• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA TENGKA DALAM TRADISI MASYARAKAT MADURA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "MAKNA TENGKA DALAM TRADISI MASYARAKAT MADURA"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

E-ISSN: 1858-0742

Jurnal Mediasi Vol. 1, No. 2, Desemberi 2022, Hal. 71 - 74

71 | P a g e

MAKNA TENGKA DALAM TRADISI MASYARAKAT MADURA TENGKA MEANING IN THE TRADITION OF THE MADURESE PEOPLE

Khoirul Anwar1, Herman Efendi2, Siti Mariyam3 anwarkha005@gmail.com

1,2,3Institut Agama Islam Negeri Madura

Abstract: Contemporary Madurese society is in the middle of two main streams between traditionality and modernity in various fields. The development of ethics with an ethnic background as an orientation for the community itself in the midst of globalization which has an impact is not always good. The research report of the Madurese community is concentrated on the social implications that lead to violence while their social ethics do not get much attention, this condition is because the Madurese people who do not believe in their moral system theorizing efforts such as the tengka by assuming that tengka only exist in practice spaces, become It is important to know the cultural meaning of tengka and its practice in the social sphere. This study uses a qualitative method based on processing and observing, ethnography is used to obtain the point of view of the perpetrators of the dispute to give birth to a description. Tengka contains many interpretations caused by differences in social strata of the Madurese community, which is interpreted as social order, all virtues, limited to manners to absolute responsibility. The most important contribution of this research is to convince the Madurese that their moral system is possible to theorize.theorize

Keywords: Madura, social ethics, tengka, ethnography, community traditions.

Abstrak: Masyarakat Madura kontemporer berada di tengah dua arus utama antara tradisionalitas dan modernitas dalam berbagai bidang. Pengembangan etika dengan latar belakang etnisitas sebagai orientasi bagi masyarakat itu sendiri di tengah globalisasi yang berdampak tidak selalu baik. Laporan penelitian masyarakat Madura terkonsentrasi pada implikasi sosial yang berujung kekerasan sedangkan etika sosial mereka tidak banyak mendapatkan perhatian, kondisi demikian karena masyarakat Madura yang tidak percaya pada upaya teoritisasi sistem moral mereka seperti terhadap tengka dengan beranggapan bahwa tengka hanya ada di ruang-ruang praktik, menjadi penting untuk mengetahui makna tengka secara kultural dan praktiknya dalam ruang lingkup sosial. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berdasarkan mengolah dan mengamati, etnografi digunakan untuk memperoleh sudut pandang pelaku tengka hingga melahirkan deskripsi. Tengka mengandung banyak interpretasi yang disebabkan oleh adanya perbedaan lapisan sosial masyarakat Madura, dimaknai sebagai tertib sosial, segala keutamaan, sebatas tatakrama hingga mutlak tanggung jawab. Kontribusi paling penting dari penelitian ini adalah meyakinkan masyarakat Madura bahwa sistem moral mereka mungkin untuk diteorisasikan.

Kata Kunci: Madura, etika sosial, tengka, etnografi, tradisi masyarakat.

PENDAHULUAN

Madura adalah sebuah pulau yang secara geografis terletak di sebelah timur laut pulau Jawa, walaupun secara geografis terpisah dari pulau Jawa, secara administratif pulau Madura berada di bawah kontrol provinsi Jawa Timur. Hal itu bukan berarti kebudayaan masyarakat Madura sama persis dengan mayoritas kebudayaan Jawa, kultur Madura memiliki ciri khas sendiri yang bisa disebabkan oleh faktor alam dan bahasa yang berbeda.

Masyarakat Madura memiliki norma-norma moral sendiri yang dikenal dengan istilah tengka.

Peneliti sebagaimana orang-orang Madura yang lain juga menerima doktrin moral dari kalangan orang tua Madura untuk selalu mengetahui dan menjaga yang namanya tengka itu. Masalahnya ketika peneliti ingin mempelajarinya secara khusus dari para tetua, informasi yang didapatkan sangat simpang siur ditambah tidak ada satupun literatur yang berkenaan dengannya. Menurut orang Madura tengka tidak

(2)

E-ISSN: 1858-0742

Jurnal Mediasi Vol. 1, No. 2, Desemberi 2022, Hal. 71 - 74

72 | P a g e ada di buku-buku (tengka tade’ kitapheh) ungkapan populer dalam masyarakat Madura yang mengandung pesan mendalam bahwa moral-etika dalam tradisi mereka tidak ada pada ranah-ranah teoritis tetapi praktik, tidak pada ranah ilmiah tapi amaliah.

