• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketegangan Hubungan Antara Pengungsi Suku Madura Asal Kalimantan Dengan Masyarakat Setempat (Studi Kasus di Kabupaten Jember)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ketegangan Hubungan Antara Pengungsi Suku Madura Asal Kalimantan Dengan Masyarakat Setempat (Studi Kasus di Kabupaten Jember)"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Ketegangan Hubungan Antara Pengungsi Suku Madura Asal Kalimantan Dengan Masyarakat Setempat

(Studi Kasus di Kabupaten Jember) Oleh:

Hery Bambang Cahyono Abstrak:

Konflik yang terjadi antara suku Madura dengan suku Dayak yang didukung oleh beberapa suku yang lain menyebabkan mengalirnya pengungsi ke Jawa Timur dan termasuk ke daerah Jember. Kedatangan pengungsi tersebut merupakan masalah tersendiri sebab kedatangan menyimpan potensi konflik seperti kondisi psikis yang labil, perebutan lahan pekerjaan, dan juga prasangka buruk terhadap suku Madura sebagai suku yang keras dan suka berkelahi.

Kondisi seperti ini memunculkan tiga masalah pokok yang amat layak untuk dikaji, yaitu: siapa sajakah yang terlibat ketegangan hubungan, apa sebabnya dan apakah akibat yang ditimbolkan oleh ketegangan hubungan tersebut. Tujuan dari penelitian adalah menemukan ketiga persoalan ini dengan berharap bisa bermanfaat untuk mewujudkan integrasi sosial diantara pengungsi dan masyarakat Jember.

Metode yang dipakai adalah deskriptif, sumber data diperoleh dari para pengungsi, warga setempat dan siapa saja yang terkait dengan permasalahan tersebut. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi partisipan dan melalui wawancara bebas/tidak berstruktur. Penentuan informan ditentukan berdasarkan pourposive random sampling dan analisa data dengan menggunakan induksi-kualitatif. Sedangkan penelitian ini dilakukan di Kabupaten Jember Jawa Timur.

Setelah dilakukan penelitian ternyata ada ketegangan hubungan yang melibatkan sesama pengungsi, sesama penduduk setempat dan antara pengungsi dengan penduduk setempat. Ketegangan hubungan tersebut disebabkan oleh distribusi bantuan yang kurang adil. Sedangkan faktor karakter dan prasangka buruk tidak menjadi sebab terjadinya ketegangan hubungan.

Ketegangan hubungan tersebut hanyalah dinamika biasa yang tidak akan menimbulkan disintegrasi sosial. Karena antara pengungsi dan masyarakat setempat masih mempunyai pertalian darah yang amat erat. Pertalian darah inilah yang mampu mengendalikan ketegangan hubungan di antara keduanya. Interaksi sosial antara keduanya dan didorong oleh konflik di Kalimantan menyebabkan munculnya kemauan bersama untuk meninjau kembali karakternya yang keras dan menjadikan suku Jawa sebagai rujukan. Tetapi fenomena ini masih embrional, masih perlu waktu lama untuk bisa melihat hasilnya.

(2)

I. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah

S

uku Madura beberapa tahun terakhir ini mendapatkan perhatian yang cukup serius, berkaitan dengan berbagai macam konflik yang yang terjadi di berbagai wilayah yang ada di Indonedia. Konflik yang paling besar adalah konflik yang melibatkan suku Madura dengan beberapa suku lain yang ada di Kalimantan terutama Suku Daya. Dan sebenarnya konflik itu adalah konflik yang telah lama dan sering terjadi antara keduanya. Hanya dalam era reformasi inilah terjadi kebebasan yang memungkinkan semua media massa memungkinkan untuk memberitakan dengan leluasa, sehingga konflik itu bisa diketahui secara luas.

Selama ini Suku Madura selalu dituding sebagai kelompok masyarakat yang keras suka berkelahi, tidak mau menghormati adat istiadat penduduk setempat. Kelompok orang Madura di Kalimantan juga terus berusaha untuk menguasahi sumber-sumber ekonomi dan sebagai perantau pada umumnya juga mempunyai etos kerja yang labih tinggi dari pada penduduk lokal. Akhirnya terciptalah sebuah kelompok masyarakat Madura yang labia berhasil dalam bidang ekonomi tetapi kurang “sopan” dalam berperilaku dan memperparah kecemburuan sosial.

Kejadian serupa juga terjadi di beberapa daerah lain di Indesia seperti di pasas Larangan Sidoarjo(Jawa Timur). Kejadian ini dipicu oleh upaya sekelompok Orang Madura yang kembali dari Sampit Kalimantan untuk menguasahi pasar Larangan. Akhirnya terjadi bentrokan antara pendatang suku Madura dari Sampit

tersebut dengan suku Jawa. Di Jakarta juga terjadi antara pendatang Suku Madura dengan beberapa pendatang lainnya.Konflik juga baru saja terjadi di Pandaan Pasuruan Jawa Timur (Juli 2003) yang melibatkan tukang ojek dengan pendatang suku Madura. Kejadian serupa mudah sekali berulang kembali apabila tidak mendapatkan penanganan yang khusus. Demikian juga pengungsi Suku Madura yang berapa di beberapa tempat di Jawa Timur seperti Jember, Bondowoso dan Situbondo bila tidak ditangani dengan baik akan menjadi sumber masalah yang cukup berarti.

Kedatangan pengungsi Suku Madura asal Kalimantan menimbulkan masalah yang sangat komplek. Tidak saja menyangkut penyediaan sandang, pangan dan papan tetapi juga masalah yang berkaitan dengan penciptaan hubungan yang harmonis dengan penduduk setempat . Pengungsi Suku Madura yang datang sesungguhnya menyimpan potensi konflik yang amat besar yang dapat menimbulkan ketegangan hubungan antara pengungsi dengan masyarakat setempat

Potensi konflik itu antara lain pertama, pengungsi yang datang adalah orang yang sedang menanggung beban mental yang amat berat. Mereka harus meninggalkan kampung halamannya, harta benda yang dimilikinya serat tidak sedikit yang kehilangan anggota keluarganya. Kondisi yang stress tersebut akan menimbulkan perilaku yang kurang terkontrol yang dapat memicu ketegangan hubungan dengan masyarakat.

Kedua, pengungsi yang datang adalah orang yang miskin karena telah kehilangan harta bendanya. Para pengungsi tentu akan

(3)

bekerja apa saja untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Masyarakat setempat yang menerima pengungsi pun tidak jauh berbeda. Umumnya mereka petani miskin atau buruh tani yang hanya bekerja pada musim-musim tertentu. Kedatangan pengungsi dapat menimbulkan kompetisi dalam lapangan pekerjaan yang dapat memicu ketegangan hubungan.

Ketiga, Berkaiatn dengan citra diri para pengungsi Suku Madura yang berasal dari Kalimantan yang berkonotasi negatif. Citra diri negatif itu antara lain suka berkelahi, karas atau kasar serta kumuh. Hal ini akan menimbulkan prasangka buruk yang dapat menghalangi integrasi sosial yang ada di dalam masyarakat.

Keempat, pengungi yang datang mempunyai adat istiadat yang berbeda dengan masyakat setempat. Pengungsi mempunyai budaya Suku Madura yang telah terpengaruh oleh budaya-budaya lain yang ada di Kalimantan, sedang penduduk setempat mempunyai budaya Suku Madura yang relatif masih asli.

1.2. Permasalahan

Dari uraian di atas antara pengungsi yang datang ke Kabupaten Jember dengan penduduk setempat mempunyai beberapa permasalah yang perlu untuk diketahui labih lanjut. Permasalahan itu adalah: 1. Siapa sajakah yang terlibat ketegangan

hubungan antara pengungsi Suku Madura asal Kalimantan dengan masyarakat setempat?

2. Apa sajakah yang menjadi sebab ketegangan hubungan antara pengungsi Suku Madura asal Kalimantan dengan masyarakat setempat?

3. Bagaimanakah akibat yang ditimbulkan dari ketegangan hubungan antara pengungsi Suku Madura asal Kalimantan dengan masyarakat setempat?

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Ketegangan hubungan antara pengungsi suku Madura dengan penduduk Kabupaten Jember merupakan masalah yang perlu mendapatkan perhatian berkaitan dengan potensi konflik yang mengganggu masyarakat yang sedang berusaha pulih dari krisi multi dimensi. Maka penelitian ini bertujuan :

1. Mengetahui siapa sajakah yang terlibat ketegangan antara pengungsi Suku Madura asal Kalimantan dengan masyarakat setempat .

2. Mengetahui apa saja yang menjadi penyebab ketegangan hubungan antara pengungsi Suku Madura asal Kalimantan dengan masyarakat setempat.

