan sebagai penjelas dari obyek yang pertama yaitu Yahuda waa Nasarā. Maksudnya adalah larangan kepada orang Muslim untuk menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman dekat dalam aliansi peperangan sehingga mereka dikawatirkan tidak mempunyai komitmen dan membocorkan beberapa agenda atau strategi peperangan.

Dan selanjutnya pada ayat ini, Sayyid Quthb memulai penafsirannya dengan makna kata walayah yang berarti memberikan kesetiaan. Allah melarang orang beriman untuk saling memberikan kesetiaan kepada kaum Yahudi dan Nasrani. Tidak mungkin adanya sikap saling setia antara kaum muslimin dan orang Yahudi dan Nasrani.23

Dalam kalimat diatas dapat dipahami bahwa tidak ada suatu sikap kesetiaan antar kaum Muslimin dengan kaum Yahudi ataupun Nasrani. Dengan kata lain kesetiaan yang pernah ada antar kaum ini akan menemui titik dimana adanya konflik.

Adapun toleransi terhadap Ahli Kitab, yang diperbolehkan dalam Islam, merupakan persoalan tentang akhlak. Sedangkan menjadikan mereka sebagai pemimpin, adalah persoalan akidah. Hal inilah yang menurut Sayyid Quthb merupakan permasalahan yang masih samar bagi kaum muslimin. Toleransi juga

19 Tafsir Qur’anil adzim,Tafsir Ibnu Katsir Karya Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh (1301-1372 M )

20 Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh; Penerjemah, M Abdul Ghoffar, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3, (Jakarta, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008), h. 134

21 Departemen Agama RI, al-Qur’ān dan tafsirnya (Jakarta :Departemen Agama Edisi 2010),hlm.695.

22 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwi rkamus Arab-Indonesia, (Surabaya: PustakaProgressif, 1997), hal 1582. Lihat, M. QuraishShihab, Tafsir Al Misbah, Pesan, kesandan keserasian Al-Qur’ān (Jakarta : LenteraHati, 2002), hlm 123. Lihat, Muhdlor,atabik ali ahmad zuhdi” Kamus

Kontemporer ArabIndonesia(“Yogyakrta : Multii karya Drafiika),hlm.2038.

23 Sayyid Quthub jilid 3/249

(10)

diperintahkan dalam Alquran, akan tetapi dilarang untuk memberikan loyalitas dan mengikat janji setia kepada mereka. Hal ini dikarenakan sifat para Ahli Kitab yang membenci Islam. Mereka saling bekerja sama dalam memusuhi Islam.24

Quraish Shihab kemudian melanjutkan penafsirannya dengan menjelaskan bahwa ada ketetapan atas dilarangnya menjadikan orang-orang non muslim sebagaiauliya’yaitu:

1) Larangan “Janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagaipemimpin.”

2) Penegasan “Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain.”

3) Ancaman bagi orang yang menjadikan mereka sebagai pemimpin yaitu orang tersebut termasuk ke dalam golongan pemimpinnya dan termasuk orang yang zhalim.

Akan tetapi, disebutkan Quraish Shihab bahwa pelarangan ini tidaklah mutlak dalam mencakup seluruh makna kata auliya’.25

Muhammad Sayyid Thanthawi dalam kitab tafsirnya membagi orang nonmuslim menjadi tiga kelompok:

1) Nonmuslim yang tinggal bersama kaum muslimin serta hidup dengan damai.

2) Nonmuslim yang memerangi kaum muslimin.

3) Nonmuslim yang tidak menunjukkan permusuhannya, namun simpati terhadap musuh-musuh Islam.

Menurut Sayyid Quthb, ayat ini diturunkan dengan tujuan menyadarkan kaum muslimin untuk memutuskan hubungan secara total dengan Ahli Kitab.

Pemutusan hubungan ini tidak melarang adanya toleransi, akan tetapi larangan memberikan loyalitas kecuali hanya untuk Allah, Rasulullah dan kaum muslimin yang beriman.26

24 Ibid, 250

25 Quraish Shihab, 153-154 26 Sayyid Quthb jilid 3, 251.

(11)

PENUTUP Kesimpulan

Termasuk dari dasar-dasar aqidah Islam, bahwa setiap muslim yang beragama Islam lagi bertauhid wajib untuk: -Berwala’ (sikap setia, loyal) terhadap orang- orang yang beraqidah Islam dan memusuhi orang-orang yang menentangnya.Hal ini juga termasuk bagian dari millah (agama) Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan orang-orang yang mengikutinya, yang diperintahkan untuk meneladani mereka.

Orang-orang yang datang berikutnya meneladani orang-orang yang sebelum mereka, mereka saling mendo’akan dan saling memintakan ampunan antar sesama mereka.

Alwaliy memiliki arti yang sama dengan al-mahabbah dan al-qorib, sedangkan al-adawah sama dengan bughdu (jauh) dan al-ba’du. Jadi yang dimaksud dengan al-wala’ adalah dekat dengan orang mukmin dengan kecintaan, membantu dan menolong mereka dari musuhnya dan hidup berdampingan dengan mereka.

Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” Allah (Subhanahu wa Ta'ala) melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin mengangkat orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani sebagai wali mereka, karena mereka adalah musuh-musuh Islam dan para penganutnya; semoga Allah melaknat mereka. Awliya sebagai obyek yang kedua dari kata laa tattakhidu yang berkedudukan sebagai penjelas dari obyek yang pertama yaitu Yahuda waa Nasarā.

(12)

Referensi

Dokumen terkait

Серикбаева Факультет: ИТиБ, кафедра: ЭиМ, специальность: 6М050600 - Экономика Магистрант: Казбекова Лаура Жандоскызы, группа: 15-ММЭК-2 АННОТАЦИЯ на магистерскую диссертацию на

2 Saudara kami tim kontra menyatakan mengenai ldr long distance relationship namun sayangnya brekan kami tim kontra gagal memahami mosi kali ini yang mana dalam mosi tertera asumsi