Masyarakat Madura percaya pada patokan-patokan moral menyangkut hubungan sosial, diamalkan dan diwariskan dari generasi ke generasi kemudian menjadi konsensus dan pegangan hidup mereka hingga saat ini. Sebagaimana masyarakat tradisional lain di berbagai wilayah di dunia yang juga memiliki pandangan-pandangan moral dan dilembagakan secara kultural-informal dengan maksud- maksud tertentu seperti merawat keseimbangan sosial hingga keteraturan hidup menurut tafsir mereka.

Secara konseptual, etika jika dihubungkan dengan norma-norma moral dalam suatu masyarakat berguna sebagai filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran moral, dengan kalimat yang sederhana moral adalah ajaran dan etika sebagai ilmunya. Wilayah etika bukan menentukan yang boleh dan tidak boleh kita lakukan tetapi etika mencoba untuk memahami pandangan-pandangan itu (Suseno, 1993: 14).

Dalam klasifikasinya, etika dibagi menjadi dua. Pertama, etika umum yang berpusat pada pembahasan-pembahasan seputar prinsip-prinsip moral dasar. Kedua, etika khusus, merupakan penerapan prinsip-prinsip itu dalam berbagai bidang kehidupan mulai dari ruang lingkup sosial terkecil yaitu keluarga, antara sesama manusia, sesama profesi, dalam bidang politik hingga menyangkut persoalan lingkungan hidup. Etika khusus atau disebut juga sebagai etika terapan dibagi lagi menjadi dua yaitu etika individual dan etika sosial yang keduanya tidak bisa dipisahkan begitu saja karena tanggung jawab sebagai individu dan sebagai makhluk sosial sangat berhubungan erat (Suseno, 1993:

7).

Dalam masyarakat Madura tengka masih bersifat umum dan normatif, yaitu watak etika selain etika deskriptif dimana moralitas hanya dilihat dari segi bagaimana seharusnya, dengannya lahir anggapan bahwa dalam setiap tindakan manusia dan setiap responnya berangkat dari adanya norma- norma kesusilaan yang dijadikan panutan (De Vos, 1969: 10-11). Menjadi menarik untuk melakukan penelusuran sejarah moralitas dalam masyarakat Madura dalam hal ini tengka sebagai suatu sistem moral yang masih bertahan hingga saat ini.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menurut Gorman & Clyton adalah melaporkan meaning of events berdasarkan pengamatan, partisipasi dan interaksi langsung peneliti dengan berbagai kejadian yang bernilai khusus dalam situasi yang spesifik (Santana K, 2007: 28-29).

Kebudayaan didefinisikan secara tipikal oleh Marvin Harris sebagai sebuah konsep yang diperlihatkan dalam berbagai macam pola-pola tingkah laku yang dinisbatkan kepada komunitas-komunitas seperti adat atau cara hidup masyarakat (Spardley, 2006: 5). Pendekatan etnografi digunakan peneliti dalam riset ini. Etnografi yang merupakan asal-usul antropologi terutama antropologi sosial dengan wataknya yang holistik-integratif digunakan untuk menghasilkan deskripsi mendalam, analisis kualitatif merujuk pada native’s point of view (Spardley, 2006: 11).

Etnografi moderen berorientasi pada penejelasan bentuk-bentuk budaya, struktur sosial masyarakat berdasarkan pada analisis, nalar dan interpretasi peneliti. Sedangkan watak etnografi baru beranggapan bahwa bentuk-bentuk budaya adalah apa yang ada dalam pikiran para anggota masyarakat, pekerjaan seorang antropolog adalah mengoreknya keluar dari pikiran mereka (Spardley, 2006: 17).

Dalam konteks ini peneliti beroreintasi pada teknik yang etnografi karena meneliti tengka dalam masyarakat Madura diprediksi akan menghadapi krisis informasi yang kompleks disebabkan oleh masyarakat Madura yang masih ragu terhadap upaya teoritisasi tengka.