3. Mengetahui akibat yang ditimbulkan dari hubungan antara pengungsi Suku Madura asal Kalimantan dengan masyarakat setempat.

Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah akan bermanfaat bagi banyak pihak seperti pemerintah, LSM, masyarakat dan siapa saja yang menangani masalah pengungsian khususnya yang berasal dari Suku Maadura. Apabila dikaitkan dengan Suku Madura yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia bahkan di beberapa negara tetangga, maka hasil penelitian ini sangat bermanfaat untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Hasil penelitian ini juga

(4)

bermanfaat untuk mengembangkan studi tentang komunikasi budaya.

II. Tinjauan Pustaka

Semboyan “Bhinika Tunggal Ika” sesungguhnya masih merupakan suatu cita-cita yang masih harus diperjuangkan oleh segenap bangsa Indonesia dari pada kenyataan yang benar-benar hidup di masyarakat. Konflik yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal masing seringkali mewarnai kehidupan kita sebagai sebuah bangsa. Tidak terlalu salah atau berlebihan bila dikatakan bahwa konflik dan integrasi masih akan tetap menjadi masalah yang rawan bagi bagi bangsa Indonesia untuk suatu jangka waktu cukup di masa-masa yang akan datang, terutama oleh karena proses pembangunan yang terus-menerus meningkat dimasa-masa mendatang akan mengakibatkan kepentingan-kepentingan berbagai golongan menjadi semakin mengemuka dan saling berhadapan satu sama lain (Nasikun, 1984 : 5).

Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua ciri khas dan bersifat unik. Secara horisontal ditandai oleh kenyataan adanya satuan-satuan sosial yang didsarkan pada perbedaan suku bangsa , perbedaan agama, adat serta perbedaan kedaerahan. Secara vertikal struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh perbedaan yang cukup berarti antara lapisan atas dan lapisan bawah. Kita biasa menyebut bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk atau prural. Pierre L. van de Berghe meneybutkan ciri-ciri masyarakat majemuk sebagai berikut:

1. Terjadinya sekmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki sub-kebudayaan yang berbeda satu sama lain;

2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang terbagi-bagi ke dalam lemabag-lemabga yang bersifat non-komplementer 3. kurang mengembangkan konsensus di

antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar;

4. Secara relatif seringkali mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain; 5. Secara relatif integrasi sosial tumbuh di

atas paksaan (coecion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi

6. adanya dominasi politik suatu kelompok atas kelompok yang lain (Nasikun, 1984 : 5).

Konflik adalah fenomena sosial yang selalau terjadi dalam setiap masyarakat, apalagi bagi Bangsa Indonesia yang telah mengadakan reformasi. Banyak sekali masalah yang terus terus terangkat kepermukaan yang dapat menjadi sumber konflik sosial baik yang bersifat vertikal maupun harisontal. Tetapi George Simmel (1904), bapak sosiologi menyampaikan sebuah ungkapan yang amat terkenal yaitu “ a vis pacem para belum”, artinya jika menghendaki perdamaian, hendaknya bersiap untuk berperang (Saifuddin, 1986 : 7).

Bila ditelusuri labih lanjut maka putra manusia pertama Adam puntelah terjadi konflik yaitu saling bunuh antara keduanya. Walaupun konflik merupakan suatu yang wajar dari dinamika kehidupan, akan tetapi yang perlu diperhatikan jika konflik itu

(5)

mengancam rusaknya sistem sosial yang telah ada. Lewis A. Coser mengatakan:

“Konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa, dan sumber-sumber kekuasaan yang persediaannya tidak mencukupi diman pihak-pihak yang berselisih tidak hanya bermaksud untuk untuk memperolah barang yang diinginkan, melainkan juga memojokkan, merugikan atau menghancurkan lawan mereka “(Veeger, 1990 : 211).

Selanjutnya dia menerangkan bahwa konfik dapat berlangsung antara individu-individu, kelompok-kelompok, atau individu dengan kelompok (Veeger, 1990 : 211)

Sosiologi Ralf Dabrendof yang berangkat dari pengamatannya tentang kekurangan pendekatan teori struktural fungsional mengmukakan asumsi teoti konfil sebagai berikut :

1. Setiap masyarakat dalam setip waktu diatur dalam beberapa proses perubahan-perubahan sosial itu tidak dapat dihindari.

2. Setiap masyarakat dalam setiap waktu menunjukkan adanya konflik dan disensus, konflik sosial tidak dapat dihindari.

3. Setiap masyarakat akan memberikan adanya suatu sambungan disintegrasi dan perubahan.

4. Setiap masyarakat didasarkan atas tekanan para anggotanya oleh pihak yang lain (Zeitlin, 1998 : 175)

Menurut Ralf Dahrendorf, analisis masyarakat dengan memakai segi pandangan pendekatan konflik, bertitik

tolak dari kenyataan bahwa anggota masyarakat dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu orang yang berkuasa dan orang yang dikuasai (Veeger, 1990 : 214). Demikian juga pengungsi Suku Madura juga tidak mempunyai kekuasaan yang berarti sedangkan masyarakat setempat (asli) telah terlebih dahulu menguasai sumber-sumber kekuasaan di daerahnya. Dualisme ini menyebabkan ketegangan hubungan antara dua masyarakat tersebut. Benturan kepentingan itu pada perkembangannya akan melahirkan kelompok-kelompok yang saling berbenturan. Veeger menerangkan lewat tiga pengertian kunci yaitu : kekusaan kepentingan dan kelompok konflik (Veeger, 1990 : 214). Kekusaan menurut Max Weber dalai kesempatan seseorang atau kelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauan sendiri, dengan sekaligus menerapkan terhadap tindakan-tindakan peralawanan dari orang-orang atau golongan tertentu (Soekanto, 1995 : 294-295). Kekuasaan bisa juga setiap kemampuan untuk memenangkan kemauan sediri, juga kalau kemauan itu bertentangan dengan kemauan orang lain (Veeger, 1990 : 214).

Sedankan masalah kepentingan bermula dari distribusi kekuasaan (wewenang) yang tidak merata. Pembagian otoritas yang demikian mengakibatkan mereka yang menduduki posisi sebagai pemegang otoritas dan mereka yang tidak memiliki otoritas memiliki kepentingan-kepentingan,yang baik secara substansial maupun arahnya, berlawanan satu dengan yang lain (Nasikun, 1984 : 18-19). Pihak yang berwenang berkepentingan dengan ketahanan dan kelestrian status quo atau

(6)

susunan sosial yang telah memberi kedudukan tinggi kepada mereka. Sebaliknya pihak yang dikuasai selalu akan merasa diri tertekan dan terkekang oleh status quo, sehingga menginginkan perubahan dan perombakan.

Ralf Dahrendorf menjadi kepentingan menjadi dua yaitu : kepentingan yang bersifat laten (terselubung, masih di bawah permukaan kewadaran) dan kepentingan yang bersifat manifes(nyata dan disadari) (Veeger, 1990 : 217). Walaupun kepentingan laten tidak dipikirkan atau barangkali sedang digeserkan ke bawah sadar orang, namun kepentingan itu masih tetap ada dan berpengaruh juga. Demikian juga pengungsi Suku Madura asal Kalimantan dapat menjadi kelompok yang sifatnya manifes yang mempunyai posisi tawar-menawar yang kuat untuk menghadapi masyarakat setempat (asli).

Dahrendorf mengemukakan tiga persyaratan suatu kelompok laten berkembang menjadi kelompok manifes. Pertama adanya Technical condition organization yaitu munculnya sejumlah orang tertentu yang mampu merumuskan dan mengorganisir dalam bentuk suatu ideologi. Kedua politikal condition of organization yaitu ada atau tidak kondisi untuk berorganisasi dan ketiga adalah social condition of organization (Nasikum, 1984 : 21-22).

III. Metodologi Penelitian 3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan konflik dengan mengandalkan metode penelitian kualitatif. Karena yang ingin

diketahui adalah tentang fenomena konflik yang menyangkut, siapa yang terlibat konflik, apa sebabnya dan bagimanan dampak yang ditimbulkan dari konflik antara pengungsi Suku Madura asal Kalimantan dengan penduduk Kabupaten Jember.

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, karena data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa deskripsi tentang gejala sosial yang yang sulit untuk dikualitatifkan. Menurut H. Judistira K. Garna bahwa pendekatan kualitatif,” dicirikan oleh tujuan penelitian yang berupaya guna memahami gfejala-gejala yang demikian rupa tak memerlukan kuantifikasi, atau karena gejala-gejala tersebut tak memungkinkan diukur secara tepat”( Garna, 1999 : 32).

3.2. Lokasi penelitian

Penelitian ini memilih lokasi di Desa Kaliwining Kecamatan Rambipuji dan Desa Yosorati Kecamatan Sumberbari Kabupaten Jember Jawa Timur. Hal ini disebabkan beberapa alasan:

1. Desa Kaliwining Kecamatan Rambipuji adalah desa yang jumlah pengungsinya paling banyak menerima pengungsi suku Madura asala Kalimantan. Jumlahnya sekitar 167 kepala keluarga yang terdiri dari 651 jiwa. Tetapi data tersebut mnenjadi agak sulit dipastikan sebab beberapa orang yang telah paham gejala-gejala konflik yang besar telah “pulang” terlebih dahulu, sehingga sering menyulitkan penghitungan. Tetapi kadang jumlah itu juga bisa bertambah bila ada pantuan terutama bantuan dari pemerintah.

(7)

Desa Yosorati juga merupakan desa yang amat banyak menerima pengungsi suku Madura asal Kalimantan. Jumlah pengungsi yang datang sekitar 200 kepala keluarga. Tetapi setelah dikonfirmasi ke masing-masing kepala dusun jumlah itu berkembang jauh labia banyak. Karena peneliti selalu didentifkan dengan pemberi bantuan. 2. Desa Kaliwining mempunyai penduduk

yang sebagian kecil bersuku Jawa demikian juga pengungsi yang datang juga ada sebagian yang “bau-bau” suku Jawa. Pertimbangan ini diperlukan ketika peneliti menganalisa pergeran perwatakan suku Madura yang ke arah watak suku Jawa.

Sedangkan desa Yosorati adalah desa yang hampir 100 % bersuku Madura, demikian juga pengungsi yang datang juga suku Madura. Pertimbangan ini diperlukan untuk membandingkan dengan werwatakan suku Madura di desa tersebut di desa Kaliwining yang ada suku Jawanya.

3. Pengungsi yang datang ke Kaliwining mempunyai pekerjanan yang amat bervariasi, Mulai dari bertani, buruh pabrik kayu hingga buruh tambang, sedang di desa Yosorati hampir semua adalah bekerja di sektor pertabangan yaitu tambang emas yang biasanya dengan memakai pola penambangan yang teradisional.

4. Desa Kaliwining labia dekat dengan kota Jember bila dibanding dengan desa Yosorati, sehingga dinamika yang ada di kedua desa tersebut dapat dijadikan pembanding untuk memperkuat analisa data.

Walaupun penelitian ini berlokasi di dua desa, akan tetapi kegiatan banyak dilakukan di desa Kaliwining. Karena desa tersebut mempunyai dinamika yang labia dinamis bila dibanding dengan desa yosorati. Maka Desa Yosorati hanya sebagai pelengkap atau pembanding dari dinamika yang ada di desa Kaliwining.

3.3. Sumber Data

Menurut Lofland dan Lofland,” …sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan selebihny aadalah data tambahan seperti dokumentasi dan lain-lain”(Moleong: 1998 : 10). Penelitian ini menggunakan informan sebagai sumber utama dan dokumentasi sebagai pendukung. Spradley mengemukakan beberapa syarat yang layak dimiliki oleh informan, yaitu:

1. Mereka yang menguasai atau memahami suatu proses enkulturasi sehingga suatu itu bukan sekedar diketahui, tetapi juga dihayati;

2. Mereka yang tergolong masih sedang berkecimpimpung atau terlibat pada kegiatan yang tengah diteliti;

3. Mereka yang mempunyai kesempatan yang memadai untuk dimintai informasi;

4. Mereka yang tidak cenderung menyampaikan informasi hasil “kemasannya sendiri” dan;

5. Mereka yang pada mulanya “cukup asing” akan peneliti sehingga akan menggairahkan untuk dijadikan “guru” atau narasumber”(Faisal : 44-45). Sedang informan itu adalah aparat desa, tokoh masyarakat baik penduduk setempat maupun pengungsi serta tokoh-tokoh

(8)

daerah yang terkait yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Aparat desa yang terdiri dari kepala desa, sekretaris desa serta kepala kampung yang terkait langsung dengan masalah pengungsi.

2. Tokoh masyarakat yang berpengaruh yang juga ikut menangani masalah tersebut serta tokoh-tokoh mengungsi yang dipandang mengetahui dengan pasti.

3. Aparat tingkat kecamatan dan juga Dinas Sosial yang ada di Kabupaten Jember.

3.4. Data yang Dibutuhkan

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data yang berkaitan dengan ketegangan hubungan antara pengungsi dengan penduduk setempat. Data itu diperlukan untuk mengetahui segala aspek yang berkatan dengan ketegangan tersebut. Selanjutnya yang dibutuhkan adalah data tentang siapa sajakah yang terlibat konflik yang meliputi konflik antara penduduk setempat dengan penduduk setempat, antara pengungsi dan penduduk setempat dan juga antara pengungsi dengan pengungsi. Kemudian data yang dapat mengungkapkan faktor apa sajakah yang menimbulkan konflik dan dampak yang ditimbulkan oleh konflik tersebut.

3.5. Tehknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan tiga cara yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi: 1. Observasi.

Observasi adalah metode ilmiah untuk mengumpulkan data melalui pengamatan, pencatatan secara

sistematis terhadap fenomena-fenomena yang sedang diteliti”(Hadi, 1990 : 136). Merujuk pada pendapat Kart Weick, Jalaludin Rahmat mendefinisikan observasi sebagai” pemilihan, pengubahan, pencatatan, dan pengkodean serangkaian perilaku dan suasana yang berkenaan dengan organisma in situ, sesuai dengan tujuan empiris(Rakhmat, 1984 : 100). Jenis observasi yang digunakan adalah observasi partisipan, “… yaitu kegiatan ppenelitian yang berarti field work, studi lapangan, kerja lapangan, atai diberi nama dalam berbagai sebutan lainnya(Garna, 1999 : 61).

2. Wawancara(interview).

Wawancara.”… yaitu mendapat informasi dengan jalan bertanya langsung kepada responden(Singarimbun dan Sofian Efendi,, 1989: 192). Wawancara bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang ketegangan hubungan antara pengungsi dengan penduduk setempat. Jenis wawancara yang dipilih adalah wawancara tak berstruktur yaitu;” peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya”(Faisal, 1990 : 44-45). Sedangkan teknik yang digunakan adalah Snoball Sampling yang dimulai dengan informan pangkal yang kemudian bisa ditemukan informan kuncinya.

3. Dokumentasi Metode ini dilakukan dengan cara mencatat, meneliti segala sesuatu yang telah ditempuh maupun catatan-catatan yang lain yang berhubungan dengan masalah yang sedang diteliti.

(9)

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan secara langsung oleh peneliti sendiri. “Ia sekaligus merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, analis, penafsir data, dan pada akhirnya ia menjadi pelapor hasil penelitiannya”(Moleong, 1998 : 121). Hal ini dengan pertimbangan: 1. Peneliti merupakan alat yang peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari lingkungan yang diperkirakan bermakna bagi peneliti.

2. Peneliti sebagai alat dapat langsung menyesuaikan diri terhadap segala aspek yang diteliti sehingga memahami situasi dalam berbagai tingkah laku. Demikian juga peneliti sebagai informan dapat segera menganalisa data yang diperoleh. 3.6. Analisa Data

Analisa data menurut Patton, “ adalah proses pengaturan urutan data, mengkoordinasikannya ke dalam suatu pola, katagori, dan satuan urain dasar”(Moleong, 1998 : 10). Proses analisa data dimulai dengan menelaah data yang tersedia, dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi. Setelah itu mengadakan reduksi data dengan jalan membuat abstraksi, kemudian menyusunnya dalam satuan-satuan, selanjutnya dikatagorikan kemudian pemeriksaan keabsahan data dan terakhir penafsiran data.

3.7. Tahap-Tahap penelitian

Pelaksaan penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap pralapangan, tahap pekerjaan lapangan dan pekerjaan tahap analisa data(Moleong, 1998 : 85-103) yang dapat dijabrkan sebagai berikut:

1. Tahap pralapangan.

Peneliti merasa tertarik dengan mengalirnya pengungsi suku Madura yang terkenal sebagai sebuah kelompok masyarakat yang keras. Maka amat dimungkinkan akan terkadi berbagai konflik dengan penduduk setempat. Hal ini sebenarnya juga telah tertjadi berbagai tempat seperti di Sidoarjo. Asumsi inilah yang mendorong peneliti untuk mengkaji masalah tersebut Tahap ini juga kendala dalam perijinan, terutama camat Sumberbaru yang sangat keberatan dengan adanya penelitian ini. Camat Sumberbaru amat khawatir kalau peneliti akan mengadakan pengamatan atau gerakan yang dapat mengganggu atau menggerakkan masyarakat yang menurut camat tersebut sangat kondusif. 2. Tahap pekerjaan lapangan.