(3)

E-ISSN: 1858-0742

Jurnal Mediasi Vol. 1, No. 2, Desemberi 2022, Hal. 71 - 74

73 | P a g e HASIL DAN PEMBAHASAN

Tengka atau etika secara umum adalah aturan, norma, kaidah, ataupun tata cara yang biasa digunakan sebagai pedoman atau asas suatu individu dalam melakukan perbuatan dan tingkah laku.

Penerapan norma ini sangat erat kaitannya dengan sifat baik dan buruknya individu di dalam bermasyarakat. Namun, pemaknaan tengka lebih dekat dan lebih erat kaitannya dengan moral.

Moral adalah tata yang menyangkut budaya, keadilan, hingga sosial. Moral Adalah prinsip yang memandu perilaku individu dalam masyarakat. Meski moral dapat berubah seiring waktu, moral tetap menjadi standar perilaku yang digunakan untuk menilai benar dan salah. Moral adalah standar perilaku yang berlaku yang memungkinkan orang untuk hidup secara kooperatif dalam kelompok. Moral mengacu pada sanksi masyarakat apa yang benar dan dapat diterima. Orang yang melanggar standar moral adalah orang yang disebut dengan amoral. Moral adalah tata yang bisa berbeda dari satu daerah ke daerah lain. Wilayah geografis, agama, keluarga, dan pengalaman hidup semuanya mempengaruhi moral. Moral adalah konsep yang bisa berubah seiring perkembangan manusia.

Masyarakat Madura sering dicitrakan sebagai suku yang sama sekali tidak punya hubungan dengan etika, seperti dalam tulisan Huub de Jonge berdasarkan beberapa sumber kolonial. Masyarakat Madura digambarkan sebagai komunitas yang tidak mengenal budi baik, berbahaya, tidak beradab, tidak mengerti tatakrama, dikatakan sebagai kumpulan orang yang lebih mandiri daripada orang Jawa hanya saja kemandirian mereka sering diwujudkan dalam bentuk kekerasan dan ketidaksopanan. Orang-orang Jawa dan Bali yang dalam sejarahnya pernah menjadi koloni Madura membenarkan hal itu. Orang Belanda tidak menyukai orang Madura, menurut seorang misionaris Eropa masyarakat Madura sama sekali tidak bermoral, kasar, kurang ajar dan penuh kekerasan (Jonge, 2011: 123-124).

Dimensi kekerasan masyarakat Madura oleh de Jonge dikatagorikan sebagai tindakan menolong diri sendiri, mengikuti tesis Blok mengenai ideologi tentang kehormatan yang lebih subur di dalam masyarakat yang tidak memperoleh kontrol negara yang efektif. Kekerasan masyarakat Madura merupakan reaksi atas kesewenang-wenangan otoritas feodal-tradisional pada masa lalu. Para penguasa lokal sangat konsumtif dan suka berfoya-foya, semua beban biaya senang-senang dibebankan kepada rakyat jelata. Penguasa kehilangan wibawa akibatnya terjadi krisis keselamatan dan keamanan dengan munculnya banyak tindakan-tindakan kriminal dan kekerasan seperti carok. Secara ekonomi-politik carok dilatarbelakangi oleh hilangnya rasa percaya terhadap sistem hukum tradisional dan secara antropologis merupakan jawaban kultural, reaksi terhadap penghinaan yang teramat serius, dimaklumi dan diterima secara social (Jonge, 2011: 129-138).

KESIMPULAN

Tengka atau etika secara umum adalah aturan, norma, kaidah, ataupun tata cara yang biasa digunakan sebagai pedoman atau asas suatu individu dalam melakukan perbuatan dan tingkah laku.

Penerapan norma ini sangat erat kaitannya dengan sifat baik dan buruknya individu di dalam bermasyarakat. Namun, pemaknaan tengka lebih dekat dan lebih erat kaitannya dengan moral.

Moral adalah tata yang menyangkut budaya, keadilan, hingga sosial. Moral Adalah prinsip yang memandu perilaku individu dalam masyarakat. Meski moral dapat berubah seiring waktu, moral tetap menjadi standar perilaku yang digunakan untuk menilai benar dan salah. Moral adalah standar perilaku yang berlaku yang memungkinkan orang untuk hidup secara kooperatif dalam kelompok.

Masyarakat Madura memiliki norma-norma moral sendiri yang dikenal dengan istilah tengka.