Pekerjaan pada umumnya berjalan lancar kalau ada kendala sifatnta sangat sederhana sekali. Kendala itu seperti keengganan informan untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya telah terjadi pada hubungan kedua kelompok masyarakat tersebut. Hal ini merupakan kewajaran dalam masyarakat pedesaan yang terbiasa hidup dalam suasana harmonis. Kesulitan seperti ini oleh peneliti disiasati dengan meyakinkan dengan sungguh-sungguh bahwa apa yang disampaikan terjamin kerahasiaanya.

Kselitan lain yang dihadapi adalah adanya beberapa informan yang tidak lancar atau enggan berbahasa Indonesia. Mereka terbiasa dengan bahasa Madura, tetapi berkat bekal penguasaan bahasa Madura maka kesulitanseperti ini dapat diaiati.

(10)

Kesulitan yang dirasakan paling berat adalah adanya anggapan bahwa peneliti akan membawa bantuan baik dari pemerintah ataupun dari swasta. Selama ini setiap ada orang asing selalu membawa bantuan, sehingga anggapan seperti ini juga berlaku bagi peneliti. Kesulitan seperti ini peneliti siasati dengan berkata jujur bahwa ini adalah hanya penelitian bukan merupakan petugas yang membawa bantuan. 3. Tahap analisa data

Analisa data dalam penelitian ini dilaksanakan dengan melalaui tiga langkah yaitu, pertama reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi tentang siapa yang terlibat konflik, apa penyebabnya dan apa dampakanya.

Kedua, adaha menyusun dalam satuan-satuan yang kemudian dikatagorikan. Diawali dengan memiliah milah siapa saja yang terlibat konflik yang mencakup siapa dengan siapa, lalu dikembangkan dengan mencari sebab dan mengkatagorikan serta mengkatagorikan dampak yang ditimbulkan dampaknya.

Ketiga, adalah dengan mengadakan pemeriksaaan keabsahan data dan diteruskan dengan penafsiran data. Penafsiran data tidak semata-mata berupa deskripsi data tetapi juga menggunakan teori yang berkaitan dengan konflik. Langkah ini diawali dengan mengkatagorikan kemudian ditemukan hubungan kunci.

IV. Hasil dan Pembahasan 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1. Letak Geografis dan Keadaan Alam

Kabupaten Jember adalah salah satu kabupaten di Jawa Timur bagian timur. Daerah ini hampir semua dikelilingi oleh perkebunan mulai dari tebu, kopi, hingga cengkeh. Tidak terlalu salah bila Kabupaten Jember labih dikenal sebagai daerah perkebunan. Di Sebelah barat Kabupaten Jember berbatasan dengan Kabupaten Lumajang, selatan dengan Samudera Indonesia, utara dengan Kabupaten Bondowoso dan selelah timur dengan Kabupaten Banyuwangi.

Di bagian selatan Kabupaten Jember yang berbatasan dengan laut terdapat dua kawasan pantai yang patut diperhitungkan sebagai obyek wisata. Pantai Watuulo adalah daerah wisata pantai yang amat menarik. Nama tersebut mencerminkan segugusan batu yang menjorok ke laut(samudera) yang menyerupai ulo atau ular. Tetapi tidak ada legenda yang mendukung kesakralan pantai tersebut, sehingga masyarakat menanggapnya sebagai pantai bisa yang tidak ada nilai magis.

Di sebelah timur pantai tersebut yang berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi terdapat Pantai Bandealit. Kondisi pantainya masih “perawan” dan masih belum mendapatkan sentuhan komersial. Ombaknya amat besar dan amat bagus untuk olahraga selancar. Hanya kondisi jalan yang belum beraspal sehingga sedikit sekali wisatawan yang mengunjungi daerah tersebut. Pantai ini terletak di pinggir perkebunan kopi yang dimiliki swasta.

(11)

Di sebelah barat kabupaten Jember banyak dijumpai perkebunan tebu baik dari arah jalur Surabaya maupun dari arah Lumajang di sebalah selatan. Di kawasan perkebunan tersebut berdiri PG Semboro yang dibangun pada jaman kolonial Belanda. Dari arah timur dari Banyuwangi kondisi alamnya berbukit-bukit terutama di daerah pegunungan Gumitir. Di daerah tersebut juga terdapat perkebunan kopi yang amat luas. Sedangkan di sebalah utara Kabupaten Jember terdapat pegunungan yang amat panjang yang membelah dua daerah pegunungan yaitu antara pegunungan Argopuro dan Gunung Raung. Kondisi alam Kabupaten Jember yang demikian inilah sehingga banyak orang membagi Kabupaten Jember menjadi dua bagian. Jember selatan yang sumbur dengan sawah yang membentang luas dan Jember utara yang terdiri dari daerah pegunungan. Jember selatan yang subur itu antara lain meliputi Kecamatan Ambulu, Wuluhan, Gumokmas, Kencong , Rambipiji dan Balung. Sedang di utara mencakup Kecamatan Arjasa, Kalisat, Sukowono, Ledokombo, dan Sumberjambe.

Sedangkan Kecamatan Rambipuji dan Sumberbaru keduanya agak berjauhan.Rambipuji terletak disebelah barat Kota Jember kurang labih dua belas kilometer, sedang Sumberbaru kurang labih berjarak empat puluh kilo meter ke arah barat dari kota Jember. Rambipuji termasuk daerah kawasan persawahan yang amat subur. Sedang Sumberbaru adalah daerah pegunungan yang gersang dan kering.

Kabupaten Jember dikenal sebagai sebuah kabupaten yang terkenal dengan penghasil tembakau. Hasil perkebunan ini yang mengilhami lambang Kabupaten

Jember yang selatar belakang daun tembakau dan di bawahnya terdapat semboyan Carya Dharma Prajmukti. Tembakau ini bersama-sama dengan daerah lain di ekskaresidenan Besuki biasanya di ekspor ke Bremen Jerman. Sedang sekarang selain tujuan luar negeri juga banyak yang membuat pola kemitraan dengan pabrik rokok seperti Djarum, Gudang Garam dan Sampurna.

Sedangkan makanan khas Kabupaten Jember adalah suwar-suwir yang biasa dibuat buah tangan bagi mereka yang mengunjungi kota tersebut. Suwar-suwir dibuat dari tape ketela pohon kemudian dicampur dengan gula dan diiris kecil memanjang dan diberi berbagai macam-macam rasa seperti coklat, kelapa, dan juga duren. Akan tetapi jenis makanan khas tersebut tidak bigitu terkenal karena rasanya yang tidak jauh dari makanan-makanan jenis lain seperti dodol.

4.1.2. Kebudayaan

Identitas budaya Kabupaten Jember bisa dirumuskan dengan anat sederhana yaitu semakin ke utara identitas budaya Madura semakin kental, sebaliknya semakin ke selatan identitas budaya Jawa juga semakin kental. Kota Jember yang berada di tengah merupakan daerah pertemuan antara keduanya, sehingga masyarakat kota Jember adalah jenis masyarakat pendalungan Madura-Jawa.

Di daerah selatan identitas budaya Jawa labih nampak terpelihara bila dibandingkan dengan daerah utara. Kumpulan kesenian Jawa seperti Reog, seni pedalangan dan juga campursari masih tampak terpelihara, bahkan di Wuluhan sekolah dalang masih bisa ditemukan. Rupanya orang Jawa yang

(12)

minoritas di daerah tersebut terus berusaha untuk melestarikan budayanya.

Di Kabupaten Jember bagian utara juga nampak tradisi Madura, dan bisa dikatan semakin ke utara semakin kental warna kemaduraannya. Berbagai simbol-simbol kebudayaan Madura yang berpusat pada budaya yang bercirikan keislaman semakin nampak.Tokoh agama yang biasa disebut kiai masih mempunyai pengaruh yang amat kuat. Mereka tidak saja sebagai tokoh agama tetapi juga menasehat dalam banyak hal mulai dari mencari rezeki, perjodohan hingga pengobatan.

Kiai dalam masyarakat Madura Jember tidak mesti memiliki pesantren, tetapi cukup memiliki beberapa santri saja sudah biasa disebut kiai. Akibatnya dalam sebuah desa bisa terdapat belasan kiai. Tetapi kiai yang memiliki pesantren biasanya akan mendapatkan pengakuan yang labih besar. Peran kiai di dalam masyarakat Jember seperti layaknya fenomena modernisasi, maka semakin terbatas dibayangi oleh tokoh-tokoh lain yang datang bersama modernisasi. Hanya karena budaya kiai dalam masyarakat Madura Jember kiai memiliki peran yang khusus.

Peran kiai dirasakan semakin besar tatkala pemilihan umum datang dengan segala kegiatan persuasinya. Semua partai politik ingin merangkul kiai untuk menarik masa sebanyak-banyaknya. Pada saat demikian inilah “harga” kiai semakin mahal karena banyak partai politik yang ingin memanfaatkannya. Ajakan partai politik itu biasanya disertai dengan berbagai macam bantuan untuk diri kiai dan pesantrennya. Tidaklah meran bila menjelang pemilu 2004 ini banyak kiai yang mendapatkan HP dari partai politik tertentu.

Kebudayaan masyarakat Jember yang mayoritas bersuku Madura tidak saja bercirikan adanya peran kiai yang khusus, tetapi cara berpaian yang amat dekat dengan budaya keislaman. Biasanya berpici putih, memakai sarung dan juha bersurban, apalagi kalau mereka sudah menunaikan ibadah haji pakaian seperti itu merupakan keharusan adat. Di kalangan anak muda pakaian seperti ini tidak begitu memasyarakat, tetapi mereka mengenakan pakaian selayaknya masyarakat Indonesia pada umumnya.

Selain itu juga ada ritual keagamaan yang tidak biasa dilakukan oleh suku Madura Jember Jawa seperti “nyabis”, “sarween”. Nyabis adalah memberikan uang kepada kiai setelah mereka memperoleh doa. Dan “sarween” adalah membaca sholawat bersama-sama, biasa dilakukan dari rumah ke rumah secara bergantian. Budaya “sarween” ini hanya bisa dijumpai di daerah suku Madura yang berada di daerah Jember utara.

4.1. 3. Dinamika Kesukuan

Penduduk Jember terbagi menjadi dua suku besar yaitu suku Madura dan suku Jawa dan sebenarnya juga ada orang Osing yang berasal dari kebudyaan Banyuwangi. Suku Madura mendiami hampir merata di seluruh wilayah Kabupaten Jember hanya yang paling banyak adalah di wilayah Jember bagian utara yang berdekatan dengan Bondowoso yang hampir 100% didiami suku Madura.

Suku Jawa kebanyakan mendiami bagian selatan daerah Jember seperti Kecamatan Ambulu, Wuluhan, Kencong, Puger dan Gumukmas. Kebanyakan nenek moyang mereka berasal dari Madiun,

(13)

Ponorogo dan juga daerah lain di Jawa Tengah seperti Solo dan Yogyakarta. Suku Jawa mendiami daerah-daerah yang areal pertaniannya amat subur. Kebanyakan mereka adalah penati-petani yang tekun.

Suku Madura menyebar di semua derah Jember hanya warna kemaduraannya di sebalah utara semakin kental. Kebanyakan mereka mendiami daerah pedesaan, perkotaan hingga kantong-kantong perkebunan yang menurut sejarahnya di bawa oleh kolonial Belanda untuk membuka perkebunan. Sedangkan di derah selatan orang Madura cenderung hidup mengumpul dalam satu daerah tertentu demikian juga suku Jawa, tetapi mereka mampu mewujudkan kehidupan yang harmonis. Kebanyakan suku Madura bertani dan beberapa berdagang dan di wilayah selatan yang berbatasan dengan pantai hampir semua nelayan adalah suku Madura. Hal ini bisa dimengerti karena orang Madura dikenal sebagai orang pelaut. Di samping suku Madura dan Jawa juga ada orang Osing Banyuwangi yang terbatas jumlahnya dan semakin kehilangan identitas. Mereka biasa disebut dengan Orang Osing. Kebanyakan di antara mereka mendiami di wilayah selatan dan timur Kabupaten Jember. Ciri khas mereka semakin lama semakin hilang lebur menjadi orang Jember yang Madura-Jawa. Bahkan sangatlah langka ditemui orang Jember berbahasa dengan dialek bahasa Osing.

Di Jembe bagian utara kebanyakan orang Jawa datang ke daerah tersebut hanya karena berkaitan dengan pekerjaan terutama gurur-guru. Umumnya mereka berasal dari komunitas Jawa seperti Blitar, Trenggalek dan beberapa daerah lain di Jawa Timur. Kemudan kebanyakan mereka menikah

dengan penduduk setempat dan berbahasa Madura, sehingga identitas sebagai orang Jawa menjadi terbatas pada dirinya.

Sedangkan di daerah Jember bagian selatan jumlah orang Jawa labih banyak, bahkan di Kecamatan Ambulu dan Wuluhan jumlah orang Jawa relatif sama dengan orang Madura. Suku Jawa atau labih akrap disebut orang Jawa di daerah tersebut di samping menjadi guru mereka juga menjadi petani dan juga pedagang seperti masyarakat desa pada umumnya. Hanya karena mereka datang dengan semangat yang lebih dan ketrampilan bertani yang tekun sehingga mereka labih berhasil dari orang Madura.

Masyarakat Jember yang berbasis pada suku Madura dan Jawa akhirnya membentuk suatu ciri khas yang membedakan dengan daerah yang lain. Bahasa Madura yang dipakai dikatakan amat kasar bila dibanding dengan Bondowoso dan Sitibondo, apalagi bahasa Jawa yang dipakai tidak sesuai dengan kaedah bahasa Jawa. Terbentuklah dialek khas Jember yang sedikit berbeda dengan daerah lain, yaitu setengah Jawa setengah Madura.

Adanya dua suku inilah yang menurut bahasa yang biasa digunakan oleh komunikasi antar budaya sebagai manipulasi etnis. Yaitu berpindahnya identitas etnis dengan menyesuikan dirinya dengan situasi dan kondisi. Bila orang Jember ditanya tentang sukunya mereka akan sedikit berpikir memilih Madura atau Jawa, maka tidak sedikit yang pilihannya menyesuikan dengan keadaan.

Manupulasi suku ini bila ditelusuri secara budaya tidaklah salah. Sebab bisa mengaku dirinya Jawa atau Madura kalau

(14)

memang orang tuanya orang Jawa dan Madura. Atau mereka asli suku Madura tetapi hidup dalam masyarakat Jawa atau sebaliknya. Tidak salah pula bila identitas kesukuan in juga disesuaikan dengan kondisi dan situasi.

4.1.4. Pengungsi Suku Madura Asal Kalimantan

Pengungsi Suku Madura Kalimantan tersebar di hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Jember. Hanya jumlah terbesar di ada di Kecamatan Sumberbaru dan Rambipuji, tetapi berapa jumlah yang pasti sukar sekali untuk ditentukan. Kesulitan ini amat sulit untuk dicari sebabnya. Seperti di Desa Yosarati Kecamatan Sumberbaru menurut penurutan kepala desa jumlahnya tidak labih dari 200 kepala keluarga, tetapi menurut keterangan para kepala kampung jumlah itu menjadi hampir dua kali lipat. Akan tetapi di Desa Kaliwining Kecamatan Rambipuji sekretaris desa menyebutkan ada 187 kepala keluarga yang terdiri dari 721 jiwa.

Di desa Kaliwining Kecamatan Rambipuji tersebar dihampir semua desa terutama di wilayah selatan desa. Mereka kebanyakan menumpang pada keluarga atau famili yang masih mempunyai hubungan darah. Tetapi juga tidak sedikit yang menempati rumah-rumah penampungan yang dibangun oleh pemerintah ditanah yang disedaikan oleh desa. Hal ini juga sama dengan para pengungsi di Desa Yosorati Kecamatan Sumberbaru, hanya di daerah tersebut hanya menyadiakan satu rumah sederhana yang hanya bisa ditempati oleh satu kepala keluarga.

Pengungsi di desa Kaliwining pekerjaannya labih barvariasi bila dibanding

dengan desa Yosorati. Diantara mereka ada yang bekerja di tambang emas yang dikelola secara tradisional, pabrik kayu dan ada beberapa yang berstatus pengawai negari. Ada juga seorang pengungsi yang telah berhasil di Kalimantan dengan memiliki beberapa mobil dan truk untuk mendukung usahnya. Sedang yang di daerah utara desa tersebut terutama di Dusun Gayam ada beberapa yang pegawai negeri dan juga guru. Pengungsi di desa Yosorati Kecamatan Kaliwining hampir semuanya bekerja dipertambangan emas.

Pengungsi di desa Kaliwining ternyata merupakan pengungsi yang beberapa di antaranya adalah suku Jawa. Tetapi mereka sendiri justru menyangsikan keaslianya. Artinya mereka tahu ayah-ibu, kakek dan neneknya adalah Jawa tetapi tidak atau leluhur yang labih atas lagi. Atas dasar itulah mereka memilih pulang ke Rambipuji karena takut atas jati diri sukunya. Sedang pengungsi di Desa Yosorati semuanya suku Madura bahkan tergolong Madura yang asli.