Peneliti sebagaimana orang-orang Madura yang lain juga menerima doktrin moral dari kalangan orang tua Madura untuk selalu mengetahui dan menjaga yang namanya tengka itu. Masalahnya ketika peneliti ingin mempelajarinya secara khusus dari para tetua, informasi yang didapatkan sangat simpang siur ditambah tidak ada satupun literatur yang berkenaan dengannya. Menurut orang Madura tengka tidak ada di buku-buku (tengka tade’ kitapheh) ungkapan populer dalam masyarakat Madura yang

(4)

E-ISSN: 1858-0742

Jurnal Mediasi Vol. 1, No. 2, Desemberi 2022, Hal. 71 - 74

74 | P a g e mengandung pesan mendalam bahwa moral-etika dalam tradisi mereka tidak ada pada ranah-ranah teoritis tetapi praktik, tidak pada ranah ilmiah tapi amaliah.

Masyarakat Madura percaya pada patokan-patokan moral menyangkut hubungan sosial, diamalkan dan diwariskan dari generasi ke generasi kemudian menjadi konsensus dan pegangan hidup mereka hingga saat ini. Sebagaimana masyarakat tradisional lain di berbagai wilayah di dunia yang juga memiliki pandangan-pandangan moral dan dilembagakan secara kultural-informal dengan maksud- maksud tertentu seperti merawat keseimbangan sosial hingga keteraturan hidup menurut tafsir mereka.

Namun demikian, masyarakat Madura sering dicitrakan sebagai suku yang sama sekali tidak punya hubungan dengan etika, seperti dalam tulisan Huub de Jonge berdasarkan beberapa sumber kolonial. Masyarakat Madura digambarkan sebagai komunitas yang tidak mengenal budi baik, berbahaya, tidak beradab, tidak mengerti tatakrama, dikatakan sebagai kumpulan orang yang lebih mandiri daripada orang Jawa hanya saja kemandirian mereka sering diwujudkan dalam bentuk kekerasan dan ketidaksopanan.

DAFTAR PUSTAKA

De Vos. H. (1969). Pengantar Etika. Soejono Soemargono. (terj.) Yogyakarta: Tiara Wacana.

Jonge, de Huub. (2011). Garam Kekerasan dan Aduan Sapi: Esai-Esai tentang Orang Madura dan Kebudayaan Madura. Arief B. Prasetyo (terj.) Yogyakarta: LKis.

Santana K. (2007). Septiawan. Menulis Ilmiah Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Spradley, P. James. (2006). Metode Etnografi. Misbah Zulfa Elizabeth (terj.) Yogyakarta: Tiara Wacana.

Suseno, Franz Magnis. (1987). Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta:

Kanisius.

Utsman, H. (18 Oktober 2022). Tengka : Etika Sosial Dalam Masyarakat Tradisional Madura.

http://digilib.uin-suka.ac.id ›

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis atas fakta-fakta yang ada terungkap bahwa terdapat determinasi struktur yang mengendap di dalam kesadaran kognitif dan mental masyarakat Madura sehingga mereka harus

tradisional dalam budaya carok pada masyarakat Madura banyak menggunakan kata- kata kiasan dan kata perbandingan untuk menyampaikan suatu maksud. Nilai budaya ungkapan pada

Masalima adalah desa yang bisa dikatakan terbelakang. Keterbelakangan ini disebabkan oleh lambatnya arus informasi dan pengetahuan kepada masyarakat. Sehingga

Dilihat dari rangkaian ritual yang dilakukan pada tradisi Tingkeban , dapat dikatakan bahwa tradisi Tingkeban, baik berupa ngupati (Jawa), pak bulenan (Madura), atau mitoni

Muslim Society and Globalization Respons para lora kiai yang tergabung dalam organisasi FKM Madura cukup mendapatkan tempat di hati masyarakat Muslim.. Penguasaan mereka

Dilihat dari tradisi yang berujung pada kekerasan ini, maka peneliti memiliki inisiatif untuk mengadakan penelitian tentang “Nilai -nilai Pendidikan Islam

makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka. 2) Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang. dilakukan dengan orang lain. 3) Makna-makna tersebut disempurnakan di

aspek struktur sosial masyarakat Madura sebagai satu komunitas, dan otonomi-relasi antara aspek jatidiri orang Madura dengan makna nasionalisme yang disadari telah