Kedua pengungsi umumnya berdatangan dari daerah Sampit dan sekitarnya.Kebanyakan mereka tidak mengalami konglik langsung dengan suku Dayak Kalimantan. Kebanyakan informan menuturkan bahwa mereka berangkat mengungsi sebelum harta benda dan rumah mereka di bakar. Tetapi juga diantara mereka yang masih ada keturunan Jawa ada yang diminta oleh tokoh suku Dayak untuk mengungsi terlebih dahulu. Tetapi juga ada yang harus berhari-hari menginap di hutan dan menyusuri sungai untuk mengungsi. 4.2. Pembahasan

Suku Madura dikenal sebagai suku yang berkarakter keras dan suka berkelahi.

(15)

Senjata yang bernama clurit identik dengan masyarakat Madura. Kesan itu juga bisa didasarkan pada banyaknya masyarakat Madura yang sering menyelesaikan masalah dengan kekerasan terutama yang menyangkut perempuan dan harga diri . Kesan sebagai suku yang keras dan suka berkelahi seperti itu akhirnya selalu melekat pada diri suku-suku lain di Indonesia.

Kesan seperti ini juga tetap ada pada diri pengungsi suku Madura yang berasal dari Kalimantan. Kesan ini semakin mengental ketika suku tersebut terlibat bentrok dengan suku Dayak Kalimantan. Tetapi kesan seperti ini kurang berarti ketika mereka mengungsi “pulang” ke tanah leluhurnya di Kabupaten Jember. Sebab mereka mempunyai watak kesukuan yang sama dan kebanyakan antara pengungsi dan masyarakat setempat diikat oleh tali keluarga, sehingga keduanya hampu menciptakan susanan hidup yang harmonis. 4.2.1. Pihak-Pihak yang Terlibat Ketegangan Hubungan

Interaksi sosial antara pengungsi dan masyarakat setempat berjalan seperti sungai mengalir, tidak ada permasalahan yang amat berarti. Kalau ada ketegangan hubungan sifatnya amatlah wajar-wajar saja sebagai dinamikan kehidupan. Apalagi antara keduanya hampir semuanya mempunyai ikatan kekeluargaan. Tetapi ketegangan hubungan itu juga ada sekalipun amat terbatas. Ketegangan hubungan itu dapat digolongkan menjadi tiga digolongkan yaitu ketegangan hubungan yang terjadi antar sesama pengungsi, sesama penduduk setempat dan antara pengungsi dan penduduk setempat.

1. Antara sesama pengungsi.

Ketegangan antar sesama pengungsi boleh dikatakan tidak ada, kalau ada hanya bersifat wajar sebagai dinamika sosial. Mereka diikat oleh adanya permasamaan nasip dan juga tali kekeluargaan di antara mereka. Konflik di Kalimantan menjadikan mereka justru kompak, apalagi mereka yang kebetulan menjadi satu kelompok ketika menghadapi kepungan dan serangan suku Daya dan suka kelompok masyarakat lain yang kurang sepaham dengan masyarakat atau suku Madura.

Tali kekeluargaan mereka juga menjadi semakin berarti, mereka sama-sama menyadari bahwa kesulitan yang mereka hadapi akan semakin berkurang bila mereka mempererat tali kekeluargaan. Walaupun sebenarnya hal itu hanya membantu secara psikologis, sedang secara materialis mereka sama-sama tidak mempunyai apa-apa. Paling tidak fenomena tergambar dari adanya hubungan kekelurgaan yang semakin akrap di antara mereka. Hanya ada sedikit ketegangan diantara pengungsi yang berkaitan dengan pembagian bantuan terutama yang berupa rumah tempat tinggal yang mereka pandang kurang adil.

2. Antara sesama penduduk setempat. Datangnya pengungsi ternyata juga menimbulkan ketengan di antara penduduk setempat. Ketegangan itu terjadi antara pihak-pihak yang mendapatkan tugas untuk membagi bantuan baik dari pemerintah maupun dari pihak swasta dan perorangan. Mereka itu adalah perangkat desa dan juga tokoh-tokoh masyarakat yang berkaitan dengan pembangian bantuan. Di Desa Kaliwining Kecamatan Rambipuji seorang Kepala Dusun Dusun Loji Barat bersitegang

(16)

dengan H. Muklis. Dan di antara masyarakat juga terjadi rumor tentang bantuan terutama bantuan rumah yang melibatkan aparat desa. Masalah yang menjadi sebab ketegangan itu paling pokok adalah berkaitan dengan siapakah yang berhak menempati rumah bantuan pemerintah dan mengapa harus “membeli” rumah tersebut. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa bahwa bantuan rumah itu ternyata tidak saja diperuntukan bagi pengungsi tetapi juga masyarakat setempat yang membutuhkannya. Hal ini tidak seperti harapan masyarakat pada umumnya yang menghendaki bahwa bantuan rumah itu hanya untuk pengungsi tetapi ada beberapa warga desa yang menempati rumah tersebut. Kemudian mengapa harus “membeli “ rumah tersebut? Padahal menurut pendapat yang berkembang di masyarakat rumah itu adalah bantuan pemerintah, sehingga tidak perlu dibeli. Tetapi pihak lain mengatakan bahwa uang tersebut untuk pengurusan sertipikat tanah. Kedua masalah inilah yang menimbulkan rumor masyarakat di desa tersebut. Sedang di Desa Yosorati Kecamatan Sumberbaru hanya menyedian satu rumah untuk satu keluarga yang dibangun ditepian sungai Bondoyudo. 3. Antar pengungsi dengan penduduk setempat.

Ketegangan hubungan hubungan antara pengungsi dengan penduduk setempat boleh dikatan tidak terjadi. Tidak seperti tempat-tempat lain di Indonesia(Jawa Timur). Justru yang terjadi masyarakat setempat empati terhadap nasip yang menimpa pengungsi yang tidak lain adalah saudara sendiri yang merantau ke Kalimantan. Sedang para pengungsi

menempatkan dirinya sebagai orang yang perlu untuk dikasiani. Tidak seperti watak orang Madura di beberapa daerah lain yang dapat memicu ketegangan.

Tidak salah bila kedua kepala desa di lokasi penelitian ketika pertama kali menerima peneliti langsung mengatakan bahwa di antara mereka tidak ada ketegangan. Bahkan mereka menyebut bukan pengungsi tetapi masyarakat desa yang pulang dari perantauan. Camat Sumberbaru yang dimintai ijin oleh peneliti justru langsung keberatan, dia mengatakan bahwa selama ini antara pengungsi dan penduduk setempat tidak ada ketegangan hubungan. Baru setelah mengatakan; “Kalau ada apa-apa kamu(peneliti) yang akan aku pegang!”, dan peneliti menyatakan kesediaannya, kemudian memerintakan kepada stapnya untuk membuatkan surat ijin menelitian.

Banyak sekali bukti-bukti yang menunjukkan betapa besar perhatian penduduk dan pejabat setempat terhadap pengungsi. Bukti-bukti itu antara lain: 1. Para pengungsi bertempat tinggal di

rumah-rumah penduduk setempat terutama yang masih mempunyai hubungan keluarga. Padahal secara ekonomis penduduk setempatpun banyak yang kurang mampu. Banyak diantara penduduk yang lantai rumahnya dari tanah. Seperti dialami oleh Pak Vivin sekeluarga, mereka ditampung di rumah keluarganya. Demikian juga Pak Abu dengan istri dan satu anaknya ditampung di rumah kerabat dekatnya. Padalah Pak Abu telah merantau sekitar sepuluh tahun di Kalimantan.

(17)

2. Penduduk setempat juga tidak merasa terganggu atas datangnya para pengungsi yang menjadi pesaingnya dalam lapangan pekerjaan. Padahal di Kalimantan para pengungsi biasa bersaing dengan suku atau kelompok masyarakat lain. Penduduk setempat mengajaknya bekerja sebagai buruh tani dan ada beberapa di desa Kaliwining Rambipuji bekerja sebagai buruh perkebunan tembakau. Hampir semua informan mengatakan bahwa antara pengungsi dan penduduk setempat dalam hal lapangan pekerjaan tidak mengalami permasalahan. Tetapi yang membanggakan dari pengungsi adalah kemampuannya mencari pekerjaan terutama berwirausaha, sehingga sampai penelitian dilakukan para pengungsi boleh dikatakan telah mandiri, mampu mengatasi hidup tanpa bantuan pihak lain.

3. Penduduk setempat pada umumnya juga tidak keberatan atas kedatangan pengungsi. Hal itu tercermin dari para informan dari perangkat desa, tokoh masyarakat sampai dengan masyarakat biasa. Mereka tetap mengangga pengungsi adalah keluarga dan juga warga desa yang kembali dari perantauan.

4. Para pejabat kabupaten ,kecamatan sampai dengan kepala desa dan juga kepala sekolah semuanya mempermudah apapun juga yang berkaitan dengan kepentingan pengungsi. Semua sekolah menerima para siswa yang ingin berlajar walaupun tanpa disertai surat pindah. Bahkan seorang guru SLTP Negeri Sumberbaru di Ibu Yuli(38 tahun) sempat akan mengambil anak asuh

terhadap seorang siswi(pengungsi) yang dipandangnya perlu bantuan. Tetapi maksud itu belum tersampaikan karana siswi yang bersangkutan telah pindah sekolah.

5. Banyaknya bantuan material dari masyarakat sekitar baik dari lingkungan desa setempat maupun dari organisasi seperti PGRI.

4.2.2. Penyebab Ketegangan Hubu-ngan.

Seperti layaknya setiap orang enggan membicarakan kericuan yang terjadi di dalam keluarga, maka penduduk setempat maupun pengungsi juga enggan membicarakan ketegangan-ketegangan yang terjadi pada diri mereka. “Secara psikologis kita memiliki cenderung untuk kenyataan-kenyataan tersebut dalam dunia bawah sadar kita, bukan saja oleh karena kita mengira bahwa dengan demikian kita akan dapat menghindarkan konflik yang labih tajam, juga oleh karena kita sesungguhnya enggan mengakui kenyataan tersebut”(Nasikon, 1984 : ).

Pendapat seperti itu tidak jauh berbeda dengan para informan yang diwewancarai oleh peneliti. Hampir semua informan bahwa di dalam interaksi antara keduanya tidak mengalami ketegangan sedikitpun. Kenyataan seperti itu memang tidak salah tetapi secara tidak langsung juga terungkap hal-hal yang menyebabkan adanya ketegangan hubungan di antara keduanya. Maka pokok masalah berkembang di lokasi penelitian menjadi bertambah kalau, di awal hanya mencari sebab konflik di antara pengungsi dan penduduk setempat, kemudan bertambah menjadi mencari

(18)

sebab yang mengintegrasikannya, sehingga ketegangan dapat dipahami.

Ketegangan hubungan antara pengungsi Suku Madura dengan penduduk setempat di Kabupaten Jember sebenarnya tidak menunjukkan gejala yang mengakwatirkan yang dapat menimbulkan disintegrasi sosial. Kalau ada penyebab konflik hanyalah dinamika kehidupan yang dianggap wajar. Menurut data yang terkumpul tidak adanya hal-hal yang dapat memicu ketegangan hubungan disebabkan oleh:

1. Antara pengugsi dan penduduk setempat memiliki budaya yang sama, sehingga tidak muncul anggapan bahwa pengungsi yang bersuku Madura itu keras. Karena mereka mempunyai kebudayaan yang sama, asal daerah yang sama. Keras bagi orang asli Kalimantan seperti suku Dayak tetapi biasa bagi yang mempunyai budaya yang saman yaitu Madura. Bahkan kalau tidak demikian akan dipandang kurang sesuai dengan jati diri orang Madura. Jadi ciri budaya “keras” antara kedua belah pihak tidak ada masalah, merupakan bagian dari budaya keduanya. Kedua kelompok masyarakat tersebut bukan merupakan sub-kebudayaan yang berhadapan yang dapat memicu konflik, akan tetapi satu budaya yang kebetulan “sedang pergi” ke Kalimantan dan kini berkumpul kembali. Jadi tidak terjadi sekmentasi budaya seperti yang disinggung oleh Pierre L. van de Berrghe sebagai ciri masyarakat majemuk yang rawan konflik(Nasikon, 1984: 36).

2. Pengungsi yang datang sudah jelas-jelas tidak akan mengadakan “agresi” kepada penduduk setempat. Mereka tidak

mempunyai niatan, tidak mempunyai kekuatan, bahkan untuk makan saja susah. Hal ini berbeda jauh dengan posisi mereka di Kalimantan. Penampilanpun berbeda selayaknya seperti tentara yang kalah perang yang perlu belaskasian. Menurut Ibu Yuli seorang guru SLTPN Sumberbaru para pengungsi ingin menitipkan dirinya. Mungkin belajar dari konflik yang baru saja mereka alami. Situasi seperti ini sangat mendukung integrasi sosial diantara kedua kelompok masyarakat karena tidak dalam posisi berhadapan tetapi dalam posisi saling melengkapi yang dapat menakan potensi konflik. 3. Antara pengungsi dan penduduk

setempat mempunyai hubungan keluarga yang amat dekat. Hal ini mampu mengatasi semua masalah yang ada di antara mereka. Hampir semua pengungsi kembali kekeluarganya, mulai hubungan anak-orang tua, hingga kakak-adik serta hubungan keluarga yang lain. Keadaan ini justru seperti teori struktural fungsional yang menganalogikan masyarakat sebagai sebuah organisma biologis yang subur pada masa Auguste Comte. Pengungsi dan masyarakat setempat adalah keluarga yang tidak saja diikat oleh ikatan biologis tetapi juga psikis-emosiaonal yang mampu mengintegrasikan dirinya.

Namun juga ada masalah yang menyebabkan ketegangan hubungan walaupun amat kecil pengaruhnya, yaitu: 1. Adanya bantuan yang dinilai kurang adil

terutama bantuan rumah. Pengungsi berpendapat bahwa bantuan rumah itu hanya diperuntukkan bagi diri pengungsi bukan untuk masyarakat desa pada

(19)

umumnya. Bantuan rumah itu juga diharapkan oleh pengungsi gratis diberikan bukan malah seperti yang terjadi pengungsi harus “menebus” jutaan rupiah. Data yang dari aparat desa memang pengungsi dibuatkan rumah, diatas tanah egendom . Data yang lain menyebutkan bahwa pengungsi dibebani biaya untuk sertipikat tanah.

2. Adanya anggapan dari penduduk setempat bahwa pengungsi sebagai orang atau kelompok yang kurang dapat menyesuikan diri dengan adat istiadat masyarakat Kalimantan(Dayak). Penilaian seperti itu walaupun sedikit berpengaruh terhadap hubungan kedua belah pihak. Bahkan seorang pengungsi yang kebetulan berdarah campuran Madura-Jawa menyalahkan orang Madura dan memuji kesabaran orang Dayak dalam konflik di Kalimantan. 3. Sebenarnya yang juga mesti terjadi

ketegangan adalah antara pengungsi dengan keluarga yang ditempati. Tetapi peneliti tidak berhasil menyingkap data seperti itu bahkan cenderung menutup-nutupi. Alasan yang paling sederhana adalah di antara pengungsi dan penduduk setempat adalah keluarga yang tidak pantas untuk mengungkap pada orang lain. Kalau sampai terungkap justru akan mengungkap kekurangan keluarga kepada orang lain. Seperti keluarga yang ditumpangi pengungsi yang bernama Pak Sardi (35 tahun) yang hidup dalam kesederhanaan, secara akal mesti terjadi ketegangan.

4.2.3. Akibat yang Ditimbulkan

Bertambah atau berkurangnya penduduk merupakan salah satu sebab terjadinya

perubahan yang ada pada masyarakat, selain penemuan-penemuan baru dan juga pengaruh kebudayaan masyarakat lain(Soekanto Soerjono, 1990 : 352-360). Datangnya pengungsi suku Madura ke daerah Jember juga merupakan sumber terjadinya perubahan. Akan tetapi dampak atau pengaruh yang ditimbulkan oleh hubungan keduanya(pengungsi dan penduduk setempat) tidak tampak berarti.

Kecilnya akibat yang ditimbulkan itu paling tidak disebabkan oleh pertama, antara pengungsi dan penduduk setempat mempunyai dasar kebudayaan yang sama yaitu Madura. Walaupun pengungsi telah “lama” meninggalkan Jember tetapi adat dan kebiasaan tidak mengalami perubahan yang berarti, maka ketika datang ke Jember tidak menimbulkan perubahan yang berarti. Bahkan bahasa sebagai alat komunikasipun di kalangan pengungsi juga tidak mengalami pergeseran yang berarti, walaupun pengungsi telah cukup lama berinteraksi dengan berbagai macam etnis di Kalimantan. Kalaupun ada sedikit perbedaan bahasa terutama di kalangan anak-anak usia sekolah tidak lama lagi akan mengikuti bahasa atau dialek yang telah ada. Dan tetap menjadikan kiai sebagai bagian dari orang yang dianggap penting.

Kedua, pengungsi tidak siap untuk mengadakan perubahan, mereka tidak ubahnya tentara yang kalah perang. Hartanya telah habis, harga dirinya turun, perutnya lapar dan pakaiannyapun juga amat terbatas. Dan jumlah terbatas bila dibanding dengan penduduk setempat. Jadi pengungsi bukanlah elemen masyarakat yang akan memberikan sumbangan pada disintegrasi dan perubahan sebagaimana yang diasumsikan oleh teori konflik seperti

(20)

dikemukaan oleh Dahrendort(Zeitlin, Irving M, 1998 : 175).

Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan interaksi antara pengungsi dan penduduk setempat yang berkaitan dengan identitas suku atau etnisitas. Yaitu unculnya fenomena perubahan etnis yang sering kali diakibatkan oleh modivikasi perilaku kelompok dan modifikasi untuk mempersempit atau memperlebar batasan-batasan etnik seperti dikemukakan oleh Cohen dan Horowitz( Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakmat, 1998 :158).

Fenomena ke arah modifikasi etnik itu terlihat pada pertama adalah adanya fenomena yang menurut Barth, Paden dan Cohen sebagai etnisitas situasional, yaitu bagaimana identitas etnik digunakan individu-individu dalam interaksi mereka dengan orang lain. Mereka menunjukkan bagimana identitas etnik dan lambang-lambangnya dimanipulasi untuk kepentingan-kepentingan pribadi, sosial, ekonomi dan politis tertentu (Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakmat, 1998 :158).

Pada awalnya manipulasi etnik ini digunakan untuk menyelamatkan diri dari ancaman suku Dayak dan kelompok lain yang mengancam mereka dan rupanya fenomena seperti ini dibawa hingga pulang ke kampung halaman di Jawa Timur. Fenomena seperti ini terlihat jelas pada orang-orang yang berdarah campuran Madura-Jawa yang berusaha menutup-nutupi kemaduraannya. Seperti dituturkan oleh Pak Marjito(55) dusun Loji Timur desa Kaliwining Rambipuji Jember.

Pak Marjito orang yang memerangkan silsilah bapaknya dari daerah Jawa Tengah

dan ibunya dari suku Madura tetapi di mengidentifikasi sebagai orang Jawa. Demikian juga seorang pengungsi yang dinilai berhasil di Kalimantan mengidentifikasi dirinya sebagai orang Jawa. Akan tetapi sebenarnya bapaknya adalah orang Madura. Para tetangga menyangsikan kejawaannya karena penduduk sepetempat mempertanyakan kalau yang bersangkutan betul-betul Jawa mengapa harus mengungsi ke Jember.

Tetapi fenomena ini tidak muncul di Desa Yosorati Kecamatan Sumberbaru, sebab di desa tersebut orang Jawa hampir tidak ada. Kalau ada jumlahnya amat terbatas sekali. Tetapi interaksi yang ada di kantor Kecamatan Sumberbaru justru memakai Bahasa Jawa, yang terkesan janggal pada komunitas penduduk yang berbahasa Madura.

Akibat dari interaksi sosial antara pengungsi dan penduduk setempat yang masih dalam proses mencari bentuk bahkan masih embrional yang patut diperhitungkan dan mungkin pada masa yang dijadikan model suku Madura pada masa datang .adalah:

1. Baik pengungsi maupun penduduk setempat adanya semacam “kesepakatan” untuk meninjau kembali ciri “keras” yang melekat pada suku Madura. Konflik yang terjadi di Kalimantan merupakan pelajaran yang sangat berharga. Salah seorang pengungsi di Desa Kaliwining Wardi(50 tahun) dengan tegas menyatakan penyesalannya atas apa yang telah diperbuat oleh orang Madura di Kalimantan. Demikian juga Kepala Desa Kaliwining dengan beberapa stafnya menghendaki agar orang Madura

(21)

“merefisi” kebiasaan yang kurang baik terutama tentang watak kerasnya dan kebiasaan yang kurang menghargai budaya suku atau golongan lain. Baik pengungsi maupun penduduk setempat adanya upaya untuk menjadikan watak suku Jawa sebagai sebuah model perwatakan. Sebab secara kebetulan hanya budaya Jawalah yang selama ini mereka kenal secara labih intensif.

V. Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan

Ketegangan hubungan yang terjadi antara pengungsi suku Madura asal Kalimantan dan masyarakat Kabupaten Jember terjadi dalam batas-batas kewajaran, sehingga tidak akan menimbulkan konflik yang membahayakan integrasi sosial. Ketegangan hubungan itu dapat dikendalikan oleh adanya hubungan pertalian darah atau keluarga yang masih amat dekat antara pengungsi dengan masyarakat Jember. Para pengungsi tidak lain adalah masyarakat Jember yang merantau ke Kalimantan , karena tertimpa musibah mereka pulang kembali ke daerah mereka. Di samping itu karakter keras yang dibawa oleh pengungsi juga tidak menjadi sebab ketegangan hubungan karena antara keduanya mempunyai kebudayaan yang sama yaitu budaya Madura. Ketegangan hubungan justru disebabkan oleh distribusi bantuan baik dari pemerintah maupun pihak lain yang kurang adil.

Akibat dari datangnya pengungsi suku Madura asal Kalimantan ke daerah Jember menimbulkan akibat positif yang berkaitan dengan karakter kesukuan. Akan tetapi

akibat tersebut belum tampak nyata, sifatnya masih embrional yang masih perlu waktu lama untuk dapat melihatnya. Akibat itu adalah munculnya fenomena dari pengungsi maupun masyarakat setempat untuk meninjau kembali karakter mereka terutama yang berkaitan dengan kekerasan. Fenomena itu merujuk pada suku Jawa yang dipandang labih sabar, serta halus dalam berkomunikasi.

5.2. Saran

Berangkat dari hasil pelitian ini maka yang perlu untuk disosialisasikan pada kedua belah masyarakat terutama pengungsi adalah hendaknya mereka belajar dari apa yang telah terjadi di Kalimantan, sehingga tidak akan terjadi kembali apabila mereka berkomunikasi dengan masyarakat atau suku lain. Hendaknya mereka mau menghormati adat kebiasaan masyarakat di mana mereka merantau serta tidak bersikap semaunya sendiri.

Bagi siapa saja terutama pihak pemerintah yang berkaitan dengan penanganan pengungsian suku Madura, hendaknya mengambil langkah yang labih konkrit yang berkaitan berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh pengungsi tersebut. Jangan sampai menjadi konflik yang labih besar yang merugikan semua pihak.

Daftar Pustaka

Cahyono, Hery B, Profil Nilai Budaya Politik Masyarakat Madura; Majalah Iqra‘ Vol. XII, No. 3 Juli 1998, LPPM Universitas Muhammadiyah Jember

(22)

Faisal Sanapiah, Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar dan Aplikasinya, YA3 Malang, Malang, 1990.

Giddens, Anthony dan David Held, Perbedaan Klasik dan Kontemporel Mengenai Kelompok, Kekuasaan dan Konflik, Rajawali Press, Jakarta, 1987. Hiisken, Frans, Masyarakat Desa dalam Perubahan Jaman, Grasindo, Jakarta, 1998.

Hadi Sutrisno, Metode Research, Andi Affset, Yogyakarta, 1990.

Jonge, Huub de, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi dan Islam, Gramedia Jakarta, 1989.

Josef Eilers, Franz, Berkomunikasi Antar Budaya, Nusa Indah, Flores,1995. Koentjoroningrat, Masyarakat Pedesaan

Indonesia, dalam Masalah-Masalah Pembangunan: Bunga Rampai Antropologi Terapan , LPES, Jakarta 1984.

Moleong, Lexy, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1998.

Muhajir, Noeng, Metode Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta, 1998.

Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antar budaya, RosdaKarya, Bandung, 1998.

Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung, 1988. Nasikon , Sistem Sosial Indonesia, Rajawali

Press,Jakarta, 1985.

Soekanto Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jajarta, 1990.

Zeitlin, Irving M, Mehamami Kembali Sosiologi, Gajah Mada University Press, Jogjakarta,1998.

Referensi

Dokumen terkait

Jenis penelitian yang dilakukan terhadap kepemimpinan kepala sekolah ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan derajat kepemimpinan yang melayani

To make this determination through the enclosed template, one considers three broad types of performance criteria: (a) profitability ratios, (b) sales growth rates in

[r]

Jurusan yang paling diminati pada Sipenmaru tahun 2012 adalah Jurusan Kebidanan dengan jumlah pendaftar yang paling tinggi sebesar 1242 orang. Urutan kedua adalah

Wiyono, Djoko, Manajemen Mutu Rumah Sakit dan Kepuasan Pasien: Prinsip dan Praktek.. Capper, Stuart

Untuk mengetahui perilaku hama, dilakukan dengan cara mengambil sampel hama yang ditemukan pada lahan penelitian, kemudian masukan ke dalam gelas plastik, setelah itu

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh bakteri Pseudomonas diminuta dan Bacillus subtilis dalam menekan populasi Pratylenchus coffeae dan pengaruhnya terhadap